Ceramah Ki Ageng Suryomentaram ini
disampaikan beliau dalam pertemuan yang diadakan di Yayasan Hidup Bahagia,
Jakarta, pada tanggal 19 Juli 1958.
Rasa bebas adalah rasa tidak
bertentangan (konflik). Apabila orang melihat sesuatu dan mengerti sifatnya, ia
akan merasa bebas; yakni tidak berselisih dengan sesuatu yang dilihat dan
dimengerti. Melihat dan mengerti itu tidak hanya melalui panca indera, tetapi
juga dengan rasa hati dan pikiran.
Bila melihat dan mengerti dalam diri
orang itu terpisah, hal itu tidak dapat menimbulkan rasa bebas. Misalnya
seorang digigit nyamuk malaria. Ia memperoleh keterangan, bahwa nyamuk malaria
itu, setelah menggigit orang yang menderita sakit malaria, ia tentu mengandung
kuman-kuman penyakit, dan akan menularkan penyakit pada orang lain yang
digigitnya. Mendengar keterangan semacam itu, orang dapat mengerti, tetapi
tidak melihat prosesnya. Maka tatkala ia menderita sakit malaria dan makan obat
malaria, namun penyakitnya tidak sembuh, berselisihlah ia dengan penyakit
malaria, maka ia merasa tidak bebas.
Demikian bila orang mengerti, tetapi
tidak melihat, sehingga ia tidak bebas. Sebaliknya, walaupun melihat, kalau
tidak mengerti, orang pun tidak akan bebas. Umpama, kita melihat bola lampu di
atas ini, yang bentuknya bulat dan cahayanya terang. Tetapi bila kita tidak
mengerti bagaimana cara memadamkan atau menyalakannya, jikalau bola lampu itu
tiba-tiba padam, kita menjadi bingung, lantas bertengkar dengan bola lampu itu,
sehingga tidak bebas. Jadi rasa bebas atau tidak berselisih itu timbul, jika
kita serentak melihat sesuatu dan mengerti sifatnya. Misalnya kita melihat dan
mengerti, bahwa api itu bila dipegang dapat membakar tangan. Maka kita merasa
bebas dan tidak bertengkar dengan api. Artinya, kita tidak berusaha mengubah
sifat api itu, sehingga tidak membakar tangan yang memegangnya. Rasa bebas ini
melahirkan perbuatan yang pasti benar. Tegasnya kita tidak akan berbuat, tanpa
sengaja memegang api. Supaya lebih jelas, saya beri contoh lain lagi. Misalnya
kita melihat dan mengerti, bahwa ular belang itu berbisa, ia dapat membinasakan
orang yang dipagutnya. Maka bebaslah kita untuk tidak menentang ular itu.
Tegasnya, kita tidak perlu berusaha mengubah sifat ular belang itu supaya tidak
berbisa. Tindakan kita yang tepat dalam menghadapi ular itu, ialah menyingkiri
atau mengusirnya.
Melihat dan mengerti terhadap rasa
batin (emosi} pun dapat menimbulkan rasa bebas atau tidak berselisih, antara
batin yang melihat dan batin yang dilihatnya. Sebaliknya, bila melihat dan
mengerti terhadap rasa-rasa itu terpisah, hal itu tidak menimbulkan kebebasan,
melainkan perselisihan. Misalnya kita sedang marah, kita menyadari kemarahan
itu. Tetapi kita tidak mengerti makna marah kita itu. Karena itu kita menentang
kemarahan kita, yang berwujud perbuatan menahan marah. Pertentangan itu
merupakan perang batin, dalam mana pada suatu saat kita merasa "aku marah",
pada saat kemudian kita merasa "aku menahan marah". Sehingga kita
bingung untuk menentukan diri kita sendiri ini yang mana. Yang marah, atau yang
menahan marah. Kita mengira bahwa kedua rasa itu, berasal dari dua unsur yang
berlainan.
