Pemerintahan Demak Bintara semenjak
dipegang oleh Sultan Trenggana mulai pada tahun 1521 Masehi, terus menerus
harus melakukan aksi militer demi untuk mempertahankan eksistensi Kesultanan
Islam Jawa sekaligus untuk kembali memasukkan wilayah-wilayah bekas Kerajaan
Majapahit diseluruh Jawa. Pada masa awal Sultan Trenggana diangkat sebagai
Sultan ke III Demak Bintara, garis politik fleksibel model Islam Abangan
menjadi pilihan Sultan Trenggana. Namun menjelang pertengahan tampuk
pemerintahannya, terpicu melihat keberhasilan Kesultanan Cirebon mampu
menghancurkan Pajajaran dengan bantuan militer Demak Bintara, pandangan politik
Sultan Trengana berubah haluan. Kemenangan Cirebon atas sokongan militer Demak
membuat Sultan Trenggana menjadi yakin akan kekuatan angkatan bersenjatanya.
Maka berturut-turut, Demak mengadakan agresi militer ke Jawa bagian timur
dimana sisa-sisa bangsawan Majapahit masih punya daerah kekuasan dan
mendominasi disana. Satu demi satu, daerah-daerah di wilayah Jawa bagian timur,
ditundukkan dengan kekuatan bersenjata. Kekuasaan Demak Bintara semakin melebar
dan meluas kearah timur pulau Jawa. Semenjak tahun 1527, peperangan demi
peperangan terus terjadi.
Hingga pada tahun 1546, ketika
Sultan Trenggana memimpin sendiri peperangan di wilayah Panarukan ( sekarang
masuk wilayah Situbondo, Jawa Timur ), Sultan Trenggana tewas! Kabar kematian
Sultan Trenggana mengguncangkan ibu kota Demak. Agresi militer yg bertujuan
untuk menguasai wilayah Panarukan dan selanjutnya Banyuwangi, gagal! Konon
menurut cerita tutur, kematian Sultan Trenggana tidak terjadi di medan laga.
Namun terjadi dikala Sultan Trenggana tengah menerima delegasi para bangsawan
dari daerah taklukan baru. Konon ketika pertemuan terjadi, Sultan Trenggana
menyuruh salah seorang bangsawan mengambilkan bahan-bahan untuk mengunyah sirih
yang terletak tak jauh dimeja perjamuan. Karuan, bangsawan Jawa timur yang
disuruh merasa tersinggung.
Walaupun daerah kekuasaannya telah
mengakui kalah dan tunduk kepada Demak, namun tidak seharusnya Sultan memerintah
dia mengambilkan bahan-bahan untuk mengunyah sirih. Bagaimanapun juga, dia
tetap seorang bangsawan. Masih banyak abdi dalem atau pelayan Sultan yang bisa
disuruh untuk itu. Tapi dengan berpura-pura memenuhi permintaan Sultan,
bangsawan ini mendekati tempat duduk Sultan. Begitu sudah dekat, dihunusnya
keris dan ditusukkannya ke tubuh Sultan Trenggana! Sultan Trenggana tewas
seketika ditempat perjamuan. Dan bangsawan yang nekad membunuh Sultan Trenggana
berikut delegasinya, mendapat hukuman setimpal, penggal kepala! Kabar tewasnya
Sultan Trenggana di Panarukan mengguncangkan Demak Bintara. Jenazah Sultan
Trenggana setelah diberi rempah-rempah agar tidak cepat membusuk, dibawa pulang
ke ibu kota Demak melalui jalur laut. Demak Bintara berkabung! Tak kurang,
seluruh putra laki-laki Raden Patah, mulai yang sulung Adipati Yunus atau
Pangeran Sabrang Lor, lantas Pangeran Suryawiyata atau Pangeran Sekar Seda
Lepen, dan kini Pangeran Trenggana atau Sultan Trenggana, semua meninggal
karena terbunuh! Kasak-kusuk beredar ditengah masyarakat Jawa, bahwa trah Demak
memang tengah mendapat kutukan dari para leluhur tanah Jawa! Dengan wafatnya
Sultan Trenggana, maka secepatnya diangkatlah penggantinya. Dan putra sulung
Sultan Trenggana, yaitu Pangeran Prawata atau Sunan Prawata, terpilih. Dia
dikukuhkan sebgai Sultan Syah Alam Akbar Jiem-Boen-ningrat IV. Pangeran Prawata
atau Sunan Prawata memiliki cacat mata, yaitu buta. Konon hal ini karena
kutukan Pangeran Suryawiyata, pamannya sendiri, saat Pangeran Prawata disaat
mudanya membunuh pamannya itu terkait pemberontakan yang dia lakukan.
Sosok Pangeran Prawata atau Sunan
Prawata, tidaklah begitu popular dimata para bangsawan Demak Bintara.
Diam-diam, didalam tubuh birokrasi dan angkatan bersenjata Demak, sudah
terpecah dalam dua kubu. Kubu pertama mendukung Sunan Kudus dengan Jipang
Panolan-nya. Sedangkan kubu kedua mendukung Jaka Tingkir atau Adipati Adiwijaya
dengan Pajang-nya. Pendukung Sunan Kudus adalah mereka-mereka yang berhalauan
keras. Sedangkan pendukung Jaka Tingkir adalah mereka-mereka yang dulu
memberikan dukungan kepada Sultan Trenggana ditambah sisa-sisa lasykar
Majapahit yang berkedudukan di Jawa bagian tengah. Para lasykar ini merapatkan
barisan dibelakang Jaka Tingkir, putra Ki Ageng Pengging yang sangat mereka
hormati. ( Ki Ageng Pengging dan putranya, Jaka Tingkir sesungguhnya beragama
Shiwa Buddha, oleh karena itu, sampai sekarang tidak ada makam dari kedua tokoh
ini. Jaka Tingkir tidak pernah berguru kepada Sunan Kudus maupun Sunan
Kalijaga. Namun, kepada Sunan Kalijaga, Jaka Tingkir sangat-sangat menaruh
hormat. Murid-murid Sunan Kalijaga, adalah dari trah Tarub yang kelak
menurunkan Panembahan Senopati, pendiri Kesultanan Mataram Islam. Sudah saatnya
sejarah diluruskan. : Damar Shashangka).
Dipihak Sunan Kudus, Arya
Penangsang, putra Pangeran Suryawiyata, telah ditampilkan sebagai pemimpin kubu
Putihan. Arya Penangsang yang masih berusia 26 tahun saat itu, tumbuh menjadi
sosok pemuda yang ahli bela diri dan olah kanuragan berkat bimbingan Sunan Kudus
secara khusus! Nama Arya Penangsang sangat ditakuti. Disamping terkenal keras
perangainya, kesaktian yang dimilikinya juga membuat lawan berfikir seratus
kali untuk berhadapan dengan putra Pangeran Suryawiyata ini! Begitu Sunan
Prawata dikukuhkan sebagai Sultan Demak IV, tampuk pemerintahan Jipang Panolan
yang telah vacuum untuk beberapa tahun semenjak pemberontakan Pangeran
Suryawiyata yang menemui kegagalan, tanpa persetujuan Sultan Demak, Arya
Penangsang langsung dikukuhkan sebagai Adipati Jipang Panolan. Dan Sunan Kudus,
bermain dibalik peristiwa itu! Peristiwa penobatan ini mengejutkan pihak yang
berseberangan dengan Jipang Panolan dan antek-anteknya. Tak urung, Jaka Tingkir
atau Adipati Adiwijaya didukung beberapa Adipati yang pro dengannya, menyarankan
kepada Sultan Demak IV untuk segera mengambil tindakan tegas! Jipang Panolan
adalah wilayah Demak Bintara, tidak sepatutnya terjadi pengangkatan seorang
Adipati tanpa persetujuan Sultan Demak sendiri! Situasi politik Demak Bintara
mulai memanas. Manakala Sultan Demak IV sudah berencana melepas jabatan Arya
Penangsang sebagai Adipati dan hendak menggantikannya dengan seorang pejabat
lain, terdengar kabar yang sangat mengejutkan, bahwa Sultan Demak IV atau Sunan
Prawata, tewas terbunuh berikut sang permaisuri! Demak Bintara terguncang! Dan
yang lebih mengejutkan lagi, selain jenazah Sultan dan permaisuri, ditempat
kejadian juga terdapat jenazah seorang laki-laki misterius dengan sebilah keris
menancap didadanya dan keris tersebut tak lain adalah Keris Kyai Brongot Setan
Kober, pusaka milik Sunan Kudus! Tidak ada saksi mata lain saat peristiwa
berdarah itu terjadi kecuali sosok Arya Pangiri, putra Sultan yang masih kecil.
Arya Pangiri selamat karena dia bersembunyi dibawah kolong ranjang sewaktu
peristiwa itu terjadi! Sultan Demak, sang permaisuri berikut putranya Arya
Pangiri sebenarnya adalah target pembunuhan. Tapi, Arya Pangiri berhasil lolos
dari maut! Ratu Kalinyamat, bibi Arya Pangiri, adik Sultan Demak IV (Baca
catatan saya Jaka Tingkir : Damar Shashangka) segera membaw Arya Pangiri
secepatnya ke Jepara.
Keselamatan Arya Pangiri tengah
terancam dan Ratu Kalinyamat tahu betul siapa dalang dibalik pembunuhan
keluarga Sultan Demak, kakaknya itu. Ratu Kalinyamat diam-diam juga membawa
Keris Kyai Brongot Setan Kober yang menancap ditubuh jenazah misterius yang
dapat dipastikan adalah salah seorang pembunuh Sultan Demak berikut permaisuri.
Ratu Kalinyamat bertindak cepat. Dia tahu, di istana Demak dan ditubuh angkatan
bersenjata Demak, sudah berkeliaran antek-antek Jipang Panolan. Sebelum bukti
otentik pembunuhan tersebut dihilangkan oleh mereka-mereka yang pro Jipang
Panolan, Ratu Kalinyamat mengamankannya terlebih dahulu. Tidak ada orang lain
lagi yang memiliki Keris Kyai Brongot Setan Kober kecuali Sunan Kudus. Dan
konon kabarnya, keris ini telah diwariskan kepada Arya Penangsang begitu dia
dikukuhkan secara sepihak sebagai Adipati Jipang Panolan. Menurut kesaksian
Arya Pangiri, pada malam itu dia tengah tidur bersama Rama dan Ibu-nya. Tapi
mendadak, dia dibangunkan oleh ibunya ditengah-tengah tidur pulasnya. Dia
disuruh masuk kebawah kolong ranjang dan diperintahkan tidak boleh keluar dan
tidak boleh bersuara sedikitpun! Arya Pangiri yang masih kecil dan penasaran
ditengah ketercekamannya mencoba mengintip apa yang tengah terjadi. Dia melihat
dua orang masuk ke kamar Rama-nya melalui pintu kamar setelah mencongkelnya.
Arya Pangiri tahu, ada beberapa orang lagi yang tengah berada diluar kamar dan
tidak ikut masuk. Terjadi percakapan antara Rama-nya dengan salah seorang
penyusup. Percakapan yang sempat didengar oleh Arya Pangiri adalah jawaban dari
Ramanya : “Bunuhlah aku. Akulah yang bertanggung jawab atas kematian paman
Suryawiyata.
Tapi jangan kalian ikut sertakan
istriku!” Setelah itu Arya Pangiri mendengar suara gaduh dan jeritan dari Rama
dan Ibu-nya hamper bersamaan. Lantas terdengar suara Ramanya berteriak :
“Mengapa kamu ikut sertakan istriku!” Suara gaduh terdengar kembali, diiringi
erangaan kesakitan. Lantas lengang… Arya Pangiri yang ketakutan baru berani
keluar setelah prajurid Demak mengeluarkanya dari bawah kolong ranjang. Dan
begitu melihat apa yang sebenarnya terjadi, maka Arya Pangiri menangis
sejadi-jadinya. Diatas ranjang, Ramanya tengah rebah kebelakang dalam posisi
bersila, dan tepat dibelakang Ramanya, Ibu-nya tengah rebah. Keduanya
bermandikan darah. Dari posisi kematian Sultan dan permaisuri, jelas terlihat,
Sultan ditusuk keris hingga tembus punggung. Dan keris itu menghunjam pula ke
tubuh permaisuri yang tengah merapatkan tubuhnya ke punggung Sultan! Jelas,
sang permaisuri menyengaja untuk ikut mati bersama-sama dengan suaminya!
Sedangkan jenazah laki-laki misterius yang terkapar tak jauh dari pintu kamar,
diduga tewas akibat lemparan keris yang dilakukan oleh Sultan sebelum
menghembuskan nafas yang terakhir. Betapa kuatnya Sultan, dia menarik keris
yang menancap di dadanya lantas melemparkannya tepat kepada salah seorang
penyusup. Ditambah lagi dengan kondisi cacat mata, jelas Sultan Demak IV, bukan
orang sembarangan! Mendengar penuturan Arya Pangiri dan melihat bukti-bukti
yang ada, Ratu Kalinyamat menyimpulkan, Sunan Kudus dan Arya Penangsang adalah
sosok yang harus bertanggung jawab atas peristiwa pembunuhan itu! Para penyusup
yang telah berhasil membunuh Sultan beserta permaisuri, adalah anggota pasukan
khusus Jipang Panolan yang dikenal dengan nama Pasukan Sureng! Pasukan yang
dilatih khusus untuk menyusup dan melakukan operasi pembunuhan!
Pasukan ini memang sudah didengar
oleh beberapa kalangan pejabat di Demak Bintara! Dan kini, kehebatan pasukan
ini telah terbukti! Jipang Panolan tidak bisa dianggap remeh sekarang! Ratu
Kalinyamat segera mengambil tindakan tegas. Dia langsung mengukuhkan suaminya,
Pangeran Hadiri atau Sunan Kalinyamat sebagai Sultan Demak V. Tindakan ini
diambil karena dalam hukum yang dipakai pemerintahan Demak Bintara, seorang
wanita diharamkan memimpin suatu pemerintahan! Situasi politik Demak semakin
memanas. Di pihak Pajang, persiapan-pun dilakukan! Karena sudah jelas, pihak
Jipang Panolan sudah berani memulai aksinya! Bahkan terdengar kabar, beberapa
daerah telah diserang oleh Jipang Panolan. Dan daerah-daerah yang berhasil
ditaklukkan, dimasukkan ke wilayah Jipang Panolan. Jipang Panolan rupanya sudah
siap untuk mendirikan sebuah Kesultanan baru yang lepas dari Kesultanan Demak
Bintara! Pembunuhan Sunan Kalinyamat Setelah mengadakan musyawarah yang sangat
serius dengan para pembesar Kesultanan, Ratu Kalinyamat beserta suaminya, Sunan
Kalinyamat memutuskan untuk datang bertandang ke Pesantren Kudus. Sunan Kudus
memang masih menjabat sebagai salah seorang Penasehat Agung Kesultanan Demak.
Jabatan ini bermakna politis. Namun disamping itu, sudah diketahui umum bahwa
Sunan Kudus-pun adalah seorang pemimpin Pesantren yang memiliki banyak santri.
Dia dianggap sebagai seorang sesepuh dan dituakan. Sebagai seorang Penasehat,
kedudukan Sunan Kudus memang masih dibawah kedudukan Sultan Demak, tapi
kedudukannya sebagai seorang pemimpin Pesantren yang berbasiskan moral, maka
dia dianggap sebagai seorang Guru.
Seseorang yang patut dipatuhi dan
patut dijadikan suri tauladan. Oleh karena itulah, sengaja Sultan Demak V atau
Sunan Kalinyamat beserta Ratu Kalinyamat, menyengaja datang sendiri ke
Pesantren Kudus. Ini dimaksudkan, kedatangan mereka berdua lepas dari hierarki
sebuah pemerintahan. Sultan Demak V beserta istri datang ke Pesantren Kudus
sebagai seorang siswa yang tengah menghadap Gurunya, walaupun mereka bukan
siswa langsung Pesantren Kudus. Kedatangan rombongan Sultan Demak V mengejutkan
seisi Pesantren Kudus. Mau tidak mau, walaupun kedatangan Sultan Demak V dan
Ratu Kalinyamat bukanlah atas nama Kesultanan namun atas nama pribadi, tetap
saja, kedatangan mereka memancing penyambutan yang meriah! Para santri segera
berjajar sembari menabuh rebana dan menyanyikan shalawat Nabi menyambut
kedatangan rombongan Sultan! Tepat pada waktu itu, banyak terlihat pasukan
Jipang Panolan tengah berada disana! Baik Sultan Demak V maupun Ratu
Kalinyamat, melihat itu. Para pasukan Jipang tidak satupun yang ikut melakukan
penyambutan. Disudut halaman Pesantren, terlihat sebuah kuda berbulu hitam yang
berhiaskan perhiasan-perhiasan indah.
Ratu Kalinyamat tahu, itu adalah
kuda kesayangan Arya Penangsang yang dikenal dengan nama Kyai Gagak Rimang.
Berarti, saat ini, Arya Penangsang juga tengah bertandang ke Pesantren Kudus.
Situasi yang agak tidak menyenangkan terjadi antara pasukan Demak dengan
pasukan Jipang. Ratu Kalinyamat segera memerintahkan pemimpin pasukan agar
memastikan, mengambil tempat terpisah dengan pasukan Jipang dan jangan
mengambil tindakan apapun jika tidak ada perintah darinya! Sunan Kudus beserta
istri dan keluarga, menyambut kedatangan Sultan Demak V atau Sunan Kalinyamat
beserta istri, Ratu Kalinyamat. Mereka berdua diterima di Pendhopo. Namun, tak
tampak Arya Penangsang ikut menyambut kedatangan Sultan. Menyadari akan hal
itu, Ratu Kalinyamat benar-benar merasa diremehkan dan ditantang! Sultan Demak
V beserta Ratu Kalinyamat memohon kepada Sunan Kudus agar bisa berbicara
bertiga. Sunan Kudus mengabulkan. Dan mereka akhirnya menuju ruang dalam
bertiga. Setelah berbasa-basi berbagi keselamatan, maka Ratu Kalinyamat-pun
segera menyampaikan maksud kedatangan mereka : “Bapa Sunan, kedatangan kami
kemari sesungguhnya ibarat kedatangan seorang murid kepada Guru-nya. Walaupun
kami bukan murid resmi Pesantren Kudus, namun secara tidak langsung, kami
menghargai Bapa Sunan sebagai Guru kami pula.” Sejenak Ratu Kalinyamat diam,
lantas : “Dan, kami memandang Bapa Sunan adalah panutan kami, sosok yang
memberikan suri tauladan bagi kami. Jadi, sekiranya kami meminta keadilan
kepada Bapa Sunan, bukankah itu juga sudah sewajarnya?” Sunan Kudus tersenyum,
dan menjawab : “Memberikan keadilan adalah kewajiban seorang Sultan.
