Syeikh Syarif Hidayatullah dan Sunan
Gunung Djati merupakan orang yang sama. Dengan kata lain, salah satu nama lain
dari Syeikh Syarif Hidayatullah adalah Sunan Gunung Djati. Hal ini perlu
ditegaskan untuk menghindari kesamaran dalam tulisan ini, sekalipun hal ini
mengabaikan polemik berkepanjangan tentang identitas siapa sebenarnya Syarif
Hidayatullah dan Sunan Gunung Djati. Adalah hal yang menarik melihat sosok
Syarif Hidayatullah dari sudut pandang spiritualitas (sufisme) atau kewalian,
karena untuk melihat tokoh historis-legendaris ini tidaklah cukup hanya dari
satu perspektif saja, terlebih karena ia berperan ganda, yakni sebagai seorang
sultan (kepala pemerintahan) dan sebagai seorang ulama-da’i.
Ia dianggap sebagai salah satu tokoh
terbesar dalam sejarah Islam di Tatar Sunda, bahkan ia dikonversi sebagai salah
seorang wali sanga, sejumlah wali yang populer sebagai agen Islamisasi di Tanah
Jawa. Dalam dunia tasawuf, pembicaraan tentang wali merupakan hal yang sudah
umum. Rujukan paling banyak dikemukakan adalah kisah Musa dan Khidir. Khidir
dianggap sebagai orang yang mempunyai pengetahuan rahasia, sedangkan Musa hanya
mengetahui hal-hal yang bersifat lahir, sehingga di dalam perjalanan mereka
berdua banyak berbeda pendapat (QS 18:60-82). Tulisan ini dimaksudkan sebagai
upaya untuk menelisik ketokohan Syarif Hidayatullah dalam perspektif sufisme,
terutama dalam sudut pandang kewalian. Bagaimanakah identitas yang dinisbahkan
kepada tokoh ini hingga ia digolongkan sebagai wali sanga. Inilah yang menjadi
fokus tulisan ini. Hal ini karena kewalian merupakan salah satu aspek penting
dalam ajaran tasawuf yang barangkali sampai saat ini sering dilupakan atau
masih jarang disentuh oleh para sejarawan dan khususnya pemerhati tasawuf. Term
Kewalian AL-HUJWIRI (1993:82) mendefinisikan wali dengan cara merujuk al-Qur’an
surat Yunus ayat 62, “Sesungguhnya, wali-wali Allah (auliya) tidak ada
ketakutan bagi mereka dan mereka tidak akan bersedih hati.” Sedangkan menurut
al-Tirmidzi (t.t.:491) dan al-Syanqiti (1961:12), wali Allah adalah setiap
orang yang beriman dan bertaqwa.
Apabila kedua pendapat ini
digabungkan, maka secara umum dapat dikatakan bahwa wali adalah orang yang
secara aktif dan tegar (tidak mempunyai rasa takut dan sedih) untuk
mengungkapkan dan menyampaikan pesan-pesan kebenaran yang datang dari Allah dan
Rasulnya dengan dasar iman dan taqwa yang sebebar-benarnya. Kemudian apabila
beberapa literatur tasawuf dirujuk dapat ditemukan bahwa kata wali merupakan
ism sifat musyabbahat bermakna fa’il (subjek; pelaku pekerjaan), dengan tekanan
yang intensif, karena ia selalu menjaga diri untuk taat kepada Allah swt dan
tetap disiplin memenuhi kewajiban-kewajibannya dan menjauhi larangannya. Jadi,
term wali dalam arti aktifnya ialah “orang yang menginginkan” (murid). Untuk
kategori wali ini, proses mendapatkannya dilakukan melalui ibadah secara terus
menerus (mujâhadah). Oleh karena itu, berdasarkan kategori ini, menurut
Tirmidzi (1961:494), wali adalah “orang yang disiplin melaksanakan perintah
Allah dan menjauhi larangannya (sesuatu yang diharamkan secara syar’i) secara
terus menerus (man tawâlat tha’âtuhu min ghairi an yattakhola laha isyânun).”
