Bagian
II
Rasa
Sama
Manusia itu mempunyai keinginan,
yang bersifat sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar
mungkret. Sifat ini yang menyebabkan rasa hidup orang sejak kecil sampai tua,
pasti bersifat sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar
susah. Siapa saja dan di mana saja rasa hidup orang tentu bersifat sebentar
senang, sebentar susah, karena semuanya mempunyai keinginan. Jika tidak
mempunyai keinginan, maka ia bukanlah manusia, dan tiap keinginan pasti
bersifat seperti di atas tadi. Jadi rasa hidup manusia sedunia ini sama saja,
yakni pasti sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah.
Sekalipun orang kaya, miskin, raja, kuli, wali (aulia), bajingan, rasa hidupnya
sama saja, ialah sebentar senang, sebentar susah. Yang sama adalah rasanya
senang-susah, lama-cepatnya, berat-ringannya. Sedang yang berbeda adalah halnya
yang disenangi/disusahi. Umpama orang kaya senang dapat mendirikan pabrik dan
orang miskin senang dapat mendirikan kendil (periuk nasi). Kesenangan kedua
orang tadi pada hakekatnya sama. Seorang raja merasa senang bahwa ia dapat
menyerbu sebuah kota lawannya, dan memboyong (membawa pulang) puteri. Sedangkan
seorang kuli kereta-api merasa senang bila dapat menjelajahi gerbong-gerbong
dan memboyong (mengangkat-angkat) koper.
Kedua orang itu sama di dalam merasa
senang. Seorang wali (orang sakti) merasa senang bila dapat terbang di angkasa,
sedangkan seorang bajingan merasa senang pula dapat mencopet barang,
kedua-duanya sama di dalam merasa senang. Tetapi seorang miskin sering
beranggapan bahwa orang kaya itu tidak pernah susah. Anggapan demikian itu
keliru, sebab diri orang kaya pun berisi keinginan yang bila tercapai pasti
mulur. Misalnya seorang kaya raya, memiliki perusahaan kendaraan bis. Walaupun
sudah mempunyai beratus-ratus bis, keinginannya tentu mulur. Ia tentu ingin
mempunyai kereta api. Setelah mempunyai kereta api, pasti keinginannya mulur
lagi, ia ingin mempunyai kapal laut. Sebelum keinginan mempunyai kapal laut
tercapai, tiba-tiba ia menghadapi masalah berdirinya perusahaan bis baru
sehingga ia merasa susah karena khawatir kalau disaingi. Maka orang kaya bagaimanapun,
rasa hidupnya tentu sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar
susah. Demikian pula seorang wali (aulia) sering dikira tidak pernah susah.
Perkiraan demikian itu keliru, karena wali pun berisikan keinginan. Misalnya
seorang wali yang sakti, seperti dalam dongengnya Sinuhun Kanjeng Sultan Agung
di Mataram. Ia raja dan juga wali dan ketika ia hendak pergi ke Banten dengan
jalan terbang, dan itu terlaksana, maka senanglah ia. Tetapi ketika hendak
pulang ke Mataram, juru tamannya meninggalkannya, maka rontoklah bulu sayapnya,
hingga susahlah ia. Jika wali yang bagaimana pun, rasa hidupnya pasti sebentar
senang, sebentar susah. Apabila mengerti bahwa rasa orang di dunia sama saja,
yakni sebentar senang, sebentar susah, bebaslah kita dari penderitaan neraka
iri hati dan kesombongan.