Aku bukan seorang Sultan, anakmas
Sunan Kalinyamat-lah seorang Sultan. Dia yang seharusnya berhak memberikan
keadilan.” Ratu Kalinyamat tersenyum, dan berkata : “Bukan keadilan dari
seorang Sultan yang tengah kami harapkan, tapi keadilan dari seorang Guru
kepada muridnya yang telah berbuat dosa!” Sunan Kudus terdiam. Ratu Kalinyamat
mengeluarkan sebuah benda yang terbungkus kain putih dari dalam peti kayu
berukir yang dia bawa. Benda terbungkus kain putih tersebut dipegangnya dengan
tangan kanan, lalu dibuka penutup kainnya… Sunan Kudus memincingkan mata
melihat isi didalam bungkusan kain putih tersebut… Dan Ratu Kalinyamat kembali
berkata : “Kami tahu pemilik benda ini kini tengah bersembunyi bagai seorang
pengecut diruang belakang Pesantren. Kami meminta keadilan Bapa Sunan kepada
pemilik benda ini. Pastinya, Bapa Sunan mengerti apa maksud kami!” Tegas suara
Ratu Kalinyamat. Sunan Kudus menarik nafas. Dilihatnya benda yang ditunjukkan
oleh Ratu Kalinyamat tak lain adalah Keris Kyai Brongot Setan Kober. Keris
pusaka miliknya yang kini telah diwariskan kepada Arya Penangsang. “Saya bukan
seorang Sultan…!” Sunan Kudus tiba-tiba berkata. “Keadilan dari seorang Guru!
Bukan dari seorang Sultan!”, potong Ratu Kalinyamat berani! Kembali Sunan Kudus
terdiam. Dan pada akhirnya, Sunan Kudus menyanggupi untuk memberikan keadilan
kepada Arya Penangsang.
Namun memberikan sebuah keadilan
tidak segampang membalikkan telapak tangan. Sunan Kudus menjanjikan, tujuh hari
lagi, Sunan Kudus akan menyerahkan Arya Penangsang ke Demak untuk menerima
hukuman Qisas atau hukum mati pancung kepala jika memang terbukti Arya
Penangsang adalah dalang pembunuhan Sultan Demak IV atau Sunan Prawata! Ratu
Kalinyamat maupun Sunan Kalinyamat, walaupun meragukan kesungguhan Sunan Kudus,
terpaksa menerima janji tersebut. Dan keduanya akhirnya mohon diri. Begitu Ratu
Kalinyamat dan Sunan Kalinyamat telah meninggalkan Pesantren Kudus, Arya
Penangsang menghadap Sunan Kudus. Dia menanyakan kebenaran janji yang telah
diucapkan Sunan Kudus barusan. Dan Sunan Kudus berkata : “Menurut hukum
syariat, jika terjadi pembunuhan, dan keluarga korban menuntut, maka tidak ada
alasan untuk menolak pelaksanaan hukum Qisas atau pancung kepala. Kecuali
keluarga korban mau menerima diyat atau harta pengganti dari sang pembunuh
sebagai wujud perdamaian antara kedua belah pihak.” Arya Penangsang menukas :
“Dan tidak mungkin Nimas Kalinyamat mau menerima diyat dari saya. Maka
sekalian, untuk menyingkirkan lawan-lawan saya sekaligus menghindari jatuhnya
hukuman mati kepada saya, maka akan saya bungkam mulut Nimas Kalinyamat untuk
selamanya agar tidak bisa menuntut saya lagi!” Sunan Kudus terdiam. Lantas
berkata : “Terserah kamu! Tapi lakukan diluar wilayah Kudus!” Arya Penangsang
menyembah lantas bergegas keluar menemui Patih Matahun, Patih sepuh Jipang
Panolan. Arya Penangsang memerintahkan, melakukan penghadangan rombongan Sultan
Demak V. Dan perintah utamanya adalah : bunuh Sunan Kalinyamat beserta Ratu
Kalinyamat! Setelah menerima perintah, Patih Matahun segera menyiapkan seluruh
pasukan Jipang Panolan.
Tidak memakan waktu lama, pasukan
Jipang Panolan segera berangkat! Kuda-kuda digebrak nyalang menimbulkan bunyi
ringkikan riuh rendah bercampur teriakan-teriakan komando! Pasukan Jipang,
bergerak menyusul rombongan Sultan Demak V! Tujuannya jelas menyingkirkan Ratu
Kalinyamat dan Sunan Kalinyamat hari itu juga! Sekali lagi, darah akan
tertumpah dibumi Jawa! Rombongan Sultan Demak V atau Sunan Kalinyamat telah
jauh meninggalkan wilayah Kudus. Tak terbersit sedikitpun dibenak Sunan
Kalinyamat jikalau dibelakang mereka kini tengah mengejar sepasukan tempur Jipang
Panolan. Hanya Ratu Kalinyamat yang mendapatkan firasat yang tidak mengenakkan.
Dan firasat itu terbukti ketika dari arah belakang, seorang penunggang kuda
tengah memacu kudanya dengan kencang, menyusul kereta yang dinaiki Sunan
Kalinyamat beserta Ratu Kalinyamat. Sang penunggang kuda itu berpakaian
layaknya rakyat biasa, kini nampak tengah berusaha mendekati Lurah Prajurid
Pengawal Sultan. Ratu Kalinyamat tanggap, sang penunggang kuda itu tak lain
adalah anggota Pasukan Telik Sandhibaya atau Pasukan Mata-Mata Demak Bintara.
Nampak, Lurah Prajurid Pengawal Sultan, setelah melihat tanda anggota yang
ditunjukkan oleh sang penunggang kuda, seketika memerintahkan seluruh rombongan
berhenti. Sang penunggang kuda yang baru datang nampak turun dari punggung kuda,
menghaturkan sembah sembari mendekati Lurah Prajurid Pengawal. Terjadi
percakapan sebentar.
Disusul, Lurah Prajurid Pengawal-pun
kemudian turun dari pungung kuda, dan berdua mereka berjalan menuju Kereta yang
dinaiki Sunan Kalinyamat dan Ratu Kalinyamat. Keduanya menghaturkan sembah dan
melaporkan bahwa, dibelakang rombongan, kini tengah mengejar sepasukan tempur
Jipang Panolan dengan bersenjatan lengkap! Sunan Kalinyamat terkejut, namun
tidak dengan Ratu Kalinyamat. Dia memincingkan mata, diam sejenak, lantas
segera memerintahkan seluruh pasukan untuk mempersiapkan diri. Perintah Ratu
Kalinyamat jelas, yakni bersiap untuk menghadapi pasukan Jipang Panolan apapun
yang dikehendaki. Jikalau pihak Jipang Panolan menginginkan perang, maka hari
ini juga, Ratu Kalinyamat akan memenuhi keinginan pasukan Jipang! Dua orang
prajurid ditugaskan menuju ibu kota Demak untuk menyampaikan perintah tertinggi
Sultan Demak V yang diwakili Ratu Kalinyamat kepada seluruh angkatan bersenjata
Demak agar mempersiapkan diri untuk memulai perang terbuka dengan pihak Jipang
Panolan! Ratu Kalinyamat sendiri yang memimpin rombongan Pasukan Pengawal. Dia
kini keluar dari kereta dan menaiki seekor kuda. Ratu Kalinyamat terlihat gagah
dan anggun ketika duduk diatas pungung kuda. Sorot matanya garang, sangat
kontras dengan kecantikan wajahnya. Namun, walaupun begitu, malahan nampak
terlihat semakin anggun! Seluruh pasukan telah bersiap ditempat masing-masing
menunggu komando.
Medan perbukitan yang kini tengah
mereka jajaki, telah siap mereka jadikan ajang pertempuran! Dan benar! Dari
arah berlawanan, sepasukan prajurid berkuda nampak datang! Jelas, atribut yang
mereka kenakan memang berasal dari pasukan Jipang Panolan! Dari kejauhan,
melihat pasukan Demak telah siap tempur, pasukan Jipang yang baru datang
tersebut langsung menghunus senjata masing-masing dan langsung menyerbu pasukan
Demak! Ratu Kalinyamat dengan tenang menghunus kerisnya. Diangkatnya
tinggi-tinggi keris tersebut dengan tangan kanannya. Lantas setelah dirasa
sudah saatnya, Ratu Kalinyamat sontak lantang berteriak memberikan komando !
“Seraaaaaang!!” Gemuruh dan hiruk pikut suara pasukan Jipang Panolan yang
tengah maju kini berbaur dengan gemuruh pekikan pasukan Demak yang juga maju
menyambut kedatangan mereka! Pertempuran tak terelakkan lagi! Ratu Kalinyamat
dan Sunan Kalinyamat yang kini juga ikut turun dari kereta berganti menaiki
seekor kuda, mengamuk di medan laga! Satu dua prajurid Jipang terbabat keris
Ratu Kalinyamat tepat dileher! Sontak menjerit kesakitan dan sekarat dengan
leher menganga mengucurkan darah segar! Sungguh luar biasa sosok Ratu
Kalinyamat! Dibalik kecantikan dan keanggunannya, kini dia berubah menjadi
harimau betina yang pilih tanding! Kerisnya menyambar ke sana kemari, sangat
cepat dan lihai! Dipihak Jipang, pasukan dipimpin oleh Patih Matahun. Patih
sepuh yang semenjak dulu setia mengabdi kepada Pangeran Suryawiyata dan sempat
menghilang beberapa tahun semenjak pemberontakan Pangeran Suryawiyata dapat
dipatahkan, kini, setelah Arya Penangsang tampil kedepan, Patih sepuh ini ikut
tampil kembali.
Banyak prajurid Demak yang meregang
nyawa terkena amukan Patih Matahun! Kelincahannya sangat mengagumkan! Kerisnya
mencicit kesana kemari mengincar nyawa pasukan Demak! Tingkah Patih Matahun
menyita perhatian Ratu Kalinyamat. Harimau betina ini menggeram! Digebraknya
kuda dan dengan sangat berani menyibak pertempuran dan melaju ke garis depan!
Tujuan Ratu Kalinyamat tak lain adalah Patih Matahun! Jika berkelahi dengan
tangan kosong, Ratu Kalinyamat mungkin kalah tenaga dengan Patih Matahun. Namun
jika beradu keahlian bermain keris, maka jangan sekali-kali meremehkan Ratu
Kalinyamat! Keris Ratu Kalinyamat mencicit tak terduga menelusup daerah vital
lawan! Banyak prajurid Jipang yang ciut nyalinya melihat kelihaian Ratu
Kalinyamat dalam bermain keris. Satu dua prajurid Jipang meregang nyawa sia-sia
manakala hendak mencoba menghadang laju kuda harimau betina ini! Dan Patih
Matahun baru menyadari jika kini Ratu Kalinyamat tengah menuju ke arahnya!
Patih sepuh ini segera bersiap diri. Ratu Kalinyamat terkenal mahir bermain
keris dan Patih Matahun tidak berani sembarangan menghadapi perempuan cantik
ini! Dan benar! Begitu jarak mereka sudah sedemikian dekat, sembari terus
memacu kudanya kencang, Ratu Kalinyamat menyabetkan keris kearah Patih Matahun!
Serangan itu mengincar leher! Patih Matahun mencoba menghindar dengan cara
memutar kudanya! Tapi ternyata, begitu jarak keris sudah sedemikian dekat,
mendadak Ratu Kalinyamat mengubah serangan mengarah perut! Begitu cepat dan tak
terduga! Patih Matahun kaget setengah mati! Tak urung, perutnya terkena sabetan
keris Ratu Kalinyamat! Untung cuma tergores! Namun bagaimanapun juga, lukanya
cukup lumayan! Patih Matahun menggeram marah! Putri Sultan Trenggana ini
ternyata memang mahir bermain keris! Jarang bisa ditemukan sosok seperti ini,
walaupun seorang laki-laki sekalipun! Patih Matahun kini tidak berani main-main
lagi! Pertempuran semakin sengit! Denting senjata diiringi teriakan-teriakan
nyalang terdengar disana-sini! Diselingi pekik kesakitan dari mereka-mereka
yang tengah terbabat senjata lawan atau yang tengah menggelepar meregang nyawa!
Mayat telah banyak bergelimpangan dengan darah membasah! Namun, jumlah pasukan
Demak memang kalah banyak dengan jumlah pasukan Jipang! Pelahan dan pasti,
pasukan Demak terpukul mundur! Dan yang mengejutkan, terdengar
teriakan-teriakan pasukan Jipang Panolan ditengah-tengah pertempuran.
Teriakan-teriakan itu
bersahut-sahutan : “Sultan Demak wis matii!! Sultan Demak wis matii!” (Sultan
Demak tewas! Sultan Demak tewas!) Ratu Kalinyamat terkejut mendengar bunyi
teriakan-teriakan itu! Konsentrasinya seketika buyar! Patih Matahun tak
menyia-nyiakan kesempatan itu! Ditubruknya tubuh Ratu Kalinyamat ! Patih
Matahun meompat dari punggung kuda menabrakkan tubuhnya ke tubuh Ratu
Kalinyamat! Ratu Kalinyamat yang tak menduga akan hal itu tak sempat
menghindar! Tubuhnya kontan tertimpa tubuh Patih Matahun! Keduanya jatuh
terguling-guling diatas tanah! Dan celakanya, keris ditangan Ratu Kalinyamat
terlepas dari genggaman! Sigap Ratu Kalinyamat bangkit dari tanah! Namun Patih
Matahun lebih sigap lagi! Patih sepuh itu nampak kesetanan! Keris ditangannya
mencicit mengarah dada Ratu Kalinyamat! Ratu Kalinyamat bagai harimau
kehilangan taring! Dia mencoba menghindar dan terus menghindar tanpa bisa
membalas serangan! Ditempat lain, pasukan Demak mulai kocar-kacir! Kondisi
pertempuran telah berubah drastis! Pasukan Demak terdesak hebat! Sebentar lagi,
pasukan Demak akan menemui kekalahan! Ratu Kalinyamat panik! Serangan Patih
Matahun terus mencercanya! Hingga disuatu ketika, posisi tempat Ratu Kalinyamat
berdiri, kini tengah berada dibibir tebing! Mata Ratu Kalinyamat memerah!
Nafasnya turun naik! Dia memperhatikan Patih Matahun yang kini sudah dibantu
oleh beberapa pasukan Jipang! Ratu Kalinyamat sadar, pasukan Demak sudah hampir
kalah! Dan posisinya kini tengah berada diujung tanduk! Dan, entah keberanian
dari mana yang hinggap di benak Ratu Kalinyamat. Begitu mendapati dirinya
terdesak, sontak, dia berbalik arah dan nekad terjun ke tebing dibelakangnya!
Patih Matahun yang hendak menabraknya terlambat! Tubuh Ratu Kalinyamat telah
meluncur ke bawah dengan meninggalkan jeritan yang menggema! Patih Matahun
kebingungan mengamati ke bawah tebing dimana Ratu Kalinyamat tadi melompat!
Namun tidak lama, segera setelah itu dia memerintahkan beberapa prajurid untuk
menuruni tebing dari sisi lain! Beberapa prajurid Jipang segera bergerak
mencari jalan ke bawah! Dimedan laga, prajurid Demak banyak yang tewas! Sisanya
melarikan diri.
Dan mayat Sunan Kalinyamat terlihat
dibawa menepi oleh beberapa prajurid Jipang! Hampir seharian, pencarian
keberadaan Ratu Kalinyamat tidak mendapatkan hasil sama sekali. Patih Matahun
menyimpulkan, putri Sultan Trenggana itu telah tewas didasar tebing. Dan
berarti tugas mereka untuk membunuh Sunan Kalinyamat dan Ratu Kalinyamat telah
berhasil dengan gemilang! Kini, Patih Matahun dengan pasukan Jipang yang
tersisa, tinggal kembali ke Jipang Panolan untuk menggabungkan diri dengan
pasukan Jipang yang lebih besar, yang dipimpin oleh Arya Penangsang. Pasukan
Jipang Panolan tengah mempersiapkan diri untuk bergerak ke ibu kota Demak
Bintara. Keesokan harinya, pasukan Jipang Panolan benar-benar bergerak ke ibu
kota Demak Bintara! Angkatan bersenjata Demak yang memang telah mempersiapkan
diri pula, menyambut pasukan Jipang Panolan walaupun mereka telah kehilangan
sosok Sultan! Dan tentu saja, sosok panutan tertinggi memang sangat berpengaruh
bagi kondisi kejiwaan para prajurid. Pasukan Demak telah kehilangan semangatnya!
Bahkan banyak kesatuan-kesatuan yang menyeberang ke pihak Jipang Panolan!
Peperangan antara Jipang dengan Demak Bintara tidak memakan waktu lama! Demak
Bintara berhasil ditaklukkan dengan sangat mudah! Para personil angkatan
bersenjata Demak yang anti Jipang, banyak yang melarikan diri ke Kadipaten
Pajang. Mereka mengabarkan kejatuhan Demak Bintara ditangan Arya Penangsang .
Mengabarkan wafatnya Sultan Demak V beserta Ratu Kalinyamat, dan kini mereka
hendak bergabung kedalam angkatan bersenjata Pajang! Pajang gempar! Adipati
Adiwijaya atau Jaka Tingkir yang memang sudah lama mempersiapkan diri untuk
menghadapi situasi seperti ini, segera memerintahkan angkatan bersenjata Pajang
untuk semakin mempersiapkan diri berperang dengan Jipang Panolan! Situasi benar-benar
memanas! Peperangan antara Jipang Panolan yang mayoritas diperkuat barisan
Islam Putihan dengan Pajang yang mayoritas diperkuat barisan Islam Abangan dan
Shiwa Buddha, sudah tampak didepan mata! Bahkan terdengar kabar sekali lagi,
Jepara kini telah diserang oleh Jipang Panolan! Para Senopati Pajang telah
meminta kepada Adipati Adiwijaya untuk mengeluarkan maklumat perang dengan
Jipang Panolan. Namun atas saran Ki Mas Manca, Ki Wila, Ki Wuragil, Ki Ageng
Pamanahan dan Ki Juru Martani, seyogyanya Adipati Adiwijaya untuk sementara
waktu melihat reaksi Dewan Wali Sangha atas peristiwa tersebut.
