Sunan Kalijaga diperkirakan lahir
pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Sunan Kalijaga adalah seorang tokoh
Wali Songo yang sangat lekat dengan Muslim di Pulau Jawa, karena kemampuannya
memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi Jawa. Makamnya berada di Kadilangu,
Demak. Usia Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan
demikian Beliau mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478),
Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang
serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia
ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.
Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang
utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga adalah putra adipati
Tuban yang bernama Tumenggung Wilwatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga
antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman.
Berdasarkan satu versi masyarakat
Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan
Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali.
Mengenai asal usul beliau, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa beliau
juga masih keturunan Arab. Tapi, banyak pula yang menyatakan ia orang Jawa
asli. Van Den Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang
silsilahnya sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Sementara
itu menurut Babad Tuban menyatakan bahwa Aria Teja alias 'Abdul Rahman berhasil
mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini putrinya. Dari
perkawinan ini ia memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Menurut catatan Tome
Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu dari peguasa Islam pertama
di Tuban. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta.
Sejarawan lain seperti De Graaf membenarkan bahwa Aria Teja I ('Abdul Rahman)
memiliki silsilah dengan Ibnu Abbas, paman Muhammad.
Sunan Kalijaga mempunyai tiga anak
salah satunya adalah Umar Said atau Sunan Muria. Dalam satu riwayat, Sunan
Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan
mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Menurut cerita yang populer, sebelum menjadi Walisongo, Raden Said menjadi
seorang perampok yang selalu mengambil hasil bumi di gudang penyimpanan hasil
bumi. Hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang-orang yang miskin. Suatu
hari, saat Raden Said ke hutan, ia melihat seseorang kakek tua yang bertongkat.
Orang itu adalah Sunan Bonang. Karena tongkat itu dilihat seperti tongkat emas,
ia merampas tongkat itu. Katanya, hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada
orang yang miskin. Tetapi Sunan Bonang tidak membenarkan cara itu. Ia
menasihati Raden Said bahwa Allah tidak akan menerima amal yang buruk. Lalu
Sunan Bonang menunjukan pohon aren emas dan mengatakan bila Raden Said ingin
mendapatkan harta tanpa berusaha, maka ambillah buah aren emas yang ditunjukkan
oleh Sunan Bonang. Karena itu Raden Said ingin menjadi murid Sunan Bonang.
Raden Said lalu menyusul Sunan
Bonang ke Sungai. Raden Said berkata bahwa ingin menjadi muridnya. Sunan Bonang
lalu menyuruh Raden Said untuk bersemedi sambil menjaga tongkatnya yang
ditancapkan di tepi sungai. Raden Said tidak boleh beranjak dari tempat
tersebut sebelum Sunan Bonang datang. Raden Said lalu melaksanakan perintah
tersebut. Karena itu ia menjadi tertidur dalam waktu lama. Karena lamanya ia
tertidur, tanpa disadari akar dan rerumputan telah menutupi dirinya. Tiga tahun
kemudian, Sunan Bonang datang dan membangunkan Raden Said. Sejak itu nama
beliau dikenal sebagai Sunan Kalijaga. Beliau dikenal sebagai Mubaligh/Da’i
keliling, ulama besar, seorang Wali yang memiliki karisma tersendiri di antara
wali-wali yang lain, paling terkenal di berbagai lapisan masyarakat apalagi
kalangan bawah. Ia dapat dikatakan sebagai ahli budaya, misalnya: pengenalan
agama secara luwes tanpa menghilangkan adat-istiadat/kesenian daerah (adat lama
yang ia beri warna Islami), menciptakan baju Taqwa (lalu disempurnakan oleh
Sultan Agung dengan destar nyamping dan keris serta rangkaian lainnya),
menciptakan tembang Dandanggula dan Dandanggula Semarangan, menciptakan lagu
Lir Ilir yang sampai saat ini masih akrab dikalangan sebagian besar orang Jawa,
pencipta seni ukir bermotif daun-daunan, memerintahkan sang murid bernama Sunan
Bayat untuk membuat bedug di Masjid guna mengerjakan sholat jama’ah. Acara
ritual berupa Gerebeg Maulud yang asalnya dari tabligh/pengajian akbar yang
diselenggarakan para Wali di Masjid Demak untuk memperingati maulud nabi,
menciptakan Gong Sekaten bernama asli Gong Syahadatain (dua kalimah syahadat)
yang jika dipukul akan berbunyi dan bermakana bahwa mumpung masih hidup agar
berkumpul masuk agama Islam, pencipta Wayang Kulit diatas kulit kambing,
sebagai Dalang (dari kata dalla’ yang berarti menunjukkan jalan yang benar)
wayang kulit dengan beberapa cerita yang ia senangi yaitu antara lain Jimat
Kalimasada dan Dewa Ruci serta Petruk Jadi Raja dan Wahyu Widayat, serta
sebagai ahli tata kota seperti misalnya pengaturan Istana atau Kabupaten dengan
Alun-alun serta pohon beringin dan masjid.
Sebagai penutup, kami tuliskan teks tembang
Lir Ilir, sebagai berikut : Lir ilir lir ilir tandure wis sumilir, Tak ijo
royo-royo dak sengguh penganten anyar, Cah angon cah angon penekno blimbing
kuwi, Lunyu-lunyu penekno kanggo masuh dodotiro-dodotiro, Dodotiro-dodotiro
kumitir bedhah ing pinggir, Domono jlumotono kanggo seba mengko sore, Mumpung
jembar kalangane mumpung padhang rembulane, Yo surako surak horee. Suka atau
tidak suka, pada kenyataannya Sunan Kalijaga dapat dikatakan sebagai gurunya
atau dewanya Islam bagi besar orang sebagian Jawa. Dalam dakwah, ia punya pola
yang sama dengan Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik
berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih
kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada
budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang
pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil
mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan
sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga
terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang,
gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk
ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah
menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan
Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja"). Lanskap
pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini
pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga. Metode dakwah tersebut sangat efektif.
Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di
antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta
Pajang.
Sumber diolah dari
"http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Kalijaga" dan
http://www.karatonsurakarta.com/sunan%20kalijogo.html
No comments:
Post a Comment