Iri
dan Sombong
Iri adalah merasa kalah terhadap
orang lain, dan sombong adalah merasa menang terhadap orang lain. Iri dan
sombong inilah yang menyebabkan orang berusaha keras, mati-matian, berjungkir
balik, untuk memperoleh semat (kekayaan), derajat (kedudukan) dan kramat
(kekuasaan). Hatinya berkata: "Sebaiknya kucari uang sebanyak-banyaknya
agar menjadi kaya seperti orang itu, dan jangan sampai miskin seperti orang
ini; agar bisa mengejek orang ini dan jangan sampai diejek orang itu. Dan
kuharus memperoleh derajat yang luhur, supaya mulia seperti orang itu, dan
jangan sampai hina seperti orang ini, sehingga terhormat seperti orang itu, dan
tidak diremehkan seperti orang ini. Harus kucari kramat (kekuasaan) yang besar,
supaya berkuasa dan dapat menaklukkan orang itu. Jangan sampai lemah dan
ditaklukkan orang ini." Begitu hebat usahanya, hingga ia merasa
"lebih baik mati jika tidak tercapai" Perasaan "lebih baik mati
jika tidak tercapai" itu bila sering terlintas dalam pikiran, dapat
membangunkan tekad yang aneh-aneh dan bertapa yang aneh-aneh. Orang yang sedang
dihinggapi iri-sombong ini cenderung mencari guru-guru atau dukun-dukun. Pada
guru atau dukun itu dimintanya petunjuk: "Bagaimana kyai, hidupku ini
mengapa senantiasa susah. Apakah memang nasibku harus dibenci orang? Bagaimana
baiknya?" Jika guru atau dukun itu mengatakan: "Sanggupkah anda
bertapa secara ditanam selama empat puluh hari? Itu memang berat tetapi bila
dikurniakan, tentu nasibmu akan lebih baik." Makin gelap pikirannya namun
karena terbenam dalam rasa iri-sombong, ia akan menyanggupinya: "Baiklah
saya bersedia ditanam, asal dapat kurnia.
Andaikata aku gagal dan mati, itu
pun justru lebih baik dari pada hidup sekali saja menjadi buah ejekan
tetangga-tetangga, kesana diejek, kesini diejek." Bilamana benar-benar
digali lobang untuknya dan ia memeriksanya serta menengok ke kanan ke kiri,
tiba-tiba ia merasa ngeri: "Kyai, jika penguburan diriku ditangguhkan saja
sampai setelah tanggal dua saja, bagaimana?" Bila orang mengerti bahwa rasa
orang sedunia itu sama, teranglah pandangannya. Kemudian ia tahu bahwa orang
yang ditanam selama empat puluh hari, pasti akan mati karena tidak dapat
bernapas. Mengingat bahwa jika dibungkam selama dua menit saja, orang sudah
kehabisan napas, bagaimanakah bila ditanam empat puluh hari? Idam-idaman orang
yang iri hati atau sombong ialah asal dapat melebihi orang lain dalam segala
hal. Dalam hal makanan, pakaian, perumahan, keluarga, anak-anak dan sebagainya,
ia ingin melebihi orang lain. Sedangkan orang-orang lain pun ingin menyaingi
atau melebihi orang lain lagi. Dari itu beribu-ribu, berjuta-juta manusia, bila
dijangkiti iri-sombong, tindakannya hanyalah satu sama lain bersaingan sehingga
semuanya jatuh ke bawah. Bila dalam usahanya untuk melampaui orang lain ia sering
tergelincir bahkan ia justru dilampaui orang lain, maka kesallah hatinya,
"Baik, sekalipun aku kalah asal saja tetanggaku itu hidupnya merana, maka
senanglah hatiku." Sedangkan tetangganya pun berusaha menyusahkan orang
lain.
Dari itu beribu-ribu, berjuta-juta
manusia bila dijangkiti iri-sombong, tindakannya hanyalah saling menyusahkan.
Bila dalam usahanya menyusahkan orang lain, sering berbalik menyusahkan diri
sendiri maka ia masih tinggal dapat mengumpat orang lain. Sedangkan orang lain
pun mengumpat orang lain lagi. Maka beribu-ribu, berjuta-juta manusia, bila
dihinggapi iri-sombong, tindakannya hanya saling mengumpat. Bahkan tiap kali
bercakap-cakap dengan suami/isterinya tidak lain hanya menjelekkan tetangganya,
sampai pada soal yang kecil-kecil, misalnya: "Sesungguhnya si anu itu kan
sudah payah betul. Lihat saja surat gadainya sudah daluwarsa; pohon-pohon
kelapanya sudah digadaikan dan ia hanya kebagian yang hanya cukup untuk
dimakannya sendiri." Padahal untuk melebihi seseorang saja sudah susah-payah,
memaksakan diri bertirakat sampai luar-batas, Nglawet (nama tempat bertapa),
Gua Langse (di pantai Parangtritis, Yogya) dan Gedancer (tempat bertapa). Bila
ia telah dapat melebihi seseorang, ia akan melihat bahwa ada orang lain lagi
yang melebihinya. Sedangkan jumlah orang yang melebihinya tidak terhitung
banyaknya. Apalagi untuk melebihi orang lain dalam hal perincian, pastilah
tidak akan berhasil, sekalipun sudah bertirakat segala. Misalnya orang melebihi
orang Iain dalam kekayaannya, tetapi kalah dalam kedudukannya, lalu berusaha
keras untuk melebihi kedudukannya. Kalau sudah melebihi kedudukannya, tetapi
kalah kekuasaannya, ia akan berusaha keras untuk melebihi kekuasaannya. Kalau
sudah melebihi kekuasaannya, tetapi kalah tampan wajahnya, ia akan berusaha
keras untuk melebihi ketampanannya. Misalkan ia sudah menang dalam hal
ketampanan wajahnya, tetapi kalah muda dalam usia, ia pun berusaha keras untuk
membuat dirinya lebih muda tampaknya. Karena dalam janggrungan, pesta dengan
tarian dimana penari wanita menari bersama dengan tamu laki-laki, orang-orang
muda dipersilakan masuk gelanggang untuk menari lebih dulu.
