Keris adalah senjata tikam golongan
belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi
budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya
khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di
bagian pangkal yang melebar, seringkali bilahnya berliku-liku, dan banyak di
antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu guratan-guratan logam cerah pada
helai bilah. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan keris adalah
badik. Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan[1],
sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini, keris
lebih merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah
simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.
Penggunaan keris tersebar pada masyarakat penghuni wilayah yang pernah
terpengaruh oleh Majapahit, seperti Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatera,
pesisir Kalimantan, sebagian Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan,
dan Filipina Selatan (Mindanao). Keris Mindanao dikenal sebagai kalis. Keris di
setiap daerah memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam penampilan, fungsi,
teknik garapan, serta peristilahan. Keris Indonesia telah terdaftar di UNESCO
sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia sejak 2005.[2]
Asal-usul keris belum sepenuhnya
terjelaskan karena tidak ada sumber tertulis yang deskriptif mengenainya dari
masa sebelum abad ke-15, meskipun penyebutan istilah "keris" telah
tercantum pada prasasti dari abad ke-9 Masehi. Kajian ilmiah perkembangan
bentuk keris kebanyakan didasarkan pada analisis figur di relief candi atau
patung. Sementara itu, pengetahuan mengenai fungsi keris dapat dilacak dari beberapa
prasasti dan laporan-laporan penjelajah asing ke Nusantara. Awal mula: Pengaruh
India-Tiongkok Senjata tajam dengan bentuk yang diduga menjadi sumber inspirasi
pembuatan keris dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan perundagian dari
Kebudayaan Dongson dan Tiongkok selatan[3]. Dugaan pengaruh kebudayaan Tiongkok
Kuna dalam penggunaan senjata tikam, sebagai cikal-bakal keris, dimungkinkan
masuk melalui kebudayaan Dongson (Vietnam) yang merupakan "jembatan"
masuknya pengaruh kebudayaan Tiongkok ke Nusantara. Sejumlah keris masa kini
untuk keperluan sesajian memiliki gagang berbentuk manusia (tidak distilir
seperti keris modern), sama dengan belati Dongson[3], dan menyatu dengan
bilahnya. Sikap menghormati berbagai benda-benda garapan logam dapat ditelusuri
sebagai pengaruh India, khususnya Siwaisme[4]. Prasasti Dakuwu (abad ke-6)
menunjukkan ikonografi India yang menampilkan "wesi aji" seperti
trisula, kudhi, arit, dan keris sombro[5]. Para sejarawan umumnya bersepakat,
keris dari periode pra-Singasari dikenal sebagai "keris Buda", yang
berbentuk pendek dan tidak berluk (lurus), dan dianggap sebagai bentuk awal
(prototipe) keris.[6] Beberapa belati temuan dari kebudayaan Dongson memiliki
kemiripan dengan keris Buda dan keris sajen. Keris sajen memiliki bagian
pegangan dari logam yang menyatu dengan bilah keris. Prototipe keris dari masa
pra-Majapahit Karya-karya ukir dari milenium pertama penanggalan Masehi
kebanyakan menampilkan bentuk-bentuk senjata tikam dan "wesi aji"
lainnya dari India.
Meskipun demikian diketahui terdapat
satu panel relief Candi Borobudur (abad ke-9) yang memperlihatkan seseorang
memegang benda serupa keris. Dari abad yang sama, prasasti Karangtengah
berangka tahun 824 Masehi menyebut istilah "keris" dalam suatu daftar
peralatan[5]. Prasasti Poh (904 M) menyebut "keris" sebagai bagian
dari sesaji yang perlu dipersembahkan[5]. Walaupun demikian, tidak diketahui
apakah "keris" itu mengacu pada benda seperti yang dikenal sekarang.
