Kisah asal-usul Cirebon
dapat ditemukan dalam historiografi tradisional yang ditulis dalam bentuk
manuskrip (naskah) yang ditulis pada abad ke-18 dan ke-19. Naskah-naskah
tersebut dapat dijadikan pegangan sementara sehingga sumber primer ditemukan.
Diantara naskah-naskah yang memuat sejarah awal Cirebon adalah Carita Purwaka
Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad
Walangsungsang, dan lain-lain. Yang paling menarik adalah naskah Carita Purwaka
Caruban Nagari, ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan
Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para Bupati Priangan dengan
VOC antara tahun 1706-1723. Dalam naskah itu pula disebutkan bahwa asal mula
kata “Cirebon” adalah “sarumban”, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi
“Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi “Carbon”, berubah
menjadi kata “Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “Cirebon”.
Menurut sumber ini,
para wali menyebut Carbon sebagai “Pusat Jagat”, negeri yang dianggap terletak
ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya “Negeri Gede”. Kata
ini kemudian berubah pengucapannya menjadi “Garage” dan berproses lagi menjadi
“Grage”. Menurut P.S. Sulendraningrat, penanggung jawab sejarah Cirebon,
munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan
oleh Pangeran Cakrabumi alias Cakrabuana. Kata “Cirebon” berdasarkan kiratabasa
dalam Bahasa Sunda berasal dari “Ci” artinya “air” dan “rebon” yaitu “udang
kecil” sebagai bahan pembuat terasi. Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan
bahwa dari dahulu hingga sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi
yang berkualitas baik. Berbagai sumber menyebutkan tentang asal-usul Sunan
Gunung Jati, pendiri Kesultanan Cirebon.
Dalam sumber lokal yang
tergolong historiografi, disebutkan kisah tentang Ki Gedeng Sedhang Kasih,
sebagai kepala Nagari Surantaka, bawahan Kerajaan Galuh. Ki Gedeng Sedhang
Kasih, adik Raja Galuh, Prabu Anggalarang, memiliki puteri bernama Nyai Ambet
Kasih. Puterinya ini dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa, putra Prabu Anggalarang.
Karena Raden Pamanah Rasa memenangkan sayembara lalu menikahi puteri Ki Gedeng
Tapa yang bernama Nyai Subanglarang, dari Nagari Singapura, tetangga Nagari
Surantaka. Dari perkawinan tersebut lahirlah tiga orang anak, yaitu Raden
Walangsungsang, Nyai Lara Santang dan Raja Sangara. Setelah ibunya meninggal,
Raden Walangsungsang serta Nyai Lara Santang meninggalkan Keraton, dan tinggal
di rumah Pendeta Budha, Ki Gedeng Danuwarsih. Puteri Ki Gedeng Danuwarsih yang
bernama Nyai Indang Geulis dinikahi Raden Walangsungsang, serta berguru Agama
Islam kepada Syekh Datuk Kahfi. Raden Walangsungsang diberi nama baru, yaitu Ki
Samadullah, dan kelak sepulang dari tanah suci diganti nama menjadi Haji
Abdullah Iman. Atas anjuran gurunya, Raden Walangsungsang membuka daerah baru
yang diberi nama Tegal Alang-alang atau Kebon Pesisir.
Daerah Tegal
Alang-alang berkembang dan banyak didatangi orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina,
sehingga disebutlah daerah ini “Caruban”, artinya campuran. Bukan hanya etnis
yang bercampur, tapi agama juga bercampur. Atas saran gurunya, Raden
Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama adiknya, Nyai Lara Santang. Di Tanah
Suci inilah, adiknya dinikahi Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Abdullah
keturunan Bani Hasyim putera Nurul Alim. Nyai Lara Santang berganti nama
menjadi Syarifah Mudaim. Dari perkawinan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah yang
kelak menjadi Sunan Gunung Jati. Dilihat dari Genealogi, Syarif Hidayatullah
yang nantinya menjadi salahseorang Wali Sanga, menduduki generasi ke-22 dari
Nabi Muhammad. Sesudah adiknya kawin, Ki Samadullah atau Abdullah Iman pulang
ke Jawa. Setibanya di tanah air, mendirikan Masjid Jalagrahan, dan membuat
rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki Danusela
meninggal Ki Samadullah diangkat menjadu Kuwu Caruban dan digelari Pangeran
Cakrabuana. Pakuwuan ini ditingkatkan menjadi Nagari Caruban larang. Pangeran
Cakrabuana mendapat gelar dari ayahandanya, Prabu Siliwangi, sebagai Sri
Mangana, dan dianggap sebagai cara untuk melegitimasi kekuasaan Pangeran
Cakrabuana. Setelah berguru di berbagai negara, kemudian berguru tiba di Jawa.
Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya disarankan untuk
menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Syarif Hidayatullah pergi ke Caruban Larang
dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Syarif Hidayatullah tiba di
pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa Sembung-Pasambangan, dekat Amparan
Jati, dan mengajar Agama Islam, menggatikan Syekh Datuk Kahfi. Syekh Jati juga
mengajar di dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya dengan Nyai Babadan
Puteri Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya meninggal, Syekh Jati kemudian
menikah lagi dengan Dewi Pakungwati, puteri Pangeran Cakrabuana, disamping
menikahi Nyai Lara Bagdad, puteri sahabat Syekh Datuk Kahfi. Syekh Jati
kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam di sana.
Ternyata Bupati
Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga masuk Islam dan
memberikan adiknya untuk diperistri. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten,
lahirlah Pangeran Saba Kingkin, kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin
pendiri Kerajaan Banten. Sementara itu Pangeran Cakrabuana meminta Syekh Jati
menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullah pun kembali ke Caruban. Di
Cirebon ia dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau
Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sejak tahun 1479 itulah, Caruban
Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat Kesultanan dan
namanya diganti menjadi Cerbon. Pada awal abad ke-16 Cirebon dikenal sebagai
kota perdagangan terutama untuk komoditas beras dan hasil bumi yang diekspor ke
Malaka. Seorang sejarawan Portugis, Joao de Barros dalam tulisannya yang
berjudul Da Asia bercerita tentang hal tersebut. Sumber lainnya yang memberitakan
Cirebon periode awal, adalah Medez Pinto yang pergi ke Banten untuk mengapalkan
lada. Pada tahun 1596, rombongan pedagang Belanda dibawah pimpinan Cornellis de
Houtman mendarat di Banten. Pada tahun yang sama orang Belanda pertama yang
datang ke Cirebon melaporkan bahwa Cirebon pada waktu itu merupakan kota dagang
yang relatif kuat yang sekelilingnya dibenteng dengan sebuah aliran sungai.
Sejak awal berdirinya, batas-batas wilayah Kesultanan Cirebon termasuk
bermasalah.
Hal ini disebabkan,
pelabuhan Kerajaan Sunda, yaitu Sundakalapa berhasil ditaklukan. Ketika Banten
muncul sebagai Kesultanan yang berdaulat ditangan putra Susuhunan Jati, yaitu
Maulana Hasanuddin, masalahnya timbul, apakah Sunda Kalapa termasuk kekuasaan
Cirebon atau Banten? Bagi Kesultanan Banten, batas wilayah ini dibuat mudah
saja, dan tidak pernah menimbulkan konflik. Hanya saja pada tahun 1679 dan
1681, Cirebon pernah mengklaim daerah Sumedang, Indramayu, Galuh, dan Sukapura
yang saat itu dipengaruhi Banten, sebagai wilayah pengaruhnya. Pada masa
Panembahan Ratu, perhatian lebih diarahkan kepada penguatan kehidupan
keagamaan. Kedudukannya sebagai ulama, merupakan salah satu alasan Sultan
Mataram agak segan untuk memasukkan Cirebon sebagai daerah taklukan. Wilayah
Kesultanan Cirebon saat itu meliputi Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kabupaten
dan Kotamadya Cirebon sekarang. Ketika Panembahan Ratu wafat, tahun 1649 ia
digantikan oleh cucunya Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II. Dari
perkawinannya dengan puteri Sunan Tegalwangi, Panembahan Girilaya memiliki 3
anak, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran
Wangsakerta. Sejak tahun 1678, di bawah perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon
terbagi tiga, yaitu pertama Kesultanan Kasepuhan, dirajai Pangeran Martawijaya,
atau dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kedua Kesultanan Kanoman, yang dikepalai
oleh Pangeran Kertawijaya dikenal dengan Sultan Anom I dan ketiga Panembahan
yang dikepalai Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon I.
Kota Cirebon tumbuh
perlahan-lahan. Pada tahun 1800 Residen Waterloo mencoba membuat pipa saluran
air yang mengalir dari Linggajati, tetapi akhirnya terbengkalai. Pada tahun
1858, di Cirebon terdapat 5 buah toko eceran dua perusahaan dagang. Pada tahun
1865, tercatat ekspor gula sejumlah 200.000 pikulan (kuintal), dan pada tahun
1868 3 perusahaan Batavia yang bergerak di bidang perdagangan gula membuka
cabangnya di Cirebon. Pada tahun 1877, di sana sudah berdiri pabrik es, dan
pipa air minum yang menghubungkan sumur-sumur artesis dengan perumahan dibangun
pada tahun 1877. Pada awal abad ke-20, Cirebon merupakan salahsatu dari lima
kota pelabuhan terbesar di Hindia Belanda, dengan jumlah penduduk 23.500 orang.
Produk utamanya adalah beras, ikan, tembakau dan gula.
Sumber : Nina H. Lubis
(ed.), Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat,
http://sundaislam.wordpress.com/2008/04/03/sejarah-cirebon/
No comments:
Post a Comment