Ceramah Ki Ageng Suryomentaram ini
disampaikan beliau dalam pertemuan Junggring Salaka Agung ke VII di Magelang,
pada tanggal 23-24 Mei 1953.
Ada empat jenis ukuran yakni ukuran
kesatu, kedua, ketiga, dan keempat. Wujud ukuran kesatu ialah garis, ukuran
kedua berwujud dataran yang mengandung panjang dan lebar, ukuran ketiga
berbentuk benda yang mengandung panjang, lebar dan tebal, dan ukuran keempat
adalah benda hidup yang mengandung rasa. Jadi ukuran-ukuran tersebut mempunyai
wujud dan rasa. Wujud keempat ukuran-ukuran itu semua terdapat di dalam rasa
manusia, dan tidak di luar rasa manusia. Anggapan bahwa wujud ukuran-ukuran itu
terdapat di luar rasa manusia adalah keliru. Penjelasannya ialah sebagai
berikut. Ukuran kesatu yang berwujud garis, terdapat di dalam perasaan orang.
Bila garis itu diperkirakan terdapat di luar rasa orang, garis itu digambarkan
sebagai sejumlah titik secara berjajar. Gambaran itu menimbulkan pertanyaan:
"Apakah antara titik-titik itu terdapat jarak atau tidak?" Jika
antara titik-titik itu tidak ada jaraknya maka ini berarti bahwa garis itu
merupakan sebuah titik. Padahal titik bukanlah garis. Jadi pendapat bahwa
titik-titik mewujudkan garis itu keliru. Sekarang timbul pertanyaan:
"Apakah ada jarak di antara titik-titik yang mewujudkan garis itu?"
Bila di antara titik-titik itu dibayangkannya ada jarak, maka bisa ditanyakan:
"Apakah wujud jarak itu?" Sudah tentu jawabannya ialah jarak itu
berwujud titik. Jawaban di atas tentu saja menimbulkan pertanyaan lagi.
"Ada apakah antara jarak titik dengan jarak titik lainnyaP" Jawabnya
tentu saja: "Ya titik lagi." Jadi jarak titik yang satu dengan yang
lain tidak ada batasnya, sehingga bila sebuah anak panah, bertolak dari satu
titik ke titik lain, setelah berjalan berjuta-juta tahun pun panah itu tidak
akan mencapai titik yang dituju karena jaraknya tidak terhingga panjangnya.
Padahal kenyataannya tidak demikian. Maka pendapat bahwa garis itu terdiri dari
sejumlah titik itu keliru. Yang benar ialah bahwa garis itu perasaan orang
dalam menanggapi wujud ukuran kesatu. Setiap orang menanggapi wujud ukuran
kesatu sebagai garis. Jadi garis itu dicipta oleh rasa manusia sendiri. Wujud ukuran
kedua ialah dataran. Patokan untuk meneliti dataran ini serupa dengan patokan
untuk garis, karena dataran ini digambarkan sebagai sejumlah garis-garis yang
berjajar. Maka dataran pun adalah ciptaan rasa orang dalam menanggapi wujud
ukuran kedua. Wujud ukuran ketiga ialah wujud benda yang mengandung panjang.
lebar dan tebal. Wujudnya sebagai cangkir, piring, rumah, gunung, sungai,
dunia, bintang, bulan, matahari dan sebagainya. Wujud benda ini terdapat dalam
perasaan manusia.
Jika benda itu dikira terdapat di
luar rasa manusia, maka perkiraan itu keliru. Benda itu, selain digambarkan
sebagai sejumlah dataran berjajar, juga digambarkan sebagai sesuatu yang
terdapat dalam ruang. Semua benda dibayangkan sebagai sesuatu yang mengambil
dan diliputi ruang. Padahal ruang adalah rasa orang dalam menanggapi adanya
benda itu. Bila ruang diperkirakan di luar rasa manusia, maka sifatnya hanyalah
dua macam, berbatas atau tanpa batas. Bila ruang itu berbatas, tentu timbul
pertanyaan: "Apakah di luar batas tidak ada ruang lagi?" Bila orang
hendak menjawab pertanyaan di atas, tentu jawabnya ialah bahwa di luar batas
tadi terdapat pula ruang. Jadi pendapat bahwa ruang itu berbatas, adalah
keliru. Sekarang tinggal meneliti pertanyaan: "Apakah ruang itu tanpa batas?"
Tanpa batas ini bukanlah jumlah dari bagian-bagian ruang, bukan jumlah satu
meter kubik dengan dua meter kubik, atau satu dunia dengan dua dunia, sebab
jumlah itu merupakan batas. Jadi tanpa batas ini berarti tidak dapat ditanyakan
berapa banyaknya, karena jumlah itu berbatas. Diteliti secara di atas, maka
terlintas dalam pikiran kita bahwa memanglah ruang itu bersifat tanpa batas.
Namun bila sifat ruang itu tanpa batas, maka ini berarti bahwa setiap ruang itu
tidak berbatas. Jadi ruang jarak satu benda dengan benda lain tidak berbatas.
Sehingga bila orang berjalan dari satu tempat ke tempat lain, beribu-ribu tahun
tidak akan tiba pada tempat yang ditujunya. Demikianlah maka pendapat bahwa
ruang itu terdapat di luar perasaan manusia itu keliru. Yang benar ialah bahwa
ruang itu rasa manusia dalam menanggapi adanya benda. Jadi benda itu terdapat
di dalam rasa manusia. Wujud ukuran keempat pun ada dalam rasa manusia.
Penjelasannya lebih jauh akan diberikan di belakang. Sementara ini akan
diterangkan bagaimanakah hidup manusia dalam berbagai ukuran itu. Manusia itu
hidup dalam ukuran kesatu, kedua, ketiga dan keempat. Hidup manusia dalam
ukuran kesatu ialah sebagai hidup seorang bayi yang baru lahir beberapa hari.
Bayi itu sudah merasakan sesuatu, tetapi badan dan bagian-bagiannya belum dapat
digunakan untuk mengikuti perasaannya. Misalnya bila bayi itu digigit nyamuk
maka dapat dimengerti bahwa bayi itu merasa sakit. Tetapi tangan bayi itu belum
dapat dipergunakan untuk menghalau nyamuk. Hidup dalam ukuran kesatu ini sama
dengan hidup tanaman. Hidup dalam ukuran kedua ialah sebagai hidup anak-anak
yang badan dan bagian badannya sudah dapat mengikuti perasaannya, tetapi anak
tadi belum mengerti sifat hukum benda-benda. Oleh karenanya dalam hubungannya
dengan benda, ia sering keliru.
Sebagai contoh misalnya seorang anak
melihat api bercahaya, maka senanglah ia dan dipegangnya api itu. Ini
mengakibatkan tangannya terbakar. Anak itu merasakan sesuatu, yakni rasa
senang, dan tangannya sudah dapat dipakai untuk mewujudkan perasaan senangnya,
yakni memegang api. Tetapi ia belum mengerti hukum alam benda, bahwa api dapat
membakar tangan yang memegangnya. Hidup dalam ukuran kedua ini sama dengan
kehidupan hewan. Hidup dalam ukuran ketiga ialah hidup manusia yang merasakan
sesuatu dan badannya sudah dapat dipergunakan menurut perasaannya serta ia
sudah mengerti sifat hukum alam benda. Oleh karenanya dalam hubungannya dengan
benda-benda yang dipakai untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, ia tidak sering
keliru. Sebagai contoh misalnya seorang merasa haus, maka diambilnya air dari
tempayan, dan diminumnya. Orang itu merasa sesuatu, yakni haus, dan mengerti
hukum alam benda, kemudian mengerti caranya minum dengan mengambil air dari
tempayan. Maka tindakan orang itu adalah tepat. Hidup dalam ukuran keempat
ialah hidup manusia dalam hubungannya dengan benda. Benda hidup ini mempunyai
perasaan. Jadi hidup dalam ukuran keempat ialah hidup manusia dalam hubungannya
dengan perasaan-perasaan. Dalam hubungannya dengan perasaan-perasaan itu dapat
timbul pelbagai kesukaran. Kesukaran dalam hubungannya dengan perasaan-perasaan
disebabkan karena ia tidak mengerti tentang perasaan. Serupa halnya kesukaran
dalam hubungannya dengan suatu benda, karena ia tidak mengerti tentang sifat
benda itu. Jadi kesukaran dalam kedua hal di atas disebabkan karena
ketidakmengertian.