Dalam pengetahuan perkerisan Jawa (padhuwungan), keris dari masa
pra-Kadiri-Singasari dikenal sebagai "keris Buda" atau "keris
sombro". Keris-keris ini tidak berpamor dan sederhana[7]. Keris Buda
dianggap sebagai bentuk pengawal keris modern. Contoh bentuk keris Buda yang
kerap dikutip adalah milik keluarga Knaud dari Batavia yang didapat Charles
Knaud, seorang Belanda peminat mistisisme Jawa, dari Sri Paku Alam V. Keris ini
memiliki relief tokoh epik Ramayana pada permukaan bilahnya dan mencantumkan
angka tahun Saka 1264 (1342 Masehi), sezaman dengan Candi Penataran, meskipun
ada yang meragukan penanggalannya.
Keris Buda memiliki kemiripan bentuk
dengan berbagai gambaran belati yang terlihat pada candi-candi di Jawa sebelum
abad ke-11. Belati pada candi-candi ini masih memperlihatkan ciri-ciri senjata
India, belum mengalami "pemribumian" (indigenisasi). Adanya berbagai
penggambaran berbagai "wesi aji" sebagai komponen ikon-ikon dewa
Hindu telah membawa sikap penghargaan terhadap berbagai senjata, termasuk keris
kelak. Meskipun demikian, tidak ada bukti autentik mengenai evolusi perubahan
dari belati gaya India menuju keris buda ini. Kajian ikonografi bangunan dan
gaya ukiran di masa Kadiri-Singasari (abad ke-13 sampai ke-14) menunjukkan
kecenderungan pemribumian dari murni India menuju gaya Jawa, tidak terkecuali
dengan bentuk keris. Salah satu patung Siwa dari periode Singasari (abad ke-14
awal) memegang "wesi aji" yang mirip keris, berbeda dari penggambaran
masa sebelumnya. Salah satu relief rendah (bas-relief) di dinding Candi
Penataran juga menunjukkan penggunaan senjata tikam serupa keris. Candi
Penataran (abad ke-11 sampai ke-13 M) dari masa akhir Kerajaan Kadiri di
Blitar, Jawa Timur. Keris modern Keris modern yang dikenal saat ini diyakini
para sejarawan memperoleh bentuknya pada masa Majapahit (abad ke-14) dan
Kesultanan Mataram baru (abad ke-17-18), meskipun relief di Candi Bahal
peninggalan Kerajaan Panai/Pane (abad ke-11 M), sebagai bagian dari kerajaan
Sriwijaya, di Portibi Sumatera Utara, menunjukan indikasi bahwa pada abad 10-11
keris sebagaimana yang dikenal sekarang sudah menemukan bentuknya.
Dari abad ke-15, salah satu relief
di Candi Sukuh, yang merupakan tempat pemujaan dari masa akhir Majapahit,
dengan gamblang menunjukkan seorang empu tengah membuat keris. Hal ini menjadi
alasan para ahli untuk menyatakan bahwa bentuk keris yang dikenal sekarang
telah mencapai perkembangan modernnya pada masa Majapahit. ... . Orang-orang
ini [Majapahit] selalu mengenakan pu-la-t'ou yang diselipkan pada ikat
pinggang. [...], yang terbuat dari baja, dengan pola yang rumit dan
bergaris-garis halus pada daunnya; hulunya terbuat dari emas, cula, atau gading
yang diukir berbentuk manusia atau wajah raksasa dengan garapan yang sangat
halus dan rajin. — Ma Huan, "Ying-yai Sheng-lan Fai" Catatan Ma Huan
dari tahun 1416, anggota ekspedisi Cheng Ho, dalam "Ying-yai
Sheng-lan" menyebutkan bahwa orang-orang Majapahit selalu mengenakan
"belati" (pu-la-t'ou) yang diselipkan pada ikat pinggang. Terdapat
deskripsi yang menunjukkan bahwa "belati" ini adalah keris dan teknik
pembuatan pamor telah berkembang baik.[8].
