Bayi yang masih merah itu lahir dan
menangis keras sekali. “Syukur anak pertamaku sudah lahir,” kata ayahnya dengan
gembira. Setelah seminggu, anak itu ditimang-timang. Ibunya memperhatikan
dengan khawatir. “Selagi masih dalam kandungan saja sudah nakal, banyak
geraknya di dalam perut. Setelah lahir demikian wujudnya. Ah, puas aku punya
anak demikian sehat. Tetapi, aku tidak mau lagi punya anak. Cukup seorang ini
saja, Bang. Legalah setelah dia lahir. Dia berteriak keras-keras pertanda apa,
Bang?” “Pertanda dia anak yang gagah berani.” “Benar itu, Bang?” “Anak
keturunan Banten memang begitu.” “Abang selalu mengandaikan asal Abang saja.
Dia juga karena ibunya yang dari Jampang ini, daerah Sukabumi asli!” “Sudahlah
tak usah berdebat. Pokoknya dia sekarang jadi anak yang gagah.” Atas
persetujuan mereka, setelah berdebat ramai, bayi yang berumur seminggu itu
diberi nama si Jampang. Bayi itu tumbuh menjadi seorang pemuda yang benar-benar
gagah, ganteng, tidak memalukan silatnya, dan pandai memainkan golok.
Di pesta-pesta keramaian selalu
menjadi incaran mata para perawan. Setelah akil balig dia dinikahkan.
Selanjutnya, si Jampang dengan keluarganya tinggai di Grogol, Depok. Sayang,
istrinya yang berasal dari Kebayoran Lama itu tidak berumur panjang. Sejak itu,
Jampang hanya hidup dengan anak laki satu-satunya. Anak ini dikenal dengan nama
Jampang muda. Dia tumbuh pula menjadi seorang anak muda yang tampan seperti
ayahnya. Kadang-kadang saja dia pulang menemui ayahnya karena dia lebih senang
tinggal di pesantren dengan kawan-kawannya. Pada saat anaknya di rumah itulah
ayahnya bercakap-cakap dengan kocak. “Tong, kamu harus lebih baik dari ayahmu.
Jadi orang yang terpandang dan dihormati. Ke mana-mana diundang untuk
memberikan ceramah agama. Siapa yang bangga kalau bukan ayahmu ini?” “Tapi ayah
juga harus tidak bikin malu lagi. Yang alim, Yah, seperti biasanya orang-orang
Banten. Masak kerja Ayah tiap hari merampok terus? Tidak bosan dikejar-kejar
polisi? Di pesantren sudah dibicarakan orang terus. Meskipun tidak terus terang
di telinga saya, tetapi darah saya mendidih. Bukan lantaran marah, tetapi malu
sekali, Yah.” “Kamu tidak perlu memberi nasihat kepada Ayah. Kamu masih anak
kemarin, Tong. Sebenarnya kamu pulang punya maksud apa?” tanya ayahnya.
Jampang muda hanya tersenyum, tidak
berkata apa pun. “Saya tidak mau mengaji lagi, Yah.” “Payah, kamu Tong. Tadi
memberi nasihat seperti kiai, sekarang tidak mau mengaji lagi. Kamu mau jadi
apa? Mau jadi tukang pukul seperti ayahmu ini?” Si Jampang muda menggelengkan
kepala, “Pikiranmu cepat sekali berubah, Tong. Kamu tidak mau sekolah? Lalu?
Kalau kamu tidak mau sekolah, lebih balk nikah saja.” Anaknya kaget. “Saya
tidak mau menikah, Yah. Lebih baik sekolah saja. Kalau Ayah mau menikah lagi
saya tidak melarang.” “Ha ha ha,” Jampang tertawa terbahak-bahak, “kalau kamu
mau ibu lagi, nanti Ayah carikan.” Jampang mempunyai seorang kawan di Tambun,
bernama Sarba. Di rumah Sarba ini Jampang meneriakkan salam, “Assalamualaikum.”