Padahal, rasa yang marah dan rasa
yang menahan marah itu sebenarnya adalah sama sifatnya. Pada waktu kita marah,
kita merasa bahwa kemarahan itu akan menimbulkan tindakan yang berakibat tidak
enak. Untuk menghindari hal itu kita lalu berusaha menahan marah, atau dengan
kata lain, menentang marah. Jika diteliti rasa menahan atau menentang marah
itu, ternyata juga rasa marah; yakni marah terhadap diri-sendiri. Kalau semula
kita marah terhadap orang lain, kini kita marah terhadap diri sendiri. Jadi
yang yang menahan marah adalah si marah, yang masih bersifat sama. Pengertian
di atas itu melahirkan kesadaran bahwa diri-sendiri si-marah tidak dapat
mengubah kemarahan sendiri. Dengan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
diri-sendiri "si marah", tidak dapat mengubah sifat dirinya. Setiap
kali kita berusaha mengubah diri sendiri, selalu tidak berhasil, melainkan
berganti rupa. Yaitu si marah menjadi si menahan marah. Bila kita sudah
mengerti bahwa kita tidak dapat mengubah diri-sendiri, maka kita tidak ingin
mengubah. Bila kita, dalam keadaan perang batin itu tidak ingin mengubah
diri-sendiri, maka diri-sendiri lalu 'diam, tidak bergerak'. Dengan kata iain,
berarti diri-sendiri 'mati'. Sudah tentu yang mati bukan raga kita, melainkan
rasa "aku" kita, atau rasa "aku" si Kramadangsa.
"Kramadangsa" ini adalah rasa "aku", identik dengan namanya
sendiri-sendiri. Orang itu mempunyai nama sendiri-sendiri, dan merasa
"aku" dengan namanya sendiri-sendiri. Jika ia bernama Suta, ia merasa
aku si Suta, jika ia bernama Naya, ia merasa aku si Naya. Rasa aku identik
dengan nama sendiri ini, saya beri istilah "Kramadangsa".
Jadi yang marah itu adalah
diri-sendiri yang merasa aku si Kramadangsa, dan yang menahan marah pun si
Kramadangsa. Jika Kramadangsa ini mati, tentu perbuatan marahnya tidak terlaksana.
Mengerti atas kemarahan sendiri demikian itu, kita bebas dari kemarahan kita
sendiri. Artinya kita tidak bertentangan dengan marah kita. Kebebasan ini,
pasti melahirkan perbuatan benar, yang tidak mungkin salah. Bila kita bergaul
dengan orang lain, kita dapat mengetahui rasa orang itu. Mengetahui rasa orang
lain pun, menimbulkan rasa bebas, yang tidak berselisih dengan orang lain.
Tidak berselisihan ini, berarti tidak menabrak rasa orang lain, oleh karenanya
damai dalam hubungannya. Rasa yang perlu dilihat dan dimengerti itu, ialah rasa
kita sendiri. Karena meskipun kita mengetahui banyak macam barang-barang,
tetapi bila kita tidak mengetahui diri kita sendiri, pasti berselisihan dengan
diri-sendiri, dan timbulah perang batin (konflik). Tetapi kita takut melihat
diri-sendiri dan kita berusaha menutupi diri-sendiri, supaya tidak tampak
seperti diri-sendiri. Bila diri-sendiri sudah kelihatan tidak seperti
diri-sendiri, barulah kita puas. Jadi kita tidak puas hanya sebagai mana adanya
diri-sendiri. Sekarang, mari kita teliti rasa kita sendiri, yang takut melihat
diri-sendiri ini.
Terlebih dahulu saya jelaskan dalil
saya, ialah bahwa kita takut melihat diri-sendiri ini adalah sama dengan setiap
orang. Tetapi kita takut melihat kenyataan, bahwa diri kita itu sama dengan
orang lain. Maka kita cari tutupnya, untuk menutupi diri-sendiri, supaya tidak
sama dengan setiap orang. Sehingga kita berusaha mati-matian mencari kekayaan,
kedudukan dan kekuasaan (bhs. Jawa: semat, drajat, kramat) untuk menutupi
diri-sendiri, agar supaya tidak tampak keadaan yang sesungguhnya. Kekayaan atau
harta benda, kecuali untuk kebutuhan penghidupan, kita pakai untuk menutupi
diri kita. Misalnya kita memakai pakaian baru yang mahal dan bagus, kita lantas
congkak dan sombong. Rasa congkak dan sombong ini jika diteliti, berarti kita
merasa beda dari keadaan kita yang sebenarnya, yaitu kita sudah merasa lain
dari pada setiap orang. Bila kita melihat dan mengerti bahwa diri kita adalah
sama dengan setiap orang, maka kita dapat meneliti diri-sendiri sebagai
berikut: "Saya memakai baju baru mengapa menjadi congkak, sombong, ini
karena apa?