Ukuran keempat ialah salah satu alat
manusia. Manusia memiliki berbagai alat seperti tangan, kaki, mata, kuping dan
sebagainya. Alat-alat itu ada yang harus dididik agar berkembang, dan ada pula yang
tidak perlu pendidikan. Alat-alat yang tidak mesti dididik berupa mata, kuping
dan sebagainya. Mata untuk melihat rupa dan kuping untuk mendengar suara. Mata
dan kuping ini sekalipun tidak dididik, bila tidak mengalami cedera,
perkembangannya akan berlangsung secara wajar. Tetapi alat-alat yang perlu
dididik, bila tidak dididik maka perkembangannya tidak akan wajar. Wujud
alat-alat yang perlu dididik ialah hati, pikiran dan ukuran keempat. Hati ialah
alat untuk merasakan rasanya sendiri, pikiran ialah alat untuk memikir dan
ukuran keempat ini ialah alat untuk merasakan rasa orang lain. Alat-alat inilah
yang menyebabkan orang membutuhkan pelajaran, tidak hanya yang bersifat
ketrampilan, akan tetapi juga yang dapat mengembangkan hati, pikiran, dan ukuran
keempatnya. Hati sebagai alat untuk merasakan rasa sendiri, bila tidak cukup
pendidikannya, tidak akan dapat berkembang secara wajar, sehingga untuk
merasakan rasa sendiri sering keliru. Rasa orang dapat dibagi dua, yaitu rasa
enak dan rasa tidak enak. Bila hati tidak cukup terdidik, ia sering keliru
untuk merasakan rasa sendiri yang enak dan tidak enak, yakni enak dianggapnya
tidak enak, sedang tidak enak dianggapnya enak. Sering kekeliruan tadi
diketahui kemudian berupa penyesalan. Kekeliruan-kekeliruan itu disebabkan
karena bercampurnya pelbagai rasa secara tidak teratur; misalnya bercampurnya
rasa enak dan tidak enak dalam suatu tindakan. Maka memisah-misahkan rasa yang
bercampur secara tidak teratur itu, adalah salah satu latihan untuk mendidik
hati. Misalnya orang berjudi atau main ceki; ketika menang merasa enak dan
senang. Tetapi rasa senang ini bercampur rasa gelisah, rasa takut kalau kalah
dan dia bernafsu untuk mempertahankan kemenangannya. Dan main kartu ceki dengan
kegelisahan, karena takut kalah disertai nafsu menang, merupakan rasa tidak
enak yang mencampuri rasa senang dalam kemenangannya. Adapun main kartu ceki
tanpa rasa gelisah dan tanpa nafsu menang tentu saja tidak mengganggu rasa
senang. Adanya rasa itu menimbulkan rasa susah dan celaka yang kedua-duanya
tidak enak. Jelasnya sebagai berikut. Rasa susah ialah rasa keinginan yang
tidak tercapai, maka tidak berlangsung iama.
Tetapi rasa celaka (malang) itu
ialah idam-idaman yang ditakutkan akan gagal dan yang disebut prihatin, dan
oleh karena itu berlangsung lama. Rasa prihatin tetap ada pada waktu orang
merasa senang. Rasa prihatin adalah tetap tidak enak. Tatkala belum tercapai,
idam-idaman itu menggelisahkan, maka rasanya tidak enak, prihatin. Ketika
idam-idaman itu gagal maka timbul rasa sedih, yang rasanya tidak enak.
Sekalipun idam-idaman itu tercapai, namun tetap timbul kekhawatiran kalau-kalau
ia terlepas lagi, maka rasanya tidak enak. Jadi main kartu ceki bila menjadi
idam-idaman, tidaklah enak rasanya. Contoh rasa enak yang dianggap tidak enak,
ialah bila orang berbuat baik kepada orang lain, namun akhirnya dibalas dengan
kejahatan, maka menyesallah ia atas perbuatan baiknya tadi. Penyesalan itu
disebabkan karena tercampurnya rasa enak dan tidak enak. Berbuat baik terhadap
orang lain itu enak rasanya, dan dibalas dengan kejahatan oleh orang lain,
tidak enak rasanya. Jadi berbuat baik terhadap orang lain tetap enak rasanya.
Maka penyesalan di atas berarti menyesal akan rasa enak yang diperolehnya.
Apabila orang sering menyesal atas keenakannya, akhirnya ia akan jemu merasa
enak. Demikianlah kekeliruan yang sering terjadi dalam mempergunakan hati untuk
merasakan rasanya sendiri. Pada hakikatnya tindakan manusia semata-mata menurut
bagaimana ia menanggapi rasanya. Bila penanggapannya sering keliru, tindakannya
pun sering keliru. Jadi dasar tindakan manusia adalah bagaimana ia menanggapi
rasanya. Oleh karena itu, mula-mula hati ini harus dilatih untuk menanggapi
pelbagai rasanya sendiri yang pokok, agar dapat memisahkan rasa suka dan duka (susah),
dengan bahagia dan derita. Setelah itu maka dengan mudah hati dapat digunakan
untuk menanggapi perincian rasa sendiri. Demikianlah cara mendidik hati.
Pikiran ialah untuk memikir.
Bila tidak cukup terdidik pikiran
tidak akan memperoleh kemajuan yang wajar, sehingga pemikirannya sering keliru.
Hal-hal yang dipikirkan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu benda dalam arti
umum dan benda secara terperinci. Yang pertama ialah jawaban atas pertanyaan:
"Apakah yang terdapat di atas bumi dan di kolong langit?" Yang kedua
adalah benda-benda satu persatu serta gerak-geriknya. Memikirkan masalah benda
dalam arti umum, harus dijalankan tanpa bertanya berapa, bagaimana, di mana dan
bilamana. Benda dalam arti umum tidak ada jumlahnya tidak dapat dilihat dan
tidak bergantung pada tempat dan waktu. Maka kelirulah bila memikirkan benda
dalam arti umum, dengan menggunakan empat macam pertanyaan tersebut. Memikirkan
benda secara terperinci, harus menggunakan pertanyaan berapa, bagaimana, di
mana dan bilamana. Karena benda terperinci itu mempunyai jumlah yang dapat
dilihat dan tergantung pada tempat dan waktu. Maka kelirulah bila memikirkan
benda terperinci tanpa menggunakan empat macam pertanyaan tersebut. Benda
terperinci ialah benda berwujud serta gerak-geriknya (Bhs. Jawa: lelampahan).
Memikirkan benda berwujud, ialah membeda-bedakan dan menyama-nyamakan benda
yang satu dengan lainnya, menurut jumlah, bentuk, tempat, dan zamannya. Hasil
pemikiran demikian itu merupakan pengertian. Memikirkan cara gerak-geriknya
ialah membedakan dan menyamakan gerak-geriknya satu persatu dan meneliti sebab
dan akibatnya. Gerak gerik itu merupakan pergeseran jumlahnya, perubahan
bentuknya dan pergantian waktunya. Hasil pemikiran demikian itu merupakan
pengertian. Apa yang dipikirkan, bagaimanakah sifat-sifatnya dan apakah
faedahnya, semua ini harus jelas, agar kita dapat berpikir benar. Pemikiran
yang tidak jelas, disebabkan tidak terpenuhinya tiga syarat tersebut. Jadi
untuk berpikir dengan jelas itu perlu menjawab tiga pertanyaan, yaitu apa yang
dipikir, bagaimana sifatnya dan apa gunanya. Dalam pergaulan, banyak
perselisihan disebabkan oleh kekeliruan dalam berpikir. Misalnya, ada yang
berpikir bahwa Nyai Rara Kidul (Ratu Laut Selatan dalam mitos/dongeng Jawa)
ialah penyebar penyakit; sedangkan ada pula yang berpikir, bahwa Nyai Rara
Kidul ialah penyembuh penyakit. Dua macam eara berpikir yang bertentangan di
atas menyebabkan perselisihan. Tetapi pemikiran di atas akan menjadi jelas bila
disertai pertanyaan: "Yang dipikir itu apa? bagaimana? dan apa
faedahnya?" Misalnya pertama, Nyai Rara Kidul itu apa? Jawabnya, Nyai Rara
Kidul itu sebuah dongeng, dan dongeng itu ialah cerita yang tidak bersangkutan
dengan kenyataan. Kemudian pertanyaan kedua, bagaimanakah Nyai Rara Kidul itu?