Kata wali juga merupakan bentuk ism sifat musyabbahah yang bermakna mafûl
(objek penderita); jadi wali dalam arti pasifnya menunjuk kepada “orang-orang
yang diinginkan Allah” (murad).
Pengertian terakhir ini menurut
al-Hujwiri merujuk kepada firman Allah, QS al-A’râf (7):96, “Dia melindungi
(yatawalla) orang-orang yang benar.” Oleh karena itu, Ali Harazim dalam Jawâhir
al-Maânî (1985:62) berpendapat bahwa wali adalah seseorang yang urusannya
dikuasai Allah secara khusus serta musyahadah terhadap af’âl Allah. Sebenarnya
dua pemahamaman wali tersebut apabila digabungkan mengarah pada satu pengertian
bahwa wali adalah orang yang disiplin melaksanakan taqarub (mendekatkan diri
kepada Allah) dengan cara melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi
larangannya (yang diharamkan) sampai pada maqam (station) tertentu. Yang
dimaksud maqam dalam tradisi sufisme merujuk pada suatu tingkatan ruhani (spiritual)
yang didapat para sufi (wali) melalui hasil usaha (ibadah). Apabila seorang
wali sudah sampai pada maqam tertentu, sangat mungkin apabila Allah kemudian
menariknya atau menginginkannya untuk mengetahui rahasia-rahasia-Nya. Dengan
demikian, kewalian dibina melalui arah. Pertama, manusia itu sendiri secara
aktif mempersiapkan diri melalui disiplin ibadah sampai pada maqam tertentu.
Inilah yang dimaksud dengan al-muktasab, yakni usaha menempuhi jalan Allah, dan
karena itulah Allah menariknya sampai pada tingkat ma’rifah. Peristiwa terakhir
ini dikategorikan sebagai ghair muktasab (anugerah; bukan merupakan usaha
manusia). Dengan demikian, kewalian itu sendiri didapat melalui campur Allah,
secara mutlak. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kewalian adalah wujud
rahman dan rahim Allah swt.
Perihal isyarat-isyarat mengenai
makna hakikat kewalian telah banyak diungkap oleh para sufi; misalnya (1) Abu
Ali Jurjani; nama aslinya adalah Hasan ibn Ali al-Jurjani, penulis kitab-kitab
dalam bidang Ilm al-Auqât (ilmu tentang waktu) dan suluk (jalan sufi). Menurut
Ibrahim al-Sulama (1969:242), ia sejaman dengan Muhammad ibn Ali al-Tirmidzi
(w. 247 H). (2) Abu Yazid Taifur ibn Isa ibn Sursan al-Bustami, yang lahir di
Persia dan wafat pada tahun 261 H. Ciri-Ciri Kewalian Syarif Hidayatullah DALAM
literatur tasawuf ditemukan bahwa salah satu ciri kewalian seseorang adalah
adanya keistimewaan-keistimewaan (karamah) yang muncul dari diri wali. Menurut
Jusuf al-Nabhani (t.t.:13), karamah adalah sesuatu yang melanggar adat (hukum
adi) yang keluar dari tangan atau anggota hamba Allah yang benar-benar
menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya Menurut hemat penulis,
agaknya karamah wali erat kaitannya dengan misi risalah al-nubuwwah Nabi
Muhammad saw. sebagai Nabi akhir jaman yang syari’atnya berlaku hingga hari
akhir. Melihat misi Nabi Muhammad saw. sebagai khatam al-anbiyâ, maka untuk
mengaktualkan dakwahnya mesti ada kelompok tertentu yang secara khusus
mengkonsentrasikan dirinya untuk memelihara misi tersebut.
