Ceramah Ki Ageng Suryomentaram ini
disampaikan beliau dalam pertemuan Junggring Salaka Agung ke VIII di Surabaya,
pada tanggal 30 Agustus 1954.
Orang sering merasa kesulitan karena
tidak mengerti diri sendiri. Kesulitan tersebut dapat dipecahkan bila orang
mengerti diri sendiri. Maka mengetahui diri sendiri dapat memecahkan berbagai
macam kesulitan. Pengertian diri sendiri ini disebut "pangawikan pribadi"
atau "pengetahuan diri sendiri." Oleh karena orang itu terdiri atas
jiwa dan raga, sedangkan yang dibicarakan di sini hanya mengenai jiwa saja.
Jadi pengetahuan diri sendiri atau pangawikan pribadi di sini dimaksudkan
pengetahuan hal jiwa. Meskipun jiwa itu tidak dapat ditangkap oleh panca
indera, tetapi orang merasa bahwa jiwa itu ada, maka jiwa adalah rasa. Jadi
pangawikan pribadi berarti pengertian terhadap rasanya sendiri. Pribadi yang
dimaksudkan di sini bukanlah pribadi yang muluk-muluk tetapi pribadi yang
merasa apa-apa, yang memikir apa-apa dan yang ingin apa-apa.
Pribadi diri kita sendiri ini
terjadi dari rasa-rasa banyak sekali dan rasa-rasa tersebut ada yang dangkal,
ada yang dalam, dan ada yang dalam sekali. Tentu saja mengetahui diri sendiri,
rasa-rasa sendiri ini, lebih dahulu mengetahui rasa-rasa sendiri yang dangkal,
sebab rasa-rasa yang dangkal lebih mudah diketahui dari pada rasa-rasa yang
dalam. Jika orang sudah biasa mengetahui rasa sendiri yang dangkal dapatlah
orang mulai mengetahui rasa sendiri yang dalam. Meskipun rasa sendiri yang
dangkal itu mudah diketahui tetapi orang sering tidak mengetahui. Maka banyak
kesulitan-kesulitan yang dapat dipecahkan oleh karena dapat mengetahui rasa
sendiri yang dangkal. Marilah saudara-saudara saya ajak bersama-sama mengetahui
diri sendiri yang dangkal. Diri kita sendiri ini dapat mencatat atau memotret.
Orang melihat sesuatu itu berarti memotret sesuatu tersebut. Misalnya orang
melihat meja, artinya orang tersebut memotret meja dan di dalam rasa orang
tersebut lalu ada potret meja atau gambar meja. Potret meja tersebut bukanlah
meja. Meja dan potret meja tersebut merupakan dua benda yang terpisah, tidak
ada sangkut pautnya. Demikian juga orang mendengar sesuatu, misalnya mendengar
lagu, orang itu memotret lagu. Dalam rasa orang itu lantas ada potret lagu dan
potret lagu tersebut bukanlah lagu.
Demikian juga orang dapat memotret
dengan indera yang lain yaitu pembau, peraba dan perasa. Kecuali memotret
barang-barang yang dapat ditangkap oleh panca indera, orang dapat pula memotret
rasa. Jika orang merasa sesuatu misalnya merasa haus orang tersebut memotret
rasa haus, lalu di dalam rasa ada potret rasa haus. Potret rasa haus tersebut
bukanlah rasa haus. Mengetahui diri sendiri dapat memotret itu adalah
mengetahui diri sendiri yang paling dangkal. Selanjutnya dapat mengetahui diri
sendiri yang lebih dalam, Maka mengetahui diri sendiri itu berurutan mulai dari
yang dangkal sampai pada yang dalam. Kecuali dapat memotret orang dapat pula
menggagas atau mengarang. Misalnya ia mengarang kuda berkepala orang lantas ada
gambar kuda berkepala orang dalam rasa orang tersebut. Gambar kuda berkepala
orang tersebut bukanlah potret tetapi karangan sebab barangnya yang dipotret
tidak ada. Gambar kuda berkepala orang tersebut bahannya diambil dari potret
kuda dan orang. Potret kuda dihilangkan kepalanya dan diganti dengan kepala
orang. Kecuali dapat menggagas, orang dapat pula mencipta, misalnya mencipta
payung. Sebelum orang mencipta payung orang berpikir lebih dahulu bagaimana
caranya melindungi badan agar supaya tidak basah pada waktu kehujanan. Bila
pemikiran telah selesai terciptalah barang yang disebut payung. Maka
barang-barang bikinan orang adalah ciptaan orang. Ciptaan dapat diwujudkan
menjadi barang sedangkan gambar tidak dapat diwujudkan menjadi barang. Jadi
mencipta dan menggagas itu berlainan. Kecuali menggagas barang-barang, orang
dapat pula menggagas rasa, misalnya menggagas rasa susah selamanya. Bila
gagasan rasa itu dikira potret rasa maka akan timbul kesulitan. Banyak sekali
gagasan-gagasan rasa yang dikira potret rasa. Maka orang banyak mendapatkan
kesulitan sebab gagasan dikiranya potret. Bila gagasan tersebut diketahui,
kesulitan karena hal tersebut akan hilang. Orang miskin merasa dirinya celaka
lalu menggagas bila ia menjadi orang kaya maka ia akan merasa bahagia. Bahagia
tersebut bila diteliti berarti senang terus menerus atau selamanya. Jadi
bahagia tersebut adalah gagasan bukan potret. Orang kaya itu memang ada dan
dapat dipotret. Pengalaman (lelakon) orang kaya itu ada dan dapat dipotret.
Tetapi kebahagiaan orang kaya itu tidak ada, maka tidak dapat dipotret. Jadi
kebahagiaan seperti di atas adalah gagasan.
Misalnya orang merasa celaka (malang
nasibnya) dan segala usaha untuk mencari kebahagiaan sudah tidak dapat, orang
lantas menggagas, nanti sesudah mati akan mendapat kebahagiaan. Kebahagiaan
nanti sesudah mati itu adalah gagasan. Bila gagasan tersebut diketahui maka
gagasan tersebut akan lenyap sehingga tidak lagi menimbulkan kesulitan.