Penyebar atau penyembuh penyakit? Dongeng itu diceritakan oleh dua orang yang
masing-masing tidak berhubungan, maka sewajarnyalah bila dongeng tersebut
berbeda-beda. Akhirnya, apakah faedahnya dongeng itu? Jawabnya, faedah dongeng
adalah untuk hiburan atau untuk memasukkan pelajaran kebatinan dan sebagainya.
Setelah jelas demikian, dongeng Nyai Rara Kidul itu tidak lagi menyebabkan
perselisihan. Hal-hal yang dipikir pun dapat dipisah menjadi dua, yakni benda
dan rasa. Sering cara memikir rasa dikacaukan dengan cara memikir benda,
sehingga mengakibatkan kesulitan. Untuk memikir rasa, terlebih dahulu harus
memisahkan rasa dari benda. Rasa yang bersumber pada keinginan, pada pokoknya
ialah senang dan susah.
Senang ialah rasa tercapainya
keinginan, dan susah ialah rasa tidak tercapainya keinginan. Jadi senang dan
susah itu rasa, bukan benda. Yang menyebabkan senang ialah keinginan tercapai,
dan yang menyebabkan susah ialah keinginan tidak tercapai, tetapi bukanlah
benda-benda yang diinginkan. Agar jelas perlu diberi contoh di sini. Misalnya
banyak orang mengadakan pertemuan di malam hari, mereka membutuhkan lampu yang
terang. Bila memperoleh lampu terang, senanglah mereka itu. Tetapi tatkala
hendak tidur mereka perlu lampu yang tidak sebegitu terang, sehingga mereka
merasa susah kalau lampu itu terang. Jadi lampu terang itu semula disenangi,
kemudian tidak disenangi. Jadi benda itu tidak menyebabkan senang atau susah.
Bila sudah terpisah cara memikir benda dan memikir rasa, orang dapat menelaah
pokok kebutuhannya yang semula ruwet. Setelah dimengerti, maka lenyaplah
kesulitan yang bersumber pada tercampurnya memikir benda dan memikir rasa. Rasa
orang pun dapat dibagi dua bagian, sebagai rasa yang dihayati dan rasa yang
menghayati. Rasa yang dirasakan yaitu senang, susah, sakit, sembuh dan
sebagainya. Dan rasa yang menghayati ialah "aku", merasa, mengerti,
pribadi, dan sebagainya. Jadi rasa yang menghayati bukanlah rasa yang dihayati.
Bila dalam memikirkan dua macam rasa itu bercampur-baur, sering orang keliru
dalam merasakan sesuatu. Misalnya bila orang sedang sakit, ia merasa "aku
sakit". Memikir rasa demikian itu keliru. Sakit adalah rasa yang dihayati,
bukanlah rasa yang menghayati. "Aku" adalah rasa yang menghayati
bukanlah rasa yang dihayati dan oleh karena itu tidak dapat sakit, melainkan
dapat merasakan sakit. Jadi yang sakit bukanlah "aku". Setelah rasa
yang dirasakan dan rasa yang merasakan terpisah maka rasa orang itu benar,
yaitu "yang sakit bukanlah aku". Bila kesadarannya sudah tepat, orang
akan dapat meneliti dan mempelajari rasa-rasa sendiri yang bermacam-macam itu.
Demikianlah cara memisahkan rasa yang dihayati dan rasa yang menghayati. Jadi
membina pikiran dapat dijalankan dengan memisahkan pemikiran benda dalam arti
umum dan pemikiran benda terperinci, memisahkan pemikiran benda dari rasa, dan
untuk memisahkan pemikiran rasa yang dihayati dengan rasa yang menghayati.
Adapun ukuran keempat ini adalah alat untuk merasakan rasa orang lain. Bila
tidak cukup pembinaannya, ia tidak akan memperoleh kemajuan yang wajar. Sehingga
di dalam menghayati rasa orang lain, sering salah. Manusia itu dapat menghayati
rasa sendiri dan rasa orang lain. Rasa sendiri dan rasa orang lain ini
kedua-duanya terdapat dalam rasa sendiri. Jadi rasa manusia itu berisi rasa
sendiri dan rasa orang lain. Bila rasa sendiri dan rasa orang lain dalam diri
sendiri tercampurbaur, orang sering keliru menghayati rasa orang lain.
Contohnya, orang kaya yang sering
keliru menghayati rasa orang miskin. Orang kaya itu mengira bahwa orang miskin
itu celaka dan susah selama-lamanya. Perasaan demikian itu, bercampur dengan
rasa takut kemiskinan yang akan menimpanya. Bila rasa takut jatuh miskin itu
terpisah, orang kaya itu dapat menghayati rasa orang miskin, yaitu bahwa si
miskin tidak selamanya susah. Demikianlah cara memisahkan rasa sendiri dari
rasa orang lain. Orang miskin pun sering salah dalam menghayati rasa orang
kaya. Ia mengira bahwa orang kaya itu bahagia dan senang selamanya. Cara
mengira demikian itu tercampur dengan keinginan sendiri untuk menjadi kaya.
Bila rasa ingin kaya ini terpisah maka ia dapat menghayati rasa orang kaya,
yaitu bahwa si kaya tidak senang selamanya. Demikianlah cara memisahkan rasa
sendiri dari orang lain. Jadi yang merintangi untuk menghayati rasa orang lain,
ialah kepentingan sendiri. Di sini perlu diberi contoh lain. Ayam (hewan) ialah
benda yang memiliki rasa. Bila orang terpengaruh oleh kepentingannya sendiri,
ia tidak dapat menghayati rasa hewan itu. Biasanya bila orang melihat seekor
ayam maka kepentingan sendiri muncul. "Gemuk benar ayam ini, bila
dipelihara akan banyak bertelur, bila digoreng enak pula rasanya dan bila
dijual bisa laku sekian rupiah," demikian perasaannya. Padahal bukanlah
kehendak ayam untuk digoreng. Demikian kepentingan sendiri merintangi orang untuk
menghayati rasa orang lain. Contoh yang lebih terang lagi, ialah bila seorang
laki-laki bepergian beberapa hari lamanya. Ketika pulang ditemukan istrinya
menderita sakit perut. Laki-laki itu merasa kecewa, dan rasa kecewa inilah yang
menyebabkan ia tidak dapat menghayati rasa sakit perut istrinya. Demikian
kepentingan sendiri merintangi orang untuk menghayati rasa orang lain.
Perselisihan yang disebabkan orang keliru menghayati rasa orang lain Dalam
pergaulan banyak terjadi perselisihan yang disebabkan kekeliruan orang dalam
menghayati rasa orang lain. Bahkan sering makin rapat pergaulannya makin hebat
pula perselisihannya, seperti halnya dalam pergaulan antara suami-istri. Bahkan
pokok rasa yang dipakai untuk landasan berkeluarga saja sudah salah. Landasan rasa
itu ialah: "Bila orang itu menjadi suami/istriku, pasti akan senang
sekali." Rasa demikian itu pada hakekatnya tidak memperhatikan rasa calon
suami/istrinya. Tidak dipertimbangkan apakah mereka akan senang atau tidak
sebagai suami/istrinya. Ia semata-mata mengejar kenikmatannya sendiri.