Akan tetapi bila ia lebih muda ia
pun berusaha keras untuk membuat dirinya lebih tua, karena orang-orang tua itu
dalam pesta-pesta makan selalu dipilihkan makanan yang serba empuk. Perasaan
orang yang irihati-sombong ini, tiap kali menyumpahi orang, jika tidak melebihi
tentu dilebihinya. Bila melebihi, dalam hatinya mengejek, "Lihat si Anu
itu akhirnya celaka, karena tidak mau percaya padaku, tidak mau meniru jejakku,
tentu saja celaka." Tetapi bila diungguli ia merasa penasaran: "Tidak
heran si Anu itu kaya, karena bukan main kikirnya. Bila ia buang air kedapatan
kacang kedele dalam kotorannya, maka kedele itu dikorekinya dari kotorannya."
Padahal tiap kali orang ke luar rumah pasti ia bertemu orang yang jika tidak
melebihi tentu dilebihinya. Maka hidup orang sedari kecil sehingga tua, bila
dihinggapi iri-sombong, hanya merasa mengejek dan diejek orang. Jika orang
hendak mengetahui rasa iri-sombong atau lebihnya sendiri, yang jelas dalam
pergaulan, maka hal itu dapat ia jalankan bila sedang nonton pasar malam,
menghadiri pesta perjamuan dan sebagainya.
Bila di situ orang merasa kalah baik
sarungnya ia akan meraba-raba ikat kepalanya dan berkata: "Ikat kepalaku
lebih baru." Bila ikat kepalanya dirasakannya masih kalah, diangkatlah
dadanya dan diperlihatkan bajunya "Bajuku memang baik." Bila ia
merasa kalah, diangkatlah sarungnya dan diperlihatkan celana dalamnya,
"Celanaku menang lebar." Bila toh masih merasa kalah, jengkellah ia,
maka dikeluarkan pipanya, "Tetapi pipaku menang panjang." Pandangan
orang yang iri-sombong terhadap semua keadaan dan kejadian di dunia,
terbalik-balik, tidak benar. Misalkan orang ingin memiliki sepeda, dari
kerasnya keinginannya ia merasa "Benar-benar aku menderita bila tidak
memiliki sepeda, kalau barang-barang lainnya tidak kuhiraukan." Maka jika
dijumpainya seorang mengendarai sepeda, apalagi jika pengendara itu tetangganya
yang dibencinya dan hendak dilebihinya, dan justru dirinya kini jatuh
dikalahkan maka begitu ia mendengar suara "kring" bel sepeda itu,
terkejutlah ia serentak. Pulang rumah dengan gelisah tidak bisa tidur, hatinya
penasaran dan dijelekkannya lawannya, "Tidak heran si Anu itu memiliki
sepeda, karena hidupnya tidak lumrah (lazim), bermuka tebal. Lain dengan aku
ini yang tidak tega hati menyikut orang." Demikian pandangan orang
terbalik-balik disebabkan rasa iri-sombong.