Biasanya orang menggagas kebahagiaan sesudah mati itu demikian: Orang mati itu
yang rusak raganya sedang jiwanya atau sukmanya tidak rusak. Jadi gagasan akan
mendapat kebahagiaan sesudah mati itu berarti yang bahagia adalah sukmanya.
Salah satu gagasan mendapat kebahagiaan sesudah mati itu demikian: Sukma
tersebut menjelma menjadi orang lagi yaitu menjadi orang kaya, mulia dan
berkuasa. Sedang gagasan bahagia yang lain demikian: Sukma tersebut bersatu
dengan Hyang Sukma. Jadi gagasan itu berbeda-beda sebab orang menggagas itu
bebas dan dapat sekehendaknya sendiri. Oleh karena gagasan itu berbeda-beda
maka orang menjadi bertengkar. Bila orang yang mempunyai gagasan yang sama itu
menggerombol, maka gerombolan tersebut akan berperang dengan gerombolan lain
yang mempunyai gagasan yang berlainan. Jadi gagasan itu menimbulkan perpecahan
dan peperangan. Meskipun yang menimbulkan peperangan itu hanya gagasan, tetapi
tembak menembaknya sungguh-sungguh bukan gagasan. Demikianlah gagasan itu bila
tidak diketahui akan menimbulkan kesulitan. Misalnya orang merasa celaka
(malang nasibnya) dan segala usahanya untuk mendapat kebahagiaan sudah tidak
dapat, lantas menggagas demikian: Kalau negara diatur "begini" maka
orang akan bahagia. Ada orang lain lagi memikir bahagia demikian: Kalau negara
diatur "begitu" maka orang akan bahagia, Padahal "begini"
dan "begitu" tersebut berbeda maka orang akan bertengkar. Jika orang
yang mengatakan "begini" atau "begitu" tersebut
menggerombol maka akan terjadilah peperangan. Peperangan tersebut terjadi oleh
karena undang-undang yang ditempeli gagasan bahagia. Demikianlah gagasan itu
bila tidak diketahui dapat menimbulkan perang. Ada lagi gagasan menimbulkan
kesulitan. Yaitu anggapan bahwa teh enak, kopi enak dan limun enak. Minuman
terasa enak itu bagi orang yang merasa haus, sedangkan yang diminum itu teh,
kopi atau limun bukanlah soalnya. Jadi teh enak, kopi enak dan limun enak
adalah gagasan, bukan potret. Jika gagasan itu dianggapnya potret orang akan
berebutan teh, kopi dan limun. Demikianlah gagasan itu menimbulkan pertikaian.
Ada lagi gagasan yang menyebabkan
timbulnya pertengkaran yaitu: baju-sutera-baik dan baju-belaco-jelek. Potret
rasa yang sebenarnya demikian: Orang merasa dingin kemudian memakai baju
sehingga merasa enak dan baik. Apakah bajunya dari bahan sutera atau belaco
bukanlah menjadi soal. Gagasan sutera baik sedangkan belaco jelek tersebut
menyebabkan orang berebutan sutera sehingga menimbulkan peperangan. Demikianlah
gagasan dapat menimbulkan peperangan. Ada lagi gagasan yang menimbulkan
pertengkaran, yaitu gagasan orang tampan dan orang cantik yang dihubungkan
dengan perkawinan. Potret keindahan seperti hidung mancung atau pesek dan kulit
kuning atau sawo matang itu memang ada tetapi keindahan tersebut tidak ada
hubungannya dengan perkawinan. Orang cantik dan tampan dalam perkawinan yang
berasal dari rasa hidup untuk melangsungkan jenis itu berasal dari rasa butuh.
Jika sedang butuh, orang akan kelihatan cantik atau tampan dan apabila orang
sedang tidak butuh, tidak kelihatan cantik atau tampan. Apabila gagasan orang
cantik atau tampan tersebut diketahui, orang tidak berebutan wanita cantik atau
pria tampan dan tidak lagi bersaingan merasa lebih cantik atau lebih tampan.
Demikian gagasan menimbulkan pertikaian dan peperangan. Jadi diri sendiri dapat
memotret dan menggagas. Banyak persoalan dapat dipecahkan dengan cara
membedakan potret dan gagasan. Apabila orang sudah jelas dengan gagasannya
orang dapat melanjutkan meneliti diri sendiri yang lebih dalam yaitu "si
tukang menggagas". Mengapa diri sendiri selalu menggagas? Diri sendiri
selalu menggagas karena diri sendiri merasa celaka.
TUKANG MENGGAGAS
Orang miskin merasa ceiaka lalu menggagas
kebahagiaan orang kaya, Orang yang rendah derajatnya menggagas tinggi
derajatnya, orang yang tidak berkuasa menggagas berkuasa, jelek menggagas baik,
curang menggagas jujur, pemarah menggagas sabar, pemalas menggagas rajin dan
sebagainya. Jadi yang menggagas itu "si-merasa-celaka". Gagasan itu
cita-cita meskipun yang di cita-citakan itu bermacam-macam, tetapi pada
pokoknya mencari kebahagiaan. Jadi si-merasa-celaka mencari kebahagiaan.
Si-merasa-celaka itu menelorkan bermacam-macam rasa yang saling berlawanan.
Bahagia dan celaka, baik dan buruk, ingin dan menahan keinginan, sabar dan
pemarah. Rasa-rasa yang berlawanan tersebut menimbulkan pertentangan dalam
batin sehingga menyebabkan orang merasa tidak tenteram. Dalam pertentangan rasa
yang berlawanan tersebut oreng sering membela salah satu. Bila yang dibela
kalah, orang merasa menyesal. Misalnya bila orang membela si jujur dalam
pertengkarannya dengan si curang. Apabila si curang yang menang sehingga
perbuatan curang terlaksana, orang merasa menyesal. Demikian pula jika membela
si jujur sehingga perbuatan jujur terlaksana orangpun merasa menyesal. Pada
waktu orang membela salah satu rasa berlawanan tersebut orang menyatukan
dirinya dengan salah satu rasa. Pada waktu orang menyatukan dirinya dengan rasa
curang, orang merasa "aku si curang", dan pada waktu orang menyatukan
dirinya dengan rasa jujur, orang merasa "aku si jujur". Oleh karena
pertentangan rasa berlawanan tersebut, orang sering menjadi bingung sehingga
punya pendapat bahwa pertentangan rasa berlawanan tersebut merupakan ujian
hidup. Jika lulus, orang akan mendapat karunia.