Dalam pada itu calon suami/istrinya
pun hanya mengejar kenikmatan sendiri. Sudah tentu suami-istri yang berbekal
rasa mencari enaknya sendiri-sendiri merasa tidak aman dan kecewa. Bekal rasa
inilah yang menyebabkan perceraian dan perpisahan sementara. Suami-istri tadi
tidak dapat menghayati rasa pihak lain, karena tertutup oleh kepentingannya
masing-masing, sehingga mengakibatkan perselisihan dan perpisahan. Hal inilah
yang menimbulkan anggapan bahwa suami-istri adalah musuh sebantal. Pokok rasa
untuk landasan bersuami-istri yang enak, ialah keinginan untuk mengenakkan
suami/istrinya. Perkembangan bekal rasa itu membangkitkan ikhtiar mencari
keenakan calon jodohnya. Usaha tersebut cepat atau lambat akan ditemukannya,
akan tetapi mungkin juga ia akan gagal. Kramadangsa *) memiliki keistimewaan
masing-masing, yang lain daripada yang lain. Perbedaan ciri-ciri Kramadangsa
itu menyebabkan perbedaan dalam penilaian orang per orang atas benda dan
keadaan. Yaitu dalam keadaan yang sama ada orang yang merasa susah dan celaka,
dan ada pula yang merasa senang dan bahagia. Misalnya, orang yang tidak rukun
dalam perkawinannya, akan menganggap bahwa jika ia berganti suami/istri ia akan
bahagia, walaupun hal itu baru dikhayalkan saja. Tetapi bagi seseorang yang
jujur, berganti suami/istri itu ialah perbuatan yang tercela.
Jadi langkah pertama untuk
membahagiakan suami/istri ialah mengetahui keistimewaan Kramadangsanya
(kepribadiannya). Jadi keenakan dalam hubungan yang rapat, harus terlebih dahulu
mengetahui Kramadangsa (pribadi) pihak yang dihubungi. Berdasarkan inilah orang
dapat bertindak untuk mengenakkan pihak yang dihubunginya, dan menghindari
tindakan yang tidak mengenakkannya. Jadi hubungan yang tidak enak itu
disebabkan karena tidak adanya penghayatan sifat khusus Kramadangsa pihak yang
dihubunginya. Kepentingan diri-sendiri yang menutupi rasa orang lain, berupa
catatan-catatan lama yang senantiasa berpautan dengan diri-sendiri. Bila
catatan lama itu dipelajari, sehingga dihayati sebagai "itu bukan
aku", catatan lama itu mudah disisihkan dan tidak menutupi lagi. Jadi
catatan yang menutupi ialah catatan yang diakui "inilah aku". Wujud
ukuran keempat itu ialah sebagai berikut. Walaupun tidak disengaja sering orang
merasakan rasa orang lain atau rasa hewan, tanpa dirintangi oleh kepentingan
sendiri. Seperti orang tidak sampai hati untuk menyaksikan ayam disembelih,
meskipun ia suka makan dagingnya; tidak sampai hati karena ia dapat menghayati
rasa ayam yang tidak mau disembelih. Ada lagi suatu contoh tentang orang yang
dapat menghayati rasa hewan, yakni bila orang merasa gembira ketika mendengar
burung berkicau gembira. Kegembiraan burung itu menular kepada orang yang
mendengarnya, dan ini menyebabkan orang senang memelihara burung.
Bila orang mengerti bahwa tanpa
disengaja ia dapat menghayati rasa hewan, maka orang pun akan dapat
mempelajarinya dengan sengaja. Oleh karena sederhana maka rasa hewan ini lebih
mudah dipelajari, daripada rasa manusia yang sangat banyak seluk beluknya dan
liku-likunya. Maka sebelum berlatih untuk menghayati rasa orang, terlebih
dahulu berlatih untuk menghayati rasa hewan; dan setelah berhasil menghayati
rasa seekor hewan, lebih mudahlah orang berusaha menghayati dan mempelajari
rasa hewan lainnya. Misalnya menghayati rasa seekor "gangsir"
(semacam cengkrik) yang sedang "nyentir" (berbunyi), gembira dan
bangga. Hewan itu tengah membanggakan kesaktiannya. Demikian wujud ukuran
keempat. Menghayati rasa dengan sengaja dapat menjadi pengetahuan (Bhs. Jawa:
kawruh). Tetapi bila tidak disengaja, maka tidak akan menjadi pengetahuan.
Pengalaman yang menjadi ilmu pengetahuan ini mudah dimanfaatkan oleh yang
mengalami dan oleh orang lain. Rasa orang lain yang dipelajari timbul dalam
rasa orang yang mempelajari, pada awalnya seakan-akan adalah rasa orang yang
mempelajari tersebut. Bila rasa tadi dipelajari sehingga yang mempelajari
merasa "rasa ini bukan aku", ia akan dapat membedakan dan menyamakan
rasa itu dengan rasanya sendiri, yang juga "bukan aku". Demikian cara
merasakan rasa orang lain sehingga menjadi ilmu. Bila ukuran keempat ini makin
berkembang, orang dapat berusaha menghayati rasa kanak-kanak. Rasa kanak-kanak
ini, karena lebih sederhana daripada rasa orang dewasa, juga lebih mudah
dipelajarinya. Dengan mulai mempelajari rasa kanak-kanak, maka lebih mudahlah
kita kemudian mempelajari rasa orang dewasa. Kaum ibu dapat menghayati rasa
anak kecilnya. Tetapi penghayatan ini sering tanpa disengaja, sehingga
pengalaman itu tidak menjadi ilmu. Bagi anak kecil, proses hidup yang wajar
akan dialaminya, selalu menjadi idam-idaman. Misalnya, anak yang dapat
merangkak dalam beberapa bulan, tentu mengidamkan akan dapat berdiri. Maka anak
yang dapat berdiri pertama kali, merasa gembira dan bangga, bagaikan
"gangsir nyentir" kedua-duanya bangga akan kepandaian masing-masing.
Bila ukuran keempat makin berkembang, maka orang dapat menghayati rasa anak
yang telah dewasa, seperti jejaka atau gadis. Rasa jejaka yang mudah dipelajari
ialah ketika habis mandi kemudian bercermin dan membuat belahan rambutnya
dengan sisir. Ia pun merasa gembira dan bangga seperti "gangsir
nyentir", kedua-duanya sama memperlihatkan kepandaiannya.
Demikian pula rasa gadis yang mudah
dipelajari, ialah pada waktu ia sedang bercermin sambil menggosok giginya, ia
memandang bayangan cermin lebih dua puluh kali. Rasa gadis itu pun gembira dan
bangga seperti "gangsir nyentir" itu. Semakin ukuran keempatnya
berkembang, orang dapat menghayati rasa mempelai baru, yang merasa gembira dan
bangga karena memperoleh kepandaian baru, sama dengan "gangsir
nyentir". Bila ukuran keempat semakin maju lagi, orang dapat menghayati
rasa yang lebih rumit, tanpa dirintangi oleh kepentingan sendiri. Misalnya kita
mendengarkan seseorang berbicara, kita dapat menghayati rasa orang yang sedang
berbicara, walaupun rasa itu tidak diungkapkan dengan kata-kata. Sering dalam
mendengarkan orang berbicara, kita bersitegang (ada desakan, merasa tidak sabar
-- ed.) ingin segera mengutarakan tanggapan kita terhadap pembicaraan itu. Bila
kita setuju dengan pembicaraan itu, kita bersitegang ingin mengutarakan
ketidaksetujuan kita. Bila keinginan bersitegang itu berhenti/hilang dan
perhatian kita tetap pada rasa orang yang berbicara, maka kita dapat menghayati
rasa orang yang berbicara itu secara tenang. Bila ukuran keempat semakin
berkembang, pada waktu orang membaca buku atau karangan dalam surat kabar, ia
dapat menghayati rasa pengarangnya tanpa dirintangi oleh kepentingan sendiri.
