Bisma (Bhīshma) terlahir sebagai
Dewabrata (Dévavrata), adalah salah satu tokoh utama dalam wiracarita
Mahabharata. Ia merupakan putera dari pasangan Prabu Santanu dan Dewi Gangga.
Ia juga merupakan kakek dari Pandawa maupun Korawa. Semasa muda ia bernama
Dewabrata, namun berganti menjadi Bisma semenjak ia bersumpah bahwa tidak akan
menikah seumur hidup. Bisma ahli dalam segala modus peperangan dan sangat
disegani oleh Pandawa dan Korawa. Ia gugur dalam sebuah pertempuran besar di
Kurukshetra oleh panah dahsyat yang dilepaskan oleh Srikandi dengan bantuan
Arjuna. namun ia tidak meninggal pada saat itu juga. Ia sempat hidup selama beberapa
hari dan menyaksikan kehancuran para Korawa. Ia menghembuskan nafas terkahirnya
saat garis balik matahari berada di utara (Uttarayana). Nama Bhishma dalam
bahasa Sanskerta berarti "Dia yang sumpahnya dahsyat (hebat)", karena
ia bersumpah akan hidup membujang selamanya dan tidak mewarisi tahta
kerajaannya. Nama Dewabrata diganti menjadi Bisma karena ia melakukan bhishan
pratigya, yaitu sumpah untuk membujang selamanya dan tidak akan mewarisi tahta
ayahnya.
Hal itu dikarenakan Bisma tidak
ingin dia dan keturunannya berselisih dengan keturunan Satyawati, ibu tirinya.
Bisma merupakan penjelmaan salah satu Delapan Wasu yang berinkarnasi sebagai
manusia yang lahir dari pasangan Dewi Gangga dan Prabu Santanu. Menurut kitab
Adiparwa, Delapan Wasu menjelma menjadi manusia karena dikutuk atas
perbuatannya yang telah mencuri lembu sakti milik Resi Wasistha. Dalam
perjalanannya menuju bumi, mereka bertemu dengan Dewi Gangga yang juga mau
turun ke dunia untuk menjadi istri putera Raja Pratipa, yaitu Santanu. Delapan
Wasu kemudian membuat kesepakatan dengan Dewi Gangga bahwa mereka akan menjelma
sebagai delapan putera Prabu Santanu dan dilahirkan oleh Dewi Gangga. Bisma
merupakan penjelmaan Wasu yang bernama Prabhata.[1]
Sementara tujuh kakaknya yang telah
lahir meninggal karena ditenggelamkan ke sungai Gangga oleh ibu mereka sendiri,
Bisma berhasil selamat karena perbuatan ibunya dicegah oleh ayahnya. Kemudian,
sang ibu membawa Bisma yang masih bayi ke surga, meninggalkan Prabu Santanu
sendirian. Setelah 36 tahun kemudian, Sang Prabu menemukan puteranya secara
tidak sengaja di hilir sungai Gangga. Dewi Gangga kemudian menyerahkan anak
tersebut kepada Sang Prabu, dan memberinya nama Dewabrata. Dewabrata kemudian
menjadi pangeran yang cerdas dan gagah, dan dicalonkan sebagai pewaris
kerajaan. Namun karena janjinya terhadap Sang Dasapati, ayah Satyawati (ibu
tirinya), ia rela untuk tidak mewarisi tahta serta tidak menikah seumur hidup
agar kelak keturunannya tidak memperebutkan tahta kerajaan dengan keturunan
Satyawati. Karena ketulusannya tersebut, ia diberi nama Bisma dan dianugerahi
agar mampu bersahabat dengan Sang Dewa Waktu sehingga ia bisa menentukan waktu
kematiannya sendiri. Bisma memiliki dua adik tiri dari ibu tirinya yang bernama
Satyawati. Mereka bernama Citrānggada dan Wicitrawirya. Demi kebahagiaan
adik-adiknya, ia pergi ke Kerajaan Kasi dan memenagkan sayembara sehingga
berhasil membawa pulang tiga orang puteri bernama Amba, Ambika, dan Ambalika,
untuk dinikahkan kepada adik-adiknya. Karena Citrānggada wafat, maka Ambika dan
Ambalika menikah dengan Wicitrawirya sedangkan Amba mencintai Bisma namun Bisma
menolak cintanya karena terikat oleh sumpah bahwa ia tidak akan kawin seumur
hidup. Demi usaha untuk menjauhkan Amba dari dirinya, tanpa sengaja ia menembakkan
panah menembus dada Amba. Atas kematian itu, Bisma diberitahu bahwa kelak Amba
bereinkarnasi menjadi seorang pangeran yang memiliki sifat kewanitaan, yaitu
putera Raja Drupada yang bernama Srikandi.