Demikian jika orang tunduk kepada
rasa berlawanan. Apabila orang tidak menyatukan dirinya dengan salah satu,
orang akan dapat meneliti rasa berlawanan tersebut sampai kepada sumbernya
yaitu si-merasa-celaka. Si merasa celaka itulah si tukang menggagas bahagia.
Pada waktu orang akan meneliti rasa celakanya sendiri, orang akan bertemu
dengan rasa benci terhadap rasa celakanya sendiri. Bila benci kepada rasa
celakanya sendiri, orang akan menutupi rasa celakanya sendiri tersebut dengan
mengidam-idamkan kebahagiaan. Bila usaha untuk menutupi tersebut diketahui,
rasa benci akan lenyap sehingga tidak akan menutupi lagi. Bila rasa benci sudah
lenyap orang akan bertemu dengan rasa senang terhadap celakanya sendiri, yang
menutupi untuk dapat melihat rasa celakanya sendiri dan membela rasa senangnya
itu. Dalam hatinya berkata: "Jika orang tidak merasa celaka itu tidak ada
kemajuannya, maka orang itu harus berprihatin." Jika rasa senang terhadap
celakanya sendiri yang menutupi itu diketahui, rasa senang tersebut lenyap
sehingga orang dapat melanjutkan meneliti rasa celakanya sendiri. Kemudian
orang akan bertemu dengan rasanya sendiri yang akan berusaha mengubah rasa
celakanya sendiri. Selama ada usaha untuk mengubah, orang tidak akan mengetahui
rasa celakanya sendiri yaitu si-tukang-menggagas. Bila diketahui bahwa usaha
mengubah rasa celakanya sendiri itu menutupi, usaha itu akan lenyap sehingga
orang akan jelas melihat rasa celakanya sendiri yaitu "Aku Kramadangsa
celaka". Kramadangsa itu rasa namanya sendiri. Kalau namanya Suta, orang
merasa aku si Suta dan jika namanya Naya, orang merasa aku si Naya. Apabila
orang sudah merasa "Aku Kramadangsa celaka," maka dapatlah orang
meneliti rasa eelakanya sendiri. Kemudian orang dapat menelusuri dirinya
sendiri mencari rasa celakanya. Apakah melarat itu celaka? Dan bagaimanakah
celakanya orang melarat? Apakah orang yang berpangkat rendah itu celaka? Apakah
merasa curang itu celaka? Apakah merasa pemarah itu celaka?
Dengan diteliti cara demikian rasa
celakanya sendiri tidaklah ketemu. Bila diteliti lebih mendalam lagi, akan
diketemukan bahwa rasa celaka tersebut hanyalah rasa yang tidak mau dalam
keadaan lahir atau batin yang sewajarnya, sekarang, di sini. Misalnya diri
sendiri sekarang di sini melarat, tetapi tidak mau, maka celakalah rasanya.
Sekarang diri sendiri pemarah, tetapi tidak mau, maka celakalah rasanya.
Sekarang diri sendiri curang, tetapi tidak mau, maka celakalah rasanya. Jadi
celaka itu hanyalah: "Sekarang di sini begini, aku tidak mau." Jadi
bahagia itu hanyalah: "Sekarang di sini begini, aku mau." Jika
sekarang di sini melarat atau kaya, aku mau, bahagialah orang itu. Jika
sekarang di sini merasa curang atau jujur, aku mau, bahagialah orang itu. Jadi
bahagia dan celaka itu tergantung pada diri sendiri. Di sini akan menimbulkan
kesulitan yang berupa pertanyaan: "Jika demikian orang tidak mau
berusaha." Kesulitan tersebut timbul hanyalah karena kurang telitinya
orang menelusuri diri sendiri. Untuk jelasnya demikian. Kesulitan tersebut
timbul dari gagasan, yang menganggap bahwa orang dapat lepas dari berusaha.
Jika gagasan tersebut diketahui orang dapat melihat bah*a orang tidak mungkin
lepas dari berusaha. Maka lenyaplah kesulitan tersebut. Jika orang mengerti
bahwa bahagia atau celaka itu hanyalah tergantung pada diri sendiri, orang akan
dapat meneliti gagasan-gagasan celaka yang masih hidup dalam diri sendiri dan
dapat mengganti gagasan tersebut menjadi potret. Misalnya gagasan demikian: "Isteriku
ini memang cerewet." Gagasan tersebut dapat diganti potret demikian:
"Isteriku ini memang setia kepada suami, meskipun aku sudah diberhentikan
dari jabatanku, ia tidak minta cerai, tapi hanya cukup sering mengomeliku
saja." Jika gagasan sudah diganti potret, orang merasa enak sebab gagasan
itu rasanya tidak enak sedangkan potret rasanya enak. Bahagia dan celaka itu
hanyalah soal mau atau tidak mau. Agar lebih jelas perlu diberi contoh.
Misalnya ada dua orang berjalan bersama-sama dalam keadaan kehujanan. Yang satu
mau, maka rasanya bahagia sedangkan yang lain tidak mau, maka rasanya celaka.
Jadi meskipun dua orang tersebut dalam keadaan yang sama, tetapi yang satu
menanggapi dengan mau dan yang lain tidak mau. Maka bahagia dan celaka itu
hanyalah persoalan mau tidak mau. Rasa mau sekarang di sini itu adalah rasa
abadi. Di sini ada kesulitan yaitu tentang rasa abadi dan pengertian abadi.
Jika kesulitan ini belum terpecahkan orang tidak dapat merasakan rasa abadi.
Pengertian abadi itu ialah; dahulu ada, sekarang ada dan nanti pun tetap ada.
Dahulu begitu, sekarang begitu dan nanti pun tetap begitu. Waktu dapat dibagi
menjadi dua macam yaitu waktu luar dan waktu dalam (waktu jiwa). Waktu luar itu
wujudnya seperti satu menit, dua menit, setahun, dua tahun dan sebagainya.
