Judul asli wejangan Ki Ageng
Suryomentaram ini adalah Wejangan Kawruh Beja Sawetah, diceramahkan di
Surakarta pada tahun 1931. Merupakan hasil renungan beliau, bahwa pada
hakikatnya, proses rasa hidup manusia yang sesuai dengan hukum alam serta
tindakan yang mengikuti hukum itu pasti berkembang dan berbuah dengan wajar.
Bagian
I
Senang-Susah Di atas bumi dan di
kolong langit ini tidak ada barang yang pantas dicari, dihindari atau ditolak
secara mati-matian. Meskipun demikian manusia itu tentu berusaha mati-matian
untuk mencari, menghindari atau menolak sesuatu, walaupun itu tidak sepantasnya
dicari, ditolak atau dihindarinya. Bukankah apa yang dicari atau ditolaknya itu
tidak menyebabkan orang bahagia dan senang selamanya, atau celaka dan susah
selamanya. Tetapi pada waktu orang menginginkan sesuatu, pasti ia mengira atau
berpendapat bahwa "jika keinginanku tercapai, tentulah aku bahagia dan
senang selamanya; dan jika tidak tercapai tentulah aku celaka dan susah
selamanya". Pendapat di atas itu teranglah keliru. Bukankah sudah
beribu-ribu keinginannya yang tercapai, namun ia tetap saja tidak bahagia,
melainkan senang sebentar, kemudian susah lagi? Juga sudah beribu-ribu
keinginannya yang tidak tercapai, namun ia tetap saja tidak celaka, melainkan
bersusah hati sebentar kemudian senang kembali. Jadi pendapat bahwa tercapainya
keinginan menyebabkan rasa bahagia atau tidak tercapainya keinginan menyebabkan
rasa celaka, jelaslah keliru. Tetapi setiap keinginan pasti disertai pendapat
demikian. Sebagai contoh, ketika orang berkeinginan sesuatu, misalnya berhajat
mengawinkan anaknya, dan karena ia tidak punya cukup uang, ia akan mencari
pinjaman.
Di dalam mencari pinjaman itu ia
merasa: "Jika usahaku untuk mencari pinjaman ini tidak berhasil, pastilah
aku celaka dan merasa malu selamanya". Andaikata ia gagal memperoleh
pinjaman, ia tidak akan merasa celaka, melainkan hanya merasa malu sebentar.
Kemudian setelah merasa susah karena ia tidak dapat mengundang siapa pun, tidak
dapat menanggap (mempertunjukan) wayang dan tidak dapat mengadakan janggrungan
(tarian bersama antara penari-penari dan tetamu-tetamu dalam pesta perjamuan
orang Jawa), ia pun akan merasa senang lagi, bahkan lega hatinya."Wah,
untunglah usahaku mencari hutang tempo hari tidak berhasil. Andaikata aku
berhasil, pasti sekarang ini aku akan kelabakan (gelisah) mencari uang untuk
membayar hutang itu kembali." Demikianlah, maka jelaslah bahwa tidak
tercapainya keinginan tidak menyebabkan orang merasa celaka. Demikian juga
keinginan yang tercapai tidak menyebabkan orang merasa bahagia.
Misalnya orang berhasrat keras untuk
kawin. Ia merasa: "Jika si Anu itu menjadi suami/isteriku, berbahagialah
aku." Dibayangkannya: "Jodohku itu akan kugandeng selama tiga tahun
tanpa kulupakan." Tetapi bila hasrat kawinnya itu benar-benar terlaksana,
ia pun tidak akan sungguh-sungguh bahagia, melainkan hanya senang sebentar dan
kemudian susah lagi. Bahkan sering terjadi dalam perkawinan bahwa sesudah
seminggu saja sudah terjadi pertikaian. Jadi teranglah bahwa jika keinginan itu
tercapai maka hal itu tidak menyebabkan bahagia dan jika tidak tercapai, tidak
pula menyebabkan celaka. Kenyataannya ialah bahwa senang dan susah itu tidak
berlangsung terus menerus. Sepanjang hidup manusia sejak masa kanak-kanak
sampai tua, ia belum pernah mengalami senang selama tiga hari tanpa susah, atau
mengalami susah selama tiga hari tanpa senang. Pengalaman semacam itu tidak
akan terjadi dan tidak mungkin dapat dialami.