Kelak kematiannya juga berada di
tangan Srikandi yang membantu Arjuna dalam pertempuran akbar di Kurukshetra.
Bisma mempelajari ilmu politik dari Brihaspati (guru para Dewa), ilmu Veda dan
Vedangga dari Resi Wasistha, dan ilmu perang dari Parasurama (Ramaparasu; Rama
Bargawa), seorang ksatria legendaris sekaligus salah satu Chiranjīwin yang
hidup abadi sejak zaman Treta Yuga. Dengan berguru kepadanya Bisma mahir dalam
menggunakan segala jenis senjata dan karena kepandaiannya tersebut ia ditakuti
oleh segala lawannya. Bisma berhenti belajar kepada Parasurama karena
perdebatan mereka di asrama tentang masalah Amba. Pada saat itu dengan sengaja
Bisma mendorong Parasurama sampai terjatuh, dan semenjak itu Parasurama
bersumpah untuk tidak lagi menerima murid dari kasta Kshatriya karena membuat
susah.[1]
Di lingkungan keraton Hastinapura,
Bisma sangat dihormati oleh anak-cucunya. Tidak hanya karena ia tua, namun juga
karena kemahirannya dalam bidang militer dan peperangan. Dalam setiap
pertempuran, pastilah ia selalu menang karena sudah sangat berpengalaman.
Yudistira juga pernah mengatakan, bahwa tidak ada yang sanggup menaklukkan
Bisma dalam pertempuran, bahkan apabila laskar Dewa dan laskar Asura
menggabungkan kekuatan dan dipimpin oleh Indra, Sang Dewa Perang.[2]
Bisma sangat dicintai oleh Pandawa
maupun Korawa. Mereka menghormatinya sebagai seorang kakek sekaligus kepala
keluarga yang bijaksana. Kadangkala Pandawa menganggap Bisma sebagai ayah
mereka (Pandu), yang sebenarnya telah wafat. Saat perang antara Pandawa dan
Korawa meletus, Bisma berada di pihak Korawa. Sesaat sebelum pertempuran, ia
berkata kepada Yudistira bahwa dirinya telah diperbudak oleh kekayaan, dan
dengan kekayaannya Korawa mengikat Bisma. Meskipun demikian, karena Yudistira
telah melakukan penghormatan sebelum pertempuran, maka Bisma merestui Yudistira
dan berdo'a agar kemenangan berada di pihak Pandawa, meskipun Bisma sangat
sulit untuk ditaklukkan. Bisma juga pernah berkata kepada Duryodana, bahwa
meski dirinya (Bisma) memihak Korawa, kemenangan sudah pasti berada di pihak
Pandawa karena Kresna berada di sana, dan dimanapun ada Kresna maka di sanalah
terdapat kebenaran serta keberuntungan dan dimanapun ada Arjuna, di sanalah
terdapat kejayaan.[2] Dalam pertempuran akbar di dataran keramat Kurukshetra,
Bisma bertarung dengan dahsyat. Prajurit dan ksatria yang melawannya pasti
binasa atau mengalami luka berat. Dalam kitab Bismaparwa dikatakan bahwa di
dunia ini para ksatria sulit menandingi kekuatannya dan tidak ada yang mampu
melawannya selain Arjuna – ksatria berpanah yang terkemuka – dan Kresna –
penjelmaan Wisnu. Meskipun Arjuna mendapatkan kesempatan untuk melawan Bisma,
namun ia sering bertarung dengan setengah hati, mengingat bahwa Bisma adalah
kakek kandungnya sendiri. Hal yang sama juga dirasakan oleh Bisma, yang masih
sayang dengan Arjuna, cucu yang sangat dicintainya. Kresna yang menjadi kusir
kereta Arjuna dalam peperangan, menjadi marah dengan sikap Arjuna yang masih
segan untuk menghabisi nyawa Bisma, dan ia nekat untuk menghabisi nyawa Bisma
dengan tangannya sendiri.