Waktu jiwa itu wujudnya; tadi, kemarin, besok, dahulu dan nanti. Kramadangsa
hidup dalam waktu jiwa yaitu dahulu dan nanti. Maka Kramadangsa tidak berani
melihat diri sendiri sekarang di sini begini. Kramadangsa tua itu biasanya
sering hidup dalam waktu dahulu, rasanya demikian. "Dahulu waktu aku masih
muda dapat begini-begini." Maka bila ditanya oleh cucunya: "Sekarang
bagaimana mbah?" Jawabnya mencari-cari alasan begini: "Kalau sekarang
aku sudah bobrok dan takut kedinginan." Demikianlah Kramadangsa tua hidup
dalam waktu dahulu. Kramadangsa muda itu biasanya hidup dalam waktu nanti,
rasanya demikian: "Aku nanti akan begini begitu dan akan hebat." Maka
bila ditanya oleh neneknya, jawabnya mencari-cari alasan begini: "Kalau
sekarang jamannya memang tidak baik." Demikianlah Kramadangsa muda hidup
dalam waktu nanti. Rasa abadi itu rasa sekarang-disini-begini, tidak bercampur
dengan rasa kemarin, besok, dahulu dan nanti. Misalnya orang sedang berjalan di
jalan besar dan akan ketabrak mobil, kemudian melompat menghindari. Orang
tersebut hanyalah merasa "Sekarang di sini aku melompat," tidak
dicampuri rasa kemarin atau besok. Orang tersebut tidak sengaja merasa abadi,
hanyalah terpaksa oleh keadaan, yang harus diselesaikan tanpa berpikir panjang.
Bila rasa abadi tersebut diteliti
maka akan diketemukan perhatian terpusat hanya terhadap satu hal yaitu
melompat. Perhatian terpusat itu adalah perhatian bebas, maka rasa abadi adalah
perhatian bebas terhadap salah satu hal tidak tercampur dengan perhatian lain.
Bila mengerti bahwa merasa abadi itu dari rasa bebas, dapatlah orang dengan
sengaja merasa abadi. Tiap memusatkan perhatian terhadap sesuatu, tentu merasa
abadi meskipun yang diperhatikan tersebut barang yang dapat dilihat ataupun
dirasa. Rasa abadi dapat menghilangkan kesulitan yang berwujud menyesal dan
khawatir. Bila rasa menyesal diperhatikan sepenuhnya dan diteliti, tanpa senang
dan benci, tanpa berusaha untuk mengubah, maka dapatlah orang merasakan rasanya
sehingga terlihat kejadiannya dan terlihat pula sebabnya. Sesal adalah gagasan
luka dalam hati, bila diperhatikan sepenuhnya sampai selesai, sesal tersebut
lenyap dan luka dalam hati akan sembuh. Demikian pula rasa khawatir bila
diperhatikan sepenuhnya dan diteliti, tanpa senang dan benci, tanpa berusaha
untuk merubah, lenyaplah rasa khawatir tersebut. Jadi rasa abadi dapat
melenyapkan rasa sesal dan khawatir. Kebalikan dari perhatian terpusat adalah
perhatian terpencar. Contoh perhatian terpencar misalnya, ketika sedang
bepergian yang diperhatikan rumahnya dan setelah di rumah yang diperhatikan
tempat lain. Perhatian terpencar itu menyebabkan orang tidak dapat selesai
memikir salah satu persoalan. Yang menyebabkan perhatian tidak terpusat atau
tidak bebas adalah kesulitan yang belum dapat dipecahkan, meskipun orang itu
merasa atau tidak merasa. Kesulitan yang belum dipecahkan tersebut sering
muncul untuk minta diperhatikan. Maka orang yang mempunyai banyak kesulitan
yang tidak terpecahkan, perhatiannya selalu ditarik ke sana ke mari. Kesulitan yang
tidak terpecahkan itu adalah suatu penyakit jiwa. Bila penyakit tersebut berat,
menyebabkan orang tidak dapat menerima pembicaraan orang lain.
Jadi penyakit jiwa tersebut,
menyebabkan orang merasa sepi. Bila kesulitan diperhatikan dengan sepenuhnya dan
diteliti sampai selesai, orang lantas merasa bebas perhatiannya, artinya orang
dapat memilih apa yang akan diperhatikan dengan bebas. Keadaan rasa bebas
memilih tersebut sehingga datangnya kesulitan baru. Jadi di antara selesainya
kesulitan dan datangnya kesulitan ada waktu yang kosong. Dalam waktu tersebut
orang dapat melihat hal yang sesungguhnya atau keadaan sejati. Misalnya melihat
burung terbang, orang merasakan keindahannya, melihat rumput yang hijau merasa
indah, melihat gunung yang besar merasa agung dan sebagainya. Kebalikannya,
bila ada kesulitan yang belum selesai orang tidak dapat melihat hal yang
sesungguhnya. Misalnya melihat burung terbang merasa iri, melihat gua ingin
digunakan untuk bersembunyi, bertapa dan sebagainya. Jadi waktu kosong antara
dua kesulitan merupakan pengalaman perhatian bebas. Demikianlah
"pangawikan pribadi" atau "pengetahuan diri sendiri" dapat
digunakan untuk memecahkan kesulitan. Demikian pula orang dapat mengetahui diri
sendiri mulai yang paling dangkal sampai kepada yang dalam.
UNSUR-UNSUR KRAMADANGSA
Bila Kramadangsa mati, orang akan
mengetahui unsur-unsur Kramadangsa. Kramadangsa itu terjadi dari
catatan-catatan: harta benda, pekerjaan, kehormatan, kekuasaan, keluarga,
gerombolan, bangsa, jenis, kepandaian, kepercayaan, rasa hidup dan sebagainya.