Apakah kalau bajuku baru, diriku pun
turut menjadi baru? Sudah barang tentu sifat diriku yang sebenarnya, masih
tetap sama seperti yang kemarin itu." Demikian kita menutupi diri-sendiri
namun tidak mengubah keadaan yang sesungguhnya. Kedudukan pun dipakai untuk
menutupi diri kita sendiri. Misalnya kita baru saja memperoleh kenaikan
pangkat, lantas kita merasa congkak, sombong. Bila kita mengerti bahwa diri-sendiri
sama dengan setiap orang, maka kita dapat meneliti kecongkakan dan kesombongan
kita demikian: "Aku dapat kenaikan pangkat, mengapa menjadi congkak,
sombong ini karena apa? Apakah kalau pangkatku tinggi, sifat batinku pun
menjadi tinggi? Sudah tentu sifat diriku yang sebenamya masih sama saja seperti
yang kemarin itu." Bila kita memeluk salah satu agama, agama ini pun kita
gunakan untuk menutupi diri kita sendiri, supaya tidak kelihatan keadaan yang
benar, dan kita dapat menyombongkan diri. Memang agama itu baik karena ia
mengajarkan: "Janganlah berdusta." Tetapi apakah kita dengan menganut
pelajaran itu, lantas menjadi baik dan tidak berdusta? Sudah barang tentu sifat
batin kita yang sesungguhnya, masih tetap seperti kemarin ini. Demikian kita
berusaha menutupi diri, namun kita tetap sebagaimana adanya. Umpama kita masuk
suatu kelompok ideologi yang bersemboyan: "Sama Rata Sama Rasa".
Semboyan itu pun kita pakai untuk menutupi diri kita. Sehingga kita sombong dan
merasa sudah berbeda dari kita sendiri. Padahal sifat kita masih tetap sama,
yaitu kita masih suka menyembunyikan uang isteri kita dan tidak berlaku sama
rata sama rasa. Demikian itu kita berusaha mati-matian mencari tutupnya, untuk
menutupi supaya tidak tampak seperti kita sendiri. Ada lagi tutup yang berupa
nama-nama dari orang-orang termashur. Misalnya yang kita pakai nama-nama jalan,
seperti jalan Diponegoro, Imam Bonjol dan lain-lain. Hal mana mencerminkan
bahwa kita berpegangan pada orang-orang ternama.
Misalnya kita mengandal pada Prabu
Joyoboyo yang di dalam dongeng kesohor, karena ia dapat meramalkan masa tujuh
ratus tahun yang akan datang. Orang ternama itu, sering kita pergunakan untuk
menakuti isteri kita sendiri, demikian: "Lihatlah Prabu Joyoboyo ini,
ternama, hal-hal yang akan terjadi tujuh ratus tahun kemudian, ia sudah
mengetahuinya. Apakah kamu tidak takut?" Biasanya isteri kita menjawab:
"Kalau terhadap Prabu Joyoboyo, aku takut. Tetapi terhadap kamu,
tidak!" Demikian kita mati-matian mencari tutup, yang berupa orang-orang
termashur, untuk menutupi diri kita, agar tidak tampak keadaannya yang asli.
Sekarang marilah kita teliti, bagaimana sifat kita yang sama dengan setiap
orang itu? Kita masing-masing merasa pribadi, yaitu merasakan apa saja secara
sendiri, tidak dapat mewakilkannya kepada orang lain. Umpama saya menderita
sakit gigi, dan saya minta saudara saya untuk mewakili penderitaan itu.