Benarkah orang mengendarai sepeda
itu sengaja membuatnya terkejut, gelisah? Tentu tidak! Dari sangat hebatnya
pandangan terbalik-balik itu sehingga membikin orang, sehabis memandang
perempuan cantik atau laki-laki tampan, maka membenci suami/isterinya. Hatinya
mengomel, "Bila kurasakan, suami/isteriku ini memang sungguh-sungguh jelek,
ya rupanya, ya jelek hatinya. Kalau sampai menjadi jodohku ini pasti tidak
melalui jalan sewajarnya. Dulunya pasti aku diguna-guna sehingga aku terpikat
kepadanya." Demikianlah terbalik-baliknya pandangan orang yang
iri-sombong. Padahal wanita cantik atau laki-laki tampan pastilah tidak sengaja
membikin ia benci pada suami/isterinya.
Tenteram
Apabila orang mengerti bahwa rasa
orang sedunia sama saja, bebaslah ia dari penderitaan neraka irihati-sombong,
kemudian bisa masuk sorga ketenteraman. Artinya dalam segala hal bertindak
seenaknya, sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, semestinya dan sebenarnya. Ia
akan dapat merasakan rasa hidup yang sebenar-benarnya, yaitu mesti sebentar
senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah. Sebab ketika
dihinggapi iri-sombong, orang tidak dapat merasakan rasa hidup yang sebenarnya.
Dalam hal makan misalnya, walaupun setiap hari makan, orang tidak merasakan
makanannya, tetapi yang dirasakan hanyalah makanan tetangga-tetangganya.
Kemudian mengeluhlah ia, "Kalau si Anu itu memang senang hidupnya,
makannya terjamin tiga kali sehari, sepiring penuh, lauk-pauknya enak-enak;
berganti-ganti telur daging. Lain dengan diriku ini serba celaka, makannya
tidak menentu, lauk-pauknya tidak lain tidak hanya garam sambel, paling mujur
tempe. Bila ingin daging ayam, hanya mendapat pekerjaan membubuti (mencabuti)
bulunya dan membersihkan isi perutnya." Bilamana bebas dari siksaan neraka
iri-sombong dan masuk ke dalam sorga ketenteraman, ia akan dapat menasihati
dirinya sebagai berikut, "Lho, bagaimana ini, orang mau makan kok
menggerutu.
Makannya enak atau tidak, jika enak
teruskanlah, jika tidak enak hentikanlah." Teranglah pandangannya, maka
mengerti mgksud tujuan orang makan yaitu enak (lezat) dan kenyang. Maksud
tujuan ini sudah tercapai, karena tiap kali merasa Iapar, makanlah segala apa
yang lazim dimakan orang, maka pasti enak, dan kalau banyak jumlahnya pasti
kenyang. Maka tenaga kaki-tangan berkelebihan untuk mencari makanan yang enak
serta mengenyangkan itu. Jadi rasa hidup yang sebenarnya sebentar senang,
sebentar susah, dalam hal makan pasti sebentar enak, sebentar tidak enak,
sebentar kenyang, sebentar lapar. Tetapi bila dihinggapi iri-sombong, orang
tidak memperdulikan enak atau kenyang, melainkan berusaha melebihi orang lain.
Jika hendak mengetahui iri-sombong atau keinginannya sendiri untuk melebihi
orang lain, yang jelas bila kebetulan sedang bersama orang banyak dalam kedai
makanan. Baru saja datang orang segera berteriak "Godog!" (minta
direbuskan suatu makanan). Kemudian baru saja masakan tadi disodorkan, ia sudah
minta lagi "Goreng! Cabenya biar banyak!" Bila dilihatnya tamu lain
memegang telur, ia pun mengambil ayam goreng, dipegangnya dengan kedua
tangannya. Jika toh masih merasa kalah, hatinya penasaran diangkat kakinya
keatas meja sembari bersiul, sekalipun tidak bersuara. Oleh karena dihinggapi
iri-sombong sehingga gelap pandangannya, maka walaupun sudah beranak-cucu,
orang tidak dapat merasakan rasa bersuami/isteri. Setiap kali menjumpai
suami/isterinya, yang dirasakan suami/isteri orang lain, "Si Anu itu
hidupnya memang enak lantaran mempunyai suami/isteri yang menyenangkan,
perhatiannya besar, lagi setia. Lain dengan diriku ini serba celaka, mempunyai
suami/isteri rewel sekali, sedikit-dikit marah, sedikit-dikit marah." Bila
sudah bebas dari siksaan neraka iri-sombong dan masuk sorga ketenteraman, orang
lalu dapat menasihati dirinya: "O, bagaimana ini, orang bersuami/isteri
kok mengomel. Sesungguhnya perkawinannya enak atau tidak, jika enak diteruskan,
jika tidak enak ya diceraikan saja." Maka tenanglah pandangannya dan
mengerti bahwa rasa bersuami/isteri itu nikmat. Bila ingin mengerti kenikmatan
bersuami/isteri, ialah pada waktu malam hari udara dingin, lagi turun hujan,
berdesak-desak dengan suami/isteri pun hangat. Bila pinggangnya kaku pun lantas
lemas, tidurnya pulas, bangun pagi merasa segar, bekerja penuh semangat.