Jadi bila Kramadangsa mati orang akan dapat mempelajari unsur-unsur Kramadangsa
tanpa senang dan benci dan tanpa rasa ingin mengubah. Catatan-catatan yang
menjadi unsur-unsur Kramadangsa tersebut hidup, karena itu gerak dan diam dan
perlu makan. Unsur-unsur Kramadangsa itulah yang mendorong dan menggerakkan
Kramadangsa. Oleh karena itu bila orang tidak mengerti unsur-unsur Kramadangsa,
sering terkejut akan perbuatan sendiri yang tidak diduga-duga, misalnya:
bercerai dengan isterinya, menyumpahi dan mengusir anaknya, bertengkar dengan
tetangga dan sebagainya. Catatan harta benda wujudnya: catatan rumah, halaman,
sawah, harta dan sebagainya. Catatan harta benda tersebut hidup, oleh karena
itu ingin kelangsungan hidupnya, dan catatan tersebut dapat pula mati. Seperti
benda hidup lainnya catatan harta benda itu ada rasanya.
Catatan harta benda itu rasanya
lemah sekali. Misalnya rumah itu dapat bocor, lapuk dan dapat rusak. Oleh
karena merasa lemah, catatan harta benda berusaha agar menjadi kuat. Usaha
untuk menjadi kuat itu menumbuhkan Kramadangsa. Jadi Kramadangsa itu pesuruh
dari unsur-unsurnya. Kramadangsa itulah yang berusaha agar harta benda menjadi
kuat. Kramadangsa itu mengerti tentang aturan terjadinya benda (barang dumadi),
tetapi catatan harta benda tidak. Maka Kramadangsa itu hidup dalam ukuran
ketiga, sedang catatan harta benda hidup dalam ukuran kedua. Andaikata diserang
atau dirugikan, catatan harta benda tentu akan membela diri tanpa berpikir.
Bila rasa membela diri itu muncul dalam perasaan, Kramadangsa akan memikir
bagaimana untungnya membela diri. Jadi Kramadangsa itu adalah alat dari catatan
harta-benda agar menguntungkan dan menolak bila dirugikan. Demikian pula
unsur-unsur yang lain menggunakan Kramadangsa untuk membela diri. Antara
unsur-unsur Kramadangsa itu sering bertentangan antara satu dengan yang lain,
sehingga menyebabkan orang menemui kesulitan. Misalnya harta benda seseorang
dihabiskan oleh anaknya. Anak adalah unsur dari Kramadangsa dan harta bendapun
unsur dari Kramadangsa. Jadi dua unsur saling berselisihan. Perselisihan antara
unsur-unsur itulah yang menyebabkan orang menemui kesulitan. Bila kesulitan itu
diteliti, akan ketemu, bahwa catatan-catatan yang menjadi unsur Kramadangsa itu
ada yang salah. Jadi catatan itu dapat benar dan dapat pula salah. Catatan benar
rasanya enak, sedangkan catatan salah rasanya tidak enak. Bila orang mengerti
bahwa catatan itu dapat benar dan dapat pula salah, dapatlah orang meneliti
catatan salah untuk dibetulkan. Sebagai petunjuk yang jelas bahwa catatan itu
salah bila sudah terjadi kesulitan.
CATATAN BENAR dan CATATAN SALAH
Catatan harta benda sering salah.
Harta benda berguna untuk mencukupi kebutuhan hidup yaitu: makan, pakaian dan
tempat tinggal. Jika keliru, harta benda itu dipergunakan untuk mencari
kehormatan dan kekuasaan. Padahal kehormatan dan kekuasaan itu kebutuhan jiwa.
Apabila harta benda digunakan untuk mencukupi kebutuhan jiwa, orang merasa
tidak cukup, walaupun orang mempunyai berapa banyaknya harta benda, sehingga
orang akan berebutan harta benda. Bila kita mengerti bahwa harta benda berguna
untuk mencukupi kebutuhan raga atau hidup, orang akan tenteram, karena mengerti
bahwa kebutuhan raga itu sedikit sekali. Harta benda untuk kebutuhan jiwa tanpa
batas, sebab untuk bersaingan. Bersaingan itulah yang menyebabkan orang menjadi
sewenang-wenang. Bila harta benda digunakan untuk kebutuhan jiwa, maka
pekerjaan pun salah bila digunakan untuk bersaingan sehingga menyebabkan adanya
pekerjaan yang dianggap rendah, tinggi, halus dan kasar. Jadi bila terjadi
salah anggapan tentang pekerjaan maka akan ada pekerjaan bahagia dan celaka dan
ada tingkat (pangkat) pekerjaan. Pekerjaan yang tingkatnya rendah disebut
pekerjaan celaka dan yang tingkatnya tinggi disebut pekerjaan bahagia. Itulah
yang menyebabkan orang berebutan tingkat tinggi. Demikian bila pekerjaan
digunakan untuk kebutuhan jiwa menyebabkan orang berebutan pekerjaan tinggi
sehingga menimbulkan perselisihan.
Bila orang mengerti bahwa pekerjaan
itu digunakan untuk kebutuhan raga, maka orang akan merasa tenteram. Bila rasa
celaka muncul dalam perasaan, orang akan melihat bahwa rasa celaka demikian
adalah keliru, maka lenyaplah rasa celaka tersebut. Demikian selanjutnya bila
rasa celaka muncul kembali. Tiap kali celaka muncul, catatan salah tentang
pekerjaan yang menimbulkan rasa celaka tersebut menjadi benar. Bila catatan
pekerjaan yang menjadi unsur Kramadangsa sudah benar, Kramadangsa tidak lagi
merasa lebih tinggi atau kurang tinggi dengan orang lain dalam hal pekerjaan.
Apabila pekerjaan sudah tidak dibandingkan dengan orang lain, orang akan merasa
tenteram. Catatan kehormatan menyebabkan orang marah bila dihina dan tertawa
bila dihormati. Jika orang tidak mengerti sifat unsur kehormatan tersebut,
orang akan mengharapkan tidak marah bila dihina, sebab marah itu menyebabkan
berselisih bila lahir menjadi perbuatan. Harapan agar tidak marah tersebut
menjadi menahan marah. Marah yang ditahan itu tidak hilang marahnya, tetapi
hanya berganti rupa yang berwujud menggerutu, membicarakan orang lain dan
sebagainya. Orang sering lupa dengan marahnya sendiri yang sudah berganti rupa.