Jika Dewan Wali Sangha nampak tidak
menyetujui tindakan Arya Penangsang, maka tidak ada salahnya jika Pajang
mengangkat senjata secara terbuka. Namun manakala pihak Dewan Wali Sangha malah
merestui tindakan Arya Penangsang, maka harus dicari jalan lain demi menghadapi
Jipang. Tidak boleh terlihat dipermukaan bahwa Pajang melawan Jipang jika Dewan
Wali berpihak kepada Jipang. Namun harus ada tangan ketiga yang seolah-olah
lepas dari Pajang yang harus menghadapi Jipang Panolan! Sikap Dewan Wali belum
jelas. Namun sikap Sunan Kudus sudah terbaca. Sunan Kudus menyetujui tindakan
Arya Penangsang! Adipati Adiwijaya harus sabar menunggu reaksi Dewan Wali
Sangha. Sebab jika gegabah menyerang Jipang, dan ternyata Dewan Wali merestui
Jipang, bisa jadi, Cirebon dan Banten akan diperintahkan Dewan Wali membantu
Jipang. Itu berarti, Pajang harus menghadapi tiga kekuatan sekaligus! Adipati
Adiwijaya sebenarnya sudah tidak sabar ingin berhadapan dengan Arya Penangsang
yang katanya tak terkalahkan tersebut! Biarpun Sunan Kudus berada dibelakang
Arya Penangsang, Adipati Adiwijaya alias Jaka Tingkir, tidak gentar sedikitpun!
Namun saran dari pembantu-pembantu terdekatnya, memang patut dijadikan bahan
pertimbangan.
Walaupun istri sang Adipati, Nimas
Sekaring Kedhaton, terus menangis mendengar dua orang kakak kandungnya, yaitu
Sunan Prawata dan Ratu Kalinyamat, telah tewas ditangan pasukan Jipang Panolan!
Nimas Sekaring Kedhaton memohon kepada Adipati Adiwijaya agar berjanji
membalaskan dendamnya kepada Arya Penangsang! Adipati Adiwijaya atau Jaka
Tingkir, tidak bisa menolak permintaan istri kesayangannya tersebut! Namun
bagaimanapun juga, reaksi dari Dewan Wali Sangha memang patut ditunggu. Setelah
reaksi dari Dewan Wali keluar, maka saat itulah Pajang akan bergerak! Ki Ageng
Pamanahan dan Ki Juru Martani. Dipihak Pajang, telah sekian lama mengabdi dua
orang keturunan Raden Bondhan Kejawen. Kedua orang ini memang sengaja
dititipkan oleh Sunan Kalijaga kepada Adipati Adiwijaya. Mereka adalah Ki Ageng
Pamanahan dan Ki Juru Martani. Ki Ageng Pamanahan adalah putra dari Ki Ageng
Mangenis Sela. Ki Ageng Mangenis Sela adalah putra dari Ki Ageng Sela. Ki Ageng
Sela adalah putra dari Ki Getas Pandhawa. Ki Getas Pandhawa adalah putra dari
Raden Bondhan Kejawen atau Ki Ageng Tarub II. Dan Raden Bondhan Kejawen adalah
putra selir Prabhu Brawijaya V dengan Dewi Wandhan Kuning atau Dewi Bondrit
Cemara, putri yang berasal dari daerah Wandhan atau Banda Niera sekarang. (
Baca catatan saya Misi Peng-Islam-an Nusantara dan Jaka Tingkir : Damar
Shashangka). Sedangkan Ki Juru Martani adalah putra dari adik Ki Ageng Sela. Ki
Ageng Sela memiliki tujuh orang adik perempuan. Dan salah satunya menurunkan Ki
Juru Martani. Usia Ki Juru Martani dengan Ki Ageng Pamanahan tidaklah terpaut
terlalu jauh. Walaupun begitu, Ki Ageng Pamanahan tetap harus memanggil paman
kepada Ki Juru Martani. Karena bagaimanapun juga, Ki Juru Martani adalah adik
keponakan dari Ki Ageng Mangenis Sela, ayah Ki Ageng Pamanahan. Kedua keturunan
Raden Bondhan Kejawen ini telah lama berguru kepada Sunan Kalijaga. Dan
manakala Jaka Tingkir telah berhasil menjabat sebagai Adipati Pajang dengan
gelar Adipati Adiwijaya, maka atas permintaan Ki Ageng Sela, Sunan Kalijaga
diminta menitipkan kedua orang ini kepada Jaka Tingkir. Mendapati trah Tarub
dititipkan oleh Sunan Kalijaga guna mengabdi di Pajang, Jaka Tingkir-pun tak
mampu menolaknya.
Keduanya-pun diterima sebagai
pemimpin kesatuan Prajurid Pengawal Adipati yang kedudukannya berada dibawah
Lurah Prajurid Pengawal langsung. Kecakapan Ki Ageng Pamanahan membuat Jaka
Tingkir atau Adipati Adiwijaya merasa tidak salah telah mempercayainya sebagai
salah satu pemimpin Prajurid Pengawal. Ditambah kepintaran Ki Juru Martani
dalam hal siasat politik maupun militer, membuat Adipati Adiwijaya akhirnya
mengangkat Ki Ageng Pamanahan sebagai Lurah Prajurid Pengawal Adipati dan Ki
Juru Martani sebagai wakilnya. Ki Ageng Pamanahan memiliki seorang putra yang
masih muda belia. Danang Sutawijaya namanya. Kedekatan Ki Ageng Pamanahan
secara pribadi dengan Adipati Adiwijaya membuat Danang Sutawijaya pada akhirnya
diambil putra angkat oleh Sang Adipati dan dijadikan teman bermain Pangeran
Benawa, putra Sang Adipati yang usianya juga tak terpaut jauh dengan Danang
Sutawijaya! Maka, jika Adipati Adiwijaya secara pribadi dekat dengan Ki Ageng
Pamanahan, Pangeran Benawa-pun sangat akrab dengan Danang Sutawijaya. Jalinan
persaudaraan-pun tercipta antara keluarga Adipati dengan keluarga Ki Ageng
Pamanahan. Hingga suatu hari, datanglah seorang pemuda dusun yang memohon untuk
menghadap kepada Adipati Adiwijaya. Kehadiran pemuda ini menggemparkan seisi
Kadipaten karena dia mengaku telah diutus secara langsung oleh Ratu Kalinyamat!
Tanpa menunggu waktu, Adipati Adiwijaya memerintahkan pemuda itu untuk segera
menghadap kepadanya! Kedatangan pemuda dusun yang konon diutus oleh Ratu
Kalinyamat tersebut benar-benar menggemparkan seisi Kadipaten Pajang.
Secepatnya Adipati Adiwijaya menyuruh pemuda itu untuk menghadap. Adipati
Adiwijaya menemui sang pemuda secara pribadi dengan hanya ditemani oleh Nimas
Sekaring Kedhaton, Ki Mas Manca, Ki Wila dan Ki Wuragil. Dari penuturan pemuda
dusun tersebut, tahulah Adipati Adiwijaya dan seluruh yang hadir disitu
bahwasanya Ratu Kalinyamat masih diberikan umur panjang. Menurut sang pemuda,
tubuh Ratu Kalinyamat dia ketemukan tengah tersangkut disebuah batang pohon
besar yang kebetulan tumbuh didasar tebing. Dalam kondisi yang terluka teramat
parah, Ratu Kalinyamat ternyata masih hidup. Sangat beruntung sekali Ratu
Kalinyamat karena saat terjatuh dari atas tebing, tubuhnya tidak sempat
terbentur bebatuan cadas. Dan lebih beruntung lagi karena tubuhnya menimpa
sebatang dahan pohon raksasa yang tumbuhnya kebetulan memang miring. Sungguh
suatu keajaiban yang tidak akan mungkin bisa terulang lagi!
Sang pemuda yang kebetulan tengah
mencari madu hutan, tanpa sengaja mendapati sosok tubuh seorang wanita yang
penuh luka dan darah disana-sini tengah tersangkut di sebuah batang pohon.
Menitik dari pakaian yang dikenakan, jelas sosok ini bukan dari kalangan rakyat
biasa. Mendapati sosok itu masih hidup dan tengah sekarat, segera saja sang
pemuda melupakan tujuannya semula yang hendak mencari madu ke hutan. Dia segera
membopong tubuh tersebut dan membawanya pulang ke desa! Bekel atau Kepala Desa
yang mendapat laporan tentang penemuan sesosok tubuh wanita dari sang pemuda,
segera datang ke rumah sang pemuda untuk melihatnya sendiri. Sang Bekel kaget
melihat pakaian kebesaran Demak Bintara melekat pada tubuh wanita yang terluka
parah tersebut. Segera saja Sang Bekel memerintahkan ahli pengobatan yang
tinggal di desa tersebut untuk segera memberikan pertolongan secepatnya.
Beberapa tulang yang cidera, dikembalikan lagi posisinya. (Dalam pengobatan
Jawa dikenal dengan Ilmu Sangkal Putung, yaitu ilmu pengobatan khusus tulang
yang mampu mengembalikan posisi cidera tulang akibat benturan keras. Sampai
sekarang masyarakat Jawa yang tengah mengalami cidera akibat kecelakaan, masih
banyak yang meminta bantuan ahli Sangkal Putung. Dan pada kenyataannya, memang
sangat mujarab. Banyak penderita yang tertolong walaupun tidak harus mendatangi
Rumah Sakit : Damar Shashangka.) Luka-luka luar maupun luka-luka dalam, pelahan
dengan pasti berangsur-angsur sembuh berkat ramuan yang diracik dari berbagai
tanaman. Dan satu minggu kemudian, sosok wanita yang tak lain adalah Ratu
Kalinyamat tersebut, baru bisa diajak bicara. Dan terkejutlah seisi penghuni
desa tak terkecuali Sang Bekel mendapati pengakuan dari wanita tersebut
bahwasanya dirinya tak lain adalah Ratu Kalinyamat, permaisuri Sultan Demak V
yang kini telah tewas akibat terbunuh oleh pasukan Jipang Panolan!
Satu bulan kemudian, Ratu Kalinyamat
telah mampu bangkit dari ranjang walau masih tertatih-tatih akibat cidera
tulang yg dialaminya masih belum sembuh total. Pada masa itu, interaksi antar
penduduk satu desa dengan desa lain sangat-sangat terbatas. Disamping kebutuhan
ekonomi mereka telah tercukupi dari hasil pertanian olahan sendiri, medan dan
jalan-jalan penghubung antar daerah masih sulit dan terjal. Apalagi desa dimana
Ratu Kalinyamat tertolong termasuk desa yang ada dilereng pegunungan. Maka bisa
dibayangkan, betapa terisolirnya letak desa tersebut. Bagi para penduduk desa,
adalah sebuah kehormatan besar bagi mereka telah menolong seorang permaisuri
Sultan Demak. Dan kepada pemuda yang dulu menemukan tubuh Ratu Kalinyamat pada
mula pertama, Sang Ratu menjanjikan sebuah jabatan di pemerintahan. Sang pemuda
lantas diutus oleh Ratu Kalinyamat menyampaikan kabar keselamatannya ke Pajang.
Dengan dibekali beberapa lembar Rontal yang telah ditulisi pesan pribadi dari
Sang Ratu, dan setelah diwanti-wanti agar berhati-hati dijalan karena ini
adalah tugas yang cukup rahasia dan berbahaya jika sampai diketahui oleh
mata-mata Jipang, maka berangkatlah sang pemuda ke Pajang. Adipati Adiwijaya
berikut sang permaisuri, Nimas Sekaring Kedhaton benar-benar bersyukur kepada
Hyang Widdhi mendengar kabar yang dibawa oleh sang pemuda yang kini tengah ada
dihadapan mereka. Bahkan saking gembiranya, Nimas Sekaring Kedhaton meneteskan
air mata bahagia. Segera Adipati Adiwijaya membaca surat dari kakak iparnya
yang diserahkan oleh sang pemuda. Nampak Sang Adipati mengerutkan dahi setelah
membaca isi surat dari Ratu Kalinyamat. Disana tertulis bahwasanya Sang Ratu
meminta kepada Adipati Adiwijaya supaya mengirimkan beberapa prajurid pilihan
untuk mengantarkannya pulang ke Jepara. Para prajurid harus ‘nylamur lampah’
alias menyamar sebagai orang kebanyakan. Tidak hanya prajurid, Sang Ratu juga
meminta agar dikirimkan pula beserta para prajurid, beberapa pelayan wanita.
Tujuan Sang Ratu ke Jepara adalah menuju sebuah gua rahasia yang tidak
seorang-pun mengetahui letak gua tersebut kecuali Sang Ratu sendiri dan almarhum
suaminya, Sunan Kalinyamat. Disana selain menyembunyikan diri, Ratu Kalinyamat
juga bertekad akan melakukan TAPA WUDA atau TAPA TELANJANG. Ratu Kalinyamat
tidak akan mengenakan selembar pakaian-pun selama Arya Penangsang belum mati
terbunuh! Selain itu, Ratu Kalinyamat secara khusus meminta agar Adipati
Adiwijaya memberikan ganjaran atau anugerah berupa uang yang sepantasnya kepada
para penduduk desa yang telah berjasa menyelamatkan nyawanya. Dan khusus kepada
pemuda yang telah menemukan tubuhnya ketika terluka parah, Ratu Kalinyamat
memohon agar pemuda tersebut bisa diberikan kedudukan yang pantas dijajaran
pemerintahan Kadipaten Pajang.
Membaca permintaan yang kedua dan
ketiga dari Ratu Kalinyamat, bagi Sang Adipati tidak menjadi masalah untuk
memenuhinya, namun membaca permintaan pertama dimana Sang Ratu hendak berniat
menuju Jepara, membuat Adipati Adiwijaya merasa berberat hati. Adipati
Adiwijaya memutuskan agar sang pemuda untuk sementara mundur dahulu dari
hadapan beliau. Dia diutus agar beristirahat untuk sementara waktu. Beliau
sendiri hendak membahas isi surat Ratu Kalinyamat dengan Nimas Sekaring
Kedhaton, Ki Mas Manca, Ki Wila dan Ki Wuragil secara pribadi. Sang pemuda
diantar beberapa prajurid pengawal Adipati menuju tempat peristirahatan yang
telah disediakan baginya. Tapa Telanjang Ratu Kalinyamat. Jepara kini telah
dikuasai oleh Jipang Panolan. Bila Ratu Kalinyamat nekad kembali ke Jepara, itu
sama saja dengan ‘Ula marani gepuk’ atau mencari mati. ( Ula marani gepuk
adalah istilah Jawa yang artinya kurang lebih, seekor ular malah mendekati
tongkat pemukul yang hendak dipergunakan untuk meremukkan kepalanya : Damar
Shashangka). Begitulah Adipati Adiwijaya berpendapat. Namun, Nimas Sekaring
Kedhaton malah berpendapat lain. Saat ini, malahan tempat yang dirasa paling
aman bagi kakak kandungnya memang hanyalah wilayah Jepara. Karena walaupun
Jepara memang telah dikuasai Jipang Panolan, namun Ratu Kalinyamat,
bagaimanapun juga, telah hapal setiap jengkal tanah Jepara. Bahkan, Nimas
Sekaring Kedhaton dulu pernah mendengar bahwa kakak kandungnya memang memiliki
tempat rahasia yang khusus, tempat yang kerap kali dia pergunakan untuk menyepi
dan bertapa. Hanya Ratu Kalinyamat dan almarhum suaminya, Sunan Kalinyamat saja
yang tahu dimana letak tempat tersebut. Para prajurid Jepara-pun, tidak
seorang-pun yang mengetahuinya. Konon letaknya berada disekitar Gunung
Danaraja. Mungkin, jika benar Ratu Kalinyamat berniat untuk menyembunyikan diri
disana, pihak Jipang dapat dipastikan tidak akan bisa menemukannya! Ki Mas
Manca, Ki Wila dan Ki Wuragil condong menyetujui pendapat Nimas Sekaring
Kedhaton. Apa yang telah diputuskan oleh Ratu Kalinyamat, tentunya memang sudah
dipertimbangkan secara masak. Mungkin, selain beliau berniat untuk
menyembunyikan diri ditempat yang paling aman menurut beliau, diam-diam Sang
Ratu juga bisa mengkoordinasikan kekuatan dari para pendukungnya yang masih ada
disana. Siapa saja mereka, tentunya hanya Ratu Kalinyamat yang tahu.
Ratu Kalinyamat lebih bisa berbuat
sesuatu di Jepara daripada jika Sang Ratu memilih bersembunyi ke Pajang, begitu
menurut pendapat Ki Mas Manca. Setelah berunding cukup lama, pada akhirnya,
Adipati Adiwijaya memutuskan memenuhi semua permintaan Ratu Kalinyamat.
Dikirimkannyalah dua puluh prajurid khusus pilihan dari Pajang dengan menyamar
sebagai rombongan penari keliling. Dengan membawa seperangkat Gamelan sebagai
bagian dari aksi penyamaran,ditambah lima orang pelayan wanita yang menyamar
sebagai para penarinya, maka dihari yang telah ditentukan, berangkatlah mereka.
Disetiap tempat, mereka sengaja menggelar pertunjukan. Hal ini demi untuk
mengelabuhi para mata-mata Jipang sekiranya keberadaan mereka tengah menjadi
perhatian mereka. Dan pada akhirnya sampai juga mereka di desa dimana Ratu
Kalinyamat tengah menyembunyikan diri. Ratu Kalinyamat lantas ikut rombongan
Pajang tersebut dan meninggalkan desa dimana selama ini Sang Ratu telah dirawat
untuk menuju ke Jepara. Dalam perjalanan ke Jepara, rombongan tersebut juga
kerap menggelar pertunjukan. Namun, Sang Ratu sengaja tidak tampil ke muka
umum. Hingga pada akhirnya, rombongan ini selamat sampai ke Gunung Danaraja.