Dalam pandangan kaum sufi,
orang-orang yang mengemban misi tersebut adalah mereka yang secara penuh
mengabdi kepada urusan Allah dan tidak menuruti dorongan-dorongan hawa nafsu
mereka dan orang-orang yang demikian adalah para wali. Selanjutnya, dapat
dikatakan pula bahwa karamah wali pada dasarnya merupakan tanda kenabian
(burhan al-nubuwwah) Nabi Muhammad yang tetap ada hingga sekarang. Para
wali-lah yang kemudian menjadi sarana manifestasi dari burhan al-nubuwwah, agar
tanda dan bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. senantiasa dapat dilihat dengan
jelas. Dengan demikian, jika Nabi Muhammad saw. mengemukakan mukjizat sebagai
bukti kebenaran kenabiannya, selanjutnya kebenaran pengakuannya dikuatkan oleh
karamah wali. Hal ini, karena syari’at Nabi Muhammad senantiasa berlaku sampai
akhir zaman dan bukti keberannya (hujjah)-nya juga senantiasa berlaku dan
wali-wali adalah saksi-saksi kebenaran misi Rasulullah saw. Uraian di atas
menunjukkan bahwa karamah yang ditampilkan wali tidak mungkin dan tidak
seharusya bertentangan dengan mu’jizat yang ditampilkan Nabi saw., sebab
karamah tidak terkukuhkan, kecuali orang yang menampilkannya bersaksi
(musyahadah) atas kebenaran orang yang telah memperlihatkan mu’jizat. Pada
dasarnya, karamah dan kewalian merupakan anugerah Allah, bukan sesuatu yang
diusahakan oleh manusia sehingga usaha manusia tidak dapat menjadi sebab bagi
terwujudnya hal tersebut. Lebih jauh dikatakan oleh Ali Harazim (1985:107)
bahwa kesucian pengetahuan tentang Tuhan (ma’rifah), merupakan dasar dari semua
karamah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya.
Karena sudah adanya cahaya ma’rifah
itulah, maka selanjutnya akan menyebabkan seseorang akan mempunyai keistimewaan
(karamah). Salah satu hadits Nabi Muhammad saw senantiasa dirujuk dalam
literatur sufi untuk mendukung eksistensi karamah, “Haba-hamba-Ku tidak
bertaqarrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Kusenangi dari ibadah yang
telah Aku wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku selalu bertaqarrub kepada-Ku dengan
amal ibadah sunnah sampai Aku cinta kepadanya. Apabila Aku telah mencintainya,
maka Akulah pendengarannya yang dia buat mendengar, Aku adalah penglihatannya
yang dia buat untuk melihat, Aku adalah tangannya yang dia buat untuk memegang
dengan keras, dan Aku adalah kakinya yang dia buat untuk berjalan. Apabila dia
minta kepada-Ku, maka pastilah memberikannya dan apabila dia minta perlindungan
kepada-Ku, pasti aku melindunginya (HR Bukhari). Kemudian apabila dipandang
dari dimensi perwujudannya, karamah wali itu dapat dibagi menjadi dua jenis.
Pertama, karamah hissiyyah yaitu karamah yang berhubungan dengan indera,
seperti berjalan di atas air dan mengobati orang sakit tanpa menggunakan
diagnosis medis. Kedua, karamah maknawi, yaitu karamah wali yang terkait dengan
bimbingan ruhani (spiritual) secara langsung dibimbing oleh Nabi Muhammad saw.,
yang dalam literatur tasawuf disebut dengan talqin barzakhi, dan atau
petunjuk-petunjuk Ilahiyah yang secara langsung disampaikan kepada wali (nûr
al-ladzi yaqdzifuhu Allah fî qalb al-‘abd bi ghair hassah wa la wasithah). Kedua
jenis karamah tersebut, sebagaimana telah diinformasikan oleh beberapa penulis
sejarah perkembangan Islam di Tatar Sunda dan tanah Jawa pada umumnya, dan juga
sebagaimana dilukiskan dalam naskah-naskah babad, melekat pada ketokohan Syarif
Hidayatullah.