Dapatkah sakit gigi itu dipindahkan kepada orang lain, pastilah tidak mungkin.
Mau tidak mau, harus saya derita sendiri. Demikian rasa pribadi, yang berarti
menanggung sendiri segala perasaan kita. Oleh karena setiap orang itu merasa
pribadi, maka kita masing-masing mencari enak (senang) sendiri (pribadi);
dengan tidak mempedulikan orang lain. Meskipun orang lain itu terdiri dari anak
atau isteri kita. Maka kita ini sebenarnya tidak mencintai anak-isteri kita,
melainkan pura-pura mencintai mereka. Demikian kita menutupi diri supaya tidak
kelihatan sifat kita yang sebenarnya. Mari saudara-saudara saya ajak
bersama-sama meneliti diri kita sendiri. Apakah kita, benar-benar mencintai
suami/isteri kita? Ingatlah akan maksud kita pada waktu kita memilih calon
suami/isteri kita. Apakah benar-benar kita ingin membahagiakan mereka sebagai
manusia? Kaiau kita ingin membahagiakan manusia saja, ada ribuan manusia yang
bersedia untuk dibahagiakan. Tetapi kita hanya ingin membahagiakan satu orang
saja, yaltu calon suami/isteri kita.
Maka jelaslah keinginan itu bukanlah
cinta kasih, melainkan rindu asmara, mengejar kenikmatan diri-sendiri. Rasa
hati kita: "Bila aku berjodoh dengan orang itu, aku akan senang
sekali." Kita semata-mata memikirkan kesenangan diri-sendiri dengan tidak
memperdulikan kepentingan calon suami/isteri kita. Jadi menghargai suami/isteri
kita, hanyalah sebagai barang untuk kesenangan. Sama dengan barang-barang
kesenangan yang berupa burung perkutut, kucing, dengkek (nama kartu ceki, dalam
bahasa Jawa) dan sebagainya. Misalnya kita memelihara burung perkutut, bila
burung itu bersiul bagus "hoorketekung", kita akan menambah makannya,
air minumnya, dan memandikan serta mengereknya tinggi-tinggi. Tetapi bila
burung itu berbunyi buruk "tekekkek", kita lantas benci dan
membantingnya. Demikian juga tindakan kita terhadap suami/isteri kita, bila
mereka tidak menyenangkan kita, seperti perkutut yang berbunyi
"hoorketekekkek" kita segera membantingnya. Maka dalam setiap
pertengkaran antara suami-isteri, tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh
tindak-tanduk yang tidak menyenangkan satu sama lain, seperti perkutut bersiul
"hoorketekekkek" itu. Oleh karena kita tidak mau melihat diri-sendiri
sebagaimana adanya, maka kita lalu menutupi diri sebagai berikut:
"Sebetulnya aku ini mencintai isteri, buktinya aku membelikan pakaian dan
rumah yang bagus." Tetapi kalau diteliti, apakah membelikan barang-barang
itu berarti cinta?
Misalnya seorang suami, tatkala ia
pulang dari luar negeri, membawa oleh-oleh berupa kain-kain indah untuk
isterinya; dengan harapan bahwa sang isteri tentu akan senang dan ketawa bila
melihat barang-barang tanda kecintaannya. Tetapi ternyata isterinya tidak
ketawa senang, malah mengomeli: "Kamu pergi jauh-jauh ke luar negeri,
hanya membawa kain semacam itu, di Jakarta saja banyak yang menjualnya."
Bagaimana tanggapan suami itu, apakah ia masih tetap mencintai isterinya?
Tentulah tidak, bahkan sebaliknya, ia akan kecewa dan marah. Maka jelaslah, hal
itu bukanlah cinta kasih, melainkan sebagai hal jual-beli, yakni si suami
membayar dengan kain untuk membeli tawa si isteri. Demikian dalam hubungan
suami-isteri, masing-masing pihak mengharapkan faedah sebanyak-banyaknya, dan
memberi faedah sedikit mungkin. Begitu juga terhadap anak-anak kita, kita pun
tidak mencintainya. Yang sering kita anggap sebagai cinta kasih, ialah hasrat
hidup untuk melangsungkan keturunan.