“Alaikum salam,” jawab orang yang diberi salam dari dalam rumah. Ternyata yang
muncul adalah Ciput, pembantu Pak Sarba. “Pak Sarba ada?” tanya Jampang. Ciput
menjawab sedih, bahwa Pak Sarba sudah meninggal dunia. “Kasihan, ya,” kata
Jampang menyesal. “Jadi, Mayangsari menjanda, Put?” Ciput menganggukkan kepala.
“Kasihan,” kata Jampang sekali lagi, “tidak disangka.” Jampang teringat Sarba.
Sahabatnya ini orang balk. la mengenalnya sejak kanak-kanak, sama-sama dari
Banten.
Lalu, menikah ban punya anak bernama
si Abdih. Anak lelaki juga seumur Jampang muda. Tidak lama kemudian Mayangsari
keluar dari kamarnya. Melihat sahabat suaminya datang, dia jadi sedih. Dia
mengulang cerita tentang Sarba yang sudah lama meninggal dunia. “Waktu itu Bang
Sarba sakit apa Mayang, kok saya tidak diberitahu?” “Ceritanya panjang sekali,
Jampang. Ketika abangmu belum punya anak, kita berdua pernah pergi ke Gunung
Kepuh Batu. Ziarah ke makam sambil memohon agar diberi anak. Juru kuncinya
bernama Pak Samat, menerima kedatangan kita berdua. Pak Samat membaca doa dan
mantra sambil membakar kemenyan hingga keluar setan dari makam itu.” “Seram
juga Mayang. Saya tidak tahan kalau sendirian di makam begitu seramnya.”
“Mengejek terus Jampang. Saya teruskan ceritanya. Abangmu bertanya kepada setan
itu.
Apakah saya bisa punya anak? Setan
itu manggut-manggut. Bang Sarba senang sekali mendengar akan dapat anak lelaki.
Lalu dia janji, kalau sudah lahir jabang bayi, dia akan bawa sepasang kerbau ke
makam Gunung Kepuh Batu!” “Selanjutnya bagaimana, Mayang?” “Saya dan abangmu
pulang. Beberapa bulan kemudian saya mengandung. Kemudian, lahir anak
laki-laki, itulah si Abdih. Saat berumur lima betas tahun, dia ingin sekolah,
Tetapi, abangmu bingung karena sulit hidup. Lalu, abangmu mengajak saya dan
Abdih ke Betawi. Abangmu mau menenteramkan hati saya dan anak lelakinya. Di
sini abangmu sakit, lalu meninggal. Menurut dukun iantaran dia lupa janjinya
dulu.” Jampang termangu-mangu. “Orang kalau akan meninggal ada-ada saja
caranya, Mayang. Seperti abang saya itu. Mengajak pergi ke Betawi, tiba-tiba
pergi. Dia orang baik, Mayang.” Jampang sedih. Lalu dia bertanya di mana si
Abdih. “Sekolah di Bandung,” kata Mayangsari.
“Mayang tidak perlu bingung
memikirkan Abdib,” kata Jampang. “Mang mungkin tidak bingung, Jampang. Sekolah
di Bandung itu perlu biaya besar. Kan uangnya susah.” “Anak sekolah di Bandung
biar saja, jangan ikut dipikir,” kata Jampang lagi, “pokoknya nanti saya yang
akan mengurus dia.” “Kalau bukan saya yang mengurus siapa lagi, Jampang?” kata
Mayangsari. “Makan dan pakaiannya, semua dari saya. Harta sudah babis, tak ada
lagi yang tersisa.” “Begini, Mayang” kata Jampang akbirnya, “Mayang sudah
menjadi janda dan saya duda, lebih baik kita menikah, Klop. Mau apa lagi?”
Mayangsari kaget, lalu marah besar. “Jangan bicara sembarangan. Jampang!”