Di dalam Babad Tanah Sunda,
misalnya, banyak dilukiskan tentang peristiwa-peristiwa historis yang
menunjukkan tentang adanya karamah dalam diri Syeikh Syarif Hidayatullah. Salah
satu peristiwa yang menunjukkan adanya karamah hissiyyah yang dinisbahkan kepada
Syarif Hidayatullah adalah sebagaimana dilukiskan dalam Babad Tanah Sunda dan
Babad Cirebon. Disebutkan bahwa suatu ketika, Syarif Hidayatullah muda hendak
menunaikan rukun Islam kelima (haji) ke Baitullah. Ia dibekali oleh ibunya
(Larasantang atau Syarifah Mudaim) uang sejumlah seratus dirham. Di tengah
perjalanan, ia dihadang sekelompok perampok (penyamun). Tanpa basa-basi, semua
uang pemberian ibunya sebanyak seratus dirham, ia berikan kepada para penyamun
tersebut. Para penyamun tidak merasa puas dengan tindakan Syarif Hidayatullah,
mereka menyangka bahwa ia membawa uang lebih dari sekedar yang diberikannya
kepada mereka. Mereka terus memaksanya untuk memberikan harta yang dibawanya.
Melihat hal tersebut, Syarif Hidayatullah malah tersenyum dan menyuruh mereka
untuk melihat ke sebuah pohon, “Ini ada satu lagi, sebuah pohon dari emas,
bagilah di antara kawan-kawanmu”. Ternyata, pohon yang ditunjuknya terlihat
seperti terbuat dari emas. Para penyamun semakin penasaran dan mereka terus
mengikuti Syarif Hidayatullah untuk meminta rahasia dari kelebihan Syarif
Hidayatullah. Akhirnya mereka masuk Islam dan menjadi murid dari Syarif
Hidayatullah. Masih dalam buku yang sama, disebutkan bahwa ketika berangkat
dari Mesir ke Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah tidaklah menggunakan perahu,
tetapi ia justru berjalan di atas air laut.
Dalam Serat Walisana dengan langgam
durma diceritakan pula sebuah peristiwa yang dinisbahkan kepada Syeikh Syarif
Hidayatullah dan masih menunjukkan karama kewaliannya. Peristiwa itu terjadi
pada sebuah peperangan antara pasukan wali sanga (Demak) dengan para tentara
Majapahit. Dalam peristiwa itu diceritakan bahwa para wali mengeluarkan karamah
masing-masing. Dalam peristiwa tersebut, diceritakan bahwa Syeikh Syarif
Hidayatullah mengeluarkan surbannya dan setelah dikibaskan, maka muncul bala
tentara tikus yang tidak terbilang banyaknya (tikus maketi-keti / andeleg
marang jroning pabarisan/ kumarep angerobi…) menyerang bala tentara Majapahit
sehingga mereka panik dan berantakan. Masih banyak cerita lain berkenaan dengan
karamah hissiyyah yang dilekatkan pada tokoh satu ini. Mungkin saja, kalau
dipahami dari sudut pandang logika rasional empiris, peristiwa-peristiwa
tersebut tersebut dianggap sebagai sesuatu yang irrasional, mitos, atau legenda,
atau paling tidak hanya dianggap sebagai sesuatu yang personal dan sulit dicari
pembuktian empirisnya. Akan tetapi, jika dilihat dari perspektif tasawuf,
peristiwa-peristiwa tersebut merupakan hal yang mungkin dan masih dalam
kerangka sunnatullah. Dalam hal ini, banyak berita gaib yang diinformasikan
oleh al-Qur’an dan Hadits Nabi saw. yang dapat dijadikan sandaran argumentasi
atas terobosan cahaya Ilahi wali Allah yang kharik al-‘adah dan tidak berada
dalam tataran sunnatullah yang common sense. Misalnya, karamah terjadi pada
Maryam binti Imran yang mendapat hidangan dari surga. Tatkala melahirkan Nabi
Isa a.s., Maryam pun mendapatkan kurma yang didapatkannya dari pohon kurma yang
telah mengering (QS Maryam ayat 25 dst). Begitu pula peristiwa yang terjadi
pada Asof bin Barkhoya, panglima tentara Nabi Sulaiman a.s. yang mampu
memindahkan istana Ratu Bilkis dari Saba (Yaman) ke negeri Syam (Syiria) dalam
tempo sekejap mata (QS al-Naml ayat 38-40).
