Ceramah Ki Ageng Suryomentaram ini
disampaikan beliau dalam pertemuan Junggring Salaka Agung ke IX di Semarang.
pada tahun 1956
Filsafat ialah pengetahuan tentang
segala apa yang ada. Filsafat memberi jawaban atas pertanyaan "Apakah
hakikatnya segala yang ada di atas bumi dan di kolong langit?" Segala apa
yang ada ini dapat dibagi dua bagian, yaitu benda hidup dan benda tidak hidup.
Benda tidak hidup berupa cangkir, piring, meja, kursi, batu dan sebagainya.
Benda hidup berupa tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia. Jadi segala apa yang ada
hanya terdiri dari benda hidup dan benda tidak hidup, selain itu tidak ada.
Benda tidak hidup tidak bergerak, kecuali bila digerakkan oleh benda lain.
Sedangkan benda hidup bergerak walaupun tidak digerakkan oleh benda lain.
Dengan demikian maka hidup itu bersifat gerak pribadi (dapat bergerak sendiri).
Gerak dan diam ialah sifat laku (bhs. Jawa: lelampahan). Diam ialah tetap pada
tempatnya, dan bergerak ialah berpindah tempat, walaupun yang bergerak hanya
bagian benda itu. Jadi hidup itu bersifat gerak. Yang bergerak ialah satu
persatu benda jadi. Wujud satuan benda jadi ialah hewan, manusia, meja, kursi
dan sebagainya. Wujud manusia sebagai benda disebut badan (raga). Raga manusia
senantiasa dapat bergerak sendiri. Kalau raga itu tidak dapat lagi bergerak
sendiri, maka raga itu disebut mati. Jadi mati ialah tidak lagi dapat bergerak
sendiri. Kalau kita mengerti bahwa hidup ialah laku, maka orang bebas dari
anggapan bahwa hidup ialah benda. Anggapan bahwa hidup itu benda, menimbulkan
persoalan yang berupa pertanyaan sebagai berikut, "Bila orang telah
meninggal, maka akan ke manakah hidupnya?". Teranglah pertanyaan ini
menanyakan tempat benda, yaitu si hidup yang dianggapnya benda. Yang memerlukan
tempat ialah benda, tetapi gerak tidak memerlukan tempat. Misalnya duduk ialah
suatu gerak, dan oleh karena itu tidak memerlukan tempat. Yang membutuhkan
tempat ialah raga yang duduk; seperti halnya si Dadap duduk di kursi. Jadi yang
memerlukan tempat di kursi ialah raga si Dadap. Laku dapat dibagi-bagi menurut
artinya. Bagian-bagian laku merupakan rentetan kejadian yang saling
kait-mengait dalam hubungan sebab dan akibat, yang berlangsung di dalam waktu
(jaman). Maka laku memakan waktu. Benda hidup dapat dibagi menjadi tiga
golongan, yakni tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Benda hidup yang dinamakan
manusia, ia merasa hidup. Jadi manusia mempunyai rasa hidup. Rasa hidup inilah
yang mendorong manusia bergerak. Di sini perlu diselingi keterangan, bahwa
tindakan manusia itu terdorong oleh perasaannya. Orang mencari minum karena
terdorong oleh rasa haus, dan orang ingin tidur karena terdorong oleh rasa
kantuk. Bahkan bukan saja gerak manusia, tetapi gerak semua benda hidup,
tumbuh-tumbuhan atau hewan, juga didorong oleh rasa hidup.
Karena gerak benda hidup terdorong
oleh rasa hidup, maka maksud gerak semua benda hidup ialah supaya hidupnya
berlangsung terus. Maka rasa hidup menolak kematian. Sebagai contoh, misalnya
pohon mangga itu bergerak, dan akar-akarnya masuk ke dalam tanah mencari
makanan, tentu dengan maksud agar hidupnya berlangsung walaupun tidak disadari.
Setelah besar (dewasa) pohon mangga itu tidak berhenti di situ saja, tetapi
tentu akan berbunga, dan bunga ini menjadi putik yang kemudian menjadi buah.
Buah mangga itu setelah masak akan jatuh di tanah, yang kemudian tumbuh menjadi
pohon mangga lain lagi. Maka bila pohon yang tua mati, yang muda akan
menggantikan hidupnya. Keadaan seperti di atas yang melangsungkan jenis pohon
mangga, karena pohon muda itu pun bila sudah dewasa akan berbuah, dan demikian
seterusnya. Jadi selain melangsungkan hidupnya, gerakan pohon mangga itu pun
melangsungkan jenisnya. Di sini jelaslah bahwa gerak pohon mempunyai dua macam
maksud, yakni agar dapat melangsungkan hidupnya dan melangsungkan jenisnya.
Demikian juga maksud gerak hewan dan manusia. Maka maksud gerak bagi pohon,
hewan dan manusia ialah sama, yaitu supaya dapat melangsungkan hidup dan
jenisnya. Gerak manusia yang ditujukan untuk melangsungkan hidupnya seperti
makan, berpakaian, bertempat tinggal (bhs. Jawa: pangan, sandang, papan)
disebut memenuhi kebutuhan hidup (bhs. Jawa: pangupa jiwa). Bila tidak makan,
manusia akan menjadi sakit, dan kemudian mati. Maka makan ialah kebutuhan
hidup. Kegunaan pakaian ialah untuk melindungi badan dari hawa panas atau
dingin. Karena bila terserang panas atau dingin yang hebat, badan menjadi
sakit, dan kemudian mati. Maka pakaian merupakan kebutuhan hidup. Kegunaan
tempat tinggal ialah untuk beristirahat atau tidur. Bila tidak tidur orang
menjadi sakit, dan kemudian mati.