Misalnya di waktu anak kita masih
kecil, kita rawat baik-baik supaya bisa berlangsung hidupnya. Sama halnya
dengan kucing atau hewan lain, yang melindungi anaknya yang masih kecil. Tetapi
bila anak itu sudah dewasa, kita sering mengajaknya bertengkar. Padahal
pertengkaran itu bukanlah cinta kasih. Di samping untuk melanjutkan keturunan,
anak itu kita anggap sebagai dana pensiun dan alat kebanggaan. Kita merasa:
"Anakku kudidik demikian rupa, agar ia memperoleh ijazah dan kedudukan
baik dengan penghasilan besar. Karena jika saya sudah tua dan tidak kuat lagi
bekerja, anakkulah yang memberi pensiun padaku." Bahkan penilaian ini
sering menyeleweng jauh demikian: "Jika anakku berpenghasilan besar,
sedang aku sudah tua, tidak bekerja lagi, tetapi masih butuh tambah isteri,
maka kuharap ia akan mengawinkan aku lagi." Selain untuk cadangan pensiun,
kita menilai anak sebagai alat kebanggaan. Maka jika anak tidak membanggakan
kita, tetapi mencemarkan nama kita, marahlah kita dan mengusirnya. Demikian
persamaan diri kita dengan orang lain, atau setiap orang, yaitu kita sendiri
merasa pribadi, mencari enak pribadi, dengan mengorbankan orang lain; walaupun
anak-isteri/suami sendiri. Oleh karena itu, kita sendiri bila diganggu atau
dirugikan lantas marah, sekalipun yang mengganggu anak-isteri-suami. Jadi sifat
kita ini sebenarnya buas, galak. Padahal marah itu tidak mengenakkan, melainkan
menyakiti orang lain, maka kita ini suka menyakiti orang lain; ibarat senjata
yang ampuh. Jadi dapat dikatakan kita ini buas! galak dan ampuh, yang sama
dengan tabiat sewenang-wenang. Maka kesimpulannya sifat kita sendiri ini buas,
ampuh, sewenang-wenang, yang sama dengan orang lain atau setiap orang. Bila
kita mengerti bahwa sifat diri-sendiri yang buas, ampuh dan sewenang-wenang ini
sama dengan orang lain, kita segera mengerti bahwa tidak ada orang yang baik.
Pengertian itu membuat kita tidak lagi dapat dikelabui oleh pernyataan adanya
orang baik.
Dunia menjadi kacau-balau sekarang
ini, karena manusia kena dikelabui oleh pernyataan tentang adanya orang baik.
Sering kali dikabarkan bahwa di sana ada orang baik, lantas kita ikut-ikutan
menyatakan benar ia baik, dan mempercayainya saja; tetapi pada akhirnya kita
kecewa. Jadi bila kita mengerti bahwa kita sendiri buas, ampuh, sewenang-wenang
sama dengan orang lain; kita tidak dapat ditipu oleh pernyataan adanya orang
baik, dan tidak dapat menipu pada diri-sendiri, dengan berpura-pura baik. Hal
mana berarti kita melihat kenyataan yang ada pada diri-sendiri. Pengertian
diri-sendiri inilah, yang seharusnya dipakai sebagai landasan membangun
masyarakat. Pada masa sekarang ini, pembangunan masyarakat kita tidak berdasar
atas hal-hal yang nyata, tetapi berdasarkan atas cita-cita yang tidak nyata,
yang dapat menimbulkan bentrokan. Membangun masyarakat yang luas itu, harus
dimulai dari masyarakat lingkungan kecil; yaitu lingkungan keluarga.
Bila kita mengetahui kenyataan kita
sendiri, kita dapat mengetahui pula kenyataan keadaan anak kita. Kalau
diselidiki, ternyata anak itu dendam terhadap kita. Mengetahui dendam anak kita
itu lebih mudah dari pada mengertinya. Misalnya pada masa kanak-kanak, kita
setiap kali menderita susah, kita selalu menyalahkan orang tua kita.