Tome Pires, penjelajah Portugis dari
abad ke-16, menyinggung tentang kebiasaan penggunaan keris oleh laki-laki
Jawa[9]. Deskripsinya tidak jauh berbeda dari yang disebutkan Ma Huan seabad
sebelumnya. Berita-berita Portugis dan Prancis dari abad ke-17 telah
menunjukkan penggunaan meluas pamor dan pemakaian pegangan keris dari kayu,
tanduk, atau gading di berbagai tempat di Nusantara[10]. ... setiap laki-laki
di Jawa, tidak peduli kaya atau miskin, harus memiliki sebilah keris di
rumahnya ... dan tidak ada satu pun laki-laki berusia antara 12 dan 80 tahun
bepergian tanpa sebilah keris di sabuknya. Keris diletakkan di punggung,
seperti belati di Portugal... — Tome Pires, "Suma Oriental"
Perkembangan fungsi keris Pada masa kini, keris memiliki fungsi yang beragam
dan hal ini ditunjukkan oleh beragamnya bentuk keris yang ada. Keris sebagai
elemen persembahan sebagaimana dinyatakan oleh prasasti-prasasti dari milenium
pertama menunjukkan keris sebagai bagian dari persembahan. Pada masa kini,
keris juga masih menjadi bagian dari sesajian. Lebih jauh, keris juga digunakan
dalam ritual/upacara mistik atau paranormal. Keris untuk penggunaan semacam ini
memiliki bentuk berbeda, dengan pesi menjadi hulu keris, sehingga hulu menyatu
dengan bilah keris. Keris semacam ini dikenal sebagai keris sesajian atau
"keris majapahit" (tidak sama dengan keris tangguh Majapahit)!.
Pemaparan-pemaparan asing menunjukkan fungsi keris sebagai senjata di kalangan
awam Majapahit. Keris sebagai senjata memiliki bilah yang kokoh, keras, tetapi
ringan. Berbagai legenda dari periode Demak–Mataram mengenal beberapa keris
senjata yang terkenal, misalnya keris Nagasasra Sabukinten.
Laporan Perancis dari abad ke-16
telah menceritakan peran keris sebagai simbol kebesaran para pemimpin Sumatera
(khususnya Kesultanan Aceh)[11]. Godinho de Heredia dari Portugal menuliskan
dalam jurnalnya dari tahun 1613 bahwa orang-orang Melayu penghuni Semenanjung
("Hujung Tanah") telah memberikan racun pada bilah keris dan
menghiasi sarung dan hulu keris dengan batu permata[12].
"Penghalusan" fungsi keris tampaknya semakin menguat sejak abad ke-19
dan seterusnya, sejalan dengan meredanya gejolak politik di Nusantara dan
menguatnya penggunaan senjata api. Dalam perkembangan ini, peran keris sebagai
senjata berangsur-angsur berkurang. Sebagai contoh, dalam idealisme Jawa
mengenai seorang laki-laki "yang sempurna", sering dikemukakan bahwa
keris atau curiga menjadi simbol pegangan ilmu/keterampilan sebagai bekal
hidup[13][14].
Berkembangnya tata krama penggunaan
keris maupun variasi bentuk sarung keris (warangka) yang dikenal sekarang dapat
dikatakan juga merupakan wujud penghalusan fungsi keris. Pada masa kini,
kalangan perkerisan Jawa selalu melihat keris sebagai tosan aji atau "benda
keras (logam) yang luhur", bukan sebagai senjata. Keris adalah dhuwung,
bersama-sama dengan tombak; keduanya dianggap sebagai benda
"pegangan" (ageman) yang diambil daya keutamaannya dengan mengambil
bentuk senjata tikam pada masa lalu. Di Malaysia, dalam kultur monarki yang
kuat, keris menjadi identitas kemelayuan. Tata cara penggunaan keris
berbeda-beda di masing-masing daerah. Di daerah Jawa dan Sunda misalnya, keris
ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai tetapi ditempatkan di
depan pada masa perang. Penempatan keris di depan dapat diartikan sebagai
kesediaan untuk bertarung. Selain itu, terkait dengan fungsi, sarung keris Jawa
juga memiliki variasi utama: gayaman dan ladrang.