Adapun peristiwa-peristiwa yang
menunjukkan adanya karamah maknawi pada diri Syeikh Syarif Hidayatullah adalah
beberapa peristiwa yang menjelaskan pertemuannya dengan pada nabi, di antaranya
Nabi Ilyas a.s. dan terutama pertemuannya dengan Nabi Muhammad saw. Dalam
perjumpaan (ruhani) tersebut, ia menyerap bimbingan dan mendapatkan pengukuhan
tentang maqam yang diraihnya. Diceritakan dalam Babad Tanah Sunda Babad Cirebon
bahwa Syeikh Syarif Hidayatullah mengaku pernah bertemu dengan Nabi Muhammad
saw. dan sekaligus mendapat wejangan dari Nabi saw. berbunyi, “Jangan menghebat-hebatkan
dan mengunggul-unggulkan sesuatu yang tiada amal kebajikan dan janganlah
menduduki yang bukan maqamnya”. Diceritakan pula bahwa Nabi Muhammad saw.
pernah mengajarkan tentang syahadat lathifat al-sirr (atau dalam literatur sufi
disebut manhaj al-dzikr) sekaligus mengukuhkan Syeikh Syarif Hidayatullah
sebagai insân al-kâmil dan atau wali quthb, yang secara lengkap berbunyi, “Aku
memberi gelar insân al-kâmil, menjabat sebagai wali quthb, sebagai wakil
mutlak-ku”.
Terjadinya karamah maknawi sebagaimana
dialami oleh Syeikh Syarif Hidayatullah, apabila merujuk literatur tasawuf yang
membahas tentang kewalian, hal tersebut bukanlah merupakan hal yang aneh
melainkan sesuatu yang biasa (lazim). Bahkan banyak para sufi yang mengaku
telah mengalami hal serupa, terutama bertemu dan mendapat pengajaran dari Nabi
Muhammad saw. Di antara mereka adalah Syeikh Ibn al-‘Arabi, Syeikh Abu Madyan
al-Maghribi, Syeikh Abd al-Rahman al-Qunawi, Syeikh Musa al-Zawawi, Syeikh Abu
Hasan Syadzili, Syeikh Abu al-Abbas al-Mursi (686 H), Syeikh Abu Su’ud bin Abi
al-‘Asya’ir, Syeikh Ibrahim al-Mabtuli (682 H), Syeikh Jalal al-Din al-Suyuthi
(911 H), Syeikh Ahmad Zawawi (812 H), Syeikh Sayyidina Ali al-Khawashi, Syeikh
Sayyid Ahmad al-Rifa’I, Syeikh Sayyid Abu al-Abbas al-Thanji, Syeikh Abd
al-Aziz al-Dhabagi, Syeikh Nur al-Din al-Suni, dan al-Thawwasi (1165 H).
Menurut K.H. Badri Masduki, seorang Muqaddam tarekat Tijaniyah Probolinggo,
pertemuan para wali dengan Nabi Muhammad saw. dalam keadaan jaga merupakan
karunia Allah sebagai tabsyir untuk hamba-hamba-Nya yang shalih. Ia mengutip
sebuah ayat al-Qur’an surat Yunus ayat 63, “Allah akan memberikan kegembiraan
kepada mereka di dunia dan akhirat“.