"Kalau orang tuaku tidak begini atau begitu, tentu aku tidak akan
menderita seperti sekarang." Kemudian kita dapat pula mengetahui kenyataan
isteri/suami kita, yang kecewa terhadap kita; karena mereka merasa menjadi
korban dari watak sewenang-wenang kita. Dalam membangun masyarakat, orang
sering kali menanyakan: "Apakah seseorang itu diperuntukkan masyarakat,
atau masyarakat itu diperuntukkan seseorang?" Pertanyaan tersebut telah
lama usianya, dan memperoleh dua macam jawaban. Yaitu yang pertama, bahwa
seseorang untuk masyarakat dan yang kedua adalah masyarakat untuk seseorang.
Jawaban bahwa masyarakat itu untuk seseorang, ini berarti yang dipentingkan
adalah perseorangan. Masyarakat harus memberi kemerdekaan kepada seseorang.
Kemerdekaan yang diberikan kepada setiap orang itu, dipergunakan oleh
masing-masing orang, untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, tidak kenal
batas. Sehingga menimbulkan bentrokan dengan kepentingan masyarakat. Hal itu
kemudian meletus menjadi pemberontakan atau peperangan. Padahal perang adalah
bertentangan dengan tujuan hidup. Kalau tujuan hidup ialah untuk melangsungkan
kehidupan, sedangkan perang adalah bunuh membunuh. Maka perang, dengan dalih
apapun adalah jahat dan keliru. Jawaban lainnya bahwa seseorang untuk
masyarakat, ini pun keliru. Karena pertanyaannya sendiri keliru, maka bila
dijawab, jawabannya pasti keliru. Kekeliruan ini terdapat pada kedua
pertanyaan, yang berupa pemisah seseorang dari masyarakat. Sedang keadaan yang
sebenarnya, seseorang dan masyarakat bukan dua badan terpisah, melainkan satu
badan kesatuan.
Masyarakat itu terjadi dari hubungan
seorang dengan seorang, yang diatur dengan peraturan-peraturan,
perjanjian-perjanjian atau undang-undang. Undang-undang ini jika ditulis
dinamakan tata-negara, jika tidak ditulis dinamakan aturan masyarakat.
Undang-undang negara adalah perjanjian dalam hubungan antara warga negara,
Undang-undang masyarakat ialah perjanjian dalam hubungan antara perseorangan.
Sifat undang-undang atau hubungan Itu tergantung pada sikap jiwa orangnya. Bila
jiwa orang yang berhubungan itu tenteram dan damai, maka hubungannya
(masyarakat) pun tenteram dan damai. Tetapi bila orangnya gelisah, hubungannya
(masyarakat) pun menggelisahkan. Jadi kalau undang-undang atau hubungan itu
ibarat asapnya, orangnya adalah sebagai apinya. Maka bila usaha kita hanya
menghilangkan asapnya, tanpa memadamkan apinya, usaha itu pasti akan sia-sia
saja. Manusia kerapkali mengalami kesulitan-kesulitan yang berupa pertikaian.
Tiap-tiap pertikaian selalu dipecahkan dengan undang-undang, tetapi tidak
pernah berhasil. Demikian menurut sejarah, telah terjadi juga di negara kita
Indonesia. Pada jaman Majapahit, timbul perselisihan yang mengobarkan perang
saudara. Kesudahan dalam perang saudara itu, Majapahit kalah dan berdirilah
kerajaan Demak, serta mengganti undang-undang negara. Apakah setelah diadakan
undang-undang baru, lantas tidak timbul pertikaian lagi? Tidak, pertikaian
berjalan terus, sehingga pecah perang saudara lagi. Perang itu berakhir dengan
kerajaan Demak kalah, dan yang menang mendirikan kerajaan di Mataram. Kerajaan
baru ini pun mengganti undang-undang lama dengan yang baru. Setelah ada
undang-undang baru, apakah tiada perselisihan lagi? Tidak, perselisihan masih
saja terjadi, dan mengobarkan perang saudara lagi, dengan kesudahan Mataram
kalah. Kemudian datanglah penjajah Belanda, yang menamakan tanah air kita
Hindia Belanda, dan mengadakan undang-undang baru. Apakah setelah undang-undang
baru pertikaian lantas lenyap? Tidak, pertikaian tetap terjadi. Sampai pada
tanggal 17 Agustus 1945, kita memberontak sehingga lenyaplah penjajah itu.