Sementara itu, di Sumatra,
Kalimantan, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan dalam
upacara-upacara kebesaran. Bahan, pembuatan, dan perawatan Logam dasar yang
digunakan dalam pembuatan keris adalah besi dan baja. Untuk membuatnya ringan
para empu selalu mencampur bahan dasar ini dengan logam lain. Keris masa kini
(nèm-nèman, dibuat sejak abad ke-20) biasanya memakai campuran nikel. Keris
masa lalu (keris kuna) yang baik memiliki campuran batu meteorit yang diketahui
memiliki kandungan titanium yang tinggi, di samping nikel, kobal, perak, timah
putih, kromium, antimonium, dan tembaga. Batu meteorit yang terkenal adalah
meteorit Prambanan, yang pernah jatuh pada abad ke-19 di kompleks percandian
Prambanan. Pembuatan keris bervariasi dari satu empu ke empu lainnya, tetapi
terdapat prosedur yang biasanya bermiripan. Berikut adalah proses secara
ringkas menurut salah satu pustaka[15]. Bilah besi sebagai bahan dasar diwasuh
atau dipanaskan hingga berpijar lalu ditempa berulang-ulang untuk membuang
pengotor (misalnya karbon serta berbagai oksida). Setelah bersih, bilah dilipat
seperti huruf U untuk disisipkan lempengan bahan pamor di dalamnya. Selanjutnya
lipatan ini kembali dipanaskan dan ditempa. Setelah menempel dan memanjang,
campuran ini dilipat dan ditempa kembali berulang-ulang.
Cara, kekuatan, dan posisi menempa,
serta banyaknya lipatan akan mempengaruhi pamor yang muncul nantinya. Proses
ini disebut saton. Bentuk akhirnya adalah lempengan memanjang. Lempengan ini
lalu dipotong menjadi dua bagian, disebut kodhokan. Satu lempengan baja lalu
ditempatkan di antara kedua kodhokan seperti roti sandwich, diikat lalu
dipijarkan dan ditempa untuk menyatukan. Ujung kodhokan lalu dibuat agak
memanjang untuk dipotong dan dijadikan ganja. Tahap berikutnya adalah membentuk
pesi, bengkek (calon gandhik), dan terakhir membentuk bilah apakah berluk atau
lurus. Pembuatan luk dilakukan dengan pemanasan. Tahap selanjutnya adalah
pembuatan ornamen-ornamen (ricikan) dengan menggarap bagian-bagian tertentu
menggunakan kikir, gerinda, serta bor, sesuai dengan dhapur keris yang akan
dibuat. Silak waja dilakukan dengan mengikir bilah untuk melihat pamor yang
terbentuk. Ganja dibuat mengikuti bagian dasar bilah. Ukuran lubang disesuaikan
dengan diameter pesi. Tahap terakhir, yaitu nyepuhi, dilakukan agar keris
tampak tua.
Pada keris Filipina tidak dilakukan
proses ini. Nyepuhi ("menuakan") dilakukan dengan memasukkan bilah ke
dalam campuran belerang, garam, dan perasan jeruk nipis (disebut kamalan).
Nyepuhi juga dapat dilakukan dengan memijarkan keris lalu dicelupkan ke dalam
cairan (air, air garam, atau minyak kelapa, tergantung empu yang membuat).
TIndakan nyepuhi harus dilakukan dengan hati-hati karena bila salah dapat
membuat keris retak. Pemberian warangan dan minyak pewangi dilakukan
sebagaimana perawatan keris pada umumnya. Perawatan keris dalam tradisi Jawa
dilakukan setiap tahun, biasanya pada bulan Muharram/Sura, meskipun hal ini
bukan keharusan. Istilah perawatan keris adalah "memandikan" keris,
meskipun yang dilakukan sebenarnya adalah membuang minyak pewangi lama dan
karat pada bilah keris, biasanya dengan cairan asam (secara tradisional
menggunakan air buah kelapa, hancuran buah mengkudu, atau perasan jeruk nipis).
Bilah yang telah dibersihkan kemudian diberi warangan bila perlu untuk
mempertegas pamor, dibersihkan kembali, dan kemudian diberi minyak pewangi
untuk melindungi bilah keris dari karat baru.
Minyak pewangi ini secara
tradisional menggunakan minyak melati atau minyak cendana yang diencerkan pada
minyak kelapa. Morfologi Beberapa istilah di bagian ini diambil dari tradisi
Jawa, semata karena rujukan yang tersedia. Keris atau dhuwung terdiri dari tiga
bagian utama, yaitu bilah (wilah atau daun keris), ganja
("penopang"), dan hulu keris (ukiran, pegangan keris). Bagian yang
harus ada adalah bilah. Hulu keris dapat terpisah maupun menyatu dengan bilah.