Maka tempat tinggal atau perumahan
merupakan kebutuhan hidup. Gerak manusia yang ditujukan untuk melangsungkan
jenisnya berupa perkawinan. Bila tidak kawin, orang tidak dapat beranak-cucu,
hingga habislah jenis manusia. Maka perkawinan merupakan kebutuhan hidup.
Demikianlah, "pangupa jiwa" dan perkawinan menjadi kebutuhan hidup.
Bila kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi maka orang akan mati atau tidak akan
berketurunan. Oleh karena itu, bila kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi, orang
merasa senang dan bila tidak, orang merasa susah. Maka rasa hidup ini
menimbulkan takut mati dan takut tidak berketurunan, dan mendorongnya untuk
menghindari apa yang dapat menyebabkan ia mati atau tidak mempunyai keturunan.
Penyakit, kelaparan, ketelanjangan, tidak bertempat tinggal dan sebagainya,
merupakan sebab kematian. Yang menyebabkan tidak berketurunan, ialah tidak
dapat jodoh, perceraian, mandul, dan sebagainya. Jadi takut mati dan takut
tidak mempunyai keturunan, menurut rasa hidup ialah wajar. Bila jiwa mengalami
kelainan, sering orang melakukan pantang makan, pantang tidur, pantang
istri/suami dan sebagainya. Kelainan jiwa ini disebabkan karena keinginan
memperoleh keunggulan dalam suatu hal (bhs. Jawa: linangkung) atau karunia dari
Yang Mahakuasa.
Menolak kebutuhan hidup demikian itu
tidak wajar. Menolak kebutuhan hidup menimbulkan perang batin. Padahal perang
batin mengakibatkan penderitaan. Maka menolak kebutuhan hidup berarti mengalami
penderitaan jiwa (bhs. Jawa: cilaka). Bagaimanakah perang batin itu timbul?
Seseorang yang pantang makan tentu akan merasa lapar. Di situ rasa ingin makan
bertentangan dengan rasa pantang makan, maka terjadilah perang batin. Dalam
perang batin kadang-kadang diri sendiri menjadi "yang ingin makan",
dan kadang-kadang menjadi "yang pantang makan". Ketika menjadi
"yang ingin makan", rasanya "aku ingin makan". Ketika
menjadi "yang pantang makan", rasanya "aku pantang makan".
Akulah yang menguasai nafsuku, dan yang ingin makan ialah godaan. Seolah-olah
dirinya sendiri pecah menjadi dua. Demikian kebingungan seorang bila timbul
perang batin, sehingga sangat sukar untuk mengatakan yang manakah dirinya
sendiri. Apabila orang menyadari kelainan dalam jiwanya, yang berupa
keinginannya memperoleh keunggulan atau karunia, perang batin itu sirna.
Lenyapnya perang batin, membangunkan rasa tenteram.
Kebudayaan
Semua gerak tumbuh-tumbuhan, hewan
dan manusia, didorong oleh rasa hidup dengan maksud yang sama, yakni supaya
berlangsung hidupnya dan jenisnya. Tetapi cara manusia bergerak untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya berbeda dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan. Cara bergerak
tumbuh-tumbuhan dan hewan berlangsung tanpa pengertian, karena mereka tidak
memiliki pikiran. Sedangkan cara bergerak manusia berlandaskan pengertian,
sebab manusia memiliki pikiran. Jadi perbedaan antara manusia dan benda hidup
yang bukan manusia, hanya terletak pada kenyataan, bahwa yang satu mempunyai
pikiran, sedang yang lain tidak mempunyainya. Jika seseorang memakai pikirannya
untuk berpikir, maka ia akan mendapat pengertian. Jumlah pelbagai pengertiannya
ini merupakan ilmu. Maka tindakan manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya
perlu berlandaskan ilmu, karena tanpa ilmu ia tidak dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya. Benda hidup lain, kecuali manusia, dapat bertindak untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya tanpa ilmu. Misalnya telur itik yang menetas langsung
menjadi anak itik. Anak itik itu walaupun baru sehari umurnya, bila terjun ke
air sudah pandai berenang. Sedang manusia yang belajar berenang dalam tiga
bulan lamanya, masih kalah pandainya dari anak itik.
Dalam usahanya mencari makanan, anak
itik tidak pernah mendapat didikan dari induknya, namun ia tidak pernah salah
menelan pecahan kaca. Demikianlah tindakan hewan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya
dapat terlaksana tanpa pengertian. Sebaliknya bayi berusia satu tahun, bila
tidak dijaga oleh pengasuhnya sering menelan batu kerikil, karena ia tidak
mengerti. Tetapi karena bayi itu anak manusia, seharusnyalah ia mengerti. Maka
supaya tidak bertindak keliru bayi itu perlu diawasi oleh pengasuhnya. Karena
itu manusia memerlukan pendidikan. Jadi tindakan hewan untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya tidak bisa keliru. Seekor kucing tidak pernah keliru
menerkam ketimun, sedang manusia bisa salah menelan asap tembakau. Kambing
tidak pernah menggantung diri, tetapi manusia acapkali menggantung diri. Hewan
tidak pernah menyimpang dari maksud tujuan gerak hidup, tetapi manusia bisa
menyimpang dari maksud tujuan gerak hidup. Dari itu bila manusia bertindak tanpa
ilmu pengetahuan, maksud tujuan tindakannya tidak akan tercapai. Umpamanya
orang menanak nasi, bila tanpa pengetahuan, berasnya tidak bisa menjadi nasi.