Dan lahirlah Republik Indonesia,
dengan undang-undang baru yakni undang-undang berdasar Pancasila. Apakah
setelah ada undang-undang tdak ada perselisihan? Saudara-saudara dapat
membuktikan sendiri, bahwa perselisihan senantiasa ada saja. Jadi jelaslah
bahwa kesulitan itu tidak dapat diselesaikan dengan undang-undang. Kita bangsa
Indonesia dalam membangun negara Indonesia kerapkali salah, yaitu yang dibangun
bukan negara Indonesia. Misalnya pada jaman Majapahit, terjadi pecah perang
saudara yang berakhir runtuhnya kerajaan Majapahit. Keruntuhan Majapahit itu,
tidak berarti meruntuhkan negara Indonesia. Maka negara Indonesia ini tidak
dapat diketahui sejak kapan adanya. Catatan yang ada dan yang tertulis
dibatu-batu pun tidak dapat mengungkapkan, sehingga orang tidak dapat
menafsirkan kapan mulainya, dan akan berakhirnya negara Indonesia. Oleh karena
demikian panjang usianya, maka dapat dikatakan negara Indonesia itu langgeng
abadi. Membangun negara Indonesia yang abadi, tidak seperti kerajaan Majapahit
yang tidak abadi. Keruntuhan kerajaan Majapahit, tidak berarti keruntuhan
negara Indonesia, melainkan keruntuhan golongan pemimpin Majapahit, yang
tindakannya sewenang-wenang. Begitu juga kehancuran kerajaan-kerajaan Demak,
Mataram, pemerintah Hindia Belanda, tidak berarti kehancuran negara Indonesia,
kecuaii kehancuran pemimpin-pemimpinnya yang bertindak sewenang-wenang. Jadi
kerajaan Majapahit, Demak, Mataram, Hindia Belanda dan Republik Indonesia itu,
bukanlah negara Indonesia yang abadi melainkan sebagai ombak negaranya. Ombak
itu kerapkali mengalami pasang-surut. Tatkala kerajaan Majapahit sedang
gilang-gemilang, ombak negara Indonesia mengalami pasang. Tetapi ketika
kerajaan di atas runtuh, ombak negara Indonesia mengalami surut. Ombak yang
pasang-surut itu, tidak mempengaruhi adanya negara Indonesia. Maka untuk
membangun negara Indonesia, terlebih dahulu harus dilihat sebabnya pasang-surut
ombak negara Indonesia. Keterangannya sebagai berikut. Setiap negara di mana
saja, pada jaman apa saja, selalu dikuasai oleh segolongan warga negaranya,
walaupun dalam undang-undang dasarnya, dinyatakan bahwa negara itu harus
dikuasai oleh seluruh warganya, pada kenyataannya negara itu hanya dikuasai
oleh segolongan warganya. Golongan yang menguasai itu ialah golongan
terpelajar. Golongan terpelajar itu, ialah golongan yang mengerti undang-undang
negara. Golongan terpelajar jaman dulu dan jaman sekarang tentu saja berbeda,
tetapi pada dasarnya adalah sama, ialah yang mengerti undang-undang. Setiap
golongan yang menguasai negara, pasti mabuk kekuasaan, dan mabuk kuasa ini pasti
melahirkan perbuatan sewenang-wenang. Tindakan sewenang-wenang ini, selanjutnya
membangkitkan pemberontakan, yang dapat menggulingkan pemerintahan yang ada.
Bila kadang-kadang pemberontakan itu gagal, hal mana disebabkan belum matangnya
tindakan sewenang-wenang itu. Misalnya pada jaman Majapahit ada pemberontakan
yang gagal, yang dilakukan oleh Minakjinggo dan lain-lain. Kegagalan itu
disebabkan perbuatan pemimpin-pemimpin Majapahit, yang sewenang-wenang itu,
belum matang {belum cukup hebat). Tetapi setelah tindakan sewenang wenang dari
pemimpin Majapahit matang, atau sudah sampai batas waktunya, pemberontakan yang
timbul itu berhasil, dan mereka itu lalu mendirikan kerajaan Demak.