Ganja tidak selalu ada, tapi keris-keris yang baik selalu memilikinya. Keris
sebagai senjata dan alat upacara dilindungi oleh sarung keris atau warangka.
Bilah keris merupakan bagian utama yang menjadi identifikasi suatu keris.
Pengetahuan mengenai bentuk (dhapur) atau morfologi keris menjadi hal yang
penting untuk keperluan identifikasi. Bentuk keris memiliki banyak simbol
spiritual selain nilai estetika. Hal-hal umum yang perlu diperhatikan dalam
morfologi keris adalah kelokan (luk), ornamen (ricikan), warna atau pancaran
bilah, serta pola pamor. Kombinasi berbagai komponen ini menghasilkan sejumlah
bentuk standar (dhapur) keris yang banyak dipaparkan dalam pustaka-pustaka
mengenai keris. Pengaruh waktu mempengaruhi gaya pembuatan. Gaya pembuatan
keris tercermin dari konsep tangguh, yang biasanya dikaitkan dengan periodisasi
sejarah maupun geografis, serta empu yang membuatnya.
Pegangan keris atau hulu keris
Pegangan keris (bahasa Jawa: gaman) ini
bermacam-macam motifnya, untuk keris Bali ada yang bentuknya menyerupai dewa,
pedande (pendeta), raksasa, penari, pertapa hutan dan ada yang diukir dengan
kinatah emas dan batu mulia dan biasanya bertatahkan batu mirah delima.
Pegangan keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang
terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan
burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung
yang digunakan pada keris Riau Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai
pusat pengembangan tosan aji seperti Aceh, Bangkinang (Riau) , Palembang,
Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu, keris mempunyai ukiran dan
perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari
aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu.
Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking (
kepala bagian belakang ) , jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan)
,weteng dan bungkul.
Warangka atau sarung keris
Warangka, atau sarung keris (bahasa
Banjar : kumpang), adalah komponen keris yang mempunyai fungsi tertentu,
khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, paling tidak karena bagian
inilah yang terlihat secara langsung. Warangka yang mula-mula dibuat dari kayu
(yang umum adalah jati, cendana, timoho, dan kemuning). Sejalan dengan
perkembangan zaman terjadi penambahan fungsi wrangka sebagai pencerminan status
sosial bagi penggunanya. Bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti
dengan gading. Secara garis besar terdapat dua bentuk warangka, yaitu jenis
warangka ladrang yang terdiri dari bagian-bagian : angkup, lata, janggut,
gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri serta cangkring. Dan jenis
lainnya adalah jenis wrangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama
dengan wrangka ladrang tetapi tidak terdapat angkup, godong, dan gandek. Aturan
pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak. Wrangka
ladrang dipakai untuk upacara resmi , misalkan menghadap raja, acara resmi
keraton lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkawinan, dll)
dengan maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan
gandar keris di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang (termasuk
sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja ).
Sedangkan wrangka gayaman dipakai untuk
keperluan harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang)
ataupun di belakang (pinggang belakang). Dalam perang, yang digunakan adalah
keris wrangka gayaman , pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas,
karena wrangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena
bentuknya lebih sederhana. Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka,
dan bagian utama menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk
panjang ( sepanjang wilah keris ) yang disebut gandar atau antupan ,maka fungsi
gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan biasanya terbuat dari kayu (
dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah yang berbahan logam campuran ) .
Karena fungsi gandar untuk membungkus , sehingga fungsi keindahannya tidak
diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-silinder
yang disebut pendok . Bagian pendok ( lapisan selongsong ) inilah yang biasanya
diukir sangat indah , dibuat dari logam kuningan, suasa ( campuran tembaga emas
) , perak, emas . Untuk daerah diluar Jawa ( kalangan raja-raja Bugis , Goa,
Palembang, Riau, Bali ) pendoknya terbuat dari emas , disertai dengan tambahan
hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian.