Kebalikannya jika tidak
bersuami/isteri tidak demikian nikmat. Pada malam yang dingin, apalagi turun
hujan, badannya benar-benar dingin. berdesak-desak hanya dengan balai-balai,
pinggangnya kaku tetap kaku, ingin tidur tidak dapat memejamkan mata, dari
pukul sembilan hingga pukul tiga malam belum juga pulas karena memikirkan
suami/isteri orang lain. Maka pada duda, janda, jejaka, gadis, bila dijangkiti
iri-sombong, seringkali betah bergadang. Tetapi bila tidak, hanyalah sekali
tempo saja. Jadi rasa hidup yang sebenarnya ialah mesti sebentar senang, sebentar
susah, sebentar senang, sebentar susah. Dalam perkawinan tentu sebentar nikmat,
sebentar tidak nikmat, sebentar nikmat, sebentar tidak nikmat. Bila keluar dari
neraka iri-sombong dan masuk surga ketenteraman, orang akan bebas dari
kewajiban yang berat-berat. Kebiasaan orang itu mewajibkan dirinya sendiri:
"Orang hidup itu harus begini, makannya harus begini, pakaiannya harus
begini, rumahnya harus begini, tindak tanduk terhadap tetangga, suami/isteri
serta anak-anaknya harus begini." Semua keharusan-keharusan itu adalah
hal-hal yang berat sehingga tidak dapat dilaksanakan, karena bertentangan
antara kewajiban yang satu dengan kewajiban yang lain. Sebagai contoh, misalnya
orang menerima undangan dari tetangganya yang punya hajat pesta mengawinkan
anaknya. Ia akan mewajibkan dirinya untuk datang hadir dengan pakaian baru,
serta membawa uang cukup untuk menyumbang dan main kartu domino. Tetapi
keadaannya tidak memungkinkannya untuk mempunyai pakaian baru dan uang, oleh
karena itu ia merasa susah.
Hendak datang hadir takut, dan
hendak tidak hadir pun takut. Bila lepas dari neraka iri-sombong dan masuk
surga ketenteraman ia akan dapat menasihati dirinya "Lho, bagaimana
langkahku ini, mau datang takut, mau tidak datang pun takut. Apakah harus
setengah datang dan setengah tidak datang? Lalu bagaimana wujud tindakan
setengah datang dan setengah tidak datang itu? Apakah melongok-longok di depan
pagar saja, ataukah terus menerobos masuk ke dapur, membantu cuci piring?"
Dengan kesadaran di atas, pandangannya semakin terang: "Sudahlah, jika mau
datang, ya datang saja, jika tidak mau datang, ya tidak usah datang. BiIa tidak
punya pakaian baru, pakailah pakaian lama, hal itu sudah sebenarnya. Bila tidak
punya uang, maka tidak dapat menyumbang dan main domino, pun sudah selayaknya."
Jadi rasa hidup yang benar adalah sebentar senang, sebentar susah, yang dalam
hal menentukan kewajiban mesti suatu waktu begini, suatu waktu tidak begini.
Bila orang mengerti bahwa rasa hidup manusia sedunia sama saja, yakni pasti
sebentar senang, sebentar susah, bebaslah ia dari neraka iri-sombong dan
masuklah dalam surga ketenteraman. Kemudian dalam usahanya mencari kekayaan,
kedudukan, kekuasaan, dengan cara seenaknya, sebutuhnya, seperlunya,
secukupnya, semestinya, sebenarnya, yaitu hidup tenteram.
No comments:
Post a Comment