Demikianlah sejarah negara
Indonesia, yang hanya berisi segolongan warganya berkuasa, mereka lantas mabuk,
dan bertindak sewenang-wenang, yang mengundang pemberontakan. Sehingga kini
belum mengalami kemajuan. Kalau kita hendak membangun negara Indonesia yang
abadi, haruslah dicari jawaban atas pertanyaan, "Bagaimanakah caranya,
orang berkuasa, tetapi tidak mabuk dan tidak bertindak sewenang-wenang".
Kalau kita tidak dapat menjawab pertanyaan ini, berarti kita tidak dapat
membangun negara Indonesia yang abadi. Sehingga kini, belum ada suatu jaminan
untuk menjamin orang yang berkuasa pasti tidak mabuk dan tidak bertindak
sewenang-wenang. Yang ada hanyalah baru janji-janji, atau
kesanggupan-kesanggupan dari golongan-golongan. Yaitu bila nanti golongannya
berkuasa, negara ini hendak diaturnya begini-begitu. Jaminan satu-satunya agar
supaya kita dalam memegang kekuasaan tidak akan mabuk dan tidak akan bertindak
sewenang-wenang ialah bila kita yakin bahwa manakala kita berkuasa, pasti mabuk
kekuasaan dan pasti berbuat sewenang-wenang. Karena biasanya, belum berkuasa
saja, kita sudah merencanakan caranya, bagaimana kita akan mabuk dan
sewenang-wenang.
Misalnya seorang tua yang giginya
ompong, ia merencanakan mabuknya: "Nanti bila aku berkuasa, pasti kubeli
gigi palsu." Jika kita mengerti bahwa diri-sendiri ini buas, ampuh,
sewenang-wenang, rencana mabuk di atas dapat kita teliti sebagai berikut:
"Aku hendak membeli gigi palsu ini untuk apa? Kalau hanya untuk menggigit
uli saja, tidak usah pakai gigi pun dapat." Jelaslah gigi itu akan dipakai
menggigit kulit yang masih ulet. Jadi untuk membangun negara Indonesia yang
abadi itu, kita harus senantiasa mengawasi dan mengerti sifat diri-sendiri,
yang galak, ampuh dan sewenang-wenang. Setiap detik langkah kita, tentu berasal
dari rasa mabuk kuasa dan watak sewenang-wenang. Tetapi sifat mabuk dan
sewenang-wenang itu, jika diteliti sedalam-dalamnya sehingga selesai, rasa itu
tidak melahirkan perbuatan sewenang-wenang. Namun setelah penelitian tadi
selesai, pada saat berikutnya tentu timbul rasa sewenang-wenang lagi. Dan jika
diteliti lagi, segera selesai laqi. Jadi penelitian diri-sendiri itu hendaknya
dilakukan setiap detik, pada setiap rasa yang timbul. Demikianlah caranya
membangun negara Indonesia yang abadi. Melihat dan mengerti akan sifat-sifat
diri-sendiri, yang sewenang-wenang itu, menimbulkan revolusi jiwa. Revolusi
jiwa adalah perubahan jiwa, yang terjadi dalam diri kita sendiri, dan
mengakibatkan perubahan sikap kita terhadap diri-sendiri dan orang lain.
Melihat sifat kita sendiri yang galak, ampuh, sewenang-wenang, sama dengan
setiap orang, maka kita tidak dapat melengahkannya barang sekejap saja. Karena
kelengahan terhadap diri kita sendiri barang sedetik saja, cukuplah
menyempatkan kita untuk mengganggu orang lain atau diri-sendiri. Jadi jika kita
hendak membangun negara Indonesia yang abadi, kita harus senantiasa mengawasi
diri kita sendiri, yang berwatak tetap sewenang-wenang.
Sumber :
http://reocities.com/SouthBeach/Tidepool/1029/rb1.htm
No comments:
Post a Comment