Bagi manusia, ilmu pengetahuan ialah syarat mutlak untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya.
Dalam masyarakat terdapat banyak
ilmu pengetahuan guna mencukupi kebutuhan masyarakat dan perorangan.
Macam-macam ilmu itu ialah ilmu pertanian, peternakan, pertukangan, sosial,
ekonomi, perkawinan, politik, filsafat, ilmu jiwa dan sebagainya. Jumlah semua
ilmu yang ada di masyarakat itu dinamakan kebudayaan. Dengan semua ilmu itu,
lahirlah barang-barang buatan manusia, sebagai alat untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya. Karena pikiran bila diolah bisa mengalami kemajuan, maka cara manusia
untuk mewujudkan barang-barang bisa mengalami kemajuan juga. Dalam usaha
memenuhi kebutuhan makan, manusia mula-mula mengambil hasil hutan dan memburu
hewan, kemudian maju dengan bercocok tanam dan memelihara ternak. Demikian pula
dalam hal pakaian, dari hanya memakai kulit kayu atau kulit hewan yang
diikatkan pada badannya, kemudian maju memintal benang dan menenun kain. Dalam
hal tempat tinggal, dari hanya berdiam di gua, kemudian maju membuat rumah
bambu, rumah kayu, rumah gedung dan seterusnya. Sebaliknya karena hewan tidak
mempunyai pikiran, maka alat-alatnya tidak mengalami kemajuan. Misalnya
pembuatan sarang burung tempua (manyar). Walaupun sarang itu indah mungil,
tetapi seratus tahun yang lampau dan seratus tahun yang akan datang, sarang itu
tetap serupa. Ada sejenis hewan yang dianggap lebih maju dari jenis lainnya,
tetapi karena alat-alat jenis hewan ini pun tidak mengalami kemajuan, maka apa
yang dihasilkan oleh hewan ini tiada pula mengalami kemajuan. Ada lagi
perbedaan antara manusia dan hewan, yakni dalam bidang kesenian.
Manusia membutuhkan keindahan yang
dirasakan melalui pancainderanya. Kebutuhan tadi diwujudkan dalam bentuk barang
yang dapat memenuhi kebutuhan jiwa melalui pancaindera. Barang itu berwujud
pelbagai macam seni rupa, seni bangunan, seni gerak dan seni tari yang indah,
seni suara, dan macam-macam seni lainnya yang dapat dinikmati melalui hidung,
lidah dan alat peraba. Ada lagi perbedaan antara manusia dan hewan dalam hal
rasa, yang disebabkan ada dan tidak adanya pikiran. Hewan hanya mempunyai rasa
senang dan susah, tetapi tidak mempunyai rasa bahagia dan derita. Sedang
manusia, selain mempunyai senang dan susah, juga mempunyai rasa bahagia dan
derita. Karena manusia mempunyai pikiran, maka ia mempunyai cita-cita. Bahagia
bila cita-citanya tercapai dan derita bila cita-citanya tidak tercapai.
Cita-cita inilah yang dapat menyelewengkan tindakannya dari tujuan hidup, yaitu
kelangsungan hidup pribadinya dan jenisnya. Bila cita-citanya gagal, orang
sering bersikap nekad, bahkan bersedia untuk bunuh diri, Ini jelas bertentangan
dengan tujuan hidup. Jadi cita-cita itu menyebabkan orang tergelincir dari rel
tujuan hidup. Apabila orang mencita-citakan sesuatu, tetapi tidak mengerti cara
bagaimana mencapainya, sering ia berpantang tidur atau berpantang hubungan
istri/suami.
Padahal semua yang dipantangnya
merupakan kebutuhan hidup. Maka pantangan tadi ialah tindakan menyimpang dari
jalan tujuan hidup. Dalam masyarakat terdapat banyak macam ilmu untuk mencukupi
kebutuhan hidup. Jumlah ilmu itu dinamakan kebudayaan. Jadi dalam masyarakat
terdapat kebudayaan. Masyarakat dunia terdiri dari bangsa-bangsa. Bangsa-bangsa
itu mendiami tanah yang berbeda-beda keadaannya, ada tanah datar dan ada tanah
pegunungan; ada yang hawanya dingin dan ada yang panas. Karena itu, alat-alat
untuk mencukupi kebutuhan hidup pun berbeda bagi masing-masing bangsa.
Perbedaan alat-alat itulah yang menyebabkan corak kebudayaan masing-masing
bangsa berbeda-beda pula. Perbedaan corak kebudayaan ini sering dipakai sebagai
senjata untuk saling mengejek. Ejek-mengejek ini kerap kali menimbulkan
peperangan. Jadi tiap-tiap bangsa, masing-masing mempunyai kebudayaan yang
berbeda-beda. Ada yang terbelakang dan ada yang maju. Pada umumnya, terbelakang
atau majunya kebudayaan suatu bangsa, digunakan sebagai ukuran bagi rendah atau
tingginya derajat bangsa itu. Maka bangsa yang tinggi kebudayaannya, dianggap
tinggi derajatnya. Bagian-bagian kebudayaan suatu bangsa, ada yang terbelakang
dan ada yang sudah maju. Suatu bangsa, yang cara menggarap sawahnya dengan
bajak ditarik hewan, dianggap lebih rendah daripada bangsa lain yang cara
menggarap sawahnya dengan mesin. Jadi bajak ditarik hewan, dianggap lebih
rendah dari mesin, dalam arti kebudayaan. Bangsa yang bagian kebudayaannya
rendah, dapat belajar dari bangsa lain. Sedang bangsa yang bagian kebudayaannya
tinggi, dapat menyumbang pada bangsa lain. Demikianlah bangsa-bangsa dapat
saling memperoleh faedah dalam kebudayaan, dan ini memungkinkan terwujudnya
kesejahteraan bersama lahir dan batin.