Ratu Kalinyamat dan rombongan segera menuju gua rahasia yang selama ini sangat
dirahasiakan oleh Sang Ratu. Dua puluh prajurid pilihan Pajang bertugas menjaga
keselamatan Sang Ratu. Sedangkan lima orang pelayan wanita bertugas melayani
kebutuhan Sang Ratu. Sedangkan Ratu Kalinyamat sendiri, segera memilih tempat
yang tepat, tempat yang tersembunyi dan agak gelap. Dan setelah tempat tersebut
dibersihkan sedemikian rupa, Sang Ratu-pun untuk sejenak beristirahat disana
sembari menunggu malam menjelang. Begitu malam telah turun, Sang Ratu dengan
diantar lima pelayan wanita, keluar dari gua menuju sungai Gajahan yang
terletak tak jauh dari sana. Sang Ratu membersihkan diri disungai tersebut.
Selesai membersihkan diri, beliau kembali ke dalam gua. Ditempat yang telah
dipilih, Sang Ratu melepaskan seluruh busananya hingga telanjang bulat. Rambut
panjangnya diurai sedemikian rupa hingga menutupi bagian payudaranya. Ratu
Kalinyamat duduk bersila. Sang Ratu bertekad, tidak akan mengenakan busananya
lagi sebelum Arya Penangsang mati! ( Tempat Tapa Telanjang Ratu Kalinyamat
hingga sekarang menjadi tempat ziarah.
Terletak di Desa Danaraja, Jepara
bagian utara, dan Sungai Gajahan masih tetap mengalir disana. : Damar
Shashangka) Dalam kondisi seperti itu, hanya pelayan wanita saja yang
diperbolehkan mendekati beliau. Diam-diam, walaupun Ratu Kalinyamat juga tengah
menjalani Tapa Telanjang, melalui kedua puluh prajuirid pilihan yang
menjaganya, Ratu Kalinyamat mencoba menghubungi beberapa mantan petinggi Jepara
yang masih loyal kepadanya. Beberapa mantan pejabat tersebut diam-diam pula
bertandang menghadap ke Gunung Danaraja. Dari sini, koordinasi mulai dibangun
kembali. Ratu Kalinyamat pelahan dan pasti, mulai merapatkan barisan para
pendukungnya. Kekuatan Jepara yg tercerai berai akibat gempuran Jipang Panolan,
diam-diam mulai menyatu kembali. Usaha Pembunuhan Adipati Adiwijaya. Arya
Penangsang sudah bersiap untuk menyerang Pajang. Namun Sunan Kudus masih
menghalanginya. Pajang terlalu kuat untuk diperangi saat ini. Seluruh kekuatan
Islam Abangan, bahkan sedikit banyak kekuatan Shiwa Buddha, kini telah merapat
dalam satu barisan dibawah panji Kadipaten Pajang. Jika Dewan Wali Sangha sudah
jelas-jelas memberikan dukungan kepada Jipang, maka penyerangan ke Pajang
tidaklah menjadi masalah. Karena sudah dapat dipastikan, Cirebon dan Banten,
mau tidak mau akan ikut memperkuat barisan Jipang manakala Dewan Wali telah
mengeluarkan fatwanya! Kekuatan Pajang sebenarnya terletak pada sosok Jaka
Tingkir sebagai pewaris tahta Majapahit. Sosok Adipati Pajang ini mampu
memberikan semangat romantisme yang luar biasa akan kejayaan Majapahit. Baik
pengikut dari Shiwa Buddha maupun Islam Abangan, mereka semua sangat-sangat
mengagungkan Majapahit. Sunan Kudus memberikan solusi, jika Jaka Tingkir
berhasil dibunuh, maka dapat dipastikan, kekuatan Pajang akan terpecah-pecah!
Model pembunuhan seperti yang pernah dilakukan kepada Sunan Prawata yang berhasil
dengan gemilang, tidak ada salahnya dicoba untuk dilakukan sekali lagi kepada
Adipati Pajang tersebut. Arya Penangsang merespon solusi yang dianjurkan oleh
Sunan Kudus. Dipilihnyalah empat orang anggota prajurid Sureng, prajurid khusus
Jipang Panolan, untuk menjalankan tugas rahasia tersebut. Empat anggota
prajurid pilihan yang diambil dari anggota pasukan khusus segera ditugaskan
menuju Pajang. Konon, Jaka Tingkir adalah sosok manusia digdaya yang tubuhnya
kebal senjata tajam. Maka, sekali lagi, Keris Kyai Brongot Setan Kober yang
berhasil direbut dari dalam Kereta kencana Ratu Kalinyamat dan Sunan Kalinyamat
dikala penyerangan kepada kedua bangsawan tersebut tempo hari, kini dibekalkan
kepada empat orang prajurid tersebut. Dengan menyamar sebagai pedagang
keliling, empat orang prajurid khusus Jipang Panolan tersebut segera berangkat
menuju Pajang. Beberapa hari mereka menempuh perjalanan dan akhirnya sampai
juga di ibukota Kadipaten Pajang. Empat orang prajurid Jipang selama tiga hari
menyamar sebagai pedagang keliling. Sembari pura-pura menjajakan dagangan
berupa pakaian-pakaian jadi, mereka mencoba mencari informasi seputar kondisi
dan situasi Kadipaten. Sebagai seorang prajurid khusus yang telah terlatih,
mereka dengan sangat cepat mampu menandai dimana titik-titik lemah penjagaan
Kadipaten Pajang. Setelah yakin akan hasil penyelidikannya, maka pada hari
keempat, tepat tengah malam, mereka segera memulai aksinya. Malam itu, Ki Ageng
Pemanahan dan Ki Juru Martani belum tertidur. Keduanya masih terjaga sembari
berbincang-bincang. Namun mendadak, baik Ki Ageng Pemanahan maupun Ki Juru
Martani, merasakan perubahan suasana yang aneh. Kondisi Kadipaten tiba-tiba
terasa senyap. Bahkan suara burung malam yang sesekali terdengar, kini mendadak
tak terdengar sama sekali. Seolah seluruh makhluk penghuni malam, telah hilang
begitu saja, entah kemana. Bahkan, jengkerikpun tiba-tiba tidak memperdengarkan
suara khasnya. Suasana yang terasa aneh seperti itu membuat kedua orang ini
waspada. Ki Juru Martani berbisik kepada Ki Ageng Pemanahan bahwa sepertinya
ada orang yang tengah menebarkan kekuatan gaib ilmu sirep, yaitu sejenis ilmu
yang dipergunakan untuk membuat orang lain tertidur pulas bagaikan mati. Ki
Ageng Pemanahan segera memutuskan untuk keluar dari bilik pribadi. Dengan
diikuti oleh Ki Juru Martani, keduanya segera berkeliling areal Kadipaten.
Didalam bilik peraduan, Adipati Adiwijaya juga merasakan perubahan suasana yang
misterius tersebut. Malam itu, Sang Adipati tidur dengan ditemani empat orang
istri selir. Keempat istri selir nampak pulas tertidur disisi kanan dan kiri
Sang Adipati, mereka tertidur bagaikan mati. Hanya tinggal Adipati Adiwijaya
saja yang terjaga dengan benak dipenuhi tanda tanya. Ada sesuatu yang tengah
terjadi. Sang Adipati kini mulai meningkatkan kewaspadaannya. Dengan tetap
berbaring telentang, Adipati Adiwijaya sengaja menyelimuti tubuhnya dengan
selembar kain kemben. Situasi sangat-sangat senyap. Mendadak dari arah pintu
kamar, lamat-lamat terdengar bunyi berisik. Mata Sang Adipati nyalang melirik
ke arah pintu kamar. Jelas dari arah luar, ada orang yang sengaja berusaha
masuyk secara paksa kedalam. Sang Adipati waspada. Dengan tetap dalam posisi
telentang berselimutkan kain kemben, Sang Adipati siaga sepenuhnya! Tidak
berapa lama berselang, dua orang bercadar berhasil membuka pintu dan langsung
masuk kedalam. Yang seorang segera bergerak kearah pembaringan dan yang seorang
tetap menjaga pintu! Terlihat keris dihunus dari warangka, berkilat sesaat
tertimpa cahaya pelita kamar. Dengan memegang keris terhunus dan berjalan
mengendap-endap, salah seorang bercadar mendekati pembaringan Adipati
Adiwijaya. Begitu jarak sudah sedemikian dekat dengan tubuh Sang Adipati, orang
bercadar tersebut secepat kilat menikamkan keris kedada Sang Adipati! Keris
terayun nyalang mengarah dada! Namun terjadi keanehan! Tusukan yang telah
sedemikian tepat dan mematikan tersebut mental bagaikan mengenai lempengan besi
padat! Dada Sang Adipati sama sekali tidak terluka sedikitpun!
Hanya kain kemben yang dijadikan
selimut tersingkap! Orang bercadar yang menusukkan keris terkejut! Sekali lagi
dihunjamkannya keris kearah yang sama! Dan sekali lagi pula, keris mental bagai
mengenai lempengan logam! Disaat itu, Adipati Adiwijaya mendadak membuka mata
nyalang! Dengan menggeram marah, Adipati Adiwijaya segera menjejakkan kakinya
ke dada orang bercadar yang berusaha hendak menusukkan keris sekali lagi ke
arah tubuhnya! Jejakan kaki Sang Adipati tepat mengenai dada! Tubuh orang
bercadar terdorong kebelakang, lantas jatuh menimpa perabotan kamar diiringi
bunyi gaduh yang nyaring! Bunyi gaduh akibat jatuhnya tubuh orang bercadar
menimpa perabotan kamar membuat keempat istri selir terbangun! Kontan begitu
menyadari ada dua orang lain yang tengah hadir didalam kamar, mereka langsung
menjerit ketakutan! Dengan bertelanjang dada, Adipati Adiwijaya bangkit dari
pembaringan dan langsung menyambar sebuah keris yang menyandar disudut dinding!
Adipati Adiwijaya menghunus keris tersebut seketika! Salah seorang bercadar
yang sedari tadi menjaga pintu, tanpa menunggu waktu langsung menyerang Sang
Adipati! Perkelahian segera terjadi! Kegaduhan pun tercipta diiringi jerit
ketakutan keempat istri selir yang kini nampak berkumpul berdiri dipojok kamar.
Tusukan keris bisa dihindari oleh Adipati Adiwijaya.
Bahkan dengan tak terduga, keris
ditangan Sang Adipati cepat menukik ke arah perut! Orang bercadar kaget! Begitu
cepat serangan tersebut! Dia berusaha menghindar selekasnya, namun karena
terlalu cepatnya serangan, kulit perutnya-pun tergores juga! Dibalik cadarnya,
dia meringis kesakitan! Salah seorang yang sedari tadi terjatuh, kini bangkit
berdiri dan langsung menyerang! Kegaduhan kembali terjadi lebih dari semula!
Namun, bagaimanapun juga, kedua pasukan khusus Sureng Jipang Panolan ini diam-diam
harus mengakui, sosok Adipati Adiwijaya memang tangkas dan trengginas dalam
bermain silat! Belum lama pertempuran terjadi, karena terpancing suara gaduh
dan jeritan para selir yg berselang-seling dengan teriakan-teriakan dari mereka
yang tengah berkelahi, beberapa pasukan pengawal Adipati merangsak masuk ke
dalam kamar. Nampak Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani langsung ikut
meleburkan diri dalam kegaduhan! Sang Adipati berteriak nyalang : “Jangan
bunuh! Tangkap hidup-hidup!” Apa daya dua orang menghadapi beberapa prajurid
pengawal Adipati Pajang. Begitu tombak-tombak panjang yang runcing terarah
ketubuh mereka, mau tak mau, mereka menghentikan serangannya dan langsung duduk
bersimpuh! “Kangjeng Adipati, saya juga telah membekuk dua orang lain yang berada
diluar!”. Ujar Ki Ageng Pamanahan sembari menyembah. Adipati Adiwijaya
menyarungkan kerisnya. “Kurung mereka untuk sementara waktu. Obati luka-luka
mereka. Besok pagi, hadapkan semuanya kepadaku!” Ki Ageng Pemanahan menyembah
lantas memrintahkan dua orang prajurid pengawal untuk mengikat tangan kedua
orang bercadar yang kini tengah duduk bersimpuh! Keduanya lantas digiring
keluar kamar dan dibawa ke Pakunjaran atau tempat kurungan. Malam itu, Adipati
Adiwijaya terpaksa harus tidur dikamar permaisurinya, Nimas Sekaring Kedhaton
yang jadi ikut terbangun akibat kejadian tersebut. Beberapa pelayan wanita
terpaksa pula membereskan seluruh perabotan pecah belah yang hancur berserakan
akibat perkelahian barusan. Malam itu, seisi Kadipaten Pajang geger! Keesokan
harinya, keempat orang yang semalam tertangkap, dihadapkan secara khusus kepada
Adipati Adiwijaya. Cadar mereka telah dibuang. Kini wajah keempat-empatnya
nampak jelas sudah. Mereka menundukkan muka, menunggu jatuhnya hukuman mati
yang pasti akan diberikan oleh Adipati Adiwijaya! Sang Adipati terdiam agak
lama memperhatikan keempat orang yang nampak sudah sangat pasrah tersebut. Di
sana, Ki Mas Manca, Ki Wila, Ki Wuragil, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani
ikut hadir.
Berikut beberapa prajurid pengawal.
Suasana tegang, menantikan apa yang hendak dilakukan oleh Sang Adipati. Tak ada
yang berani mengeluarkan suara sekecil apapun. Pada akhirnya, Adipati
Adiwijaya-pun angkat suara. “Dhimas Pemanahan. Bagaimana hasilnya?” Ki Ageng
Pamanahan menyembah sejenak dan menjawab : “Kasinggihan Dalem Kangjeng, keempat
orang ini adalah prajurid Sureng dari Jipang Panolan!” Seluruh yang hadir
terkejut seketika mendengar jawaban Ki Ageng Pemanahan. Adipati Adiwijaya lekat
memperhatikan keempat orang dihadapannya sembari memincingkan mata. Yang
diperhatikan semakin menundukkan kepala. Nampak kemudian, Ki Ageng Pemanahan
mengeluarkan benda berbuntalkan kain putih dari balik bajunya, kemudian
menyembah sejenak dan berjalan duduk menghampiri tempat Adipati. “Mohon
Kangjeng memeriksa benda ini.” Adipati Adiwijaya menerima benda berbungkus kain
putih yang dihaturkan Ki Ageng Pemanahan. Dengan menahan nafas, dibukanya kain
putih penutup, begitu benda telah lepas dari penutupnya, memerahlah wajah Sang
Adipati. Bibirnya tanpa sadar bergumam : “Kyai Brongot Setan Kober!” Suara Sang
Adipati menambah keterkejutan semua yang hadir. Ditangannya kini tergenggam
sebilah keris yang tak lain adalah Kyai Brongot Setan Kober, keris pusaka milik
Sunan Kudus yang telah diberikan kepada Arya Penangsang. Dada Adipati Adiwijaya
bergemuruh.
Ditunjukkannya keris ditangan kepada
Ki Mas Manca. Ki Mas Manca memincingkan mata memperhatikan keris tersebut
lekat-lekat. Sembari menarik nafas, wajah Ki Mas Manca bersemu merah!
“Bagaimana, kangmas?” , tanya Adipati Adiwijaya. Ki Mas Manca diam sesaat.
Kemudian dia menjawab : “Terserah dhimas Adipati. Ini sudah keterlaluan!” Keris
lantas diserahkan kembali kepada Ki Ageng Pemanahan. Kini kembali Adipati
Adiwijaya memperhatikan empat orang prajurid Sureng Jipang Panolan. Sang
Adipati dengan suara tertahan, menanyakan langsung kepada keempat prajurid
dihadapannya, benarkah Arya Penangsang yang telah memerintahkan mereka. Salah
seorang prajurid yang ditunjuk untuk menjawab, dengan terbata-bata membenarkan
akan hal itu. Suasana menjadi bertambah tegang. Adipati Adiwijaya menghela
nafas, lantas berkata : “Kalian orang Jipang, kali ini aku ampuni nyawa
kalian!” Mendengar titah Sang Adipati, semua yang mendengar tidak menduga sama
sekali. Lantas kembali Sang Adipati berkata : “Pulanglah kembali ke Jipang
Panolan. Tapi Kyai Brongot Setan Kober aku ambil. Dan kepulangan kalian akan
aku beri bekal emas permata dan uang ketheng yang banyak. Katakan kepada Arya
Penangsang, tidak mudah membunuh Jaka Tingkir!” Keputusan sudah diturunkan,
tidak ada lagi yang berani membantah. Keeesokan harinya, keempat prajurid
Sureng dari Jipang dihantarkan oleh prajurid khusus pengawal Adipati keluar
dari ibu kota Pajang untuk pulang kembali ke Jipang Panolan. Betapa malu
keempat orang prajurid Sureng tersebut mendapat perlakuan semacam itu. Undangan
Sunan Kudus Kepulangan empat prajurid Sureng ke Jipang Panolan, bukannya
membawa kabar keberhasilan yang membuat Arya Penangsang senang, namun malahan
membawa malu yang mencoreng muka Arya Penangsang. Tidak hanya gagal menjalankan
tugas, tapi juga meninggalkan Keris Kyai Setan Kober di Pajang! Sudah bisa
ditebak, diam-diam keempat orang prajurid ini dijatuhi hukuman penggal kepala
oleh Arya Penangsang karena tidak berhasil menjalankan tugas. Ironis. Kabar
kegagalan itu dilaporkan oleh Arya Penangsang kepada Sunan Kudus. Sunan Kudus
tak habis pikir, betapa tinggi ilmu kanuragan yang dimiliki Adipati Adiwijaya.
Keris Kyai Brongot Setan Kober, tidak mampu melukai tubuhnya sedikitpun.
Arya Penangsang mendesak Sunan Kudus
agar diberi ijin untuk mengadakan penyerangan ke Kadipaten Pajang. Karena semua
sudah kepalang basah. Namun lagi-lagi, Sunan Kudus menghalanginya. Sunan Kudus
masih memiliki satu cara lagi. Satu cara untuk memancing Adipati Adiwijaya keluar
dari sarang. Jika berhasil dipancing keluar dari sarangnya, maka untuk
memusnahkan segala ilmu kanuragan yang dimilikinya dan lantas membunuhnya akan
semakin mudah dilakukan. Pada hari yang akan ditentukan, Sunan Kudus secara
pribadi akan mengirimkan undangan khusus kepada Adipati Pajang. Sunan Kudus
sengaja mengundang Sang Adipati guna untuk memperingati tahun baru Islam, satu
Muharrom, yang hendak dirayakan oleh Pesantren Kudus. (Waktu itu, kalender Jawa
belum lahir. Kalender yang dipakai adalah kalender Hijriyyah dan kalender Saka.