Bila orang tidak lupa dengan marahnya sendiri yang sudah berganti rupa dapatlah
melanjutkan meneliti marahnya sendiri sampai kepada sumbernya yaitu unsur
kehormatan yang dihina. Catatan kehormatan sering pula salah. Wujudnya berupa
pengertian demikian: "Dihormati itu rasanya enak." Catatan kehormatan
yang salah tersebut menyebabkan orang berusaha mati-matian agar supaya
dihormati. Inilah yang menyebabkan orang berebutan kehormatan.
Catatan kehormatan benar, berwujud
pengertian demikian: "Hormat itu rasanya enak." Hormat itu rasanya
enak, baik hormat itu dari diri sendiri kepada orang lain maupun dari orang
lain kepada diri sendiri. Bila mengerti bahwa hormat itu rasanya enak, orang
tidak usah menunggu dihormati oleh orang lain tetapi cukuplah menghormati orang
lain. Meskipun lahir atau tidak lahir menjadi perbuatan, menghormati itu
rasanya enak. Jadi enak dalam kehormatan itu pada diri sendiri tidak pada orang
lain. Bila catatan kehormatan yang menjadi unsur Kramadangsa sudah benar, orang
dapat melihat dan tidak lupa kepada rasanya sendiri, bila rasa minta dihormati
muncul dalam perasaan. Bila rasa minta dihormati itu ketahuan, tidak akan lahir
menjadi perbuatan minta dihormati. Mengetahui diri sendiri minta dihormati itu
menyebabkan rasa tenteram. Mengetahui diri sendiri minta dihormati itu berbeda
dengan menahan diri, agar tidak kelihatan minta dihormati. Menahan diri itu
rasanya gelisah, takut dan tidak enak, sedangkan mengetahui itu rasanya
tenteram, tabah dan enak. Jadi menahan diri itu mengandung rasa takut sedangkan
mengetahui itu mengandung rasa tabah. Catatan kekuasaan yang menjadi unsur
Kramadangsa dapat-pula benar dan salah. Bila catatan tersebut benar rasanya
enak, sedangkan Bila salah rasanya tidak enak. Jika Kramadangsa mati, orang
akan dapat melihat unsur kekuasaan tersebut. Unsur kekuasaan ini menyebabkan
orang menjadi benci bila diganggu dan menjadi senang bila dibantu. Bila orang
tidak mengerti unsur kekuasaan tersebut orang akan mencari kekuasaan dalam
masyarakat, sehingga timbullah berebutan kekuasaan dalam masyarakat. Cita-cita
untuk mencari kekuasaan akan lahir menjadi usaha agar ditakuti dalam
masyarakat.
Bila merasa ditakuti, orang merasa
berkuasa dan puas, sehingga orang berebutan agar ditakuti dan menakut-nakuti
dalam masyarakat. Cita-cita mencari ditakuti di dalam masyarakat dianggap
cita-cita luhur. Anggapan terhadap hal tersebut dinyatakan dalam ungkapan
sebagai berikut: "Orang baru akan memperoleh kewibawaan bila disegani aleh
orang lain." Dalam ungkapan tersebut mengandung arti bahwa kewibawaan
seseorang itu bila dapat ditakuti atau menakut-nakuti orang lain. Demikianlah
wujud catatan unsur kekuasaan bila diteliti. Bila penelitian dilanjutkan, akan
terlihat bahwa catatan tersebut salah. Untuk jelasnya seperti di bawah ini.
Rasa mencari kekuasaan itu lahir menjadi keinginan diturut atau dipercaya oleh
orang lain. Orang menurut itu terdorong oleh rasa takut ancaman atau harapan
akan kebahagiaan. Maka usaha untuk diturut atau dipercaya itu berupa ancaman
atau janji yang berupa harapan bahagia, sehingga timbullah dalam masyarakat
ancaman-ancaman dan janji-janji. Untuk menguatkan ancaman danjanji-janji
tersebut orang mengadakan kelompok-kelompok yang berselisih satu sama lain.
Inilah yang menyebabkan peperangan. Demikian catatan unsur kekuasaan yang salah
menyebabkan tidak enak.
Jika orang mengerti catatan tersebut
salah, orang akan dapat membetulkan seperti berikut: Orang ingin merasa enak
dan menolak rasa tidak enak. Tiap orang yang merasa tidak enak dan tidak
mengerti bagaimana caranya mendapatkan enak, akan bertanya kepada orang lain
yang dianggap dapat. Maka bila ada orang yang dianggap oleh orang banyak dapat
mengenakkan orang lain dalam salah satu hal, orang tersebut akan dipercaya oleh
orang banyak. Misalnya dukun, dokter, ahli negara, ahli jiwa dan sebagainya.
Jadi dipercaya orang lain itu, karena dapat mengenakkan. Catatan demikian itu
benar. Maka untuk dipercaya orang, hanyalah dengan mengenakkan orang lain. Bila
catatan unsur kekuasaan tersebut sudah benar, orang dapat mcngetahui rasanya
sendiri, rasa ingin dipercaya orang lain yang tidak dengan cara mengenakkan
orang lain pada waktu muncul dalam perasaan. Bila rasa ingin dipercaya orang
lain tersebut ketahuan sebelum lahir menjadi perbuatan, rasa tersebut tidak
akan lahir menjadi perbuatan. Kemudian orang akan melihat apa yang harus
dilakukan seketika itu, tanpa memikir panjang. Tindakan demikian itu hasilnya
sama enaknya.
Catatan keluarga yang menjadi unsur
Kramadangsa dapat benar dan dapat pula salah. Bila catatan itu benar, rasanya
enak dan bila salah rasanya tidak enak. Bila Kramadangsa mati orang akan dapat
melihat unsur keluarga tersebut. Keluarga itu terdiri dari suami/isteri, anak
yang belum berkeluarga dan orang tua jompo yang jadi tanggungannya. Unsur
keluarga ini menyebabkan orang marah bila diganggu dan tertawa bila dibantu.