Masyarakat
Ada dua cara hidup hewan, yang satu
menyendiri seperti tokek, gangsir (semacam cengkerik), dan yang lain
berkelompok seperti lebah dan sebagainya. Cara hidup demikian sesuai dengan
hukum alam, karenanya tidak dapat diubah. Lebah jika dipisahkan pasti mati.
Sebaliknya gangsir, jika dikelompokkan pasti mati. Sebab dalam kelompok,
gangsir selalu berkelahi. Maka bila diubah cara hidupnya, hewan tersebut tidak
dapat melangsungkan hidup pribadinya dan jenisnya. Manusia termasuk jenis yang
cara hidupnya berkelompok, jadi serupa dengan jenis lebah. Dalam kelompok,
orang saling memberi dan mengambil kefaedahan masing-masing. Tindakan tersebut
dinamakan gotong royong atau kemasyarakatan. Adapun cara bertindak untuk saling
memberi dan mengambil faedah masing-masing ialah sebagai berikut: Misalnya
tukang besi, pekerjaannya tidak lain hanya memukuli besi.
Namun ia makan nasi walaupun tidak
menanam padi. Ini hanya mungkin karena adanya saling memberi dan mengambil
faedah masing-masing, antara pak tani dan si tukang besi. Tukang besi
memperoleh padi dari pak tani dan pak tani memperoleh pacul dari tukang besi.
Saling memperoleh kefaedahan di atas, memungkinkan masing-masing pihak merasa
cukup dan enak. Ada contoh lain yang lebih jelas lagi. Misalnya ada nasi
sepiring, orang bertanya, "Siapakah yang mengadakannya?" Bila dijawab
bahwa pak tanilah yang mengadakannya karena ia yang menanam padi, maka jawaban
itu kurang tepat; karena pak tani tidak dapat menanam padi tanpa pacul, garu
dan bajak. Bajak dibuat oleh tukang kayu. Karena itu tukang kayu pun turut
mengadakan sepiring nasi itu. Bajak tanpa mata-bajak tidak dapat dipakai.
Karena mata-bajak dari besi itu dibuat oleh tukang besi, maka tukang besi pun
turut mengadakan sepiring nasi itu. Apabila pembagian aliran air untuk sawah
tidak teratur, maka padi tidak akan tumbuh. Karena itu, pengatur (bhs. Jawa:
ulu-ulu) aliran air pun turut mengadakan sepiring nasi itu. Apabila di antara
petani timbul perselisihan dan tidak ada yang mendamaikan, maka mereka tidak
sempat menanam padi. Dalam perselisihan itu jaksalah yang mendamaikan mereka.
Ini berarti, jaksa pun turut mengadakan sepiring nasi itu.
Apabila tidak diatur pamong praja,
pak tani akan saling berebut batas dan pematang (bhs. Jawa: galengan), sehingga
pak tani tidak sempat menanam padi. Jadi pamong-praja pun turut mengadakan
sepiring nasi itu. Demikian pula halnya dengan polisi dan tentara yang menjaga
keamanan dan pertahanan, mereka pun turut mengadakan sepiring nasi itu. Dengan
demikian maka pekerjaan masing-masing orang itu saling berhubungan sehingga
setiap orang berhubungan dengan semua orang. Hubungan semacam itu disebut
masyarakat. Agar hidup manusia dapat berlangsung, caranya ialah dengan jalan
bermasyarakat. Bila hidup menyendiri, yakni tanpa berhubungan dengan orang
lain, orang tentu mati, karena tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Jadi
hidup ialah berhubungan. Apabila menyendiri, orang ingin memakai celana saja
tidak mungkin, karena ia harus menanam kapas sendiri, memberantas hama kapas
sendiri, memintal dan membuat alat pintal sendiri, membuat paku, menenun dan
membuat alat tenun sendiri, yang kesemuanya itu tentu tidak mungkin. Jadi,
nilai pekerjaan setiap orang bagi masyarakat ialah sama. Pekerjaan memotong
rumput dan membikin arang, pekerjaan sebagai polisi, tentara atau pamong praja,
sama nilainya bagi masyarakat. Karena bila salah satu macam pekerjaan tidak
lagi berhubungan dengan masyarakat, maka roda masyarakat tidak dapat berputar
secara beres.
Andaikata tidak ada orang membuat
arang, tukang besi tidak akan dapat membuat pacul, pak tani tidak dapat menanam
padi, dan semua orang kelaparan. Demikian halnya dengan lokomotif, yang tidak
akan dapat berjalan bila dicabut sebuah sekrupnya. Demikianlah ketergantungan
satu orang dengan yang lain. Apabila seseorang mengerti bahwa kelangsungan
hidupnya tergantung pada masyarakat, maka orang akan mengerti bahwa apabila ia
mengganggu orang lain, ia akan mengganggu masyarakat. Mengganggu masyarakat
berarti pula mengganggu diri sendiri. Jadi mengganggu orang lain sama dengan
mengganggu diri sendiri. Jadi jelaslah bahwa masyarakat ialah diri sendiri.
Karena itu, membangun masyarakat ialah membangun diri sendiri, dan membangun
diri sendiri ialah membangun masyarakat. Kesadaran akan inilah yang disebut
rasa bersatu dengan masyarakat.