Dengan mata yang menyorot tajam
memancarkan kemarahan, ia memutar-mutar chakra di atas tangannya dan memusatkan
perhatian untuk membidik leher Bisma. Bisma tidak menghindar, namun justru
bahagia jika gugur di tangan Madhawa (Kresna). Melihat hal itu, Arjuna menyusul
Kresna dan berusaha menarik kaki Kresna untuk menghentikan langkahnya. Dengan
sedih dan suara tersendat-sendat, Arjuna berkata, "O Kesawa (Kresna),
janganlah paduka memalsukan kata-kata yang telah paduka ucapkan sebelumnya!
Paduka telah mengucapkan janji bahwa tidak akan ikut berperang. O Madhawa
(Kresna), apabila paduka melanjutkan niat paduka, orang-orang akan mengatakan
bahwa paduka pembohong. Semua penderitaan akibat perang ini, hambalah yang
harus menanggungnya! Hambalah yang akan membunuh kakek yang terhormat
itu!..." Kresna tidak menjawab setelah mendengar kata-kata Arjuna, ia
mengurungkan niatnya dan naik kembali ke atas keretanya.
Kedua pasukan tersebut melanjutkan
kembali pertarungannya. Sebelum hari kematiannya, Pandawa dan Kresna mendatangi
kemah Bisma di malam hari untuk mencari tahu kelemahannya. Bisma mengetahui
bahwa Pandawa dan Kresna telah masuk ke dalam kemahnya dan ia menyambut mereka
dengan ramah. Ketika Yudistira menanyakan apa yang bisa diperbuat untuk
menaklukkan Bisma yang sangat mereka hormati, Bisma menjawab: “ ...ketahuilah
pantanganku ini, bahwa aku tidak akan menyerang seseorang yang telah membuang
senjata, juga yang terjatuh dari keretanya. Aku juga tidak akan menyerang
mereka yang senjatanya terlepas dari tangan, tidak akan menyerang orang yang
bendera lambang kebesarannya hancur, orang yang melarikan diri, orang dalam
keadaan ketakutan, orang yang takluk dan mengatakan bahwa ia menyerah, dan aku
pun tidak akan menyerang seorang wanita, juga seseorang yang namanya seperti
wanita, orang yang lemah dan tak mampu menjaga diri, orang yang hanya memiliki
seorang anak lelaki, atau pun orang yang sedang mabuk. Dengan itu semua aku
enggan bertarung...[2]
” Bisma juga mengatakan apabila
pihak Pandawa ingin mengalahkannya, mereka harus menempatkan seseorang yang
membuat Bisma enggan untuk bertarung di depan kereta Arjuna, karena ia yakin
hanya Arjuna dan Kresna yang mampu mengalahkannya dalam peperangan. Dengan
bersembunyi di belakang orang yang membuat Bisma enggan berperang, Arjuna harus
mampu melumpuhkan Bisma dengan panah-panahnya. Berpedoman kepada pernyataan
tersebut, Kresna menyadarkan Arjuna akan kewajibannya. Meski Arjuna masih
segan, namun ia menuntaskan tugas tersebut. Pada hari kesepuluh, Srikandi
menyerang Bisma, namun Bisma tidak melawan. Di belakang Srikandi, Arjuna
menembakkan panah-panahnya yang dahsyat dan melumpuhkan Bisma. Panah-panah
tersebut menancap dan menembus baju zirahnya, kemudian Bisma terjatuh dari
keretanya, tetapi badannya tidak menyentuh tanah karena ditopang oleh puluhan
panah yang menancap di tubuhnya. Namun Bisma tidak gugur seketika karena ia
boleh menentukan waktu kematiannya sendiri.