Bila orang tidak mengerti rasanya sendiri tentang hubungannya dengan anggota
keluarga lain, catatan keluarga tersebut salah. Catatan keluarga salah
menyebabkan perselisihan dalam keluarga. Perselisihan dalam keluarga itu
wujudnya ialah, orang bertengkar atau bercerai dengan suami/isterinya, memarahi
anaknya dan sebagainya. Jadi heboh dalam keluarga itu disebabkan dari tidak
mengerti rasanya sendiri atau dirinya sendiri. Jadi ketenteraman keluarga itu
tergantung kepada pengertiannya tentang diri sendiri. Pengertian diri sendiri
dalam keluarga adalah mengetahui hubungan diri sendiri dengan anggota keluarga
lainnya. Bila orang mengetahui hubungannya dengan anggota keluarga lainnya,
catatan keluarga menjadi benar. Orang sering ditipu oieh diri sendiri yang
merasa cinta kepada suami/isterinya. Rasa cinta di sini dimaksudkan cinta tanpa
syarat dan tanpa batas, sebab cinta yang bersyarat dan berbatas adalah bukan
cinta. Jadi orang sering merasa cinta kepada suami/isterinya tanpa syarat dan
tanpa batas. Rasa cinta tersebut dapat diteliti demikian. Jika orang membelikan
baju isteri/suaminya, tetapi isteri/suaminya masih cemberut, apakah orang masih
terus mencintai isteri/suaminya? Tentu saja tidak, tetapi menjadi marah. Jadi
orang membelikan baju isteri/suaminya itu mengharapkan senyum. Jadi baju
ditukar dengan senyum, demikian itu sama dengan jual beli. Jadi orang tidak
mencintai isteri/suaminya, tetapi jual beli.
Demikianlah orang dapat meneliti
rasanya sendiri. Bila penelitian dilanjutkan, orang akan melihat rasanya
sendiri pada waktu mencari pasangan, rasanya demikian: "Jika dia menjadi
suami/isteriku, aku senang sekali." Dalam ungkapan tersebut menunjukkan
bahwa orang hanyalah memikirkan diri sendiri tanpa memikirkan calon
pasangannya. Jadi orang menghargai suami/isterinya hanyalah sebagai kesenangan
belaka, seperti kesenangan yang lain, misalnya burung perkutut, gamelan, kucing
dan sebagainya. Rasa menghargai seperti itu adalah sewenang-wenang. Jadi orang
itu berbuat sewenang-wenang kepada suami/isterinya. Bila orang mengerti
kesewenangannya kepada suami/isterinya, maka catatan keluarga yang merupakan
unsur Kramadangsa bagian suami/isteri menjadi benar. Bila rasa sewenang-wenang
muncul dalam perasaan dalam hubungannya dengan suami/isterinya diketahui, tidak
akan lahir menjadi perbuatan sewenang-wenang. Demikian pula orang sering merasa
sayang kepada anaknya. Bila diteliti akan diketemukan bahwa diri sendiri
menghargai anaknya hanyalah untuk kehormatan. Jika anak itu membuat bangga
orang tuanya, akan disayangi, tetapi bila memalukan akan dibenci. Rasa yang
sering disebut sayang kepada anak itu adalah rasa hidup untuk kelangsungan
jenis, yang wujudnya memelihara anaknya pada waktu kecil. Rasa hidup tersebut
bukanlah kasih. Oleh karena itu setelah anak itu menjadi besar akan berselisih
dengan orang tuanya. Oleh karena orang menghargai anaknya hanyalah untuk
kehormatan, maka orang itu berbuat sewenang-wenang kepada anaknya. Bila orang
mengerti kesewenangannya kepada anaknya maka catatan keluarga yang merupakan
unsur Kramadangsa bagian anak menjadi benar. Bila rasa sewenang-wenang muncul
dalam perasaan dalam hubungannya dengan anak diketahui, tidak akan lahir
menjadi perbuatan sewenang-wenang. Catatan gerombolan atau golongan, yang
menjadi unsur Kramadangsa dapat benar dan dapat pula salah. Bila catatan
tersebut benar rasanya enak, bila salah tidak enak. Jika Kramadangsa mati,
orang akan mengetahui unsur tersebut.
Golongan tersebut dapat merupakan
golongan filsafat, ilmu jiwa, partai politik, kebatinan dan sebagainya. Unsur
golongan menyebabkan orang menjadi benci bila golongannya diganggu dan senang
bila dibantu. Bila orang tidak mengerti rasanya sendiri dalam hubungannya
dengan anggota-anggota golongan tersebut, catatan golongan akan salah. Catatan
golongan salah menyebabkan perselisihan dalam golongan tersebut. Perselisihan
tersebut sering berwujud perebutan harta benda, kehormatan dan kekuasaan. Jadi
heboh dalam golongan disebabkan oleh karena tidak mengerti rasanya sendiri.
Jadi ketenteraman golongan itu hanyalah tergantung kepada pengertian diri
sendiri. Bila orang mengerti bagaimana orang menghargai anggota golongan lain,
catatan golongan akan benar. Dalam golongan, orang mempergunakan kawan
segolongannya untuk kepentingan sendiri yang seolah-olah untuk kepentingan
golongannya. Kepentingan sendiri tersebut berwujud mencari harta benda,
kehormatan dan kekuasaan. Kepentingan sendiri itulah yang menyebabkan
perselisihan. Jika kepentingan sendiri diteliti, akan terlihat bahwa
kepentingan-kepentingan sendiri itu banyak sekali yang bertentangan dengan
kepentingan kawan-kawan yang lain. Pertentangan kepentingan-kepentingan
tersebut menyebabkan kesulitan. Bila kesulitan tersebut tidak dipecahkan,
tentulah dikemudian hari akan terjadi perselisihan. Bila kesulitan tersebut
dapat diselesaikan, maka catatan menjadi benar, orang akan mengetahui bila rasa
mencari keuntungan dari golongannya tersebut muncul dalam perasaan. Bila
ketahuan, tidak akan lahir menjadi perbuatan. Mengetahui hal tersebut rasanya
tenteram. Catatan bangsa yang menjadi unsur Kramadangsa dapat benar dan dapat
pula salah. Bila benar rasanya enak dan bila salah rasanya tidak enak. Bila
Kramadangsa mati, orang akan melihat unsur bangsa tersebut. Bangsa adalah
kumpulan orang-orang dalam satu negara. Unsur bangsa itu menyebabkan orang
marah bila diganggu dan tertawa bila bangsanya dibantu. Bila orang tidak
mengerti rasanya sendiri dalam hubungannya dengan orang lain dalam satu bangsa,
maka catatan bangsa akan salah.