Pergaulan
Cara hidup berkelompok ini
mengharuskan orang bergaul dengan orang lain. Selain bergaul dengan orang lain,
orang pun bergaul dengan benda-benda. Maka dalam pergaulan itu orang bergaul
dengan orang lain dan dengan benda-benda. Karena orang memiliki pikiran, ia
akan merasa enak dalam pergaulan bila ia mengerti sifat dari pihak yang diajak
bergaul. Bila ia mengerti sifat-sifat dari sesuatu yang dihubunginya, ia akan
merasa enak, karena tindakannya benar. Tetapi bila ia tidak mengerti sifat
tersebut, ia akan merasa tidak enak karena tindakannya yang salah. Jadi rasa
enak atau tidak enak, dalam hubungan ini hanyalah berpangkal pada persoalan
mengerti atau tidak mengerti. Misalnya, bila orang mengerti sifat api, ia akan
merasa enak dan bebas berhubungan dengan api, karena ia dapat bertindak benar.
Bila tidak disengaja, ia tiba-tiba memegang api sehingga terbakar tangannya,
orang pun merasa enak. Rasa enak di sini tidak berarti enak terbakar.
Rasa terbakar tentu saja sakit.
Tetapi enak di sini berarti rasa tidak menyalahkan api. Jadi mengerti itu
menimbulkan rasa merdeka. Manusia hanya dapat menguasai benda-benda yang ia
ketahui dan mengerti sifat-sifatnya. Dengan mengerti angin berikut
sifat-sifatnya, orang dapat mempergunakannya untuk menjalankan perahu layarnya,
dan sebagainya. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa jenis manusia itu
merajai dunia. Begitu juga dalam hubungan dengan orang lain, orang akan merasa
enak bila ia mengerti sifat orang lain itu. Untuk mengerti orang lain, lebih
dulu. ia harus dapat menjawab pertanyaan, "Manusia itu apa?" Manusia
ialah benda hidup yang mempunyai rasa. Rasa ini penting sekali bagi manusia,
dan benda-benda hanyalah untuk mengenakkan rasanya. Maka rasa itu ialah hakikat
manusia. Bila ada sesosok tubuh dengan kepala, badan, tangan, kaki, telinga,
hidung, dan lain-lain, tetapi tanpa rasa, maka itu bukan manusia lagi melainkan
mayat. Walaupun manusia memiliki banyak macam rasa, namun pada umumnya rasa itu
dapat dibagi atas dua macam yang pokok, yakni rasa enak dan tidak enak. Supaya
enak dalam hubungan dengan orang lain, orang perlu mengetahui rasa orang lain.
Karena manusia selain berhubungan dengan benda juga berhubungan dengan rasa,
maka bila ia tidak mengerti rasa orang lain, ia tidak akan merasa enak dalam
pergaulan hidup. Hubungan yang tidak enak ini berupa perselisihan. Perselisihan
secara berkelompok akan menyebabkan perang. Jadi tidak mengerti rasa orang lain
ini menyebabkan perang. Cara perang itu bermacam-macam, tembak-menembak,
maki-memaki, ejek mengejek, saling membusukkan dan saling berprasangka buruk.
Maka perang itu tidak hanya tembak-menembak. Sebelum pecah perang, terlebih
dulu orang saling memaki, saling mengejek, saling membusukkan dan saling
berprasangka buruk. Jadi perang ialah perkembangan prasangka buruk.
Dalam hal rasa, tembak-menembak dan
saling berprasangka buruk itu sama. Jadi saling berprasangka buruk sama dengan
tembak-menembak. Demikian macam-macam peperangan atau perselisihan. Perang itu
mutlak keliru dan jahat. Menang atau kalah, perang tetap keliru dan jahat,
karena manusia perlu melangsungkan hidupnya, sedangkan perang yang berwujud
tembak-menembak berarti bunuh-membunuh. Maka perang bertentangan dan berdosa
terhadap rasa hidup. Bila diselidiki dalam rasa kita sendiri, dapat ditemukan
bahwa orang hidup tidak menginginkan perang. Meskipun demikian, toh terjadi
juga perang. Maka perang itu timbul dari kebodohan, yang menyebabkan tidak
terlaksananya tujuan hidup. Kecuali berdosa terhadap rasa hidup, perang juga
berdosa terhadap pergaulan. Tujuan pergaulan ialah untuk dapat merasakan enak
bersama, tetapi perang menimbulkan rasa tidak enak bersama. Maka perang berdosa
pada rasa hidup dan pergaulan. Perang atau perselisihan itu disebabkan karena
orang tidak mengerti rasa orang lain dalam pergaulan. Bila orang mengerti rasa
orang lain, perselisihan atau perang akan lenyap. Jadi memberantas perang atau
perselisihan harus dengan mengetahui atau mengerti rasa orang lain. Untuk
mengetahui dan mengerti rasa orang lain, rasa diri sendirilah yang
menghalang-halangi. Bila rasa diri sendiri yang menghalang-halangi itu tidak
diketahui, orang tidak mungkin mengetahui rasa orang lain. Jadi supaya bisa
mengetahui rasa orang lain, terlebih dulu orang harus mengetahui rasa diri
sendiri yang menghalanginya untuk mengetahui rasa orang lain. Mengetahui rasa
diri sendiri ini dinamakan pengetahuan atau pengertian pribadi (bhs. Jawa:
pangawikan pribadi). Pribadi atau diri sendiri di sini, dimaksud bukan pribadi
yang muluk-muluk, tetapi pribadi/diri sendiri yang merasa apa-apa, menginginkan
apa-apa, dan berpikir apa-apa. Jadi memberantas perang atau perselisihan harus
dengan pengetahuan/pengertian diri sendiri.