Kedua kalender yang berasal dari tradisi Islam dan tradisi Hindhu ini dipakai
secara bersamaan. Jadi waktu itu belum dikenal istilah SURO-an. Kalender Jawa
baru lahir kelak oleh cicit Ki Ageng Pemanahan, cucu Panembahan Senopati, yaitu
Kangjeng Sultan Agung Anyakrakusuma pada tahun 1555 Saka atau 1633 Masehi.
Kalender Jawa adalah sistim penanggalan dimana kalender Hijriyyah dari Islam
dan kalender Saka dari Hindhu dilebur menjadi satu kesatuan. : Damar
Shashangka) Dapat dipastikan, Adipati Adiwijaya sebagai seorang pemimpin yang
disegani di Jawa, akan menghargai undangan tersebut.
Undangan dari seorang anggota Dewan
Wali Sangha yang tergolong sepuh. Yang punya pengaruh dan suaranya didengar di
dalam Dewan Wali. Maka mau tak mau, Adipati Adiwijaya akan hadir memenuhi
undangan tersebut. Manakala Adipati Adiwijaya telah datang ke Kudus, maka Arya
Penangsang yang harus menyambut kedatangannya. Sunan Kudus telah menyediakan
sebuah kursi khusus yang sengaja telah diberi doa-doa untuk melenyapkan segala
macam ilmu kesaktian yang dimiliki siapapun yang duduk diatasnya. Dan adalah
tugas Arya Penangsang untuk mengusahakan agar Adipati Adiwijaya bisa duduk
dikursi tersebut. Disamping itu, diam-diam Arya Penangsang juga harus
mempersiapkan seluruh angkatan bersenjata Jipang untuk bersiap-siap menyerang
Pajang. Jika Adipati Adiwijaya telah menduduki kursi khusus tersebut, maka
saatnya bagi Arya Penangsang untuk membunuh Sang Adipati saat itu juga. Dapat
dipastikan, seluruh kekuatan Adipati Adiwijaya luruh. Begitu Sang Adipati telah
tewas, maka Arya Penangsang harus segera memerintahkan penyerangan
besar-besaran ke Pajang. Dengan tidak adanya Adipati Adiwijaya, Pajang, sekuat
apapun, hanya akan menjadi harimau tak bertaring. Pajang akan kucar-kacir. Dan
Jipang pasti bisa menjebol Pajang! Rencana yang sangat matang tersebut
disetujui Arya Penangsang. Dan menginjak bulan ke sebelas menurut kalender
Islam, yaitu bulan Dzulqo’idah, Sunan Kudus mengirimkan surat undangannya ke
Pajang. Surat dari Sunan Kudus tersebut diterima oleh Adipati Adiwijaya. Isi
surat segera menjadi bahasan serius Sang Adipati. Disana tertera bahwasanya
Sunan Kudus mengharap dengan hormat kepada Kangjeng Adipati Pajang, Adiwijaya,
untuk bersedia hadir di Kudus pada bulan Muharrom guna ikut memperingati
perayaan tahun baru Islam. Seluruh orang terdekat Adipati Adiwijaya menyarankan
agar Adipati Adiwijaya berhati-hati. Bisa jadi ini adalah jebakan baginya.
Namun, tidaklah etis mengabaikan
undangan seorang berpengaruh di Jawa seperti Sunan Kudus dimana suaranya
memiliki kekuatan dalam Dewan Wali Sangha. Maka diputuskan, Adipati Adiwijaya
akan berangkat ke Kudus dengan didampingi oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru
Martani. Sedangkan Ki Mas Manca, Ki Wila dan Ki Wuragil, akan tetap di Pajang.
Menyiagakan seluruh kekuatan angkatan bersenjata Pajang jika nanti terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan. Adipati Adiwijaya mempercayakan Pajang kepada Ki
Mas Manca manakala dia pergi ke Kudus. Dua bulan kemudian, menjelang beberapa
hari sebelum hari perayaan yang tertera dalam surat undangan dari Kudus,
berangkatlah rombongan Adipati Pajang ke Kudus. Segala macam kebesaran Pajang
nampak dari rombongan tersebut. Disetiap jalan yang dilalui, rombongan Pajang
senantiasa mendapatkan berbagai bentuk penghormatan dari rakyat. Bahkan,
ditempat-tempat mana rombongan Pajang bermalam, rakyat sangat bersuka cita
menerima kehadiran mereka. Banyak yang mempersembahkan makanan dengan suka rela
walaupun sebenarnya, seluruh rombongan tidak begitu memerlukannya. Perbekalan
yang dibawa dari Pajang sudah lebih dari cukup. Namun, Adipati Adiwijaya
memerintahkan kepada seluruh prajurid yang ikut dalam rombongan agar menerima
segala persembahan dari rakyat tersebut. Walaupun nampak remeh temeh, namun itu
adalah wujud kecintaan rakyat kepada mereka semua. Jangan sekali-kali
mengacuhkan persembahan makanan yang diunjukkan dengan rasa penuh kecintaan
tersebut. Beberapa hari kemudian, sampailah rombongan Adipati Pajang ke kota
Kudus. Kedatangan rombongan dari Pajang ini mengagetkan masyarakat Kudus.
Mereka terperangah melihat segala macam kebesaran yang terlihat. Mereka baru
menyadari, bahwa Pajang ternyata sudah pantas jika menjadi sebuah Kerajaan
besar. Panji-panji Pajang berkibar-kibar. Berkelebat dengan gagah diterpa angin.
Nampak didepan, Adipati Adiwijaya menaiki seekor gajah diiringi beberapa
prajurid berkuda diarah depan, kiri, kanan dan baru rombongan berkuda juga
dibelakangnya. Seluruh orang Kudus kagum melihat kebesaran Pajang! Rombongan
itu langsung menuju ke Pesantren Kudus. Disana, para santri menyambut
kedatangan rombongan Adipati Pajang dengan menabuh rebana dan menyanyikan
salawat Nabi seperti kebiasaan mereka. Diantara rombongan, Ki Ageng Pemanahan
dan Ki Juru Martani, tetap mempertajam kewaspadaan mereka. Nampak, selain para
santri, ada terlihat beberapa pasukan Jipang yang juga telah hadir disana.
Bahkan ada beberapa pasukan dari daerah lain yang nampak ikut hadir. Namun
kedatangan rombongan dari Pajang, lebih menyita perhatian. Kebesaran Adipati
Adiwijaya sangat memukau semua mata. Begitu Sang Adipati turun dari atas
punggung gajah, nampak dipendhopo, beberapa santri langsung menyambutnya dan
mempersilakan masuk ke pendhopo. Seluruh rombongan turun dari kuda.
Masing-masing tali kekang kuda ditambatkan ditempat yang telah disediakan.
Perayaan tahun baru Islam di Kudus memang terlihat meriah. Ki Ageng Pemanahan
dan Ki Juru Martani segera mengiringi Adipati Adiwijaya. Mereka masuk ke
pendhopo diikuti para prajurid khusus Pajang yang lain. Begitu seorang santri kembali
mempersilakan agar Adipati Adiwijaya masuk ke ruang dalam untuk bertemu secara
khusus dengan Sunan Kudus, Ki Ageng Pemanahan segera memilih beberapa prajurid
yang terlatih untuk ikut mengiringi Sang Adipati bersamanya. Sedangkan Ki Juru
Mertani, tetap bertugas diluar, menyiagakan seluruh prajurid yang tidak ikut
masuk bila ada hal yang tidak dikehendaki nanti.
Manakala Adipati Adiwijaya, Ki Ageng
Pemanahan dan beberapa prajurid pilihan masuk keruang dalam, betapa terkejut
mereka ketika disana Arya Penangsang dan beberapa prajurid khusus Jipang
Panolan telah berdiri menyambut. Baik Adipati Adiwijaya maupun Ki Ageng
Pemanahan segera waspada. Arya Penangsang langsung bergerak memeluk Adipati
Adiwijaya. Setelah itu dia berkata : “Dhimas Adiwijaya, sangat senang hatiku
melihat adhimas bersedia hadir di Kudus ini.” Adipati Adiwijaya tersenyum dan
menjawab : “ Kangmas Penangsang, hati saya-pun gembira bisa melihat kangmas
juga hadir di Kudus ini.” Diam-diam, Ki Ageng Pemanahan memberikan isyarat
wspada kepada seluruh prajurid yang ikut masuk. Terdengar Arya Penangsang
kembali buka suara : “Mari adhimas, silakan duduk disini…” Arya Penangsang
mempersilakan Adipati Adiwijaya untuk duduk disalah satu kursi yang tersedia.
Namun, mendadak terbersit perasaan ganjil dihati Adipati Adiwijaya manakala
matanya melihat keberadaan kursi yang dimaksud oleh Arya Penangsang. Tanpa
sadar, Adipati Adiwijaya berkata : “Ah, kangmas. Bukankah itu kursi paling
bagus diantara semua kursi yang ada disini. Tak layak bagiku duduk disana.
Hanya Bapa Sunan Kudus sendiri sebagai tuan rumah yang pantas mendudukinya.”
Arya Penangsang tersenyum simpul . “Tidak mengapa dhimas, mari…” Arya
Penangsang terlihat agak memaksa. Sikap Arya Penangsang menambah ketidak
nyamanan dihati Adipati Adiwijaya semakin bertambah-tambah. Terasa aneh.
Adipati Adiwijaya, secara halus tetap menolak untuk duduk disana. “Sudahlah,
kangmas Penangsang. Saya akan duduk dikursi sebelahnya saja. Saya tidak enak
duduk disana, sepertinya ada sesuatu dikursi tersebut.” Arya Penangsang kaget.
Namun segera dia menutupi kekagetannya. “Memang ada apa dikursi tersebut? Apa
yang dhimas takutkan?” Adipati Adiwijaya tersenyum dan menjawab : “Ah, mungkin
hanya perasaan saya saja. Tapi jika memang tidak ada apa-apa disana, apakah
kangmas berani menduduki kursi tersebut?” Arya Penangsang sedikit kebingungan.
Hal ini terbaca oleh Adipati Adiwijaya dan Ki Ageng Pemanahan. “Mengapa
kangmas? Kangmas takut duduk disana?” , sindir Adipati Adiwijaya. Memerah wajah
Arya Penangsang, dia menjawab : “Tidak ada apa-apa disana, buat apa takut?!”
Dan dengan pongahnya Arya Penangsang langsung berjalan kearah kursi tersebut
dan langsung duduk diatasnya. Padahal Sunan Kudus telah mewanti-wanti, kursi
tersebut telah diisi dengan doa-doa, siapa saja yang menduduki kursi tersebut,
dapat dipastikan, seluruh ilmu kanuragan yang dimiliki akan luruh seketika itu
juga. (Sampai saat ini, kursi bersejarah ini masih tersimpan di Kudus. : Damar
Shashangka) Diam-diam, Sunan Kudus yang tengah mengintip dari dalam menggeram
marah melihat kebodohan dan kesombongan Arya Penangsang. Namun dia belum
memutuskan untuk keluar menemui Adipati Adiwijaya. Melihat kursi yang semula
ditawarkan kepadanya kini telah diduduki oleh Arya Penangsang, Adipati
Adiwijaya tersenyum simpul, lantas mengambil tempat duduk yang bersebelahan
dengan Arya Penangsang.
Ki Ageng Pemanahan dan beberapa
prajurid, segera duduk bersila dibawah. Setelah berbasa-basi sejenak, Adipati
Adiwijaya menyengaja berkata demikian : “Oh ya kangmas, saya jadi ingat.
Beberapa bulan yang lalu, Pajang kemasukan para pembunuh bayaran. Nyawa saya
yang diincar. Tapi syukurlah, Hyang Widdhi masih memberikan keselamatan kepada
saya…,” Sengaja Adipati Adiwijaya menggantung kalimatnya untuk melihat reaksi
Arya Penangsang. Sedikit gugup Arya Penangsang, tapi berpura-pura dia kaget.
“Benarkah? Ah berani sekali. Syukurlah jika dhimas bisa lolos dari maut dan
selamat sampai hari ini.” Adipati Adiwijaya tersenyum mengangguk, lantas : “Dan
keris yang dipakai para pembunuh untuk membunuh saya, berhasil saya ambil…”
Adipati Adiwijaya memberi isyarat kepada Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan
nampak tegang. Dia lantas mendekat dan mengulurkan sebuah peti kayu jati ke
arah Adipati Adiwijaya. Adipati Adiwijaya menerimanya. Lantas membuka peti tersebut.
Dikeluarkannya sebilah keris dari sana. Dipegangnya sedemikian rupa sehingga
semua mata bisa melihat keris ditanganya. “Inilah keris tersebut!” Muka Arya
Penangsang bagai dirobek-robek! Merah padam sudah! Giginya bergemeletukan.
Apalagi ketika mendengar ucapak Adipati Adiwijaya selanjutnya. “Dan saat ini,
sang keris telah bertemu kembali dengan tuannya.” Dengan wajah tenang dan bibir
tersenyum, Adipati Adiwijaya menyerahkan keris tersebut kepada Arya Penangsang.
Ragu Arya Penangsang menerimanya. Namun akhirnya, dengan perasaan campur aduk
antara malu dan marah, diterima juga keris itu. Terdengar kembali Adipati
Adiwijaya berkata datar: “Konon katanya keris tersebut ampuh.
Tapi bagi saya terasa seperti
digelitiki dengan lidi saat keris tersebut dihunjamkan didada saya.” Amarah
Arya Penangsang bangkit. Setengah menggeram dia berkata : “Jika saya yang
menggunakannya, jangankan manusia, gunung pun akan longsor, lautanpun akan
kering!” (Ungkapan sebenarnya adalah GUNUNG JUGRUG SEGARA ASAT yang artinya memang
GUNUNG AKAN LONGSOR LAUTAN AKAN KERING. Menggambarkan betapa dahsyatnya benda
tersebut. : Damar Shashangka) Adipati Adiwijaya tergelitik juga, lantas Sang
Adipati mencabut keris yang sedari tadi terselip dipinggang belakangnya. Kyai
Carubuk nama keris Adipati Adiwijaya. Keris itu adalah pemberian Kangjeng Sunan
Kalijaga! “Lebih ampuh mana dengan Kyai Carubuk milik saya ini!” Arya
Penangsang seketika bangkit berdiri ! Dengan mata merah memandang kearah
Adipati Adiwijaya tajam! Adipati Adiwijaya lantas ikut bangkit pula! Suasana
berubah tegang!! Dua orang ksatria ini kini telah berdiri berhadap-hadapan
dengan keris ditangan masing-masing. Arya Penangsang dengan Kyai Brongot Setan
Kober ditangannya ,sedangkan Adipati Adiwijaya dengan Kyai Carubuk!! Dibawah,
baik prajurid Pajang maupun prajurid Jipang telah memutar keris mereka yang
semua terselip dipinggang belakang, kini sudah diputar kedepan dengan gagang
sudah mereka genggam! Tinggal mencabut kerisnya! Kedua pasukan khusus ini sudah
siap tempur juga!! Dua kekuatan tangguh, Jipang dan Pajang, kini sudah
berhadap-hadapan!! Suasana tegang! Tak ada seorang-pun yang berani mengeluarkan
suara! Hanya bunyi detak jantung yang berdegub kencang saja yang terdengar! Dan
hanya terdengar oleh masing-masing pemilik jantung sendiri! Nampak, Adipati
Adiwijaya dan Arya Penangsang telah berhadapan dengan keris terhunus ditangan!
Mata keduanya saling bertatapan! Gigi mereka saling bergemeletukan! Tinggal
menunggu siapa dulu yang memulai menyerang! Dibawah, kedua kelompok prajurid
khusus dari Jipang dan Pajang juga tegang! Begitu junjungannya diserang atau
memulai menyerang dulu, maka mereka-pun telah siap menyerang lawannya!
Sesaat, mereka melirik kearah
junjungannya yang masih berdiri berhadap-hadapan, sesaat kemudian mereka melirik
lawan mereka yang bersila bersebelahan! Suasana benar-benar genting! Disaat
kritis seperti itu, disaat keadaan yang tinggal meledak sebentar lagi,
tiba-tiba terdengar suara salam yang keras! Disengaja keras!
“Assalammu’alaikum!!” Serta merta, semua mata segera melayangkan pandangannya
kearah mana suara salam itu berasal. Nampak Sunan Kudus keluar dari ruang
belakang diiringi beberapa santri. Sembari menghela nafas, seluruh prajurid
Jipang maupun beberapa prajurid Pajang yang muslim menjawab salam Sunan Kudus,
walau tidak serempak. Disana, baik Adipati Adiwijaya maupun Arya Penangsang
segera menghela nafas melepaskan ketegangan yang semenjak tadi menyergap
seluruh persendian dan melepak didada masing-masing! Sunan Kudus berjalan
menghampiri mereka sembari berucap lantang : “Lho…lho..lho! Kalian ini Priyayi
(bangsawan: Damar Shashangka) atau pedagang keris???!” Sunan Kudus bergerak
ketengah-tengah antara Arya Penangsang dan Adipati Adiwijaya. Posisi Adipati
Adiwijaya berada disebelah kiri Sunan Kudus sedangkan Arya Penangsang berada
disebelah kanannya. Terlihat, Sunan Kudus sigap memegang pergelangan tangan
kedua priyayi yang tengah hendak saling serang itu! Namun, bagi yang jeli,
pasti akan melihat, bahwa tangan kiri Sunan Kudus tengah memegang erat pergelangan
tangan kanan Adipati Adiwijaya yang tengah menggenggam Kyai Carubuk, sedangkan
tangan kanan Sunan Kudus memegang erat pergelangan tangan kiri Arya Penangsang
yang jelas-jelas tidak menggenggam apapun. Tangan kanan Arya Penangsang yang
menggenggam Kyai Brongot Setan Kober bebas bergerak leluasa! Sunan Kudus
menatap tajam Arya Penangsang, terdengar dia membentak! “Sarungkan kerismu,
Penangsang!” Arya Penangsang termangu.
Masih belum bergeming. Sekali lagi
Sunan Kudus membentaknya : “Sarungkan, Penangsang!” Arya Penangsang ragu. Belum
juga menurunkan kerisnya. Sekali lagi Sunan Kudus membentaknya lebih keras :
“Sarungkan kataku!!” Kali ini Arya Penangsang menurunkan Kyai Brongot Setan
Kober yang terangkat, kemudian menyarungkannya ke dalam warangkanya. Melihat
Arya Penangsang menyarungkan keris, Adipati Adiwijaya-pun lantas ikut
menyarungkan Kyai Carubuk kedalam warangka. “Hampir saja aku membuat makanan
segar bagi burung…”, Arya Penangsang bergumam setengah menggeram. Adipati
Adiwijaya tersenyum kecil.. Sunan Kudus menghela nafas, sembari tetap
diposisinya, Sunan Kudus berkata kepada Adipati Adiwijaya : “Maafkan atas
situasi yang tidak semestinya terjadi ini, anakmas Adiwijaya. Saya menyesal.