Mayangsari mulai marah. “Meskipun saya janda dan tidak punya suami lagi, tetapi
tidak bisa sembarangan orang menghina. Kalau kamu ingin menikah, nikahlah, urus
sendiri dirimu. Mau cari janda, perawan, atau banci, itu urusanmu, tetapi
jangan dengan saya. Tidak akan pantas!” Jampang malu sekali. Dia cepat keluar
dari rumah itu. Di balaman depan dia melihat Mayangsari menutup pintu rapat-rapat,
tanda kalau Jampang tidak bakal diterima lagi di rumahnya. Di jalan, Jampang
bertemu Ciput. “Saya malu sekali, Put!” Jampang menceritakan sedikit
pengalamannya dengan Mayangsari. “Padahal saya senang sekali dengan Mayang. Dia
masih cantik. Bekas istri teman sendiri. Apa salahnya? Itu tandanya mengbormati
kawan yang sudab almarhum, tetapi tiba-tiba dia marah besar. Kalau dia menikah
dengan saya hartanya tidak akan pergi kemanamana. Setuju, Put’?” Pembantu
perempuan yang tidak pernah lepas dari Mayangsari itu dibujuk Jampang.
“Pokoknya nanti beres, Ciput,” janji Jampang. Tiba-tiba pintu rumab terbuka.
Tampak Mayangsari makin marah.
“Ciput, masuk!” teriaknya. Pembantunya menurut. Dia masuk rumab. Langsung ke
biliknya di belakang. Lalu, Mayangsari berteriak sambil melotot ke arah
Jampang. “Pergi, Jampang! Pergi!” Tetapi, Jampang masih tetap berdiri di
tempatnya. Mayangsari makin berapi mendekati Jampang. “Jangan ikut campur
masalab saya lagi, Jampang. Pergi kata saya!” Belum sempat berkata apa-apa, Mayangsari
sudah meninggalkan Jampang. Dia menutup pintu dan jendela-jendela rumab. Tidak
peduli pada Jampang yang terpana. “Sial sekali saya hari ini. Mayangsari, kamu
akan menyerah. Kamu belum tabu siapa saya!” Jampang berjalan lesu. Untuk
mendapat kesenangan memang harus bekerja keras. Juga untuk mendapatkan
perempuan secantik Mayangsari. Umur Mayangsari masih sekitar tiga puluh tahun.
Jampang menuju rumah Sarpin, keponakannya, kebetulan ada di rumab. “Saya perlu
seorang dukun, Pin,” katanya kepada Sarpin. Sarpin beran. “Buat apa, Mang?”
Jampang lalu menceritakan kembali pengalamannya dengan Mayangsari. “Memang
cinta sekali kalau begitu, Mang.” “Jangan banyak bicara kamu,” tukas Jampang,
“owl dukunnya!” “Perkara dukun gampang, Mang. Saya tabu benar dukun yang
manjur, Namanya Pak Dui dari kampung Gabus. Pintar sekali. Pokoknya orang yang
diguna-guna pasti akan terkena. Setuju ke rumahnya, Paman?” “Makin cepat makin
bagus,” jawab Jampang. Malam itu juga mereka pergi. Mereka berjalan membawa dua
obor. Satu di tangan Jampang dan satu di tangan Sarpin. Pakaian mereka
hitam-hitam. Golok terselip di pinggang. Di leher terkalung sarung sebagai
penahan dingin udara malam. Mereka berjalan melewati pematang-pematang sawah
dan menerobos kebun-kebun orang, serta melewati kuburan yang sepi.
Obor mereka terus menyala. Sering
obor itu ditunggingkan ke bawah, agar minyaknya turun ke api sebingga nyala api
lebib besar. Akhirnya, sampailah mereka di rumah Pak Dul, dukun kampung Gabus
yang terkenal. “Saya minta guna-guna, Dukun, agar Mayangsari tergila-gila
kepada saya,” kata Jampang terus terang tanpa malu-malu. Jampang juga
menyerahkan salam tempel ke tangan Pak Dul. Dengan gembira dukun memasukkan isi
salam itu ke dalam kantong bajunya. Dia baca jampi-jampi. Mulutnya komat-kamit.
