Para penjelajah laut dari Nusantara
diperkirakan sudah menjejakkan kaki mereka di Benua Afrika melalui Madagaskar
sejak masa-masa awal tarikh Masehi. Jauh lebih awal daripada bangsa Eropa
mengenal Afrika selain Gurun Sahara-nya dan jauh sebelum bangsa Arab dan
Zhirazi dengan perahu dhow mereka menemukan kota-kota eksotis di Afrika,
seperti Kilwa, Lamu, dan Zanzibar. Nusantara pada paruh pertama abad XVI,
pelaut-pelaut negeri ini telah menguasai laut dan tampil sebagai penjelajah
samudra. Antara abad ke-5 dan ke-7, kapal-kapal Nusantara mendominasi pelayaran
dagang di Asia. Kronik China serta risalah-risalah musafir Arab dan Persia
menorehkan catatan agung tentang tradisi besar kelautan nenek moyang bangsa
Indonesia. Para penjelajah laut dan pengelana samudra inilah yang membentuk apa
yang disebut Adrian B Lapian, ahli sejarah maritim pertama Indonesia, sebagai
jaringan hubungan masyarakat bahari di Tanah Air.
Kapal Borobudur telah memainkan
peran utama dalam segala hal dalam bahasa Jawa pelayaran, selama ratusan ratus
tahun sebelum abad ke-13. Memasuki abad ke-8 awal, kapal Borobudur digeser oleh
Jung besar Jawa, dengan tiga atau empat layar sebagai Jung. Pelaut Portugis
disebut juncos, pelaut Italia disebut zonchi. Kata “Jung” digunakan pertama
kali dalam perjalanan biksu Odrico jurnal, Jonhan de Marignolli, dan Ibn
Battuta berlayar ke Nusantara, awal abad ke-14, mereka memuji kehebatan kapal
Jawa raksasa sebagai penguasa laut Asia Tenggara. Teknologi pembuatan Jung tak
jauh berbeda dari karya kapal Borobudur; seluruh badan kapal dibangun tanpa
menggunakan paku. Banyak pendapat menyebutkan, Istilah jung berasal dari kata
chuan dari bahasa Mandarin yang berarti perahu. Hanya saja, perubahan
pengucapan dari chuan menjadi jung nampaknya terlalu jauh. Yang lebih mendekati
adalah “jong’ dalam bahasa Jawa dan beberapa berpendapat dari kata jungkung.
Kata jong dapat ditemukan dalam sejumlah prasasti Jawa kuno abad ke 9.
Undang-undang laut Melayu yang disusun pada abad ke-15 juga menggunakan kata
jung untuk menyebut kapal pengangkut barang sedangkan Jung-jung China lebih
banyak melayani angkutan sungai atau pantai ada dugaan teknologi kapal jung
dipelajari bangsa China dari pelaut-pelaut Nusantara, bukan sebaliknya.
Jauh sebelum Cheng Ho dan Columbus
membuat sejarah pelayaran mereka yang dikatakan fenomenal, para penjelajah laut
Nusantara sudah melintasi sepertiga bola dunia. Meskipun sejak 500 tahun
sebelum Masehi orang-orang China sudah mengembangkan beragam jenis kapal dalam
berbagai ukuran, hingga abad VII kecil sekali peran kapal China dalam pelayaran
laut lepas. Dalam catatan perjalanan keagamaan I-Tsing (671-695 M) dari Kanton
ke Perguruan Nalanda di India Selatan disebutkan bahwa ia menggunakan kapal
Sriwijaya, negeri yang ketika itu menguasai lalu lintas pelayaran di ”Laut
Selatan”. Diego de Couto dalam buku Da Asia, terbit 1645. Bahkan, pelaut
Portugis yang menjelajahi samudera pada pertengahan abad ke-16 itu menyebutkan
bahwa: “Orang Jawa sangat berpengalaman dalam seni navigasi. Mereka dianggap
sebagai perintis seni paling kuno ini. Walaupun banyak yang menunjukkan bahwa
orang Tionghoa lebih berhak atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni ini
diteruskan dari mereka kepada orang Jawa.” Tatkala pelaut Portugis mencapai
perairan Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an mereka menemukan kawasan ini
didominasi kapal-kapal Jung Nusantara. Kapal dagang milik orang Nusantara ini
menguasai jalur rempah rempah yang sangat vital, antara Maluku, Jawa, dan
Malaka. Kota pelabuhan Malaka pada waktu itu praktis menjadi kota orang
Nusantara. Tomé Pires juga memberikan gambaran keadaan masing-masing pelabuhan
tersebut (Cortesao, 1967: 170-173). Bantam merupakan pelabuhan besar terletak
di tepi sungai. Dari pelabuhan ini perdagangan berlangsung hingga Sumatra dan
Kepulauan Maladewa. Barang-barang yang diperdagangkan antara lain beras dan
lada. Pomdam juga merupakan pelabuhan yang baik. Berada pada muara sungai.
Kapal besar (junk) dapat berlabuh di sini. Barang dagangan berupa bahan makanan
terutama beras dan lada. Cheguide merupakan pelabuhan bagus yang bisa didarati
kapal besar.
Pelabuhan ini merupakan pintu
gerbang ke Jawa dari Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung dan
tempat-tempat lain. Barang-barang dagangan berupa beras, buah-buahan, lada, dan
bahan makanan. Tamgaram juga merupakan pelabuhan dan kota dagang yang bagus.