Kepentingan sendiri yang merintangi itu adalah rasa suka atau benci terhadap
pengarangnya. Bila rasa suka-benci berhenti/hilang, sedang perhatiannya tetap
pada rasa si pengarang, ia dapat menghayati rasa pengarangnya. Demikian ukuran
keempat sebagai alat manusia untuk merasakan rasa orang lain. Alat ini jika
tidak cukup terdidik, tidak akan mencapai perkembangan yang semestinya. Adapun
cara pendidikannya ialah sebagai berikut ini.
*) "Kramadangsa" adalah
istilah ciptaan Ki Ageng Suryomentaram, yang dipergunakan untuk mengistilahkan
kepribadian seseorang dengan nama dan sifatnya yang khas.
Pendidikan
ukuran keempat
Pendidikan ukuran keempat ini
termuat dalam suatu semboyan: "Siapa mencari enak tanpa mengenakkan
tetangganya, sama dengan membuat tali untuk menjerat lehernya sendiri."
Ungkapan tersebut berarti "tak ada keenakan kecuali mengenakkan orang
lain". Jadi rasa enak itu hanya dapat diperoleh dengan jalan mengenakkan
orang lain, lain daripada itu tak ada. Enak tanpa mengenakkan orang lain,
adalah sebagai tali yang menjerat lehernya sendiri. Karena rasa enak yang
diperoleh dengan tidak mengenakkan orang lain, tercampur rasa tidak enak yang
lebih berat bobotnya, maka rasa itu tidaklah murni. Misalnya ketika seseorang
menikmati makanan, karena makanannya serba enak tidak seperti biasanya, maka
tentu timbul rasa tidak enak: "Wah, bagaimana supaya dapat makan makanan
yang serba enak serupa ini lagi. Bila keinginannya terlaksana, tentu muncul
rasa tidak enak lagi: "Wah, bagaimana supaya setiap hari dapat makan serba
enak serupa ini?" demikian seterusnya. Perbuatan mengenakkan orang lain
sering bersifat tidak mengenakkan orang lain.
Umpama seorang suami membelikan
pakaian untuk istrinya dengan maksud "supaya istrinya tidak cerewet".
Perbuatan itu sebenarnya bukan mengenakkan istrinya, tetapi menyuap istrinya
dengan pakaian. Oleh karena itu rasa enak hanya dapat diperoleh dengan jalan
mengenakkan orang lain. Karena dalam suatu hubungan orang dengan orang lain,
kedua belah pihak bersama merasa enak atau tidak enak. Jadi orang lain itu
tidak terpisah sebagai "kamu". Orang menganggap orang lain dalam
hubungan sebagai "kamu", karena mengira bahwa enak dan tidak enaknya
berat sebelah atau tidak berbarengan. Anggapan di atas disebabkan campurnya
peristiwa dan perasaan. Bila peristiwa dan perasaan terpisah, dapatlah
dimengerti bahwa rasa enak dan tidak enak timbul bersamaan dengan pihak yang
dihubungi. Umpama jika orang melihat orang lain terbentur kepalanya hingga
benjol maka ia tentu merasa tidak enak walaupun tidak mengalami benjol. Jadi
dalam peristiwa benturan di atas, yang bersamaan ialah rasanya tidak enak,
sedang yang berbeda ialah benjolannya di kepala. Semboyan "enak hanyalah
mengenakkan orang lain" didasarkan atas anggapan bahwa orang lain bukanlah
kamu. Sikap jiwa yang menganggap orang lain bukan kamu, mewajarkan tindakannya
mengenakkan orang lain, dan memungkinkannya melihat rasa enak atau tidak enak
orang lain.
Orang melihat rasa orang lain;
pertama-tama tentu saja di dalam hubungannya terdekat, yakni suami/istrinya.
Dan tatkala mulai melihat rasa pasangannya, timbullah rasa takut, karena
bertentangan dengan anggapannya. Ternyata ia menyusahkan pasangannya. Si suami
menyusahkan si istri, si istri menyusahkan si suami. Untuk dapat merasa bahwa
dirinya menyusahkan pasangannya, adalah lebih mudah daripada untuk mengerti.
Adapun untuk mengertinya sebagai berikut. Orang menderita susah disebabkan oleh
cacat pasangannya. Cacat-cacat itu ada tiga macam, yaitu cacat badan, hati dan
pikiran. Jadi dengan demikian cacat diri sendirilah yang menyusahkan
pasangannya. Apabila ia merasa tidak punya cacat, perasaan demikian itulah
sebagai cacatnya. Cacat ini adalah cacat pikiran yang besar, yaitu kebodohan,
karena ia tidak mengerti cacatnya sendiri. Di sini akan diberi contoh bagaimana
orang menyusahkan pasangannya yang disebabkan cacatnya. Misalkan seorang
laki-laki berusia empat puluh tahun memperistri seorang perempuan muda berusia
dua puluh tahun. Ia menyusahkan istrinya itu dengan usianya yang empat puluh
tahun itu.
Mengetahui diri sendiri yang
menyusahkan pasangannya, orang sering merasa takut. Takut ini mendorongnya
mencari dalih sebagai landasan rasa, seolah-olah ia membahagiakan pasangannya.
"Suami/istriku sekarang lebih senang daripada di waktu dulu. Dulu bila ia
ingin ganti baju, tidak mudah diperolehnya. Tetapi kini ia tinggal pakai saja,
sebab saya sudah membelikannya." Demikian alasan orang takut menyadari
bahwa dirinya menyusahkan pasangannya. Orang dengan mudah dapat berganti
pakaian ialah keenakan dalam penghidupan, tetapi bukanlah dalam perkawinan.
Padahal kesusahan si istri dalam perkawinan, disebabkan bersuami dengan orang
berusia empat puluh tahun. Membelikan pakaian tidak mengurangi usia. Jadi
bidang penghidupan dan perkawinan itu terpisah. Bila diputar balik kedudukannya
akan lebih jelas. Umpama laki-laki berusia empat puluh tahun itu dipersuamikan
oleh seorang wanita berusia enam puluh tahun, dan dibelikannya pakaian. Sudah
barang tentu laki-laki itu akan merasa tidak enak. Walaupun orang menyusahkan
dan disusahkan oleh pasangannya, namun perkawinannya sering berlangsung sampai
mereka tua. Itu karena masing-masing puas dalam saling menyusahkan. Kepuasan
semacam itu ialah puas dalam perhitungan untung-rugi, tetapi bukan dalam
perkawinan. Hal tersebut dapat dilihat pada waktu mereka bertengkar, kedua
pihak saling mengungkit-ungkit cacat masing-masing. Masing-masing menaikkan
nilainya sendiri sembari menurunkan nilai lawannya. Maka perkawinan dengan
landasan untung-rugi, tetap tidak memuaskan. Karena dalam perkawinan nilai
setiap orang tidak tetap dan berubah-ubah. Maka kepuasan dalam perhitungan
untung-rugi tercampur kekhawatiran.
Misalnya seorang laki-laki tua,
berpangkat tinggi, beristrikan seorang wanita muda berpangkat rendah. Suami-istri
itu kedua-duanya sama-sama merasa khawatir. Si suami khawatir turun pangkatnya,
si istri pun khawatir turun kemudaannya. Maka masing-masing berusaha agar tidak
menurun nilainya. Perkawinan dengan dasar untung-rugi, menimbulkan rasa
dijerumuskan atau menjerumuskan. Misalnya orang mempunyai cacat yang telah
diakuinya, bila ia memperoleh jodoh, ia merasa bahwa suami/istrinya terjerumus.