Tidak lama kemudian Jampang diberi guna-guna. Sebelumnya, Jampang diberi tahu
cara penggunaannya. Lalu, Jampang dan Sarpin pulang tergesa-gesa. Pikiran
Jampang selalu ke Mayangsari. Tidak peduli kaki sebelahnya terperosok ke dalam
lumpur. Mayangsari menggodanya, membawanya ke alam mimpi. Keponakannya repot
karena jalannya jauh tertinggal di belakang. Guna-guna itu sudah diletakkan di
rumab Mayangsari oleb Jampang.
Begitu terkena, Mayangsari langsung
gila. Dia sering tertawa-tawa. Berpakaian semaunya, tidak malu sama sekali,
terutama kepada setiap lelaki yang lewat di depan rumahnya. Ketika Abdih pulang
dari Bandung, kontan Mayangsari mencium dan memeluknya. “Jampang! Jampang yang
tampan!” Mayangsari merayu-rayu. Abdih kaget serta sedih sekali melibat perubahan
ibunya. “Mari Jampang! Mari peluk lebib erat!” Anaknya segera menyadarkan
ibunya. “Bu Bu! Sadar. Bu!” Ciput pembantunya yang setia datang mendekat.
“Kenapa Ibu sampai begini, Ciput?” “Barangkali gara-gara Jampang,” kata Ciput,
“dia pernah ke sini dan mengajak menikah ibumu, tapi ditolak. Dia bilang lebib
baik gila daripada menikah dengan Jampang.” “Jadi. Ibu langsung begini?” Ciput
mengangguk-angguk. “Ibu seperti kena guna-guna,” kata Abdih, “yang
mengguna-guna tentunya Mang Jampang. Sunggub bikin malu. Saya malu sekaii.
Dukun mana yang bisa menyembuhkan ibu, Ciput?” Ciput belum pernah tahu soal
guna-guna. Jadi, dia tidak bisa menjawab. Abdih bertanya ke sana kemari
akhirnya dapat berita. Pak Du di kampung Gabus. Karena dukun itu sendiri yang
buat, dengan tidak menemui kesulitan Ala pula yang mencabut guna-gunanya.
Mayangsari seketika sembuh. Tidak ingat lagi kepada Jampang. Sesudah itu Abdib
mencari Jampang. Dia marah sekali. “Bisa atau tidak bisa, saya barus menikab
dengan Ibumu, Abdib,” kata Jampang menegaskan. “Saya tidak melarang, Mang
Jampang,” jawab Abdih yang ketakutan juga, “tetapi ada syaratnya, Mang barus
menyerahkan sepasang kerbau sebagai emas kawinnya.” “Saya tidak keberatan,
Abdib. Saya akan usahakan.” Abdib pulang menyampaikan kesanggupan Jampang
kepada ibunya. Dari mana dapat kerbau sepasang?
Kerbau sepasang tidak gampang, pikir
Jampang. Namun, dia segera ingat Haji Saud di Tambun. Dia kaya sekali. Sawahnya
luas. Kerbau dua ekor belum apa-apa. Ke tempat itulah, Jampang dan Sarpin perqi
merampok dengan mudah. Ketika dia dengan Sarpin akan ke luar dari pintu desa,
sekawanan polisi sudah mengepung. Mereka menunjukkan laras-laras senapan ke
arab Jampang dan Sarpin. Tertangkaplah Jampang. Jampang pun tidak bisa
melakukan perlawanan. Orang-orang kaya, tuan-tuan tanah, serta pejabat
pemerintah jajahan merasa gembira melihat Jampang telab dipenjara. Sebaliknya,
rakyat kecil, para petani, dan mereka yang menderita amat sedib. Jampang tidak
sekadar merampok. Boleh dikata dia sebagai penolong rakyat kecil. Mereka sering
mendapat pembagian hasil rampokan dari orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah
yang tamak. Rakyat kecil itu makin sedib ketika mendengar bahwa Jampang telab
mendapat hukuman mati di Betawi.
No comments:
Post a Comment