Barang dagangan sebagaimana pelabuhan yang lain. Calapa merupakan bandar yang
paling bagus. Pelabuhan ini sangat penting dan terbagus di antara yang lain.
Jalinan perdagangannya sangat luas yaitu hingga Sumatra, Palembang, Laue,
Tamjompura, Malaca, Makasar, Jawa dan Madura, serta beberapa tempat lain.
Chemano merupakan pelabuhan yang cukup ramai meskipun kapal besar tidak dapat
berlabuh di sini. Di kota ini sudah banyak warga muslim. Perdagangan yang
dijalin dengan Chemano hingga seluruh Nusantara. Di sana banyak saudagar dan
nakhoda kapal Jung yang menetap, dan sekaligus mengendalikan perdagangan
internasional. Tukang-tukang kayu dari Nusantara yang terampil membangun
galangan kapal di kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara itu. Bukti
kepiawaian orang Nusantara dalam bidang perkapalan juga ditemukan pada relief
Candi Borobudur yang memvisualkan perahu bercadik – belakangan disebut sebagai
“Kapal Borobudur”.
Jung pada abad ke-15 hingga ke-16
tidak hanya digunakan para pelaut Nusantara. Para pelaut Tionghoa juga
menggunakan kapal layar jenis ini. Jung memegang peranan penting dalam
perdagangan Asia Tenggara masa lampau. Ia menyatukan jalur perdagangan Asia
Tengara yang meliputi Campa (ujung selatan Vietnam) , Ayutthaya (Thailand),
Aceh, Malaka dan Makassar. Hanya saja, keadaan itu berbanding terbalik
menjelang akhir abad ke-17, ketika perang Jawa tidak bisa lagi membawa hasil
bumi dengan jungnya ke pelbagai penjuru dunia. Bahkan, orang Jawa sudah tidak
lagi punya galangan kapal. Kantor Maskapai Perdagangan Hindia-Belanda (VOC) di
Batavia melaporkan pada 1677 bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah tidak
lagi memiliki kapal-kapal besar. Para sejarawan menyimpulkan, jung dan tradisi
besar maritim Nusantara hancur akibat ekspansi militer-perniagaan Belanda.
Serta, sikap represif Sultan Agung dari Mataram terhadap kota kota pesisir
utara Jawa. Lebih celaka lagi, raja-raja Mataram pengganti Sultan Agung bersikap
anti perniagaan. Apa boleh buat, kejayaan jung Nusantara hanya tinggal
kenangan. Akan tetapi, pada abad XVIII masyarakat Nusantara dengan budaya
maritimnya yang kental itu mengalami kemunduran. Monopoli perdagangan dan
pelayaran yang diberlakukan pemerintahan kolonial Belanda, walau tidak
mematikan, sangat membatasi ruang gerak kapal-kapal pelaut Indonesia.
Konstruksi kapal jung
Konstruksi perahu bercadik sangat
unik. Lambung perahu dibentuk sebagai menyambungkan papan-papan pada lunas
kapal. Kemudian disambungkan pada pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut,
atau paku besi. Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip. Kapal ini
dilengkapi dengan dua batang kemudi menyerupai dayung, serta layar berbentuk
segi empat. Kapal Jawa jelas berbeda dengan kapal Tiongkok yang lambungnya
dikencangkan dengan bilah-bilah kayu dan paku besi. Selain itu kapal Tiongkok
memiliki kemudi tunggal yang dipasang pada palang rusuk buritan. Gambaran tentang
jung Nusantara secara spesifik dilaporkan Alfonso de Albuquerque, komandan
armada Portugis yang menduduki Malaka pada 1511. Orang Portugis mengenali
Nusantara sebagai asal usul jung-jung terbesar. Kapal jenis ini digunakan
angkatan laut kerajaan Jawa (Demak) untuk menyerang armada Portugis. Pelaut
Portugis Tom Pires dalam Summa Orientel (1515) mengatakan bahwa “Anunciada
(kapal Portugis yang terbesar yang berada di Malaka pada tahun 1511) sama
sekali tidak menyerupai sebuah kapal bila disandingkan dengan Jung Nusantara. ”
Disebutkan, jung Nusantara memiliki empat tiang layar, terbuat dari papan
berlapis empat serta mampu menahan tembakan meriam kapal kapal Portugis.
Bobot jung rata-rata sekitar 600
ton, melebihi kapal perang Portugis. Jung terbesar dari Kerajaan Demak bobotnya
mencapai 1.000 ton yang digunakan sebagai pengangkut pasukan Nusantara untuk
menyerang armada Portugis di Malaka pada 1513. Bisak dikatakan, kapal jung
Nusantara ini disandingkan dengan kapal induk di era modern sekarang ini. Lihatlah
betapa hebatnya Bangsa Indonesia ini. Sekarang banyak media yang hanya
memperlihatkan kejelekan-kejelekan negara kita. Mungkin terkadang kejelekan itu
datang dari diri bangsa kita juga. Tetapi di samping itu kita juga harus
melihat kehebatan bangsa kita sehingga kita dapat berpikir positif dan mampu
melangkah ke depan untuk bangsa yang lebih baik. Seharusnya pemerintah lebih
banyak mempublikasikan hal-hal seperti ini terutama sejarah tentang kehebatan
dan kejayaan bangsa sehingga akan membuat generasi muda kita bangga menjadi
warga negara indonesia.
Sumber : www.wacananusantara.org
No comments:
Post a Comment