Dan untuk kebaikan kita bersama, saya menyarankan, tidak ada salahnya jika
anakmas beserta rombongan pulang ke Pajang lebih awal. Disini, saya pribadi dan
seluruh masyarakat Kudus, sudah merasa sangat terhormat atas kedatangan anakmas
Adiwijaya berikut rombongan jauh-jauh dari Pajang..” Adipati Adiwijaya
menghaturkan sembah didepan dada sembari berkata : “Bapa Sunan, seharusnya saya
yang meminta maaf kepada Bapa Sunan Kudus, karena hampir saja saya membuat
seorang wanita menjadi janda baru di ruangan dalam pesantren ini..
” Mata Sunan Kudus maupun Arya
Penangsang berkilat mendengar kata-kata Adipati Adiwijaya. Sunan Kudus segera
menyela : “Sudahlah…sudahlah! Saya memaklumi kemarahan anakmas Adiwijaya.
Daripada berlarut-larut, sebaiknya anakmas mengalah..” “Baiklah Bapa Sunan,
memang lebih baik saya dan rombongan mengundurkan diri dari sini…” Adipati
Adiwijaya, Ki Ageng Pemanahan beserta beberapa prajurid khusus Pajang segera
berpamitan kepada Sunan Kudus. Rombongan dari Pajang memutuskan pulang terlebih
dahulu sebelum acara puncak peringatan Tahun Baru Islam dimulai. Iring-iringan
rombongan ini tengah keluar dari pondok pesantren Kudus! Diruang dalam, setelah
melepas kepergian rombongan Pajang, Sunan Kudus memanggil secara pribadi Arya
Penangsang diruangan khusus. Disana, hanya ada Sunan Kudus dan beberapa
prajurid khusus yang terpercaya, termasuk Patih Matahun. Sunan Kudus memarahi
Arya Penangsang atas segala tindakan bodoh yang telah dilakukannya. Arya
Penangsang menyela, meminta penjelasan dimanakah letak kebodohannya. Bukankah
malah Sunan Kudus yang melerai disaat dia sudah berhadapan dengan Adipati
Adiwijaya? Dengan suara tinggi, Sunan Kudus berkata : “Siapakah yang telah
menduduki kursi yang telah aku isi doa-doa khusus?” Seketika Arya Penangsang
terdiam. “Lantas, apakah kamu tidak menyadari tadi, saat aku melerai kalian,
tangan kanan Adiwijaya aku pegang erat, sedangkan tangan kanan kamu aku biarkan
bergerak bebas? Ingat-ingat lagi! Aku memegang tangan kanan Adiwijaya yang
tengah menggenggam Kyai Carubuk, sedangkan tangan kanan kamu yang tengah
menggenggam Kyai Brongot aku biarkan bebas!” Arya penangsang tetap terdiam.
“Lantas, apa yang aku katakan kepadamu?” Arya Penangsang mengerutan dahinya,
mencoba mengingat… “Aku berkata ‘SARUNGKAN KERISMU’ sampai tiga kali. Kamu tahu
maksudku yang sebenarnya? ” Arya Penangsang menatap Sunan Kudus, mulai sedikit
memahami.. “Maksudku ‘SARUNGKAN KERISMU KEDADA ADIWIJAYA, BUKAN KE
WARANGKANYA’!
Kamu saja yang terlampau bodoh,
sehingga tidak memahami kata-kata isyarat yang aku ucapkan. Kamu telah
menyia-nyiakan kesempatan kamu memusnahkan salah seorang manusia penentang
ajaran mulia !” Arya Penangsang menggeram menyadari kebodohannya sendiri! Serta
merta dia menyembah dan berkata : “Sebelum rombongan Adiwijaya jauh, tidak ada
salahnya saya mengejar dan menghabisinya sekarang!” Sunan Kudus menatap tajam
Arya Penangsang : “Ini bukan saat yang tepat menyerang rombongan Pajang dimana
banyak berkumpul para tamu undangan di Kudus. Asal kamu tahu, kecuali aku dan
kamu, tidak akan ada yang mampu menghadapi kesaktian Adiwijaya. Dia memiliki pegangan
ilmu kanuragan warisan Buda Majapahit. Sangat riskan jika aku terjun sendiri.
Tidak pantas bagiku berhadapan dengan anak kemarin sore seperti dia. Sedangkan
kamu, saat ini hanya akan menjadi boneka mainan jika berhadapan dengan dia,
karena seluruh ilmu kanuragan yang kamu miliki telah lumpuh!” Dada Arya
Penangsang terasa panas dan sesak mendengar penuturan Sunan Kudus! “Lantas
bagaimana Bapa Sunan?” “Selama tiga bulan berselang, mulai bulan Muharram ini,
kamu harus berpuasa terus-menerus! Genap tiga bulan, seluruh hizib dan asma’
yang kamu miliki akan kembali pulih dan berfungsi. Setelah itu, aku akan
mencari jalan lain untuk menghadapi Adiwijayai!” Arya Penangsang lemas
mendengarnya. Dan Sunan Kudus berlalu kedalam sembari hanya mengucapkan salam.
Permintaan Ratu Kalinyamat. Rombongan Pajang yang pulang lebih awal dari jadwal
semula nampak keluar dari kota Kudus. Disepanjang jalan, seluruh prajurid yang
ikut dalam rombongan, senantiasa mempertajam kewaspadaan mereka. Kejadian yang
pernah menimpa rombongan Ratu Kalinyamat dulu, membuat mereka lebih siaga dan
tidak mau kecolongan. Disepanjang perjalanan, banyak mata yang memperhatikan
mereka dengan tatapan penuh tanda tanya. Acara peringatan Tahun Baru Islam di
Kudus belum juga dilaksanakan, namun rombongan dari Pajang nampak malah pulang
lebih awal. Ada apa gerangan? Ketika belum terlampau jauh dari kota Kudus,
mendadak Adipati Adiwijaya memerintahkan rombongan berhenti.
Perintah yang mendadak ini sedikit
mengejutkan seluruh prajurid yang ikut dalam rombongan, tak terkecuali Ki Ageng
Pemanahan dan Ki Juru Mertani. Namun, setelah menyadari jika Sang Adipati hanya
sekedar ingin beristirahat, ketegangan-pun mencair. Nampak, Adipati Adiwijaya
turun dari atas punggung gajah tunggangannya. Beberapa prajurid yang bertugas
mengiringi disamping binatang tunggangan bertubuh besar tersebut tanggap dan
segera membantu. Melihat Sang Adipati turun, serentak seluruh rombongan-pun
ikut turun dari punggung kuda masing-masing. Daerah mana tempat mereka berhenti
memang sangat memungkinkan untuk dijadikan tempat istirahat sejenak. Disamping
tempatnya yang landai, rimbunnya pepohonan raksasa yang tumbuh disepanjang
jalan, membuat tempat tersebut terasa sejuk menyegarkan. Bergegas Ki Ageng
Pemanahan memerintahkan beberapa prajurid mendirikan tenda darurat sebagai
tempat berteduh dan beristirahat bagi Sang Adipati. Enam orang prajurid bekerja
cekatan, sebentar saja telah berdiri tenda sederhana namun megah. Permadani-pun
segera dihamparkan didalam tenda. Adipati Adiwijaya berkenan duduk diatas
permadani tersebut. Suasana yang segar. Para prajurid memanfaatkan kesempatan
tersebut untuk beristirahat sejanak. Masing-masing memilih tempat yang rindang.
Berpencar walau tetap tidak jauh dari tenda Sang Adipati. Ki Ageng Pamanahan
dan Ki Juru Mertani menghadap. Keduanya duduk bersila didepan Adipati
Adiwijaya. Nampak dari kejauhan, ketiga priyayi Pajang ini tengah
berbincang-bincang serius. Sejurus kemudian, terlihat Ki Ageng Pamanahan
memanggil seorang prajurid. Ki Ageng Pamanahan memerintahkan sesuatu. Prajurid
yang dipanggil bergegas menghampiri beberapa temannya yang lain, dia nampak
memilih-milih, ada sekitar sepuluh orang yang dia pilih. Lantas mereka
menghilang sejenak dibalik gerombol pepohonan dan kembali lagi dengan pakaian
yang sudah berganti. Mereka semua melepas pakaian keprajuridan, dan kini telah
berganti dengan pakaian rakyat biasa. Ditempat lain, Adipati Adiwijaya
diam-diam juga telah berganti pakaian. Begitu juga dengan Ki Ageng Pamanahan.
Namun anehnya, pakaian kebesaran Sang Adipati, kini malah dikenakan oleh Ki
Juru Mertani. Banyak prajurid yang bertanya-tanya. Namun dari bisik-bisik satu
teman ke teman yang lain, mereka jadi tahu jika Adipati Adiwijaya diikuti oleh
Ki Ageng Pamanahan dan sepuluh prajurid yang terpilih, hendak menuju ke Gunung
Danaraja untuk menemui Ratu Kalinyamat yang tengah bertapa telanjang. Mereka
semua sengaja menyamar sebagai rakyat biasa agar tidak menimbulkan kecurigaan
dari mata-mata Jipang Panolan yang mungkin tengah memperhatikan rombongan mereka.
Adipati Adiwijaya, Ki Ageng Pemanahan dan kesepuluh prajurid yang kini telah
berganti busana, terlihat berangkat meninggalkan rombongan.
Kedua belas orang yang telah
menyamar ini memacu kuda memisahkan diri dari dari rombongan dan memilih jalan
yang menuju ke Jepara. Agak lama berselang, Ki Juru Mertani segera
memerintahkan seluruh rombongan siap-siap berangkat. Ki Juru Mertani dibantu
dua orang prajurid, segera menaiki punggung gajah milik Sang Adipati. Rombongan
Pajang yang kini dipimpin oleh Ki Juru Mertani, berangkat dan memilih jalan ke
arah Pajang. Adipati Adiwijaya, Ki Ageng Pamanahan berikut sepuluh orang
prajurid yang kini telah menyamar sebagai rakyat biasa terlihat memacu kuda
dengan kecepatan sedang. Mereka tengah menyamar sebagai para pedagang keliling.
Akhirnya, sampailah juga kedua belas orang ini ke kota Jepara. Adipati
Adiwijaya segera mencari letak Gunung Danaraja. Sesuai petunjuk yang diberikan
oleh prajurid Pajang yang sempat pulang ke Pajang untuk mengambil perbekalan
makanan dan berbagai keperluan bagi Ratu Kalinyamat beserta seluruh yang
mengawal dan melayaninya, Adipati Adiwijaya-pun akhirnya berhasil menemukan
lokasi gua tempat dimana Ratu Kalinyamat tengah menjalani tapa telanjang-nya.
Kedatangan kedua belas orang berkuda ini menimbulkan kecurigaan dari beberapa
prajurid Pajang yang bertugas menjaga mulut gua. Mereka yang tengah bersembunyi
ditempat-tempat strategis dibeberapa sudut tersembunyi mulut gua, segera
mempersiapkan diri. Sang pemimpin pasukan memberikan isyarat agar memasang anak
panah pada busurnya. Anak panah telah terpasang, busur telah diangkat dan
direntangkan, siap menunggu isyarat untuk dibidikkan! Namun sang pemimpin
prajurid memekik tertahan manakala tanpa sengaja mengenali dua orang penunggang
kuda yang tengah memacu kuda dibarisan depan. Seketika itu juga, dia memberikan
isyarat agar menurunkan busur panah. Dia segera keluar dari tempat
persembunyian diiringi empat prajurid yang lain. Menyadari kedatangannya telah
disambut sedemikian rupa, Adipati Adiwijaya beserta rombongan terus memacu kuda
lebih kencang kearah atas. Ketika jarak antara prajurid berkuda dan kelima
orang yang telah menyambut sedemikian dekat, Adipati Adiwijaya segera
menghentikan laju kudanya. Kelima orang prajurid Pajang yang menyambut rombongan
menghaturkan sembah hormat. Adipati Adiwijaya segera memerintahkan agar
secepatnya seluruh prajurid mencari tempat yang tersembunyi untuk menaruh kuda
masing-masing. Diiringi Ki Ageng Pamanahan dan dihantar pemimpin prajurid
penjaga, Adipati Adiwijaya segera memasuki gua. Sang pemimpin prajurid
memanggil seorang pelayan wanita. Sang pelayan memekik gembira melihat
kehadiran Adipati Adiwijaya dan Ki Ageng Pamanahan. Beberapa pelayan yang lain
segera menyadari akan hal itu, mereka semua segera mendekat dan menghaturkan
sembah. Adipati Adiwijaya memerintahkan seorang pelayan wanita untuk menghadap
Ratu Kalinyamat, mengabarkan kedatangannya. Seorang pelayan wanita
tergopoh-gopoh memasuki salah satu relung gua. Sejenak kemudian keluar dan
menghadap kembali kepada Adipati Adiwijaya. Sembari menyembah dia berkata :
“Kasinggihan dhawuh, Kangjeng. Kangjeng Ratu Ayu Kalinyamat meminta Kangjeng
masuk ke dalam. Hanya Kangjeng seorang, tidak boleh ditemani oleh siapapun.”
Adipati Adiwijaya mengangguk. Kemudian berjalan kearah relung gua seorang diri.
Didalam, beberapa pelita terpasang didinding-dinding gua. Ruang itu cukup luas
juga. Disana, merapat ke dinding gua, terlihat agak samar, sesosok wanita
cantik dengan tubuh sempurna dan rambut panjang terurai, tengah duduk bersila.
Dan yang membuat Adipati Adiwijaya segera menundukkan muka, karena menyadari,
sosok wanita cantik itu benar-benar telanjang bulat tanpa busana. Untung,
kondisi ruangan yang cukup gelap dan hanya diterangi beberapa pelita, sedikit
menyamarkan perwujudan telanjang tersebut.
Namun walau bagaimanapun juga, jika
mau melihat secara seksama, Adipati Adiwijaya sebetulnya bisa melihat tubuh itu
secara utuh. Dengan menundukkan wajah, Adipati Adiwijaya memberikan sembah. Dan
sosok wanita cantik yang tengah bersila itu-pun membalas sembah Adipati
Adiwijaya. Setelah berbasa-basi menanyakan kabar keselamatan masing-masing,
Adipati Adiwijaya, sembari tetap menundukkan wajah-pun berkata : “Kakangmbok
Ratu Ayu, seyogyanya kakangmbok Ratu berkenan mengenakai kemben. Sangat-sangat
segan hati saya jikalau harus berbincang-bincang dengan kakangmbok sedangkan
kakangmbok dalam keadaan telanjang bulat sedemikian rupa…” Dari balik geiaian
rambut panjangnya, Ratu Kalinyamat tersenyum manis.. “Maafkan aku dhimas, aku
terpaksa tidak bisa memenuhi permintaanmu. Biarlah, selain almarhum kangmas
Sunan Kalinyamat, cukup kamu saja laki-laki yang melihat aku dalam keadaan
tanpa busana seperti ini. Sudah menjadi sumpahku, tidak sudi aku mengenakan
busana lagi, jikalau Hyang Maha Agung, belum memberikan keadilan kepada Arya
Penangsang, pembunuh kakangmas Prawata dan kangmas Sunan Kalinyamat!” Adipati
Adiwijaya menghela nafas berat. “Kakangmbok Ratu Ayu, sangat prihatin saya
melihat keadaan kakangmbok. Sampai kapan terus telanjang tanpa busana. Selain
tabu didengar orang banyak, sekali lagi, saya juga sangat merasa segan dan
rikuh jika harus kemari dan tetap melihat kakangmbok seperti ini.” Ratu
Kalinyamat diam sejenak, lantas mendesis lirih dan berkata : “Dhimas,
seharusnya aku yang mempertanyakan hal ini kepadamu. Tidakkah kamu kasihan,
tidakkah kamu iba melihat aku? Melihat penderitaanku? Melihat ketidak adilan
yang menimpaku?” Adipati Adiwijaya terdiam. Lantas membuka suara : “Jangan
salah sangka kakangmbok. Saya dan Nimas Sekaring Kedhaton senantiasa memikirkan
keadaan kakangmbok Ratu Ayu disini. Saya juga terus menimbang-nimbang bagaimana
cara terbaik untuk menyingkirkan Arya Penangsang. Namun, kondisi diluar
tidaklah memungkinkan bagi saya berhadapan langsung dengan Arya Penangsang secara
terbuka. Bapa Sunan Kudus berada dibelakang Arya Penangsang.
Bapa Sunan Kudus sangat berpengaruh
dalam Dewan Wali Sangha. Kakangmbok tahu sendiri itu. Sangat mudah bagi Bapa
Sunan Kudus mempengaruhi keputusan Dewan Wali Sangha. Jika sampai Pajang
berhadapan secara frontal dengan Jipang, bukan tidak mungkin, Bapa Sunan Kudus,
melalui Dewan Wali Sangha akan memerintahkan Cirebon dan Banten bergabung
dengan Jipang menghadapi orang-orang yang dinilai kafir seperti saya!” Adipati
Adiwijaya diam sejenak, lantas melanjutkan kata-katanya : “Sungguh, secara
pribadi, saya sendiri juga sudah tidak tahan melihat kelakuan Arya Penangsang.
Hampir saja saya bentrok secara langsung dengan dia. Hampir saja saya tidak
bisa menahan diri…” Dan Adipati Adiwijaya menceritakan pertemuannya dengan Arya
Penangsang di pesantren Kudus. “Hyang Widdhi Wasa masih berkenan mencegah saya
berhadapan langsung dengan Arya Penangsang.” Terdengar helaan nafas lembut dari
bibir Ratu Kalinyamat, lalu dia berkata : “Dengar dhimas. Jika kamu benar-benar
dapat menyingkirkan Arya Penangsang, aku bersumpah, disaksikan Hyang Maha
Agung, disaksikan langit dan bumi, semoga aku akan menuai kutuk jika aku
mengingkari sumpah ini. Dengarkan! JIKA KAMU MAMPU MENYINGKIRKAN ARYA
PENANGSANG, MAKA TAHTA DEMAK BINTARA AKAN AKU LIMPAHKAN KEPADAMU!” Adipati
Adiwijaya mengangkat wajahnya. Dilihatnya, dari balik geraian rambut
panjangnya, sorot mata Ratu Kalinyamat berkilat-kilat, tengah menatap wajah
Adipati Adiwijaya. “Bahkan, jikalau peraturan hukum jaman Buda masih berlaku
luas dimasyarakat Jawa, dimana seorang laki-laki boleh memadu dua orang wanita
kakak beradik sekaligus, maka sungguh aku-pun rela lahir batin kamu nikahi
sebagai madu dari adikku Nimas Sekaring Kedhaton.