Syeikh Jalal al-Din al-Suyuthi
memberikan penjelasan tentang ayat ini terutama kata lahum al-busyra dengan
ru’ya al-shalihah. Selanjutnya dikatakan bahwa Allah memperlihatkan ru’ya
al-shalihah tersebut dalam keadaan jaga. Di antara ru’ya al-shalihah tersebut
adalah pertemuan dengan Rasulullah saw. K.H. Badri Masduki pun berpendapat bahwa
pertemuan seorang wali dengan Nabi Muhammad saw. merupakan salah satu dari
karamah para wali. Hal ini berarti bahwa bertemu dengan Nabi Muhammad saw.
dalam keadaan terjaga (yaqzah) merupakan karamah yang hanya dapat dilakukan
oleh manusia-manusia pilihan yang telah mencapai maqam ma’rifah. Untuk lebih
jelas, di sini dikutipkan beberapa pengakuan beberapa wali yang menyatakan
bahwa ia telah bertemu dengan Nabi Muhammad saw. Pertama, Syeikh Jalal al-Din
al-Suyuthi (w. 911 H; t.t.:44), mengaku telah melihat Nabi Muhammad saw. dalam
keadaan jaga. Ia berkumpul dengan para rasul lainnya lebih dari tujuh puluh
kali.
Pengakuan ini menunjukkan bahwa
pertemuan bersama Rasulullah berlangsung dalam keadaan jaga. Kedua, Syeikh Abi
Hasan al-Syadzali (w. 686 H), mengungkapkan pengalamannya, “Ma katabtu harf fi
hidzb min ahzâb illa bi amr Rasulullah saw (Aku tidaklah pernah menulis satu
huruf pun dari hizb-hizbnya [kumpulan do'a] kecuali atas perintah Rasulullah.
Pengakuan ini menegaskan bahwa do’a-do’a hizb yang ditulisnya diakui bersumber
langsung dari Rasulullah. Ketiga, Syeikh Ibrahim al-Matbuli (w. 682 H) mengaku
dan menyatakan, “Laisa lî syaikh illa Rasul Allah saw. (Aku tidak mempunyai
guru kecuali Nabi Muhammad saw.)”. Keempat, Syeikh Abd al-Qadir al-Jilani (w 561
H) mengaku berdialog dengan Nabi Muhammad saw. untuk meminta petunjuk dalam
rangka menghadapi jamaah yang ingin mendapat bimbingannya. Kelima, Syeikh Abu
al-Abbas al-Mursi pernah berkata, “Kalau Nabi Muhammad saw. hilang dari
pandanganku selama sedetik, maka saya tidak merasa menjadi muslim”. Keenam,
Syeikh Ahmad al-Zawawi telah mengaku bercakap-cakap dan berkumpul dengan Nabi
Muhammad saw. Pengakuan pengalaman para wali tersebut menunjukkan bahwa
bimbingan Nabi Muhammad saw. tidak pernah putus dengan wafatnya beliau.
Dalam melihat pengalaman para wali
tersebut, pengarang al-Mizan menjelaskan bahwa dalam keadaan jaga ruh para wali
Allah dapat ijtima (berkumpul) dengan ruh Rasulullah saw. untuk mendapatkan
bimbingan langsung dari beliau, dan hal itu mungkin terjadi dalam keadaan jaga.
Penjelasan ini menegaskan bahwa komunikasi spiritual antara wali dengan nabi
Muhammad saw. tidaklah putus. Bahkan dalam Tanbih al-Muqatarin dikatakan bahwa
apbila wali mengalami kesulitan dalam melakukan mujahadah, maka mereka menghadapkan
ruhnya kepada nabi Muhammad saw. dan apabila telah hadir di hadapannya, mereka
memohon bimbingan dan petunjuk dari Nabi mengenai kaifiyat amalan yang
dilakukannya. Menurut keyakinan para wali Allah, sebagaimana dikatakan Sayyid
Ali al-Khawwas (w. 291), berkumpul dengan Nabi Muhammad saw. dalam keadaan jaga
merupakan bukti kesempurnaan ma’rifah seorang wali atau dalam arti khusus wali
Allah. Lebih jauh, ia mengatakan bahwa la ya’lamu abd fî maqâm al-irfân hatta
yashira yajtami’ bi Rasul Allah saw. yaqadhaz wa musyafahah” (Seorang hamba
belum dapat dikatakan sempurna di dalam ma’rifah, sampai ia berkumpul dengan
Rasulullah saw. secara langsung dalam keadaan jaga). Pendapat ini menegaskan
bahwa bertemu dengan Nabi Muhammad saw. dalam keadaan jaga merupakan salah satu
kesempurnaan ma’rifah. Ini berarti pengalaman tersebut hanya akan diperoleh
seorang wali yang telah melewati maqamat secara bertahap melalui tarbiyah
spiritual sampai maqam ma’rifah.