Untuk keris Jawa , menurut bentuknya
pendok ada tiga macam, yaitu
(1) pendok bunton berbentuk
selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya ,
(2) pendok blewah (blengah) terbelah
memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat
, serta
(3) pendok topengan yang belahannya
hanya terletak di tengah . Apabila dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam
yaitu pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran).
Wilah
Wilah atau wilahan adalah bagian
utama dari sebuah keris, dan juga terdiri dari bagian-bagian tertentu yang
tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut dapur, atau penamaan
ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa
disebutkan dapur jangkung mayang, jaka lola , pinarak, jamang murub, bungkul ,
kebo tedan, pudak sitegal, dll. Pada pangkal wilahan terdapat pesi , yang
merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang
masuk ke pegangan keris ( ukiran) . Pesi ini panjangnya antara 5 cm sampai 7
cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat panjang seperti
pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau disebut puting, sedangkan
untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut punting. Pada pangkal (dasar
keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja (untuk daerah
semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya terdapat lubang pesi
(bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak
terpisahkan. Pengamat budaya tosan aji mengatakan bahwa kesatuan itu
melambangkan kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni
sedangkan pesi melambangkan lingganya.
Ganja ini sepintas berbentuk cecak,
bagian depannya disebut sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled ,
bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja
ada bermacam-macam, wilut , dungkul , kelap lintah dan sebit rontal. Luk,
adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari bentuknya
keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang
bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada
bilah , dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi
cembung dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka
bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu
gasal ( ganjil) dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3)
dan terbanyak adalah luk tiga belas (13). Jika ada keris yang jumlah luk nya
lebih dari tiga belas, biasanya disebut keris kalawija, atau keris tidak lazim.
Pasikutan, tangguh keris, dan perkembangan di masa kini Yang dimaksud dengan
pasikutan adalah "roman" atau kesan emosi yang dibangkitkan oleh wujud
suatu keris. Biasanya, personifikasi disematkan pada suatu keris, misalnya
suatu keris tampak seperti "bungkuk", "tidak bersemangat",
"riang", "tidak seimbang", dan sebagainya[16].
Kemampuan menengarai pasikutan
merupakan tahap lanjut dalam mendalami ilmu perkerisan dan membawa seseorang
pada panangguhan keris. Langgam/gaya pembuatan suatu keris dipengaruhi oleh
zaman, tempat tinggal dan selera empu yang membuatnya. Dalam istilah perkerisan
Jawa, langgam keris menurut waktu dan tempat ini diistilahkan sebagai tangguh.
Tangguh dapat juga diartikan sebagai "perkiraan", maksudnya adalah
perkiraan suatu keris mengikuti gaya suatu zaman atau tempat tertentu.
"Penangguhan" keris pada umumnya dilakukan terhadap keris-keris
pusaka, meskipun keris-keris baru dapat juga dibuat mengikuti tangguh tertentu,
tergantung keinginan pemilik keris atau empunya. Tangguh keris tidak bersifat
mutlak karena deskripsi setiap tangguh pun dapat bersifat tumpang tindih.
Selain itu, pustaka-pustaka lama tidak memiliki kesepakatan mengenai empu-empu
yang dimasukkan ke dalam suatu tangguh. Hal ini disebabkan tradisi lisan yang
sebelum abad ke-20 dipakai dalam ilmu padhuwungan. Meskipun tangguh tidak
identik dengan umur, tangguh keris (Jawa) yang tertua yang dapat dijumpai saat
ini adalah tangguh Buda (atau keris Buda). Keris modern pusaka tertua dianggap
berasal dari tangguh Pajajaran, yaitu dari periode ketika sebagian Jawa Tengah
masih di bawah pengaruh Kerajaan Galuh.
Keris pusaka termuda adalah dari
masa pemerintahan Pakubuwana X (berakhir 1939). Selanjutnya, kualitas pembuatan
keris terus merosot, bahkan di Surakarta pada dekade 1940-an tidak ada satu pun
pandai keris yang bertahan [17]. Kebangkitan seni kriya keris di Surakarta
dimulai pada tahun 1970, dibidani oleh K.R.T. Hardjonagoro (Go Tik Swan) dan
didukung oleh Sudiono Humardani[17], melalui perkumpulan Bawa Rasa Tosan Aji.
