Pengetahuan kita tentang model
manusia yang berkembang seutuhnya sampai hari ini masih didominasi oleh wawasan
teoretis yang lahir dari ilmu pengetahuan Barat Kita mungkin telah akrab dengan
istilah-istilah seperti "manusia yang tidak diperbu-dak oleh dorongan
instingtif-nya" dari Freud, "manusia yang terindividuasi" dari
Cari Jung, "manusia yang mengaktualisasi dirinya" dari Abraham
Maslow, atau yang lebih mutakhir "manusia yang mengembangkan
potensi-potensi positifnya" dari Martin Selligman. Pengaruh wawasan
teoretis Barat yang kelewat kuat itu-didukung oleh perangkat metodologi ilmu
pengetahuan modem-secara sistematis telah menggusur pemikiran-pemikiran filsafat
manusia yang secara sosio-kultural lebih merepresentasikan watak manusia
pribumi. Tulisan ini akan membahas pemikiran Ki Ageng Suryo-mentaram
(1892-1962), salah satu jenius lokal dari Jawa yang terkenal dengan
ajaran-ajarannya tentang "ilmu kaw-ruh jiwa". Ki Ageng Suryo-mentaram
tumbuh dalam ruang waktu kebudayaan Jawa (pedalaman) yang menjunjung tinggi
asketisme hidup lewat laku mawas diri. Pemikirannya tidak lahir dari olah
intelektual dengan me-review khazanah pemikiran tokoh-tokoh lain, melainkan
lahir dari laku spiritual dengan disiplin tinggi sehingga tidak berlebihan
ketika hasilnya dianggap sebagai saripati realitas itu sendiri.
Dalam konteks ini, ia mirip seorang
ifenomenologi sebagaimana digambarkan oleh Hus-serl. Ia mempraktekkan prinsip epoche
untuk menangkap "realitas murni" yang terbebas dari beban
praduga-praduga pengetahuan tertentu. Penelusuran Ki Ageng Suryomentaram untuk
memperoleh model manusia yang mampu bertumbuh bertumpu pada prinsip
transformasi. Artinya, untuk sampai pada kondisi kesehatan mental hakiki,
seseorang harus mampu melakukan transformasi diri, dari manusia dengan kualitas
"juru catat", kemudian menjadi "kra-madangsa", hingga
mencapai model "manusia tanpa ciri". Rasa kramadangsa Setiap manusia
awalnya bertindak sebagai juru catat yang mencatat segala hal yang dialami.
Seiring dengan bertambahnya usia, catatan itu bertambah banyak sehingga
memenuhi ruang rasa (istilah yang dipilih Suryomentaram sebagai pengganti
istilah jiwa) manusia. Catatan-catatan itu berfungsi sebagai bank data yang
akan muncul kembali ketika seseorang merespons situasi tertentu.
Catatan-catatan yang sering diingat
akan tumbuh subur, sementara catatan yang jarang diingat akan layu kemudian
mati. Suryomentaram mengidentifikasi ada sebelas catatan yang mengisi ruang
rasa manusia, di antaranya harta benda, kehormatan, kekuasaan, keluarga,
golongan, kebangsaan, jenis, kepandaian, kebatinan, ilmu pengetahuan, dan rasa
hidup (Suryomentaram, 2003 70). Catatan-catatan itulah yang kemudian
mengantarkan manusia mengalami rasa kramadangsa, yaitu tahap kesadaran yang
menyatukan diri dengan catatan-catatan tersebut. Rasa kramadangsa berkembang
setelah manusia dewasa, ketika dia sudah mampu memikirkan catatan-catatannya
Bayi mampu mencatat, namun ia belum mampu memikirkannya. Jika seorang ayah
melihat anaknya diganggu, maka catatan "keluarga" akan muncul. Dia
akan berkata, "Itu anakku, jangan diganggu!" Di tahap inilah
berkembang konsep kepemilikan. Suryomentaram mengumpamakan kramadangsa sebagai
seorang buruh untuk sebelas majikan, yang berwujud sebelas kelompok catatan
tadi.
