Bagian
IV
Mengawasi
Keinginan
Manusia itu semua sama yakni abadi,
rasanya sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah,
demikian seterusnya. Bila kebenaran itu dimengerti, keluarlah orang dari
penderitaan neraka iri-sombong, sesal-khawatir yang menyebabkan prihatin,
celaka, dan masuklah ia dalam surga tenteram dan tabah yang menyebabkan orang
bersuka-cita, bahagia. Setelah bersuka-cita dan bahagia, maka dapatlah orang
menyadari dirinya sendiri sewaktu timbul keinginan apa-apa. Setiap keinginan
itu pasti mengandung rasa takut kalau-kalau tidak tercapai. Keinginan inilah
yang segera diyakinkannya: "Keinginan itu jika tercapai tidak menimbulkan
bahagia, melainkan senang sebentar yang kemudian akan susah lagi. Dan bila
tidak tercapai pun tidak menyebabkan celaka, hanyalah susah sebentar yang
kemudian akan senang lagi." Maka ia bisa menantangnya: "Silakan keinginan,
berusahalah mati-matian mencari senang-senang abadi, dan berdayalah mati-matian
menolak susah abadi, pastilah tidak berhasil. Kamu (keinginan) tidak
mengkhawatirkan lagi". Bila orang dapat meyakinkan keinginannya sendiri
demikian, lenyaplah rasa prihatin. Berbareng lenyapnya prihatin, tumbuhlah si
pengawas keinginannya sendiri yang mengerti keinginannya sendiri.
Benih
Pengetahuan
Si pengawas keinginannya sendiri ini
ialah rasa aku, rasa ada. Orang itu tentu berasa aku, tidak bisa tidak berasa
aku. Setiap berasa aku tentu berasa ada. Berasa aku tetapi tidak berasa ada,
tidaklah demikian. Si pengawas itu abadi karena ia itu barang asal. Barang asal
itu tidak ada asalnya untuk membuatnya, tetapi malahan sebagai asal dari semua
barang dan hal. Ia itu asalnya rasa aku-senang, aku-susah. Si pengawas ini
abadi dalam mengawasi keinginannya sendiri yang bersifat sebentar mulur,
sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar mungkret dengan rasa sebentar
senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah. Rasa abadi yang
mengawasi keinginannya sendiri itu, ialah abadi senang dan abadi bahagia.
Ketika si pengawas belum timbul, orang merasa "akulah berkeinginan, aku
senang, aku susah." Ia itu masih sebagai benih pengetahuan yang mengetahui
tindak-tanduk manusia, serta belum timbul rasa senang dan bahagia. Wujudnya si
pengawas ketika itu belum timbul, tetapi masih sebagai benih ialah seperti
contoh berikut ini. Misalnya orang ingin buang air, dalam diri orang itu ada
yang mengetahui dan mengerti "Aku ini tergesa-gesa menuju ke kakus,
pastilah ingin buang-air." Yang mengerti bahwa dirinya ingin buang air
ini, tidaklah ikut berkeinginan buang air, akan tetapi hanya mengerti kehendaknya
saja, yaitu si pengawas ketika belum tumbuh tetapi masih sebagai benih
pengetahuan.
Contoh lain yang lebih jelas ialah
orang yang makan cabe merasa pedas. Dalam diri orang itu ada yang mengetahui
dan mengerti "Aku ini megap-megap mencari minuman, tentulah
kepedasan." Yang mengerti bahwa dirinya kepedasan ini tidaklah turut
kepedasan, melainkan mengerti bahwa dirinya kepedasan, yaitu ketika si pengawas
belum timbul tetapi masih sebagai benih pengetahuan. Contoh lain yang lebih
dekat, misalkan orang merasa malu, dalam diri orang itu tentu ada yang
mengetahui dan mengerti: "Aku ini pasti mendapat malu, karena
meringis-ringis dan tidak berani keluar rumah." Yang mengerti dirinya
memperoleh malu ini, tidaklah turut merasa malu, melainkan mengertinya saja,
yaitu ketika si pengawas belum timbul, tetapi masih sebagai benih pengetahuan.
Dan orang merasa "Akulah berkeinginan, yang senang, yang susah, yang malu,
yang kepedasan, yang ingin buang air, adalah aku." Bila si pengawas sudah
timbul, lenyaplah rasa prihatin, kemudian orang merasa "Aku bukanlah
keinginan", dari sini ia akan merasa "Yang senang dan susah bukanlah
aku", dari sini ia merasa "Yang malu, yang kepedasan, yang ingin
buang air bukanlah aku."
B
a h a g i a
Maka orang akan merasa "Aku
mengawasi keinginan, aku senang, aku bahagia." Bila orang sudah mempunyai
rasa "Aku mengawasi keinginan, aku senang, aku bahagia", maka dalam
mengawasi keinginannya sendiri dan perjalanan hidupnya sendiri, ia merasa
"Itu bukanlah aku." Begitu juga dalam menanggapi dunia dengan segenap
isinya dan semua kejadian-kejadian, orang pun merasa "Itu bukanlah
aku." Demikian rasa aku itu bahagia dan abadi. Karena itu, di mana saja,
kapan saja, bagaimana saja, bahagialah orang itu. Demikianlah pengetahuan orang
hidup bahagia.
Penutup
Demikian keseluruhan rasa-rasa
manusia. Rasa-rasa yang diterangkan di sini hanyalah yang pokok-pokok saja.
Adapun kefaedahannya hanyalah sebagai batu loncatan untuk mempelajari perincian
rasa-rasa sendiri. Yang menjadi penghalang untuk mengetahui perincian rasanya
sendiri ialah cita-cita dalam arti umum. Wujud cita-cita itu adalah:
"Mencari senang abadi", seperti yang telah dibahas dalam buku ini.
Bila diteliti sampai benar-benar jelas cita-cita itu lenyap, artinya orang akan
berasa bahwa "Cita-cita ini bukanlah aku." Bila cita-cita itu telah
diketahui, dapatlah orang mengetahui perincian rasa-rasanya sendiri. Ternyata
bekerjanya (prosesnya) rasa-rasa itu menurut hukum alam. Bila hukum alam itu
diketahui, orang akan bertindak sesuai hukum alam itu dan merasa bahagia.
Sumber : http://reocities.com/SouthBeach/Tidepool/1029/ib1.htm
No comments:
Post a Comment