Mulur
Yang menyebabkan senang ialah
tercapainya keinginan. Keinginan tercapai menimbulkan rasa senang, enak, lega,
puas, tenang, gembira. Padahal keinginan ini bila tercapai pasti mulur,
memanjang, dalam arti meningkat. Ini berarti bahwa hal yang diinginkan itu
meningkat entah jumlahnya entah mutunya sehingga tidak dapat tercapai dan hal
ini akan menimbulkan susah. Jadi senang itu tidak dapat berlangsung
terus-menerus. Misalnya menjelang hari raya orang ingin membeli sarung baru.
Kata hatinya: "Bila aku dapat membeli sarung baru, pasti aku akan bahagia,
yakni tetap senang. Pada hari besar nanti, aku dapat melancong ke
mana-mana." Andaikata sarung baru itu dapat dibelinya ia pun tidak akan
bahagia, melainkan bergembira sebentar kemudian susah lagi.
Oleh karena keinginannya itu mulur,
maka ia merasa: "Memang, meskipun sarungnya sudah baru, ikat kepalanya pun
harus baru." Maka ia ingin membeli ikat kepala, tetapi uangnya tidak
cukup, maka gagallah keinginannya dan susahlah ia. Demikianlah senang tidak
berlangsung terus menerus. Andaikata pun kelak ia dapat membeli sarung dan ikat
kepala baru, pasti keinginannya mulur lagi. Hatinya akan berkata:
"Sekarang sarung dan ikat kepalanya sudah baru, dan bagaimanakah bajunya?
Tidakkah harus baru pula?" Kemudian bila pakaiannya baru sudah ada, tentu
keinginannya mulur lagi. Sandalnya, arlojinya, kendaraannya, rumahnya harus
baru pula. Bila semua itu sudah ada, pasti keinginannya akan mulur lagi:
"Sekarang semua barang sudah baru, mengapa isterinya masih yang lama saja.
Agar tidak dikatakan aneh maka ia mencari isteri baru." Bila nanti
memperoleh isteri baru, pasti mulur lagi: "Anaknya pun harus ada yang baru
karena mengapa yang ada hanya anak dari isteri lama saja?" Demikianlah
keinginan itu mulur sehingga apabila apa yang diinginkannya tidak dapat
diperolehnya maka susahlah ia. Jelaslah bahwa senang itu tidak tetap adanya.
Keinginan itu terwujud dalam usaha mencari semat, derajat dan kramat.
Mencari semat ialah mencari
kekayaan, keenakan, kesenangan. Mencari derajat ialah mencari keluhuran,
kemuliaan, kebanggaan, keutamaan. Mencari kramat ialah mencari kekuasaan,
kepercayaan, agar disegani, agar dipuja-puji. Misalnya orang mencari
semat/kekayaan agar ia berpenghasilan tetap. Rasa hatinya berkata: "Jika
aku berpenghasilan tiap bulan sepuluh rupiah saja, aku tentu bahagia. Tidak
seperti sekarang ini, kadang-kadang hanya tiga rupiah, bahkan kadang-kadang
juga rugi." Bila usahanya berhasil, maka dalam kenyataannya ia tidak
bahagia, namun hanya senang sebentar dan kemudian susah lagi. Ini disebabkan
karena keinginannya mulur sebagai berikut: "Ternyata penghasilan sepuluh
rupiah ini tidak membuat aku bahagia. Jika berpenghasilan dua puluh ]ima
rupiah, barulah aku akan benar-benar bahagia." Nanti bila sudah memperoleh
dua puluh lima rupiah keinginan pun mulur lagi. "Kalau aku hanya menerima
dua puluh lima rupiah saja, terang tidak mungkin aku bahagia.
Bahkan hal itu akan menambah banyak
hutangnya, karena dipercaya untuk membeli dengan bon, hingga ke sana ke sini
aku membuat bon. Hanya jika aku berpenghasilan seratus rupiah, baru aku
benar-benar bahagia." Nanti bila ia berhasil memperoleh seratus rupiah
keinginannya pun mulur lagi dan ia ingin dua ratus, tiga ratus rupiah. Sampai
berpenghasilan beribu-ribu rupiah, berjuta-juta rupiah, masih kurang terus.