Sedang suami/istrinya pun sering menjerumuskannya. Maka dalam perkawinan di
atas masing-masing pihak saling menjerumuskan. Setelah orang merasa bahwa
dengan cacatnya ia menyusahkan pasangannya, timbullah hasrat minta maaf. Hasrat
minta maaf ini mengubah pandangan terhadap pasangannya dan inilah awal rasa
rukun dan damai. Sebelum rasa minta maaf timbul, maka laki-laki berusia empat
puluh tahun dalam contoh di atas, bila didamprat oleh istrinya segera membalas
mendamprat, sehingga terjadi saling damprat. Tetapi setelah ada rasa minta maaf
dan berubah pandangan, maka ia menganggap dampratan istrinya itu benar:
"Istriku mendamprat aku itu benar, karena ia kususahkan dengan usiaku yang
empat puluh tahun ini." Rasa demikian itu ialah lenyapnya rasa
"kamu". Jadi hilangnya rasa "kamu" karena mengerti
kesalahan sendiri ketika berhubungan dengan orang lain, dan merasa tidak enak.
Bila rasa menyusahkan istrinya itu dipelajari, laki-laki tua itu dapat
mengetahui bahwa istrinya berhati sabar. "Istriku ini sabar sekali. Ia
seorang wanita baru berusia dua puluh tahun, memperoleh suami tua empat puluh
tahun, semacam aku ini.
Kesalahanku demikian besar, tetapi
ia mendampratku hanya ringan saja. Andaikata aku yang mempunyai istri berusia
enam puluh tahun, dampratanku pasti tidak seringan ini." Padahal kesabaran
ialah rasa luhur dan indah. Maka keinsafan bahwa dirinya menyusahkan orang lain
dalam berhubungan, membuatnya melihat keindahan orang lain tersebut. Jadi
melihat rasa istrinya itu bersamaan dengan melihat cacat diri sendiri yang
menyusahkan istrinya. Pokok rasa menyusahkan di atas itu juga akan lahir dalam
rasa perincian. Pokok rasa menyusahkan ini menjadi bumbu dalam rasa menyusahkan
secara perincian. Yaitu yang dapat mengobarkan perselisihan hebat antara
suami-istri yang disebabkan karena hal-hal sepele saja, sehingga berakhir
dengan perceraian, walaupun kemudian rujuk kembali. Bila melihat cacat diri
sendiri yang menyusahkan pasangannya dalam hal-hal perincian, orang akan
mengerti kesalahan diri sendiri manakala merasa tidak enak dalam hubungan
dengan pasangannya. Kemudian mencari kesalahan diri sendiri itu sampai
menemukan. Demikian perkembangan ukuran keempat yang membuat orang senantiasa
mengetahui kesalahan diri sendiri dalam hubungan yang tidak enak dengan
pasangannya. Jadi ukuran keempat ini kecuali memungkinkan orang merasakan rasa
orang lain, pun memungkinkan orang mengetahui cacat diri sendiri yang pokok dan
yang perincian. Melihat demikian itu disertai melihat gambar (pola) manusia
tanpa cacat (sempurna). Jadi ukuran keempat membuat orang dalam berhubungan
dengan orang lain, selalu menggembalakan cacat diri sendiri dengan pedoman gambar
manusia sempurna.
Setelah pengetahuan rasa suami/istri
semakin berkembang, orang akan mengetahui rasa anak-anaknya. Ternyata anaknya
pun termasuk orang yang disusahkan oleh cacatnya. Jadi orang itu menyusahkan
anaknya dikarenakan cacatnya. Sebagai anak ia mesti merasa susah (celaka)
karena cacat orang tuanya. Misalnya merosotnya nilai anak itu setelah menjadi
jejaka atau gadis, dapat disebabkan karena orang tuanya. Dalam masyarakat ada
pendapat yang merintangi orang melihat bahwa dirinya menyusahkan anaknya.
Pendapat itu sebagai berikut: "Anak itu amat banyak berutang budi kepada
orang tuanya". Betapa banyaknya utang tersebut itu digambarkan dengan
ungkapan, bahwa jumlah bulu badan si anak, bila diwujudkan uang mas belum cukup
untuk membayar utang itu.
Pendapat di atas sering dipergunakan
orang tua untuk menekan anaknya. Ini berarti tambah hebat orang tua itu
menyusahkan anaknya. Tekanan-tekanan itu biasanya berupa minta dihormati,
disanjung dan diberi apa-apa, dengan semboyan "mikul dhuwur mendhem
jero" (memikul tinggi, menanam dalam - orang tua yang mati). Rasa inilah
yang sering menyebabkan pertengkaran antara orang tua dan anak. Setelah sadar
bahwa ia menyusahkan anaknya, maka pasti tumbuh dalam diri orang tua, rasa
minta maaf kepada anaknya. Ini berarti bahwa pandangannya terhadap anaknya
berubah. Bila anaknya tidak taat kepadanya, maka itu dianggapnya benar:
"Anakku nakal itu benar, karena telah kususahkan dengan cacatku."
Jadi rasa minta maaf itu datangnya serentak dengan melihat kesalahan dan cacat
diri sendiri. Setelah mengetahui rasa anaknya, maka orang dapat menghayati rasa
tetangganya. Ternyata tetangganya adalah orang yang disusahkan oleh cacatnya.
Jadi orang itu menyusahkan tetangganya karena cacatnya. Cacat-cacat yang kasar
lebih mudah diketahui, seperti tabiat suka mengambil barang orang lain. Tetapi
cacat-cacat yang halus lebih sukar diketahui. Maka biasanya melihat cacat
sendiri dimulai dari cacat-cacat yang kasar dulu. Perintang yang menghalangi
orang untuk melihat rasa tetangganya ialah kepentingan diri sendiri.
Kepentingan diri sendiri ini sering
digunakan untuk menilai jahat atau baiknya tetangga. Kalau perbuatan tetangga
itu sesuai dengan kehendaknya, maka dianggapnya baik dan kalau tidak,
dianggapnya jahat. Bila dalam hubungan dengan tetangga, kepentingannya itu
lenyap, yang berarti bahwa kepentingan itu bukanlah "aku", maka orang
dapat melihat rasa tetangga. Lenyapnya kepentingan sendiri memungkinkan ia
melihat bahwa tetangganya itu benar, sedang dirinya yang salah. Jadi menghayati
rasa tetangga berarti lenyapnya kepentingan diri sendiri dan mengetahui
kesalahan dan cacat diri sendiri. Melihat rasa tetangga ini disertai rasa minta
maaf pada tetangga. Orang akan beranggapan bahwa tetangganya benar dan diri
sendiri salah. Inilah rasa bersatu dengan tetangga, yang berarti tetangga itu
bukanlah "kamu". Bila sudah dapat bersatu dengan tetangga, maka orang
akan dapat bersatu dengan siapa pun yang dihubunginya. Jiwa seperti itu dapat
dikatakan sebagai jiwa bersatu (jiwa manunggal). Jadi jiwa manunggal ialah rasa
"bukan kamu" terhadap siapa yang dihadapinya.
Rasa
benar sebagai penghibur
Di sini ada kesukaran dalam
perkembangan ukuran keempat, yakni perkembangan rasa untuk menghayati rasa
orang lain. Merasa salah itu mengandung rasa berkorban amat besar bagi rasa
"merasa benar". "Merasa benar" inilah yang menjadi gangguan
dalam perkembangan ukuran keempat dalam pergaulan. Rasa salah ini rasanya tidak
enak, sebab rasa ini ialah rasa keinginan yang tidak tercapai, dan oleh karena
itu menimbulkan rasa susah. Bila disertai idam-idaman, maka rasa "merasa
salah" ini menjadi rasa celaka. Jadi "merasa salah" yang
disertai idam-idaman adalah rasa celaka. Untuk menutupi rasa celaka, biasanya
orang mencari pelipur atau penghibur. Padahal celaka itu hanyalah rasa/merasa
salah. Maka hiburan itu dalam rasa hanyalah rasa "merasa benar",
meskipun wujudnya bermacam-macam. Agar hal di atas menjadi jelas, perlu diberi
contoh. Orang yang baru saja habis berselisih dengan siapa pun, biasanya akan
membeberkannya pada teman-temannya. Pembeberan itu bermaksud mencari dukungan
supaya rasa benarnya diperkuat. Proses rasa itu sebagai berikut: Perselisihan
itu tidak enak rasanya.