Catatan bangsa salah menyebabkan
pertikaian dalam bangsa itu. Pertikaian tersebut sering berwujud pertikaian
filsafat, ilmu jiwa, dan aliran. Apabila pertikaian itu berkembang, maka akan
menjadi perang saudara. Bila rasanya sendiri diteliti, orang dapat melihat
bahwa di belakang filsafat, ilmu jisva atau aliran tersebut mengandung rasa
perebutan harta benda, kehormatan dan kekuasaan. Bila rasa tersebut ketahuan
orang akan mengerti bahwa pertikaian filsafat, ilmu jiwa dan aliran tersebut
hanyalah merupakan sandiwara diri sendiri yang akan mengejar harta benda,
kehormatan dan kekuasaan. lnilah yang menyebabkan huru-hara dalam bangsa. Bila
rasa diri sendiri tersebut diketahui, catatan bangsa yang menjadi unsur
Kramadangsa menjadi benar. Bila rasa tersebut muncul dalam perasaan, orang akan
mengetahui, sehingga tidak lahir menjadi perbuatan. Catatan ilmu kebatinan yang
menjadi unsur Kramadangsa dapat benar dan dapat pula salah. Bila catatan itu
benar rasanya enak dan bila salah tidak enak. Jika Kramadangsa mati, orang akan
dapat melihat unsur ilmu kebatinan tersebut. Unsur ilmu kebatinan itu
menyebabkan orang menjadi benci bila ilmu kebatinannya disalahkan dan senang
bila dibenarkan. Bila orang tidak mengerti rasanya sendiri dalam hubungannya
dengan catatan ilmu kebatinan tersebut, catatan ilmu kebatinan tersebut salah.
Catatan ilmu kebatinan salah menyebabkan perselisihan. Rasanya sendiri yang
berhubungan dengan ilmu kebatinannya sendiri itu adalah rasa senangnya sendiri.
Orang senang sebab mendapat keuntungan dari ilmu kebatinan tersebut. Keuntungan
tersebut berupa harta benda, kehormatan dan kekuasaan.
Bila orang tidak melihat senangnya
sendiri, orang tidak akan dapat meneliti benar atau salahnya ilmu kebatinan
tersebut. Bila mengetahui rasa senangnya sendiri, orang akan melihat benar atau
salahnya ilmu kebatinannya sendiri. Jadi catatan ilmu kebatinan menjadi benar. Bila
catatan ilmu kebatinan yang menjadi unsur Kramadangsa sudah benar, bila ilmu
kebatinannya disalahkan atau dijelek-jelekkan orang lain, orang akan mengerti
bahwa yang dijelek-jelekkan itu orangnya, bukan ilmu kebatinannya. Dan orang
lalu mengerti bahwa orang lain yang menjelek-jelekkan tersebut benci kepada
orangnya tetapi tidak kepada ilmu kebatinannya. Orang benci kepada orang lain
tentulah mencari sebab untuk menjelek-jelekkan. Orang akan mengerti kepada diri
sendiri, bila diri sendiri membenci kepada orang lain tentulah juga mencari
sebab untuk menjelek-jelekkan. Jadi diri sendiri itu rasanya sama dengan orang
lain. Mengetahui demikian rasanya damai dan tenteram. Kepandaian-kepandaian dan
ilmu pengetahuan adalah merupakan unsur Kramadangsa. Ilmu pengetahuan itu ada
pada orang berupa kepandaian. Oleh karena itu di sini hanya akan diterangkan
tentang kepandaian saja. Catatan kepandaian yang menjadi unsur Kramadangsa
dapat benar dan dapat pula salah. Bila catatan itu benar rasanya enak dan bila
salah rasanya tidak enak. Bila Kramadangsa mati orang akan melihat unsur
kepandaian tersebut. Unsur Kramadangsa kepandaian itu menyebabkan orang menjadi
benci bila dijelekkan dan senang bila dipuji. Bila orang tidak mengerti rasanya
sendiri yang berhubungan dengan kepandaiannya sendiri, catatan kepandaian
tersebut salah. Catatan kepandaian salah menyebabkan orang membangga-banggakan
kepandaian dan bersaing-saingan kepandaian, sehingga terjadi pertikaian. Rasa
sendiri yang berhubungan dengan kepandaian sendiri itu rasanya bangga. Bila
mengetahui rasa bangganya sendiri orang akan dapat mengetahui rasa bangga orang
lain dalam hal kepandaian.
Orang dapat membuat kapal terbang
rasanya bangga, anak dapat bermain gundu bangga pula rasanya. Malahan rasa
bangga dalam kepandaian itu tidak terbatas pada orang tetapi juga pada hewan.
Gangsir ngentir (berbunyi) rasanya bangga dan burung dapat terbang di angkasa
pun rasanya bangga. Jadi rasa bangga diri sendiri sama dengan rasa bangga orang
lain dan sama pula dengan rasa bangga hewan dalam hal kepandaian. Bila orang
mengerti dengan rasa sama tersebut, catatan kepandaian yang menjadi unsur
Kramadangsa menjadi benar. Catatan benar rasanya cnak. Bila rasa bangga sendiri
muncul dalam perasaan, diri sendiri akan mencari bahwa rasa bangga tersebut
sama dengan rasa orang yang menciptakan lagu atau sama dengan rasa seorang
panglima perang yang dapat menciptakan siasat perang, sama pula dengan rasanya
seekor gangsir yang sedang berbunyi. Demikianlah unsur-unsur Kramadangsa yang
dapat menggerakkan Kramadangsa. Bila unsur-unsur Kramadangsa sudah diketahui,
orang tidak akan lupa dengan sikapnya sendiri menghadapi perbuatannya. Demikian
cara mempelajari ilmu jiwa.
Sumber :
http://reocities.com/SouthBeach/Tidepool/1029/md1.htm
No comments:
Post a Comment