Pengetahuan Diri Sendiri
Orang baru dapat mengenal diri
sendiri setelah berhubungan dengan benda-benda, orang lain dan gagasannya, atau
dengan rasanya sendiri. Orang hidup tentu berhubungan dengan sesuatu, karena
dalam hubungan itu ia baru merasa bahwa ia ada. Rasa ada ini senantiasa
merasakan segala apa yang ada. Maka rasa ada itu boleh dikatakan sama dengan
hubungan atau bergaul. Pergaulan itu pasti mencakup diri sendiri dan apa yang
bukan diri sendiri. Setiap tindakan, setiap kata dan setiap keinginan, tentu
berhubungan dengan sesuatu; yang mencakup diri sendiri dan apa yang bukan diri
sendiri. Dalam tindakan, ucapan dan keinginan sendiri inilah orang dapat
mengetahui diri sendiri. Mengenal diri sendiri itu sulit, karena orang tidak
biasa berusaha mengenal diri sendiri.
Orang hanya biasa merasakan diri
orang lain. Bila orang bertengkar dengan istrinya, biasanya ia hanya
menyalahkan istrinya, dan tidak berusaha untuk mawas diri. Dalam hatinya ia
berkata, "Wah, istriku ini sebentar-sebentar berlaku begini, begitu, begini,
begitu, sehingga malanglah nasibku." Tetapi bila orang itu ditanya
kembali, "Memanglah istrimu itu begini, begitu, begini, begitu, tetapi
bagaimanakah dengan kamu sendiri?" Orang tadi akan terperanjat dan mengaku
bahwa dirinya sendiri tidak ditelitinya. Demikian pula dalam hubungan dengan
anak dan tetangganya, orang itu tidak memeriksa atau meneliti dirinya sendiri.
Ini menunjukkan bahwa orang tidak biasa meneliti diri sendiri. Kedudukan diri
sendiri dalam hubungan itu ialah, sebagai pihak yang menyambut atau menanggapi.
Bila berhubungan dengan benda-benda, diri sendiri itu menanggapi benda-benda.
Sedangkan kalau berhubungan dengan orang lain, gagasan, atau rasa sendiri, ia
pun menanggapi orang lain, gagasan atau rasa sendiri itu. Tegasnya, diri
sendiri merasa sesuatu dalam hubungan itu.
Bila melihat atau mendengar sesuatu,
diri sendiri tentu ikut merasakan sesuatu. Jadi yang merasakan sesuatu, ialah
dirinya sendiri dalam menyambut sesuatu yang dilihatnya atau didengarnya.
Demikian pula apabila kita berjumpa dengan orang lain, maka dirinya sendirilah
yang merasakan sesuatu. Yang merasakan sesuatu inilah diri sendiri dalam
menanggapi orang lain. Demikianlah, diri sendiri dalam menanggapi dunia luar.
Yang lebih sukar, ialah untuk mengetahui rasa diri sendiri dalam menanggapi
gagasan atau rasanya sendiri. Karena gagasan atau rasa hati itu tidak terlihat
oleh mata dan tidak tertangkap oleh pancaindera. Maka gagasan atau rasa hati
dianggap seolah-olah diri sendiri. Yang seharusnya dilihat, dianggap sebagai
yang melihat atau yang berkuasa. Pada umumnya gagasan atau rasa hati sendiri
itu dianggap sebagai yang berkuasa, sehingga sukar untuk dikuasai. Agar mudah
dipahami, di sini perlu diberi contoh secara terperinci, bagaimana orang
menanggapi sesuatu yang dihadapinya. Yang menanggapi sesuatu itu, menanggapinya
dengan rasa suka dan benci. Misalnya pada waktu orang hendak membaca buku, ia
akan menanggapi lampu terang dengan rasa senang, karena lampu itu memenuhi
kebutuhannya. Karena itu, lampu terang dianggap baik. Sebaliknya, pada waktu ia
hendak tidur, ia menanggapi lampu terang itu dengan rasa benci. Karena lampu
terang menyilaukan matanya dan tidak memenuhi kebutuhannya. Orang yang hendak
tidur, tidak membutuhkan lampu yang terang. Demikianlah, orang dapat menanggapi
sebuah lampu terang dengan rasa senang atau benci, sesuai dengan kebutuhannya
sesaat. Kita menanggapi orang lain juga dengan rasa senang atau benci. Kalau ia
seorang sahabat, kita akan menanggapinya dengan rasa senang.
Tetapi kalau ia seorang musuh, kita
menanggapinya dengan rasa benci. Bahkan orang yang sama, sering kita tanggapi,
dengan senang dan benci, sesuai dengan kebutuhan kita sesaat. Hal inilah yang
menyebabkan orang cekcok dengan suami atau istrinya. Terhadap suami atau istri,
orang terkadang merasa senang, terkadang benci. Maka suami-istri itu selain
menjadi kawan dalam hal-hal tertentu, juga dapat menjadi kawan bercekcok. Lebih
sukar lagi untuk mengetahui rasa senang dan benci, yang menanggapi gagasan atau
rasa sendiri, karena gagasan atau rasa itu sering menjadi satu dengan senang
dan benci. Sehingga sukar memisahkan gagasan dengan rasa suka dan benci.
Misalnya gagasan tentang permainan "jaelangkung", yakni sebuah
keranjang yang dimasuki sukma orang mati. Rasa senang atau benci yang menanggapi
"jaelangkung" itu berubah rupa menjadi percaya atau tidak percaya.