Rasa tidak enak itu bersamaan dengan
rasa "merasa benar" yang disertai kegelisahan. Untuk menutupi rasa
tidak enak itu, orang mencari penghibur, dengan maksud untuk memperkuat rasa
benarnya. Jadi hiburan itu tidak lain adalah rasa bahwa dirinya benar. Sedangkan
ukuran keempat menyebabkan orang merasa salah dalam suatu hubungan yang tidak
enak. Maka berkembangnya ukuran keempat melenyapkan rasa diri-benar dalam
hubungan yang tidak enak. Bila sebelum ukuran keempat berkembang, ada orang
mengalami kesusahan tanpa mempunyai hiburan, maka kesusahan semacam itu tentu
saja hebat. Tidak heranlah kalau orang yang susah itu lebih suka menyalahkan
para tetangganya daripada merasa diri sendiri yang salah. Bila dalam hubungan
tidak enak itu, rasa "merasa salah" menjadi subur, timbullah rasa
tidak mungkin salah yaitu "Yang salah bukanlah aku, melainkan
Kramadangsa". Rasa yang tidak bisa salah ini senang dan bahagia. Timbulnya
rasa tidak mungkin salah, membuat orang dapat meneliti kesalahan diri sendiri
dan menghayati rasa orang lain. Dari sini mulai terbukalah dunia rasa yang
tadinya tertutup oleh kepentingan sendiri. Dunia rasa itu baru bagi yang baru
saja mengalami, maka memerlukan penyelidikan. Penyelidikan itu berupa
penelitian proses perkembangan rasa yang menunjukkan kesalahan diri sendiri.
Dalam penyelidikan itu terdapat dua
macam rasa, yaitu rasa tidak enak karena merasa salah dan rasa enak karena
mengetahui kesalahan yang sudah "bukan aku". Jadi bahan penyelidikan
itu ialah rentetan rasa salah. Di sini terdapat kesulitan berupa pendapat
seolah-olah ukuran keempat ini melemahkan jiwa orang-perorang. Pendapat ini
keliru, karena berkembangnya ukuran keempat terjadi setelah jiwa orang itu
kuat. Dan kekuatan jiwa orang-perorang disebabkan oleh kemajuan ukuran ketiga. Kemajuan
ukuran ketiga membuat jelas perbedaan antara diri sendiri dan orang lain. Ada
perkembangan rasa dari ukuran keempat namun tidak disengaja, seperti yang
digambarkan dengan ungkapan "Ikut-ikutan tanpa tahu permasalahannya"
(dari bhs. Jawa: "Atut grubyug ora weruh ing rembug"). Jalan rasa di
atas tanpa keinsafan dan tanpa ukuran ketiga. Maka perkembangan rasa itu
dilahirkan dari jiwa yang lemah.
Perkembangan
negara-negara
Kekurangan dalam perkembangan ukuran
keempat ini, sering menyebabkan perkembangan negara yang mula-mula membubung
hingga gilang-gemilang, kemudian kian merosot suram hingga jatuh. Maka
perkembangan negara-negara itu sebentar menjulang tinggi sebentar menurun
jatuh. Apakah perkembangan negara seperti di atas itu memang sudah sifat alam
yang tidak dapat diubah? Teranglah tidak demikian. Negara itu berdasarkan
pergaulan hidup para warga negaranya. Bila negara itu memuaskan para warganya,
negara itu makmur atau gilang-gemilang dalam rasa warganya. Keadaan demikian
itu tidak akan menimbulkan pemberontakan. Bila kepuasan para warganya tetap,
kegemilangan negara itu pun tetap. Kebalikannya, bila negara tidak memuaskan
para warganya, maka hal ini menyebabkan timbulnya pemberontakan. Jadi
pemberontakan itu timbul dari rasa tidak puas. Bila negara itu mengandung
hal-hal yang tidak memuaskan warganya, berarti negara itu mengandung benih
pemberontakan. Sedangkan pemberontakan ialah keruntuhan negara. Maka dalam
kegemilangannya, negara itu sudah mengandung keruntuhannya sendiri. Di sini ada
dua macam kepuasan, yakni kepuasan hidup dan kepuasan pada negara. Bila tidak
puas akan hidupnya, orang tidak puas akan segala sesuatu, juga pada negaranya.
Jadi puas atau tidaknya akan kehidupan ini, mempengaruhi puas atau tidaknya
pada negara. Kepuasan hidup tidak menyebabkan puas pada negara, karena kepuasan
hidup itu berbeda dengan kepuasan pada negara. Jadi tidak puas pada negara ada
dua macam sebabnya, yaitu dari orangnya dan dari negaranya. Jadi ada dua syarat
untuk negara agar tetap gemilang, yakni kepuasan hidup dan kepuasan pada negara
dari warganya. Kepuasan hidup timbul karena mengerti tujuan hidup, dan kepuasan
pada negara karena mengerti tujuan negara. Jadi tetap gemilangnya negara
tergantung dari pengertian warganya atas dua macam tujuan tadi.
Syarat
dan rintangan perkembangan ukuran keempat
Syarat perkembangan ukuran keempat
tidak lain ialah pengertian bahwa rasa enak dalam berhubungan dengan orang lain
hanya didapat dengan jalan menghayati rasa orang lain. Serupa halnya rasa enak
dalam hubungan dengan benda-benda hanyalah dengan jalan mengerti benda-benda
itu. Pengertian di atas menimbulkan ikhtiar supaya bisa menghayati rasa orang
lain. Ikhtiar yang timbul dari pengertian itu membuat orang tidak
henti-hentinya berusaha sehingga mencapai tujuan itu. Rintangan-rintangan yang
menghalangi perkembangan ukuran keempat ialah rasa luka. Pengalaman tidak enak
yang lampau, pedih di hati menjadi luka-hati.
Pada waktu berhubungan dengan orang
lain, luka itu merupakan rasa balas dendam. Maka luka itu menghalangi orang
merasakan rasa orang lain, karena luka itu menjadi kacamata dalam mengamati
orang lain. Jika seorang laki-laki pernah bercerai dalam perkawinan, ia
menanggapi wanita lain hatinya sama jahat seperti istri yang diceraikannya dan
sebagainya. Obat luka itu ialah pengertian, bahwa hubungan yang tidak enak itu
disebabkan oleh kesalahannya sendiri. Pengakuan salah itu mendorong orang
mencari kesalahan sendiri sampai bertemu. Bila si salah yang menyebabkan luka
itu ia temukan, orang kemudian tidak lagi bersatu dengan si salah, dan bisa
merasakan: "yang salah bukanlah aku". Bila si salah itu diteliti,
dapat diketahui bahwa dulu ketika orang itu melakukan hubungan, ia tidak
menghayati serta bertentangan dengan rasa orang yang dihadapinya, dan itu
disebabkan terhalang oleh kepentingan dirinya sendiri. Jadi jelaslah bahwa
kebutuhan diri sendiri ialah sumber dari pertikaian dan hubungan tidak enak.
Bila diteliti lebih jauh, dapat diketahui bahwa kebutuhan diri sendiri yang
menimbulkan sengketa itu, ialah kebutuhan yang telah terlepas keluar dari
pokoknya.
Seperti kebutuhan sandang yang
melebihi orang lain, ini sudah keluar dari pokok kebutuhan. Jadi ingin
berlebih-lebihan dalam hal sandang bukanlah kebutuhan pokok. Rasa ingin
berlebih-lebihan itu bila diteliti tentu sebagai berikut "bila terlaksana
akan senang selamanya, dan bila tidak terlaksana akan susah selamanya".