Dalam al-Jaisy al-Kafil dikatakan
bahwa apabila seorang wali telah bertemu dengan nabi Muhammad asw. Secara
yaqzah, maka hatinya merasa tegar dalam arti sedikit sekali kemungkinan maqam
yang telah dilaluinya dicabut, lebih dari itu ia akan tambah yakin bahwa ada
kemungkinan meraih maqam yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pertemuan dengan Nabi Muhammad saw. dalam keadaan jaga merupakan hal yang
didambakan oleh para wali. Mereka meyakini bahwa apabila hal tersebut belum
dialami, maka hati mereka tidak akan tenang. Karena menurut keyakinan mereka,
hal ini erat kaitannya dengan maqam yang telah diraihnya, dalam arti apabila
hal tersebut belum dialami oleh seorang wali, maka maqam wali bersangkutan
masih ada kemungkinan dicabut kembali oleh Allah atau maqam yang telah
diraihnya tidak akan meningkat. Hal lain, menurut hemat saya, pertemuan wali
dengan Rasulullah saw. dalam keadaan jaga adalah dalam rangka meningkatkan
ketegaran lahir batin bagi tugas-tugas yang diamanatkan oleh Nabi Muhammad saw.
kepadanya, yaitu perintah untuk melaksanakan dakwah di jalan Allah.
Sebagai komparasi, apabila Nabi
diberi wahyu dan mu’jizat untuk ketegaran dakwahnya, maka wali diberi bimbingan
oleh Nabi saw. melali pertemuan barzakiyah secara yaqzah. Jelaslah bahwa
pengakuan Syeikh Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nabi Muhammad saw. dan
mendapat bimbingan darinya menunjukkan dirinya telah mencapai kesempurnaan
ma’rifah. Di antara ciri-ciri yang telah mencapai kesempurnaan ma’rifah adalah
ia melakukan dakwah melalui pendekatan hikah (bijaksana), yakni mengajak umat manusia
ke jalan Allah sesuai dengan kemampuan akalnya (‘an yukhatib al-nas ‘ala qadr
uqulihim). Di antara bukti pendekatan hikmah dalam dakwah Syeikh Syarif
Hidayatullah tercermin dalam kisah berikut yang dituturkan Sulendraningrat
dalam Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon (t.t.:54). Pada suatu hari para wali
songo mengadakan pertemuan setelah perang Demak melawan Brawijaya (raja
Majapahit akhir). Pada waktu itu, Pangeran Kudus datang ke tempat pertemuan
tersebut dengan membawa tawanan perang, di antaranya adalah Dipati Teterung.
Pangeran Kudus berkata bahwa semoga para wali menerima semua tawanan tersebut.
Namun untuk kasus Dipati Teterung, Pangeran Kudus memohon agar Dipati tersebut
dihukum pancung, karena telah membunuh Sunan Ngudung. Namun Syeikh Syarif Hidayatullah
berpendapat lain; dengan bijak ia menyarankan agar Dipati tersebut diampuni dan
dianjurkan untuk memeluk agama Islam.
Menyoal gugurnya Sunan Ngudung,
Syeikh Syarif Hidayatullah menyebutnya sebagai sebuah upaya penyempurnaan
derajat kewaliannya sebagai syuhada fi sabil Allah. Terdapat bukti lain yang
menunjukkan tentang kebijaksanaan yang ditempuh oleh Syarif Hidayatullah dalam
melakasanakan dakwahnya. Di antaranya, disebutkan oleh Wiji Saksono (1995:97)
bahwa, Syeikh Syarif Hidayatullah telah memperbaiki doa mantra (pengobatan
batin) firasat, dan jampi-jampi (pengobatan lahir) dan hal-hal yang berkenaan
dengan pembukaan hutan ataupun dalam pembukaan dan pembangunan wilayah baru.