Namun, hal itu tidak mungkin bisa
diterima kebanyakan masyarakat Jawa sekarang. Oleh karena itu, kamu boleh
memilih selir-selir milik almarhum kangmas Sunan Kalinyamat dan almarhum
kangmas Prawata yang engkau sukai untuk kamu nikahi!” Adipati Adiwijaya
terdiam. Kesungguhan kata-kata Ratu Kalinyamat terpancar dari wajah ayunya.
Sengaja, rambut panjangnya yang tergerai, disibak kesamping sedikit, sehingga
payudara Sang Ratu-pun terlihat. Dada Adipati Adiwijaya berdesir melihatnya,
cepat-cepat dia menundukkan wajah kembali.. “Tapi ingat, dhimas! Satu permintaanku,
jika kamu berhasil mengalahkan Arya Penangsang, dan tahta Demak Bintara telah
kamu pegang, aku minta, janganlah kamu mendirikan Kerajaan Buda. Biarlah kamu
tetap meneruskan sebuah pemerintahan berbentuk Kesultanan Islam. Biarlah
gelarmu dikenal orang sebagai seorang Sultan, bukan seorang Prabhu!” Keheningan
menyergap seketika. Dan Adipati Adiwijaya semakin terperangah manakala melihat
Ratu Kalinyamat menyibak seluruhnya geraian rambut panjang yang menutupi tubuh
bagian depannya. Kini, tampak jelas didepan mata Adipati Adiwijaya, tubuh polos
Sang Ratu tanpa ditutupi oleh apapun juga.
Mendadak dada Adipati Adiwijaya
terasa sesak. “Inilah tanda kesungguhanku,” bisik Ratu Kalinyamat sembari
tersenyum.. Dengan menarik nafas berat, Adipati Adiwijaya menyembah hormat dan
berkata : “Baiklah kakangmbok Ratu Ayu. Saya berjanji akan mencari jalan yang
terbaik untuk menyingkirkan Arya Penangsang. Dan jika hal itu berhasil atas
waranugraha Hyang Widdhi, saya berjanji, akan memakai gelar Sultan, bukan
Prabhu!” Dan Adipati Adiwijaya-pun memohon diri untuk keluar ruangan. Dan Ratu
Kalinyamat-pun menghaturkan terima kasihnya. Malam itu, Sang Adipati bermalam
di Gunung Danaraja. Dengan didampingi Ki Ageng Pamanahan, Adipati Adiwijaya
membahas rencana yang tepat untuk memenuhi permintaan Ratu Kalinyamat. Ki Ageng
Pamanahan mengusulkan, agar Sang Adipati mempercayakan hal ini kepada Ki Juru
Mertani. Ki Juru Mertani adalah sosok yang cerdik dan bisa diandalkan dalam
memberikan pemecahan dan cara yang terbaik disaat semua jalan dirasa buntu.
Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada Ratu Kalinyamat, Adipati Adiwijaya
beserta Ki Ageng Pamanahan dan sepuluh prajurid yang mengiringinya,
meninggalkan Gunung Danaraja bertolak ke Pajang! Setibanya di Pajang, Adipati
Adiwijaya beserta rombongan disambut para pejabat dengan suka cita. Tak ada
yang kurang dari jumlah rombongan, Semua dalam kondisi baik dan selamat.
Adipati Adiwijaya berkenan untuk beristirahat setelah menempuh perjalanan jauh.
Pada sore harinya, Adipati Adiwijaya memanggil Ki Mas Manca, Ki Mas Wila, Ki
Mas Wuragil, Ki Ageng Pamanahan berikut Ki Juru Mertani. Diruang khusus, dan
tidak ada orang lain yang hadir selain keenam orang tersebut, Adipati Adiwijaya
menyampaikan maksudnya. Sang Adipati berkenan meminta pemecahan mengenai kasus
Arya Penangsang. Arya Penangsang tidak bisa terus menerus didiamkan saja. Harus
ada pihak yang berani bertindak. Dan tampaknya, hanya Pajang yang mampu
menghadapi kekuatan Jipang. Yang menjadi masalah, posisi Pajang sangatlah
terjepit. Pajang dipimpin oleh seorang Adipati yang bukan muslim. Dan tentu
saja fenomena ini akan membuat Dewan Wali Sangha tidak menaruh simpatik.
Searogan apapun Arya Penangsang,
sekejam apapun dia, namun dia telah memegang dua point penting sebagai sendi
kekuatannya. Pertama, jelas dia seorang muslim, kedua, Sunan Kudus berada
dibelakang dia. Oleh karenanya, Adipati Adiwijaya meminta pertimbangan dan
jalan keluar yang tepat, yang tidak merugikan Pajang, namun bisa menghancurkan
kekuatan Jipang. Ki Mas Manca mengusulkan agar Sang Adipati tidak gegabah
berhadapan secara langsung dengan Arya Penangsang. Ki Mas Manca telah mendengar
kabar bahwa di pesantren Kudus, Sang Adipati hampir saja kehilangan kontrol
diri. Jika memang hendak berhadapan dengan Arya Penangsang, lebih baik
menggunakan kekuatan ketiga. Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil membenarkan
pendapat Ki Mas Manca. Begitu juga dengan Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru
Mertani. Yang menjadi masalah sekarang, siapakah kekuatan ketiga yang bisa
dijadikan alat untuk memukul Jipang? Seluruh yang hadir terdiam. Masing-masing
tengah memeras otak. Lantas, Ki Ageng Pamanahan angkat bicara sembari menyembah
: “Mohon beribu ampun, Kangjeng Adipati. Jika diperbolehkan hamba akan
memberikan masukan…” Adipati Adiwijaya mengangguk… “ Menurut saya,” lanjut Ki
Ageng Pamanahan, ”Tidak ada lagi kekuatan dahsyat yang mampu menghadapi Jipang
kecuali kekuatan Pajang. Tak ada jalan lain, tak ada kekuatan lain yang akan
sanggup melakukannya. Oleh karenanya, kita tidak bisa mengharapkan daerah lain
tampil secara mandiri berhadapan dengan Jipang.” Semua yang hadir mengerutkan
dahi mendengarnya… “Mau tidak mau, pasukan Pajang sendiri harus bergerak!
Namun….” Semua yang hadir menunggu… “Sebaiknya, pasukan Pajang harus melepas
busana keprajuridan Pajang. Pasukan Pajang harus melepas identitasnya sebagai
pasukan Pajang. Harus ada daerah lain yang berani tampil kedepan untuk mengakui
bahwa, pasukan Pajang yang tengah bergerak menggempur Jipang, berasal dari
daerahnya. Jika kelak terjadi perang terbuka, menang atau kalah, maka Pajang
tidak akan terbawa-bawa!” Tertegunlah seluruh yang hadir… Ki Mas Manca angkat
bicara : “ Pamanahan, lantas daerah manakah yang dimungkinkan untuk berani
tampil mengakui seperti itu?” Ki Ageng Pamanahan menyembah : “Kalau memang
diijinkan, biarlah hamba dan paman saya, Ki Juru Mertani yang akan tampil
kedepan. Biarlah kami atas nama daerah Sela, memimpin pasukan Pajang melakukan
perang terbuka dengan Jipang Panolan. Biarlah terdengar kabar, Jipang Panolan
tengah berperang dengan Sela!” Seluruh yang hadir menghela nafas berat. Suasana
hening untuk beberapa saat. Ki Mas Manca kemudian angkat bicara : “Daerah Sela
identik dengan Kangjeng Sunan Kalijaga….” Adipati Adiwijaya memincingkan mata
mendengarnya… “Dan Jipang Panolan identik dengan Kangjeng Sunan Kudus,” lanjut
Ki Mas Manca. “Dan akan menjadi sebuah berita yang besar manakala Dewan Wali
Sangha mendengarnya, bukankah begitu kangmas Manca?” Sela Adipati Adiwijawa
datar. Ki Mas Manca menyembah sesaat : “Benar dhimas Adipati. Dan jika itu
terjadi, tidak menutup kemungkinan, Dewan Wali Sangha akan campur tangan untuk
memaksa kedua belah pihak agar melakukan genjatan senjata.” Adipati Adiwijaya
menghela nafas sekali lagi… Nampak kini, Ki Juru Mertani menghaturkan sembah…
“Mohon beribu ampun, Kangjeng Adipati. Jika boleh saya hendak menghaturkan
pendapat..” Adipati Adiwijaya mengangguk mempersilakan.. “Sebaiknya Kangjeng
Adipati mengeluarkan sayembara khusus secara terselubung kepada para penguasa
daerah yang berada dibawah kekuasan Pajang. Mohon sayembara ditawarkan kepada
penguasa yang jelas-jelas telah nyata kesetiaannya kepada Pajang. Hindari
penguasa daerah yang masih diragukan kesetiaannya. Dari sekian banyak para
penguasa daerah yang ditawari sayembara, pastilah ada yang akan berani tampil
untuk memimpin pasukan Pajang dengan menggunakan identitas daerahnya. Jikalau
memang tidak ada yang berani, maka terpaksa, saya beserta keponakan saya,
Pamanahan, akan tampil kedepan dengan mempertaruhkan nama Sela! Saya berjanji,
saya akan memotong kepala harimau terlebih dahulu agar peperangan tidak
berjalan berlarut-larut. Arya Penangsang, saya pastikan harus tewas terbunuh
terlebih dahulu. Sehingga jika kemudian Dewan Wali Sangha ikut campur
memaksakan agar terjadi gencatan senjata, maka disaat gencatan senjata terjadi,
Arya Penangsang harus telah mati!” Ki Mas Manca meragukan kata-kata Ki Juru
Mertani… “Juru Mertani, yakinkah kamu dengan ucapanmu?” Ki Juru Mertani
menyembah : “Dengan taktik yang bakal hamba buat, untuk memperdaya Arya Penangsang,
agar keluar sarang sendirian, saya yakin, saya pasti bisa memenuhi ucapan saya,
Kangjeng Patih..” Ki Mas Manca mengangguk-angguk, lantas dia menoleh ke arah
Adipati Adiwijaya : “Bagaimana, dhimas Adipati?” Adipati Adiwijaya tercenung
sesaat, lantas dia berkata : “Baiklah, tapi hal tersebut dilakukan jika memang
nanti tidak ada satupun daerah yang berani memasuki sayembara. Oleh karenanya,
aku akan memberikan imbalan besar. Yaitu, siapa saja yang berani mengakui
pasukan yang bakal menggempur Jipang berasal dari daerahnya dan berhasil
mematahkan kekuatan Jipang, maka aku akan memberikan hutan Mentaok dan daerah
Pati sebagai imbalannya!” Keputusan telah diambil. Tidak menunggu waktu lama,
atas perintah Adipati Adiwijaya, Ki Mas Manca segera memerintahkan Juru Tulis
Kadipaten untuk membuat surat-surat undangan resmi. Surat-surat undangan yang
bakal dikirim kepada para penguasa daerah yang berada diwilayah kekuasaan
Kadipaten Pajang. Pada hari yang telah ditentukan, mereka harus datang ke
Kadipaten Pajang atas perintah Adipati Adiwijaya. Sayembara Adipati Pajang.
Tiga bulan kemudian, beberapa hari sebelum hari yang telah ditetapkan dalam
surat undangan resmi, berdatanganlah para penguasa daerah yang ada diseluruh
wilayah Kadipaten Pajang. Mereka datang berkelompok, tidak bersamaan, gelombang
pergelombang. Tidak ada yang mencolok. Karena memang begitulah pesan yang
dituliskan dalam surat undangan dari Sang Adipati. Dan pada hari yang
ditetapkan, seluruh penguasa daerah telah berkumpul di Siti Hinggil Kadipaten.
Lama waktu berselang, mereka semua menunggu kehadiran Sang Adipati ditempat
itu. Beberapa saat kemudian, muncullah Adipati Adiwijaya diiringi Ki Mas Manca
dan kepala pengawal pasukan khusus Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani,
berikut beberapa prajurid khusaus yang mengawal. Didepan para penguasa daerah,
Adipati Adiwijaya meminta Ki Mas Manca membacakan sayembara.
Seusai sayembara dibaca, suasana
mendadak hening. Tak ada yang berani bersuara. Melihat situasi menjadi sepi dan
tegang, Adipati Adiwijaya angkat bicara, dia mempertegas isi sayembara dengan
menantang, siapa yang berani tampil kedepan, yang akan memimpin pasukan Pajang,
dengan menggunakan identitas dari daerahnya? Suasana sepi tidak juga mencair.
Hingga kemudian, seorang penguasa daerah, terlihat menyembah dan berkata :
“Kasinggihan dhawuh, Kangjeng. Ijinkan saya mengutarakan kebimbangan saya, yang
mungkin juga mewakili kebimbangan hati dari seluruh teman-teman yang hadir
disini. Kangjeng, jika kami semua diperintahkan angkat senjata menggempur
Jipang atas nama pasukan Pajang, sudah barang tentu, kami tidak akan banyak
berfikir panjang, jiwa raga kami akan kami pasrahkan untuk itu. Namun, manakala
kami harus menggempur Jipang atas nama daerah kami, mohon maaf, Kangjeng. Jika
nanti benar-benar terjadi hal tersebut, kami tidak berani menanggung resiko
dengan mengorbankan kerabat kami yang ada didaerah. Kaum Putihan terkenal
radikal dan bisa berbuat ngawur atas nama agama. Mohon Kangjeng memaklumi.”
Adipati Adiwijaya menghela nafas. Kata-kata yang terucap barusan memang ada
benarnya. Karena tidak ada juga yang berani memasuki sayembara, maka Adipati
Adiwijaya-pun menutup pertemuan tersebut. Sebelum menutup pertemuan, Sang
Adipati meminta pengiriman pasukan dari semua daerah untuk memperkuat barisan
pasukan Pajang. Perintah yang terakhir ini, disambut dengan suka cita tanpa
keraguan sedikit-pun oleh semua penguasa daerah.
Mendapati sayembara yang
dipermaklumatkan tidak ada yang memasuki, maka hari itu juga, Adipati Adiwijaya
mengutus Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani untuk menjalankan rencana lain
yang pernah mereka tawarkan. Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani, segera
menjalankan perintah! Angkatan bersenjata Pajang segera mempersiapkan diri
untuk menghadapi sebuah perang besar. Mereka dikoordinir dibawah pimpinan penuh
Ki Ageng Pamanahan! Sembari menunggu bantuan pasukan dari daerah, Ki Ageng
Pamanahan dan Ki Juru Mertani mematangkan rencana yang telah mereka buat
sebelumnya. Atas saran Ki Juru Mertani, Ki Ageng Pamanahan diminta untuk menguasahakan
agar Tombak Pusaka Kyai Plered, bisa mereka pinjam. Karena hanya dengan tombak
pusaka peninggalan Majapahit tersebut, kulit Arya Penangsang bisa dilukai.
Hanya saja, tombak tersebut sedemikian berharga bagi Adipati Adiwijaya dan
tidak akan mungkin dipinjamkan begitu saja kecuali kepada orang yang
benar-benar dipercayai oleh Sang Adipati.
Maka terpaksa, Ki Ageng Pamanahan,
atas saran Ki Juru Mertani, meminta agar Danang Sutawijaya, putranya yang kiini
telah diambil anak angkat oleh Adipati Adiwijaya, diminta untuk ikut memperkuat
barisan. Adipati Adiwijaya tidak paham atas permintaan ini, selain Danang
Sutawijaya masih kecil, tidak ada kelebihan Danang Sutawijaya yang bisa
dimanfaatkan untuk memperkuat barisan Pajang. Namun, dengan cerdiknya, Ki Ageng
Pamanahan meyakinkan Adipati Adiwijaya, bahwa mengajak Danang Sutawijaya untuk
memperkuat barisan Pajang adalah salah satu dari tak-tik yang hendak
dijalankan. Pada akhirnya, Adipati Adiwijaya menyetujui. Bahkan manakala Ki
Ageng Pamanahan memohon agar Danang Sutawijaya diperkenankan membawa tombak
pusaka Kyai Plered, Sang Adipati-pun tidak bisa menolaknya. Setelah bantuan
pasukan dari daerah telah sepenuhnya datang, maka pasukan segera berangkat.
Tujuan awal adalah daerah Sela. Daerah asal Ki Ageng Pamanahan. Disana, seluruh
pasukan akan diatur sedemikian rupa. Sela menjadi pusat konsentrasi pasukan
Pajang. Dan nanti, identitas seluruh pasukan akan berganti menjadi pasukan
Sela! Akan dikabarkan, bahwa pengikut Islam Abangan, bergabung di Sela untuk
memerangi Jipang Panolan dibawah pimpinan Ki Ageng Pamanahan, keturunan Ki
Ageng Sela! Nama Pajang, tidak sedikit-pun dibawa-bawa! Pasukan segera
berangkat berkelompok menuju Sela. Dengan berpakaian rakyat biasa serta
menyembunyikan seluruh persenjataan didalam bilah bambu, maka kelompok demi
kelompok, secara terpisah-pisah waktu, agar supaya tidak mencolok dan
menimbulkan kecurigaan, berangkatlah seluruh pasukan Pajang. Pergerakan pasukan
ini benar-benar tersamarkan. Susul menyusul rapih dan teratur. Dan pada akhirnya,
beribu-ribu pasukan pun kini telah berkumpul di Sela! Rencana segera
dimatangkan di Sela. Seluruh pasukan mengenakan tanda khusus yang disematkan
dibaju mereka. Dengan pakaian rakyat biasa, layaknya para gerilyawan Majapahit,
pasukan Pajang yang kini mengaku diri mereka sebagai pasukan Sela, telah siap
untuk bertempur! Pada hari yang telah ditentukan, menjelang malam hari,
pasukan-pun bergerak. Pasukan dipecah dalam empat kelompok besar. Sengaja
pasukan dipecah demi untuk kembali menyamarkan diri. Disuatu titik, yaitu
diperbatasan wilayah Jipang yang berwujud sungai, disanalah nanti, keempat
kelompok pasukan harus kembali bertemu. Setiap kelompok pasukan menempuh
rute-rute khusus. Rute-rute yang menghindari daerah-daerah padat penduduk.