Bila perubahan itu tidak disadari, orang tidak mengerti bahwa percaya atau
tidak percaya itu berasal dari rasa senang atau bencinya. Demikian pula
kesukaran untuk mengetahui rasa senang atau benci yang menanggapi rasanya
sendiri. Misalnya dalam menanggapi rasa marahnya sendiri; rasa senang atau
benci itu akan berganti rupa, menjadi rasa membela marah atau menahan marah.
Jadi mengetahui dirinya sendiri dalam pergaulan, berarti mengetahui rasanya sendiri
yang senang atau benci dalam menanggapi sesuatu yang digauli.
Tetapi kalau hal ini tidak disadari,
maka kita akan menemui kesukaran berupa perselisihan dalam hubungan kita dengan
orang lain. Misalnya kita mendengar gamelan, kemudian mendengar musik. Kalau
kita mendengarkan gamelan dengan rasa senang, dan mendengarkan musik dengan
rasa benci, dan tanggapan kita ini tidak kita ketahui, berarti kita tidak
menikmati lagu gamelan dan musik, melainkan menikmati hafalan dari lagunya.
Kenikmatan semacam itu ialah kenikmatan seorang pemain gamelan atau musik, dan
bukan kenikmatan seorang seniman yang dapat menyatukan dirinya dengan lagu.
Kalau hal ini tidak disadari maka ia akan hanyut dalam rasa senang atau
bencinya, sehingga yang senang gamelan berselisih dengan yang senang musik.
Bahkan ada kalanya, ia mengajak orang-orang lain untuk berselisih
beramai-ramai. Untuk mengetahui rasa senang kita terhadap gamelan, maka kita
harus menelitinya sebagai berikut, "Aku ingin menikmati lagu, akan tetapi
mengapa aku senang gamelan, sehingga tidak dapat menikmati lagu?" Bila
diketahui demikian, rasa senang itu akan lenyap, yang berarti rasa senang itu
tidak lagi menghalangi untuk menikmati lagu. Orang akan mengerti bahwa
kenikmatan lagu tidak terbatas oleh gamelan atau musik. Demikian pula untuk
mengetahui rasa benci kita, kita dapat menelitinya sebagai berikut, "Aku
benci akan musik itu, hanyalah karena aku tidak hafal sehingga tidak dapat
mengikuti lagunya." Jadi sebenarnya aku tidak hendak menikmati lagu, tetapi
hanya ingin mengikuti lagu. Bila diketahui demikian, benci itu sirna, yang
berarti rasa benci itu tidak menghalangi keinginan menikmati lagu. Jadi senang
atau benci terhadap musik atau gamelan, bergantung pada kegemaran kita. Dalam
bergaul dengan orang, tanggapan kita pun berupa rasa senang atau benci. Rasa
ini bila tidak diketahui dapat menimbulkan perselisihan. Misalnya kalau kita
mendengar kabar ada seorang laki-laki berpoligami. Kalau yang menanggapi kabar
itu rasa benci kita, maka kita akan mencelanya, "Laki-laki yang kawin
dengan lebih dari satu perempuan, tidak memberi kesempatan kepada orang
lain." Tetapi bila rasa senang kita yang menanggapi kabar itu, maka kita
membelanya, "Sedang yang memadu itu senang dan yang dimadu pun tidak
berkeberatan, mengapa mereka dipersoalkan." Bila hal ini tidak kita
pahami, maka kita akan mengajak orang lain untuk membenci atau menyetujui
bersama, yang akhirnya akan menjadi kelompok-kelompok pembela dan penentang
poligami yang saling bermusuhan. Perkembangan permusuhan semacam ini bisa
berkembang menjadi saling tembak-menembak. Bila tanggapan kita yang berupa rasa
suka atau benci yang menghalangi itu diketahui, maka kita akan dapat mengetahui
atau mengerti rasa orang berpoligami, yang serupa benar dengan rasa kita
sendiri.
Cara untuk mengetahuinya sebagai
berikut, "Aku ingin mengetahui rasa orang berpoligami, tetapi karena
senang atau benci poligami, maka aku tidak dapat mengetahuinya. Sebab dua macam
rasa itu menghalangiku." Bila diketahui demikian, rasa senang atau benci
akan lenyap. Artinya tidak lagi mengalaminya. Barulah kita mengetahui rasa
orang berpoligami, yang serupa benar dengan rasa kita sendiri. Adapun tindakan
seseorang, tentu terdorong oleh rasanya. Mencari minuman terdorong oleh rasa
haus, ingin tidur terdorong oleh rasa kantuk. Tindakan orang berpoligami ialah
terdorong oleh rasanya, yang menghendaki wanita yang bukan istrinya. Setelah
rasa orang berpoligami itu diketahui, maka kita dapat meneliti diri kita
sendiri dengan pertanyaan berikut, "Apakah aku juga menginginkan wanita
yang bukan istriku?" Untuk menjawab pertanyaan di atas, sering kita merasa
malu. Sebab keinginan semacam itu kita anggap jelek, karena kita mengira bahwa
yang memiliki keinginan semacam itu hanya kita sendiri atau beberapa orang
saja. Maka penelitian terhadap diri sendiri dapat dimulai dengan berpikir
seperti di bawah ini. Laki-laki walaupun sudah amat tua, bila melihat wanita
cantik tentu merasa senang. Rasa senang ini jika dikupas berisikan keinginan.
Padahal wanita cantik itu bukan istrinya. Jadi orang tua itu pun menginginkan
wanita yang bukan istrinya. Demikian pula wanita, walaupun sudah amat tua, bila
melihat laki-laki yang tampan, tentu merasa senang.