Catatan yang paling dianggap penting
akan mencengke-ram kramadangsa. Kramadangsa akhirnya mengabaikan
catatan-catatan yang lain. Setiap orang memiliki dorongan yang berbeda-beda
untuk memilih menyuburkan catatan-catatan tersebut. Jika seseorang selama
hidupnya dikuasai oleh catatan harta benda, misalnya, ia akan tumbuh menjadi
pribadi yang selalu menumpuk harta benda. Jika hartanya bertambah ia akan
senang, namun jika berkurang ia akan sedih. Manusia yang hidupnya sekadar
dikuasai oleh rasa kramadangsa, hidupnya tidak akan pernah bahagia. Ia hanya
akan menjadi juru pikir yang selalu memikirkan catatan-catatan hidupnya. Ia
menjadi terpenjara oleh catatan-catatan tersebut. Peluangnya untuk mengetahui
hakikat kebahagiaan menjadi mengecil, karena ia terlalu memikirkan
catatan-catatan yang dianggap sebagai sumber kebahagiaan itu sendiri. Manusia
tanpa ciri Seseorang yang mampu meloloskan diri dari jebakan rasa kramadangsa
akan tumbuh menjadi "manusia tanpa ciri". Suryomentaram menggambarkan
manusia tanpa ciri sebagai sosok yang mampu menempatkan setiap persoalan dalam
tempatnya melalui laku mawas diri. Mawas diri adalah sikap tidak merasa benar
sendiri. Menjadi manusia tanpa ciri itu juga berarti mengembangkan
catatan-catatan yang berdasarkan laku rasa, bukan berdasarkan laku pikir
semata. Penjelasan ini akan menghindarkan dari kesalahpahaman seolah-olah
Suryomentaram melihat catatan-catatan sebagai hal yang buruk. Ya, ia akan
menjadi buruk jika ia terbentuk semata-mata melalui laku pikir, tidak
mengikutsertakan laku rasa. Menjadi mawas diri dengan demikian adalah
mensinergikan antara laku pikir dan laku rasa.
Contohnya, jika kita dihina oleh
orang lain, pikiran cenderung akan menuntun kita untuk menuntut balas. Namun,
ketika kita mengembangkan rasa, akan muncul kesadaran bahwa barangkali kita
kurang menghormati orang lain, terlalu mementingkan diri sendiri, dan
sebagainya. Kesadaran itu kemudian akan melahirkan rasa damai dalam diri kita.
Seseorang akan menjadi semakin mawas diri ketika ia dihadapkan pada banyak
peristiwa. Laku pikir dan laku rasanya menjadi semakin terlatih. Mawas diri itu
momentum, bukan sifat. Artinya, ia adalah respons terhadap situasi, bukan modus
yang mengatasi segala situasi. Ini menandakan bahwa Suryomentaram mencoba
seimbang melihat manusia. Manusia adalah makhluk yang dinamis. Hari ini dia
mampu menjadi mawas diri, besok belum tentu. Jadi, lahirnya manusia tanpa ciri
tidak berlangsung secara terus-menerus, melainkan hanya pada setiap kejadian,
satu peristiwa demi satu peristiwa, atau dalam satu masalah demi satu masalah.
Pemikiran Suryomentaram tentang model manusia sehat di atas merupakan falsafah
hidup yang sangat berguna, meski harus diakui ia menunjukkan bias kebudayaan
Jawa. Ia telah menjadi laku spiritual sehari-hari yang hingga kini masih
dipraktekkan banyak pengikutnya. Hal ini membuktikan, sekecil apa pun, bahwa
ada upaya untuk merumuskan diri sendiri dan dunia tanpa harus bergantung pada
khazanah pengetahuan Barat.
Sumber :
http://bataviase.co.id/detailberita-10421773.html
No comments:
Post a Comment