Perlahan-lahan kegiatan pandai keris bangkit kembali dan akhirnya ilmu
perkerisan juga menjadi satu program studi pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia
Surakarta (sekarang ISI Surakarta). Keris-keris yang dibuat oleh para pandai
keris sekarang dikenal sebagai keris kamardikan ("keris
kemerdekaan"). Periode ini melahirkan beberapa pandai keris kenamaan dari
Solo[17] seperti KRT. Supawijaya (Solo), Pauzan Pusposukadgo (Solo), tim pandai
keris STSI Surakarta, Harjosuwarno (bekerja pada studio milik KRT Hardjonagoro
di Solo), Suparman Wignyosukadgo (Solo)[18].
Keris legendaris
* Keris Mpu Gandring
* Keris Pusaka Setan Kober
* Keris Kyai Sengkelat
* Keris Pusaka Nagasasra Sabuk Inten
* Keris Kyai Carubuk
* Keris Kyai Condong Campur
* Keris Taming Sari
* Keris Si Ginje
Referensi :
1. ^ Darmosoegito, Ki. 1992. Bab
Dhuwung. Djojobojo. Surabaya. Hal. 16.
2. ^ Indonesia - Information related
to Intangible Cultural Heritage. Laman UNESCO.
3. ^ a b Origin of The Keris. II.
Chinese Influence. Laman Old Blades. Malay World Edges Weapons.
4. ^ Origin of The Keris. III. Keris
and Sivaism. Laman Old Blades. Malay World Edges Weapons.
5. ^ a b c Lumintu. 1985. Besi,
Baja, dan Pamor Keris. Pusat Keris Jakarta. Jakarta. hal. 4.
6. ^ Origin of The Keris. I. Keris
Buda. Laman Old Blades. Malay World Edges Weapons.
7. ^ Lumintu. 1985. Besi, Baja, dan
Pamor Keris. Pusat Keris Jakarta. Jakarta. Hal. 3.
8. ^ Moebirman. 1980. Keris Senjata
Pusaka. Yayasan Sapta Karya. Jakarta.
9. ^ lihat misalnya pada versi
bahasa Inggris dari terbitan 1944 oleh Armando Cortesao (Cortesao A. 2005. Suma
Oriental of Tome Pires and The Book of Francisco Rodriguez. Asian Publishing
House. New Delhi. Hal. 179.
10. ^ Origin of The Keris. IV. The
birth of modern keris. Laman Old Blades - Malay World Edged Weapons
11. ^ Recits de Voyages du XVI et
XVIIème siècle. Laman Old Blades: Malay World Edged Weapons.
12. ^ The Malay armed forces in:
'Description of Malaca', from Godinho de Eredia (1613). Laman Old Blades: Malay
World Edged Wapons. "Description of Malaca" dirilis ulang oleh The
Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, Cetakan 14, 1997.
13. ^ Darmosoegito, Ki. 1992. Ibid.
Hal. 9.
14. ^ Harsrinuksmo B. 1986. Petunjuk
Praktis Merawat Keris. Pusat Keris Jakarta. Jakarta. Hal. 7.
15. ^ Harsrinuksmo, B. 1985. Pamor
Keris. Pusat Keris Jakarta. Jakarta. Hal. 7–8.
16. ^ Kusni. 1979. Pakem.
Pengetahuan tentang Keris. C.V. Aneka. Semarang. Hal. 91.
17. ^ a b c Murtidjono. 1991. Besalen-besalen
di Surakarta Masa Kini. Dalam:Sarasehan Seni Kriya Keris Jakarta 1991. Kumpulan
Makalah. Panitia Pameran dan Sarasehan Seni Kriya Keris Jakarta. Jakarta. Hal.
35–42.
18. ^ Harsrinuksmo B. 1985. Tanya
Jawab Soal Keris. Pusat Keris Jakarta. Jakarta. Hal. 30., dan Jeno Harumbrojo
(Yogyakarta).
Sumber diolah dari :
http://id.wikipedia.org/wiki/Keris
No comments:
Post a Comment