Demikianlah keinginan itu mulur sampai pada suatu ketika ia tidak mungkin
dipenuhi dan oleh karena itu ia kembali susah lagi. Jadi senang itu tidak tetap
adanya. Demikian pula dalam usaha mencari kenaikan derajat. Andaikata orang
sudah menjadi asisten wedana, pasti keinginannya mulur dan ia ingin menjadi
wedana. Kemudian setelah menjadi wedana, tentu keinginannya mulur lagi dan ia
ingin menjadi bupati. Sekalipun sudah menjadi raja, ia kemudian ingin menjadi
raja dari semua raja. Andaikata terlaksana menjadi raja dari semua raja, pasti
hatinya berkata. "Ternyata menjadi raja dari semua raja itu tidak membuat
aku bahagia, karena memerintah manusia itu ternyata bukan main banyak
kesulitannya." "Mungkin kalau menjadi raja jin, barulah aku
benar-benar bahagia. Bila sudah menjadi raja jin, pasti mulur lagi, ingin
menjadi raja binatang, kutu, serangga, yang berupa anjing tanah, kacuak, tokek
dan sebagainya.
Demikian mulurnya keinginan sampai
apa yang diinginkannya tidak dapat diperolehnya dan oleh karena itu ia kembali
susah lagi. Jadi senang itu tidak tetap. Demikian pula dalam usaha memperoleh
kramat atau kesaktian. Misalnya jika orang telah memiliki kesaktian dengan
dapat menyembuhkan orang sakit lumpuh dengan meniupnya saja. Ia belum juga
bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian susah lagi, karena mulurnya
keinginannya. Hatinya berkata: "Kalau hanya dapat menyembuhkan orang
lumpuh dengan meniupnya saja, aku tidak berbahagia. Akan tetapi kalau dapat
menghidupkan orang mati, aku tentu bahagia, karena siapapun akan percaya,
segan, takut kepadaku dan akan memujaku." la akan berusaha ke sana sini
untuk dapat menghidupkan orang mati.
PadahaI sekolahnya untuk
mempelajarinya tidak ada. Andaikata ia pun berhasil, setelah dapat menghidupkan
dua orang saja, maka timbul kekhawatirannya. "Celakalah aku nanti. Jika
setiap orang mati kuhidupkan kembali. Mayat-mayat dari mana-mana pasti akan
dibawa kemari semua, dan aku disuruh menghidupkannya. Halaman rumahku pasti
akan penuh dengan bangkai anjing, babi hutan dan lain-lain. Mungkin kalau aku
dapat mengeluarkan sukma dari badan, aku baru benar-benar bahagia. Aku akan
dapat melayang-layang mengelilingi dunia melihat negeri Belanda, negeri Cina,
tanpa melakukan perjalanan, tanpa susah payah, lagi pula tidak kehilangan uang
untuk bekalnya." Ia akan ke sana ke sini berusaha keras supaya bisa
melepaskan sukmanya dari badannya, sedangkan sekolah untuk mempelajarinya belum
ada. Andaikata ia berhasil melepaskan sukmanya dari raganya, ia pun tidak akan
benar-benar bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian susah lagi.
Hatinya berkata "Susahlah aku
bila sukma yang acapkali dilepas itu sampai tidak dapat kembali lagi ke tempat
asalnya. Namun manakala aku bisa menghilang, pastilah aku betul-betul bahagia.
Aku akan dapat menggaruk uang di pasar-pasar tanpa diketahui pemiliknya, dan
tiap kata ada orang sedang menghitung uang, uang itu kuambil. Dengan tidak usah
bekerja, aku dapat memiliki banyak uang, dan apa pun kuhendaki pastilah
tercapai". Bila ia kemudian berhasil dapat menghilang, tentu keinginannya
mulur lagi, sehingga ia ingin bisa terbang, bisa menembus bumi dan seterusnya.
Demikianlah mulurnya keinginannya sampai apa yang diinginkannya tidak dapat ia
peroleh, maka susahlah ia. Jadi jelaslah bahwa lahirnya keinginan dalam usaha
mencapai semat (kekayaan), derajat (kedudukan), kramat (kekuasaanl, apabila
sudah terlaksana pasti akan mulur. Maka senang itu tidak tetap sifatnya.