Bisma menghembuskan nafasnya setelah
ia menyaksikan kehancuran pasukan Korawa dan setelah ia memberikan wejangan
suci kepada Yudistira setelah perang Bharatayuddha selesai. Antara Bisma dalam
kitab Mahabharata dan pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan, namun tidak
terlalu besar karena inti ceritanya sama. Perbedaan-perbedaan tersebut antara
lain disebabkan oleh proses Jawanisasi, yaitu membuat kisah wiracarita dari
India bagaikan terjadi di pulau Jawa. Bisma adalah anak Prabu Santanu, Raja
Astina dengan Dewi Gangga alias Dewi Jahnawi (dalam versi Jawa). Waktu kecil
bernama Raden Dewabrata yang berarti keturunan Bharata yang luhur. Ia juga
mempunyai nama lain Ganggadata. Dia adalah salah satu tokoh wayang yang tidak
menikah yang disebut dengan istilah Brahmacarin. Berkediaman di pertapaan
Talkanda. Bisma dalam tokoh perwayangan digambarkan seorang yang sakti, dimana
sebenarnya ia berhak atas tahta Astina akan tetapi karena keinginan yang luhur
dari dirinya demi menghindari perpecahan dalam negara Astina ia rela tidak
menjadi raja. Resi Bisma sangat sakti mandraguna dan banyak yang bertekuk lutut
kepadanya. Ia mengikuti sayembara untuk mendapatkan putri bagi Raja Hastina dan
memboyong 3 Dewi.
Salah satu putri yang dimenangkannya
adalah Dewi Amba dan Dewi Amba ternyata mencintai Bisma. Bisma tidak bisa
menerima cinta Dewi Amba karena dia hanya wakil untuk mendapatkan Dewi Amba.
Namun Dewi Amba tetap berkeras hanya mau menikah dengan Bisma. Bisma pun
menakut-nakuti Dewi Amba dengan senjata saktinya yang justru tidak sengaja
membunuh Dewi Amba. Dewi Amba yang sedang sekarat dipeluk oleh Bisma sambil
menyatakan bahwa sesungguhnya dirinya juga mencintai Dewi Amba. Setelah roh
Dewi Amba keluar dari jasadnya kemudian mengatakan bahwa dia akan menjemput
Bisma suatu saat agar bisa bersama di alam lain dan Bisma pun menyangupinya.
Diceritakan roh Dewi Amba menitis kepada Srikandi yang akan membunuh Bisma
dalam perang Bharatayuddha. Dikisahkan, saat ia lahir, ibunya moksa ke alam
baka meninggalkan Dewabrata yang masih bayi. Ayahnya prabu Santanu kemudian
mencari wanita yang bersedia menyusui Dewabrata hingga ke negara Wirata bertemu
dengan Dewi Durgandini atau Dewi Satyawati, istri Parasara yang telah berputra
Resi Wyasa. Setelah Durgandini bercerai, ia dijadikan permaisuri Prabu Santanu
dan melahirkan Citrānggada dan Wicitrawirya, yang menjadi saudara Bisma seayah
lain ibu. Setelah menikahkan Citrānggada dan Wicitrawirya, Prabu Santanu turun
tahta menjadi pertapa, dan digantikan anaknya. Sayang kedua anaknya kemudian
meninggal secara berurutan, sehingga tahta kerajaan Astina dan janda
Citrānggada dan Wicitrawirya diserahkan pada Byasa, putra Durgandini dari suami
pertama. Byasa-lah yang kemudian menurunkan Pandu dan Dretarata, orangtua
Pandawa dan Korawa. Demi janjinya membela Astina, Bisma berpihak pada Korawa
dan mati terbunuh oleh Srikandi di perang Bharatayuddha. Bisma memiliki
kesaktian tertentu, yaitu ia bisa menentukan waktu kematiannya sendiri. Maka
ketika sudah sekarat terkena panah, ia minta sebuah tempat untuk berbaring.
Korawa memberinya tempat pembaringan mewah namun ditolaknya, akhirnya Pandawa
memberikan ujung panah sebagai alas tidurnya (kasur panah) (sarpatala). Tetapi
ia belum ingin meninggal, ingin melihat akhir daripada perang Bharatayuddha.
1. The Mahabharata of Krishna Dwaipayana Wyasa.
Buku I: Adiparwa
2. The Mahabharata of Krishna Dwaipayana Wyasa.
Buku VI: Bismaparwa.
*Sumber diolah dari :
"http://id.wikipedia.org/wiki/Bisma"
No comments:
Post a Comment