Rasa senang ini bila diteliti
berisikan keinginan. Padahal laki-laki itu bukan suaminya. Jadi wanita itu pun
menginginkan laki-laki yang bukan suaminya. Teranglah bahwa diri sendiri dan
semua orang, mempunyai rasa mengingini orang yang bukan suami atau istrinya.
Jika keinginan itu tidak sampai terlaksana, hal itu disebabkan hanya karena keadaan,
kemiskinan atau kekhawatiran terhadap anak-anaknya, dan sebagainya. Jadi rasa
ingin berpoligami bagi semua orang sama. Bila kita mengetahui bahwa rasa orang
berpoligami ialah serupa benar dengan rasa kita sendiri, maka kita akan damai
dengan orang lain tadi. Rasa damai ini berarti tidak menyetujui atau membenci,
tidak memuji atau mencela, yaitu berselisihan. Rasa damai itu sama dengan damai
terhadap kenyataan, bahwa matahari terbit di sebelah timur. Orang menanggapi
rasanya sendiri, juga dengan rasa senang atau bencinya. Misalnya, bila ia
menanggapi amarahnya dengan rasa benci, maka rasa marah itu ditekannya,
sehingga ia tidak mengerti makna amarahnya. Menahan amarah itu rasanya sebagai
berikut, "Kalau amarahku ini menjadi perbuatan, maka tidak enaklah
akibatnya." Menahan marah berarti mendambakan kesabaran. Kalau rasa benci
ini tidak diketahui, ia akan menimbulkan perang batin, yaitu perang antara
amarahnya dan angan-angannya untuk kesabaran. Apabila yang menanggapi amarahnya
sendiri itu rasa senangnya, ia akan membela amarahnya demikian, "Kalau
saya tidak marah, maka saya akan senantiasa dihina." Dengan demikian ia
tidak akan mengetahui arti amarahnya. Kalau tanggapan rasa senang atau benci
itu diketahui, maka orang akan mengetahui arti amarahnya sendiri. Adapun
penelitian rasa senang dan benci dapat dilakukan sebagai berikut,"Aku
ingin tahu arti amarahku, tetapi karena aku benci atau senang akan amarah itu,
maka aku tidak dapat mengetahui arti amarahku." Kalau hal ini disadari,
maka rasa senang atau benci itu segera lenyap, yaitu tidak menutupi lagi.
Barulah orang mengetahui arti amarahnya. Marah itu berarti membela hal yang
dianggap penting untuk diri sendiri.
Jika kepentingannya sendiri diganggu
orang, ia lantas marah. Wujud kepentingan manusia itu ada berbagai macam,
seperti harta benda, kehormatan, kekuasaan, keluarga, kelompok, kebangsaan,
jenis kelamin, ilmu kebatinan, kepandaian, ilmu, dan lain-lain. Setiap orang
berbeda-beda dalam menilai kepentingannya sendiri. Salah satu kepentingannya
dinilai lebih tinggi dari yang lain. Jadi kepentingan-kepentingan ini ada yang
dinilai nomor satu, nomor dua dan seterusnya. Berat ringannya kemarahan
tergantung pada tinggi rendahnya penilaian itu. Jika orang diganggu
kepentingannya yang nomor satu, ia akan marah sekali. Bila rasa senang atau
benci dalam menanggapi rasa sendiri senantiasa diketahui, maka orang akan dapat
mempelajari apa yang menjadi kepentingannya melalui pengetahuan tentang diri
sendiri (pangawikan pribadi). Bila pengertian diri sendiri ini makin dalam dan
luas, orang akan mengerti bahwa dasar landasan kepentingannya itu keliru.
Landasan keliru inilah yang menimbulkan rasa tidak enak dalam pergaulan.
Apabila kepentingan harta benda itu landasannya keliru, maka ia akan merupakan
keserakahan. Padahal kegunaan harta benda hanyalah sebagai alat untuk mencukupi
kebutuhan hidup.
Maka keserakahan berarti
mempergunakan harta benda secara salah. Apabila kepentingan kehormatan itu
landasannya keliru, maka ia akan menjadi gila hormat. Padahal rasa hormat itu
mengandung kenikmatan, baik bila diri sendiri menghormati orang lain, maupun
bila orang lain menghormati dirinya. Jadi gila hormat (minta dihormati) berarti
mempergunakan kehormatan secara salah. Apabila kepentingan kekuasaan itu
landasannya salah, maka ia akan merupakan hasrat menguasai orang lain. Padahal
orang berkuasa atau dipercaya itu disebabkan karena ia mengenakkan orang lain.
Jadi ingin menguasai orang lain tanpa mengenakkan orang lain, berarti
mempergunakan kekuasaan secara salah. Demikianlah seterusnya, untuk mengetahui
kepentingan kita yang dipergunakan secara salah. Bila diketahui, maka landasan
kepentingan yang salah itu akan menjadi benar. Demikian faedahnya mengetahui
rasa senang dan benci kita dalam tanggapan kita terhadap rasa kita sendiri.
Bila rasa senang dan bencinya itu diketahui, orang lantas merasa enak dalam
pergaulannya dengan benda-benda, dengan orang lain dan dengan rasanya sendiri.
Pengetahuan tentang senang dan bencinya sendiri ini, dinamakan pengetahuan diri
sendiri (pangawikan pribadi). Jadi pengetahuan diri sendiri ialah syarat untuk
membangkitkan rasa enak dalam pergaulan.
Sumber :
http://reocities.com/SouthBeach/Tidepool/1029/rh1.htm
No comments:
Post a Comment