Mungkret (menyusut)
Demikian pula rasa susah pun tidak
tetap. Karena susah itu disebabkan tidak tercapainya keinginan yang berwujud
rasa tidak enak, menyesal, kecewa, tersinggung, marah, malu, sakit, terganggu
dan sebagainya. Padahal keinginan itu bila tidak tercapai pasti mungkret
(menyusut), dalam arti bahwa apa yang diinginkan itu berkurang baik dalarm
jumlah maupun mutunya, sehingga dapat tercapai, maka timbullah rasa senang.
Jadi rasa susah itu tidak tetap. Bila keinginan yang mungkret ini masih tidak
terpenuhi, pasti ia akan mungkret lagi. Mungkretnya keinginan ini baru berhenti
bila dapat terpenuhi keinginan itu. Tentunya apa yang diinginkan itu memang ada
atau mudah diperoleh, sehingga keinginan itu terpenuhi dan timbullah rasa
senang. Maka susah itu tidak tetap adanya. Misalnya orang lapar ingin makan,
tentu dipiiihnya lauk-pauk yang serba lezat, seperti daging, telur dan
sebagainya. Tetapi bila keinginannya itu tidak terpenuhi, ia pasti mungkret,
sehingga makan nasi dengan garam saja ia sudah senang. Bila nasi dengan garam
pun tidak diperolehnya pasti keinginannya mungkret lagi, sehingga makan ketela
bakar saja ia sudah girang. Bila ketela bakar pun tidak ia peroleh, pasti
keinginannya mungkret lagi, sehingga dengan diteguknya air saja, cukup sejuklah
lidahnya. Contoh yang makin jelas lagi ialah bila seorang laki-laki ingin
mempunyai seorang isteri, maka dipilihnya tentu yang cantik, masih perawan,
kaya, keturunan priyayi, cerdas, berbakti, cermat, cinta suami dan seterusnya.
Bila keinginan-keinginannya itu tidak terpenuhi, ia pun tidak benar-benar
celaka, melainkan susah sebentar, kemudian senang kembali. Oleh karena
keinginannya mungkret, maka rasanya, "Walaupun syarat pilihanku tidak
terpenuhi semua, asal saja cantik wajahnya bolehlah" Jika yang cantik pun
tidak diperolehnya, tentu keinginannya mungkret lagi: "Walaupun tidak
cantik asal saja masih perawan" Bila ini pun tidak berhasil, mungkret lagi
keinginannya "Walaupun seorang janda asal saja belum punya anak."
Bila pilihan ini masih juga gagal, pasti keinginannya mungkret lagi:
"Walaupun banyak anaknya, asalkan saja ia sehat" Bila keinginan ini
pun tidak terpenuhi, pasti mungkret lagi keinginannya: "Walaupun cacad,
asalkan berwujud orang" Padahal mencari isteri dengan syarat asal berwujud
orang saja, pastilah tidak sukar, maka ia lalu merasa senang lagi. Dari sebab
itulah penderita-penderita cacad, baik laki-laki atau perempuan, banyak yang
bersuami/isteri. Sebab satu sama lain berjumpa dalam keadaan sama mungkret
keinginannya. Demikianlah menyusutnya keinginan sampai apa yang diinginkan itu
tercapai, maka timbullah rasa senang. Maka susah itu tidak tetap. Jadi jelaslah
bahwa senang dan susah itu tidak tetap. Sebab senang itu disebabkan karena
keinginan tercapai, dan keinginan yang tercapai ini mesti mulur sehingga yang diinginkan
tidak mungkin tercapai, maka timbullah rasa susah. Kesusahan itu disebabkan
karena keinginan tidak tercapai, padahal keinginan yang tidak tercapai ini
mesti mungkret sehingga apa yang diinginkan itu mungkin tercapai, maka akan
tercapailah keinginan itu dan rasa senang timbul, jadi keinginan itu bila
mungkret akan mencapai apa yang diinginkan maka timbullah rasa senang, dan
keinginan itu mulur. Mulur ini berlangsung sehingga tidak tercapai apa yang
diinginkan maka timbul rasa susah dan keinginan itu mungkret. Mungkret,
tercapai, senang, mulur lagi. Mulur, tidak tereapai, susah, mungkret lagi. Maka
sifat keinginan itu sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar
mungkret. Hal inilah yang menyebabkan mengapa rasa hidup manusia itu sejak muda
hingga tua, pasti bersifat sebentar senang sebentar susah, sebentar senang,
sebentar susah.
No comments:
Post a Comment