Padahal senang atau susah selamanya itu tidak pernah ada. Jadi dalam meneliti
kebutuhan sendiri ini, akan diketahui rasa sendiri yang mencari senang
selamanya. Rasa mencari senang selamanya inilah sumber luka. Luka ini
melahirkan sikap suka dan benci terhadap hubungannya. Maka suka dan benci ini
menghalangi orang menghayati rasa orang lain dalam berhubungan. Jadi mengobati
luka ialah meneliti rasa lukanya sendiri sampai pada rasa yang menyebabkannya. Bila
diteliti demikian, luka itu lenyap dan ini berarti orang merasa bahwa
"luka itu bukanlah aku". Jadi berlangsungnya luka itu disebabkan
pengertian bahwa yang luka itu aku. Bila salah satu luka lenyap, akan muncul
luka lain, dan bila luka ini pun diobati sehingga lenyap, pasti akan muncul
lagi luka baru lain.
Demikian seterusnya sampai semua
luka sirna. Bila luka lama lenyap, orang akan dapat melihat luka baru yang
mudah diobati, sebelum melahirkan tindakan yang membuat luka berikutnya. Bila
luka baru senantiasa diketahui dan diobati, maka orang dapat melihat proses
perkembangan rasa ketika menimbulkan luka. Keterangannya sebagai berikut. Marah
merupakan salah satu rasa yang melukai. Padahal bila melukai orang lain, diri
sendiri pun terkena luka. Jadi marah adalah rasa melukai pihak sana dan pihak
sini. Ketika si marah belum reda, luka baru belumlah terlihat. Tetapi bila si
marah reda, maka luka baru jadi terlihatan belumuran darah, berwujud
menyalahkan orang lain dan membenarkan diri sendiri. Bila kemudian luka itu
dibalut dengan rasa "merasa salah" maka luka baru itu tidak nyeri
lagi. Di sini ada kesulitan demikian. Orang marah, sering tidak mengerti bahwa
ia sedang marah. Sebaliknya, melihat orang lain marah adalah mudah. Maka
tindakan pertama untuk mengetahui marahnya sendiri (yang menimbulkan luka),
ialah menyamakan marah orang lain dengan marahnya sendiri, dan memisahkan rasa
marah dari tindakan yang berasal dari rasa marah.
Bila rasa marah diketahui sebelum
melahirkan tindakan, sehingga orang merasa "yang marah bukanlah aku",
marah itu berubah sifatnya, karena berganti unsurnya. Sebelum diketahui, marah
itu tercampur rasa merasa-benar; setelah diketahui, tercampur rasa
merasa-salah. Maka berkelahilah rasa merasa-benar dengan rasa merasa-salah. Bila
si merasa-salah menang, rasa marah lenyap dan tidak menimbulkan luka baru.
Demikianlah bekerjanya rasa yang membuat luka. Jadi jiwa marah itu adalah si
merasa-benar. Kecuali dari diri sendiri, orang pun menerima marah dari
lawannya. Tentu saja marah dari orang lain ini membangkitkan marah dalam diri
sendiri. Sebagaimana dijelaskan di muka, lenyapnya marah mesti disebabkan oleh
rasa merasa-salah. Ikhtiar memusnahkan marah sering keliru, yaitu usaha supaya
orang lain merasa salah. Ikhtiar semacam itu, bagaikan memadamkan rumah
terbakar dengan menyiramkan bensin. Peristiwa semacam itu terjadi pada setiap
perkelahian. Seharusnya dimulai dari merasa salah diri sendiri. Bila kesalahan
diri sendiri ditemukan, orang baru dapat menyatakan bahwa lawannya benar.
Dengan jalan membenarkan orang lain, dapat diredakan rasa marah orang lain.
Demikianlah cara mengobati luka, meredakan luka dan menolak serangan yang
melukai.
Latihan
Orang merasakan segala sesuatu
menggunakan kacamata rasa kebalikan, yang terdapat pada dirinya sendiri. Wujud
rasa-rasa yang saling bertentangan adalah seperti suka dan benci, untung dan
rugi, dan sebagainya. Rasa inilah yang merintangi orang sehingga tidak dapat
merasakan rasa orang lain. Sebagai contoh rasa suka dan benci; misalnya seorang
miskin membenci golongan kaya dan menyukai golongan melarat. Bila berjumpa
dengan orang kaya, rasa bencinya timbul yang terungkap dalam kata-kata
"orang kaya itu selalu mengejek". Orang miskin itu tidak dapat
menghayati rasa orang kaya. Bila berjumpa dengan orang melarat, rasa suka si
miskin tadi muncul verwujud rasa/kata-kata "orang miskin itu selalu
diejek, maka pantas dikasihani". Orang itu tidak dapat menghayati rasa
orang miskin. Demikian suka dan benci merintangi rasa orang lain.
Contoh mengenai rasa untung dan
rugi. Misalnya seseorang mendambakan kekayaan, bila menghadapi orang atau
perkara, ia bertanya, "Orang atau perkara ini menguntungkan atau merugikan
idam-idamanku." Yang merugikan ditentangnya dan yang menguntungkan
dimufakatinya. Rasa saling bertentangan ini tetap ada pada manusia dan
merintangi orang menghayati rasa orang lain. Maka usaha menghapuskan undangan
rintangan itu tidak dengan memusnahkan rasa itu. Karena bila orang berusaha
memusnahkannya, hasilnya malah melahirkan saling pertentangan yang baru. Umpama
orang bersamadi dengan tujuan melenyapkan rasa bertentangan itu. Hasilnya
hanyalah kebencian terhadap rasa saling bertentangan dan suka kepada bayangan
lenyapnya rasa itu. Rasa saling bertentangan itu ialah alat bantu untuk dapat
mengerti rasa orang lain. Tanpa alat bantu berupa rasa berlawanan itu, orang
tidak dapat menghayati rasa orang lain. Contohnya sebagai berikut. Umpama orang
menyebarkan "ilmu bahagia" (bhs. Jawa: kawruh beja), dan orang yang
menanggapi mencemoohkan ajaran itu. Tentu saja penyebar ilmu itu benci pada
orang tersebut. Bila kebencian itu diteliti dengan rasa merasa-salah, kebencian
itu buyar. Bila kebencian itu buyar, orang akan mengerti bahwa sesungguhnya ia
tidak menyebar "ilmu bahagia", melainkan ingin menundukkan orang
lain. Perkembangannya, orang itu akan mengerti bahwa pihak lawannya benar,
karena orang ditundukkan pasti merasa tersinggung dan menolaknya dengan cara
mencemoohkan "ilmu bahagia" tersebut. Latihan ini dapat pula
dijalankan dalam pekerjaan. Umpama berdagang: ketika sedang laris orang tidak
merasa susah, tetapi di waktu tidak laku, ia lalu merasa susah.
Bila kesusahan itu diteliti dengan
landasan rasa merasa-salah, dapatlah ditemukan kesalahannya sendiri. Yakni
berupa rasa suka untung dan benci rugi, yang merintangi rasa si pembeli. Bila
suka dan bencinya sendiri diketahui, orang akan mengerti rasa si pembeli yaitu
butuh harga murah dan barang baik. Kemajuannya orang itu ialah mengerti bahwa
jika ia tidak dapat mengadakan harga murah dan barang baik, maka ia tidak
sesuai dengan pekerjaan itu. Latihan ini dapat pula dijalankan di antara
keluarga. Umpama orang melihat anaknya tidak naik kelas dalam sekolahnya. Bila
ia memakai kacamata untung-rugi, ia tidak dapat menghayati rasa anaknya, maka
memarahinya. Bila rasa untung-rugi yang ada pada dirinya diketahui, ia akan
merasa salah dan menghayati rasa anaknya. Ternyata rasa anak sekolah yang tidak
naik kelas itu tidak enak, seakan-akan putus asa dan ingin bunuh diri.
Menghayati rasa anaknya itu, maka tentu saja orang segera berusaha
menghilangkan rasa putus asa dan tidak memarahinya. Bila latihan ini senantiasa
dijalankan dalam kehidupan sehari-hari ukuran keempat akan berkembang semakin
subur sehingga menimbulkan perubahan sifat jiwa manusia.
Sumber :
http://reocities.com/SouthBeach/Tidepool/1029/uk1.htm
No comments:
Post a Comment