Dengan cara ini, menurut Sulendraningrat (t.t.: 85-86), banyak orang Cirebon
dan sekitarnya memeluk Islam. Diceritakan oleh Sulendraningrat (t.t.: 85-86)
bahwa suatu ketika, Syeikh Syarif Hidayatullah bertanya kepada Pangeran
Kuningan tentang cara-cara mengIslamkan raja-raja Pasundan. Pada waktu itu
Pangeran Kuningan menjawab bahwa dirinya memiliki suatu jimat yang dapat
mendatangkan bala tentara yang banyak dengan cara mengumpulkan kerikil dan
jamur merang yang ditetesi dengan jimat cupu tirta bala. Setelah dilakukan uji
coba, maka tiba-tiba muncul bala tentara yang sangat banyak dan memenuhi
alun-alun Cirebon. Peristiwa ini menimbulkan rasa kaget dan heboh di kalangan
penduduk Cirebon. Lalu Syeikh Syarif Hidayatullah membacakan do’a tolak bala.
Tatkala selesai berdoa tersebut, maka bala tentara Pangeran Kuningan itu seketika
hilang dan kembali ke asalnya. Syeikh Syarif Hidayatullah berkata, “Dipati
Awangga, telah aku bacakan do’a tolak bala, karena itu bala tentara ciptaan itu
hilang. Bala tentara ciptaan itu sungguh tidak ada gunanya bagi tentara auliya.
Apabila dilihat dari segi ciri-ciri kewalian sebagaimana telah diuraikan di
atas, maka jelas bahwa Syarif Hidayatullah merupakan salah seorang wali yang
telah mencapai maqam ma’rifah. Karenanya sangat tepat bila para wali lainnya di
tanah Jawa menganggapnya sebagai wali quthb (poros). Demikianlah, ciri-ciri
kewalian yang ditampilkan Syarif Hdiayatullah, yang kesempurnaan ma’rifahnya
diupayakan untuk meraih posisi waratsat al-anbiyâ (pewaris Nabi). Untuk itu ia
memandang penting arti penting tampilnya sorang wali di tengah-tengah
masyarakat, hal ini merupakan bentuk lain dari ketaatan kepada Allah dan
Rasulnya.
Daftar Pustaka
* Hasan Efendi. 1994. Petatah
Petitih Sunan Gunung Djati: Dari Aspek Nilai dan Pendidikan. Indra Prahasta.
* Harazim, Ali. 1985. Jawahir
al-Ma’ani wa Bulugh al-Ma’ani. Mesir: Maktabah Abd al-Ghani. * Hujwiri, al.
1993. Kasyf al-Mahjûb. Bandung: Mizan.
* Nabhani, Jusuf al-. T.T. Jami
Karamât al-Nabhani. Beirut: Maktab al-Fikr.
* Sulama, Ibrahim al. 1969. Tabaqât
al-Shuffiyyah. Kairo: Maktabah al-Khanzi.
* Sulendraningrat, P.A. T.T. Babad
Tanah Sunda, Babad Cirebon. * Syanqiti, al. 1961. Al-Jaisy al-Kafil. Mustafa
al-Bâbi al-Halaby. * Sya’rani, al- T.T. Al-Mizan al-Kubra. Mesir: Dar
al-Ma’rifah.
* Tirmidzi, al. T.T. Kitâb Khatm
al-Auliyâ. Beirut: Al-Maktabah Katulikiyyah.
* Yoseph Iskandar. 1998. Negara
Gheng Islam Pakungwati Cirebon. Bandung: Padepokan Ciapus. * Yuyus Suherman.
1995. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda. Bandung:Pustaka.
* Widji Saksono. 1995. MengIslamkan
Tanah Jawa. Bandung: Mizan.
*Sumber :
http://sundaislam.wordpress.com/2008/01/22/syarif-hidayatullah-dalam-perspektif-kewalian/
No comments:
Post a Comment