Beberapa hari kemudian, seluruh kelompok telah bersatu kembali ditempat yang
telah disepakati bersama. Seluruh pasukan segera mempersiapkan diri,
senjata-senjata dikeluarkan dari bilah bambu, anak panah dibagi-bagikan,
pos-pos prajurid darurat ditetapkan dan segera ditempati oleh mereka-mereka
yang ditunjuk untuk itu. Gerakan rahasia ini begitu rapi, sebentar saja,
persiapan untuk sebuah perang besar, telah tertata! Pasukan Pajang siap melumat
Jipang panolan hari itu juga! Seluruh prajurid kini menunggu komando selanjutnya.
Dititik yang lebih tersembunyi, terlindung dibalik gerombol pepohonan lebat, Ki
Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani tengah menunggu saat yang tepat. Nampak
Danang Sutawijaya, putra Ki Ageng Pamanahan, putra angkat Adipati Pajang
Adiwijaya telah mempersiapkan diri menjalankan tugas. Dia berdiri disamping
kuda putih yang nanti harus ditungganginya. Sebatang tombak panjang, dengan
ujung tertutup kain putih dan rangkaian bunga melati tergantung disana,
tergenggam erat ditangan kecil Danang Sutawijaya. Itulah tombak pusaka Kyai
Plered yang terkenal ampuh! (Kyai Plered konon diperoleh Syeh Maulana Maghribi,
seorang wali Islam jaman Majapahit setelah dia berhasil melakukan tapa brata
keras dipantai Parang Tritis, Jogjakarta, sekarang. Tombak ini lantas diberikan
kepada Ki Ageng Tarub I atau Kidang Telangkas. Lantas diwariskan kepada Raden
Bondhan Kejawen, putra Prabhu Brawijaya V dengan Dewi Wandhan Kuning yang
lantas bergelar Ki Ageng Tarub II.
Diwariskan kemudian kepada Ki Getas
Pandhawa, putra Raden Bondhan Kejawen. Lantas di serahkan kepada Ki Ageng Sela,
putra Ki Getas Pandhawa. Manakala berada ditangan Ki Ageng Sela, tombak
dititipkan kepada Sunan Kalijaga. Lantas oleh Sunan Kalijaga, dititipkan kepada
Jaka Tingkir, Adipati Pajang hingga saat ini. Maka sesungguhnya, tombak Kyai
Plered memang milik leluhur Danang Sutawijaya. Karena Ki Ageng Sela lantas
berputra Ki Ageng Ngenis, Ki Ageng Ngenis berputra Ki Ageng Pamanahan, dan Ki
Ageng Pamanahan berputra Danang Sutawijaya, Jika ada yang bertanya mengapa silsilah
keturunan Tarub jika disejajarkan dengan keturunan Pengging maka lebih cepat
beranak pinak? Hal ini tidaklah aneh. Dimasyarakat Jawa sekarang-pun kadang
pemuda berusia 20 tahun sudah dipanggil kakek karena kakak kandungnya telah
memiliki cucu. Hal ini disebabkan jarak lahir mereka terpaut jauh beberapa
tahun. Begitu pula dengan trah Tarub dan Pengging, bila ditarik garis lurus
keatas, maka Ki Ageng Sela adalah cicit Brawijaya V sejajar dengan Jaka Tingkir
yang juga merupakan cicit Brawijaya V. Namun, usia Ki Ageng Sela lebih tua dari
Jaka Tingkir karena memang Ki Ageng Sela lahir lebih dahulu disebabkan ayah
kandungnya, Ki Getas Pandhawa menikah diusia muda, lebih muda daripada Ki Ageng
Pengging. Begitu juga ketika Ki Ageng Sela telah berputra Ki Ageng Ngenis, Jaka
Tingkir belum menikah. Manakala Ki Ageng Ngenis berputra Ki Ageng Pamanahan,
baru Jaka Tingkir menikah diusia yg agak tua. Maka tak heran, putra Ki Ageng
Pamanahan, yaitu Danang Sutawijaya, sebaya dengan putra Jaka Tingkir, Pangeran
Benawa.) Ada yang tampak aneh dari kuda putih yang tali kekangnya tengah
dipegang oleh Danang Sutawijaya. Kuda tersebut jelas bukanlah kuda jantan yang
biasa dipakai untuk bertempur. Kuda ini jelas kuda betina. Dan tampak semakin
aneh lagi, manakala diperhatikan lebih seksama, ekor kuda terlihat diikat
keatas pelana sedemikian rupa, sehingga kemaluan kuda betina itu nampak terbuka
jelas. Entah apa maksudnya. Ki Juru Mertani yang mempunyai ide seperti itu. Ki
Juru Mertani dan Ki Ageng Pamanahan tengah bersiap-siap mengirimkan seorang
utusan yang hendak diutus ke Jipang. Utusan yang membawa surat tantangan
perang! Namun, belum juga sang utusan berangkat, nampak dari kejauhan,
diseberang sungai, tujuh orang tukang rumput berpakaian bagus terlihat tengah
berjalan ditepian sungai sembari membawa keranjang rumput. Ki Juru Mertani
tertegun, pucuk dicinta ulam tiba, dia tahu pasti, ketujuh orang yang tengah
terlihat itu tak lain adalah perumput dari istana Jipang Panolan.
Mereka pastilah tukang rumput yang
tengah bertugas mencarikan rumput untuk makanan kuda kesayangan Arya
Penangsang, Kyai Gagak Rimang. Cepat Ki Juru Mertani memerintahkan agar Ki
Ageng Pamanahan mempersiapkan diri. Ki Juru Mertani memberikan petunjuk
singkat. Ki Ageng Pamanahan mengangguk tanda mengerti dan langsung menaiki
punggung kudanya. Sejenak Ki Juru Mertani memberikan petunjuk kepada Kepala
Pasukan agar tidak melakukan gerakan apapun tanpa ada perintah darinya. Lalu,
dia menaiki punggung seekor kuda. Tak berapa lama, nampak Ki Juru Mertani dan
Ki Ageng Pamanahan terlihat memacu kuda menyeberangi sungai yang dangkal
dibawah sana. Melihat kedatangan dua orang yang tidak dikenal, tujuh orang
tukang rumput terkejut. Apalagi, terdengar kemudian dua orang itu berteriak
memanggil mereka. Seketrika ketujuh perumput ini menghentikan langkah kakinya.
Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pamanahan menghampiri mereka. Begitu jarak sudah
sedemikian dekat, keduanya segera turun dari atas pelana kuda masing-masing.
“Kisanak, buat siapakah rumput-rumput ini?” , tanya Ki Juru Mertani. Salah
seorang perumput menjawab : “Rumput-rumput ini untuk makanan kuda Kangjeng Arya
Jipang ( Arya Penangsang maksudnya : Damar Shashangka)!” Ki Juru Mertani
tersenyum. Dia keluarkan sebuah gulungan rontal dari balik bajunya. “Kisanak,
kami memiliki pesan buat junjungan kalian. Maukah kalian menyampaikannya?”
Ketujuh orang saling berpandangan, lalu salah satu dari mereka bertanya :
“Kalian orang mana?” Ki Ageng Pamanahan menjawab : “Katakan kepada junjungan
kalian, kami berasal dari Sela!” Ragu ketujuh orang tersebut. “Siapakah yang
mau aku titipi?” , sergah Ki Juru Mertani. Agak ragu, salah seorang perumput
mendekat.. “Baiklah, mana?” Orang yang baru berkata segera mendekat dengan
keranjang rumput yang tetap berada dipundaknya. Ki Juru Mertani menyerahkan
gulungan rontal itu kepada sang perumput. Namun diam-diam, Ki Ageng Pamanahan
bergerak kearah belakang sang tukang rumput dengan gerakan pelan. Begitu
gulungan rontal telah diterima dan telah diselipkan dipinggang sang perumput,
cepat Ki Ageng Pamanahan mencabut keris dari pinggangnya dan meraih daun
telinga sang perumput tersebut. Tak menunggu waktu, disayatnya daun telinga
sang penerima rontal hingga putus seketika itu juga! Jerit kesakitan terdengar
diiringi darah yang mengucur! Melihat kejadian itu, keenam perumput yang lain
ketakutan dan langsung melarikan diri! Perumput yang kehilangan daun telinganya
terlihat mengerang-ngerang kesakitan sembari mendekap telinganya yang telah
kehilangan cuping. Darah merembes disela-sela jari jemarinya. Sembari memegang
keris, Ki Ageng Pamanahan berkata : “Katakan kepada Arya Penangsang! Aku, orang
Sela menunggu dia disini. Jika dia lelaki sejati, pasti akan datang!” Sang
perumput ketakutan setengah mati melihat Ki Ageng Pamanahan. Cepat dia
membalikkan badan dan langsung lari terbirit-birit dengan meninggalkan
keranjang rumputnya yang tumpah ditanah! Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani
mengawasi sang perumput yang tengah berlari. Begitu sudah tidak terlihat mata,
keduanya segera menaiki punggung kuda masing-masing dan kembali menuju barisan
semula. Perang besar akan terjadi sebentar lagi! Siang itu, diruang dalam
kedaton Jipang Panolan, tengah berkumpul para pembesar khusus. Pada hari itu,
Arya Penangsang tengah mengadakan acara syukuran atas terselesaikannya masa
puasa yang telah dijalaninya selama tiga bulan. Dengan berpakaian kebesaran,
Arya Penangsang nampak duduk dengan gagahnya dikursi indah. Bunyi gamelan
mengalun mengiringi perjamuan tersebut. Di bawah, di lantai pualam yang putih
bersih, para bangsawan nampak duduk bersila, berjajar dengan mengenakan pakaian
kebesaran masing-masing.
Posisi duduk mereka berjajar,
memanjang lurus. Ada dua kelompok barisan. Memanjang disebelah kiri dan kanan.
Ditengah-tengah kedua barisan ini, tertata rapi hidangan syukuran. Beberapa
daging panggang, lauk pauk, nasi tumpeng dan buah-buahan beraneka macam,
tersaji disana. Menjelang acara dimulai, gamelan mendadak berhenti. Patih
Matahun yang duduk disebelah Arya Penangsang nampak menghaturkan sembah sejenak
kearah junjungannya. Lantas beranjak berdiri dari tempat duduk. Patih Matahun
mewakili Arya Penangsang mengutarakan maksud di adakannya perjamuan disiang
itu. Setelah Patih Matahun selesai mengutarakan maksud di adakannya acara
syukuran tersebut, seorang ulama keraton segera melantunkan doa-doa. Selesai
doa dibacakan, gamelan mengalun kembali. Beberapa abdi dalem segera masuk dan
membagi-bagi segala sesajian makanan yang sudah tersedia. Setiap bangsawan
dilayani sebaik mungkin. Perjamuan baru saja berjalan, manakala mendadak, seorang
prajurid kawal khusus tergopoh-gopoh masuk keruangan memohon ijin memberikan
laporan penting. Seluruh yang hadir, tak terkecuali Arya Penangsang sendiri dan
Patih Matahun, dibuat kaget oleh kehadiran seorang prajurid kawal khusus ini.
Segera, Arya Penangsang memberikan isyarat agar prajurid tersebut mendekat saat
itu juga. Gamelan mendadak berhenti. Suasana menjadi tegang seketika. Ruangan
menjadi sunyi dan hening. Seluruh bangsawan terdiam, mengawasi lekat-lekat sang
prajurid yang tengah bergerak jalan duduk, sembari menduga-duga ada apakah
gerangan yang terjadi? Arya Penangsang memberikan isyarat agar sang prajurid
segera memberikan laporan yang dibawanya. Diperhatikan oleh berpuluh-puluh
pasang mata, dan didengar oleh berpuluh-puluh telinga dari semua yang hadir
ditempat itu, sang prajurid berkata : “Kasinggihan dhawuh, Kangjeng. Saya
hendak memohon ijin membawa masuk seorang perumput istana. Kondisi dia sangat
tidak baik. Dia membawa gulungan rontal yang katanya surat khusus buat
Kangjeng..” Wajah Arya Penangsang tegang. “Bawa masuk dia!” Sang prajurid
menghaturkan sembah, lantas berjalan duduk mundur. Tak lama dia sudah keluar
dari ruangan. Berselang beberapa tegukan minum, dia datang kembali sembari
diiringi seseorang yang lain. Seseorang yang wajahnya berlepotan darah segar.
Dengan sangat kesulitan, dia berjalan duduk mengikuti prajurid kawal khusus
yang membawanya. Melihat kehadiran sosok yang dibawa menghadap oleh prajurid
kawal khusus barusan, seluruh yang hadir gempar! Seseorang yang berlepotan
darah yang tak lain adalah sang perumput malang itu terlihat menahan rasa
sakitnya. Belum jelas bagian mana dari kepala sang perumput yang terluka karena
darah segar yang terus merembes, sedikit banyak menutupi tempat luka berasal.
Namun, semakin diperhatikan, akan
semakin jelas, bahwa cuping telinga kiri sang perumput telah hilang! Seluruh
yang hadir bisa menebak seketika, bahwa darah itu keluar dari luka dibagian
telinganya yang telah tanggal! Mata Arya Penangsang dan Patih Matahun
memperhatikan kondisi sang perumput tanpa berkedip. Begitu sang perumput dan
prajurid kawal khusus telah berada tepat dihadapan Arya Penangsang, segera Arya
Penangsang berkata : “Ada apa? Ceritakan apa yang terjadi?! Dan surat darimana
yang kau bawa untukku?!” Sembari mengerang, sang perumput menghaturkan sembah.
Tangannya yang berlepotan darah gemetar saat menghaturkan sembahnya. Sang
perumput, didengar oleh Arya Penangsang, Patih Matahun dan seluruh bangsawan
yang hadir segera menceritakan apa yang menimpanya! Gemuruh suara seluruh yang
hadir setelah mendengar laporan sang perumput. Arya Penangsang memerah
wajahnya, segera dia meminta gulungan rontal yang dibawa sang perumput. Sang
perumput mengulurkan gulungan rontal yang juga berlepotan darah. Arya
Penangsang menyuruh Patih Matahun menerimanya dan segera membaca isinya. Patih
Matahun menerima gulungan rontal dari tangan sang perumput. Sembari berdiri,
dia buka gulungan itu dan dengan suara keras, dibaca isinya : He, Penangsang!
Yen sira nyata Lanang Sejati, payo tandhing lawan ingsun. Dak anti sapinggiring
bengawan tapel wates. Yen ora wani nekani, nyata sira wandu kang memba rupa!
Budhala tanpa rowang! Ingsun wong Sela wus tan bisa suwe nahan sedyaning tyas
kapengin nigas janggamu! (Hai, Penangsang! Jika nyata Lelaki Sejati, mari
bertanding denganku! Aku tunggu dipinggir sungai tapal batas. Jika tidak berani
datang, jelaslah kamu seorang banci yang menyamar sebagai lelaki ! Berangkatlah
tanpa prajurid! Aku orang Sela sudah gatal ingin memenggal kepalamu!) Menggeram
marah Arya Penangsang mendengar bunyi surat yang baru dibacakan. Tangannya
mengebrak meja disebelahnya yang dipenuhi dengan nasi tumpeng! Meja terguling
dan nasi diatasnya berburai seketika, berserakan mengotori lantai pualam
disekelilingnya!! Arya Penangsang, dengan dada bergemuruh dan amarah yang sudah
sampai dibun-ubun segera berkata keras kepada prajurid kawal yang nampak disitu
: “Siapkan Kyai Gagak Rimang sekarang juga!!” Prajurid yang diperintah
menyembah dan tergopoh-gopoh jalan mundur. Seluruh yang hadir kebingungan.
Patih Matahun segera menyembah dan berkata : “Nakmas Penangsang, mohon sabarkan
hati sejenak. Biarkan saya memberikan perintah kepada Senopati Jipang agar
menyiagakan seluruh prajurid!” Arya Penangsang tak bergeming! Matanya
menerawang merah penuh amarah. Sejurus kemudian, prajurid yang diutus
menyiapkan kuda nampak tiba kembali diruangan. Dia tengah memulai untuk
berjalan duduk dengan maksud menghadap. Namun Arya penangsang sudah tidak sabar
lagi, dia segera keluar dari ruangan tanpa permisi !! Patih Matahun kalut!
Segera dia berkata : “Nakmas Senopati!” Yang ditunjuk dan tengah duduk diantara
para bangsawan menyembah! “Segera siagakan seluruh prajurid Jipang Panolan
sekarang juga!” Yang diperintahkan menyembah sekali lagi dan mohon undur. “Dan
kepada semua priyayi yang hadir disini!” lanjut Patih Matahun, keras suaranya,
”Segera siagakan diri untuk bertempur dengan orang Sela!” Seluruh yang hadir
riuh memberikan sembah! Dan bubar saat itu juga! Arya Penangsang telah menaiki
kuda kesayangannya. Beberapa kepala prajurid berusaha mencegahnya, namun bukan
Arya Penangsang jika tidak memenuhi tantangan seorang diri. Tanpa banyak bicara
lagi, digebraknya Kyai Gagak Rimang! Kuda berwarna hitam mulus itu meringkik
nyaring sejenak, lantas melesat keluar dari kompleks istana Jipang Panolan!!
Seluruh kepala prajurid dan bangsawan Jipang geger melihat kenekadan Arya
Penangsang! Seketika itu juga, gong beri, gong kecil yang biasa dibunyikan agar
seluruh prajurid menyiagakan diri, segera terdengar dipukul bertalu-talu.
Susul menyusul. Dari satu sudut
istana , disusul sudut yang lain. Riuh rendah suaranya memekakkan telinga!
Disana-sini, teriakan-teriakan komando-pun terdengar, berselang-seling, membuat
se-isi istana Jipang gempar! Ditempat lain, Kyai Gagak Rimang telah melesat
menuju perbatasan! Tumbangnya Ksatria Putihan. Kyai Gagak Rimang melaju
kencang, melesat ke arah sungai yang menjadi tapal batas wilayah Jipang Panolan
dengan daerah yang belum berhasil diduduki pasukan Jipang. Menjelang matahari
condong ke barat, tepat seusai waktu dzuhur, barulah Arya Penangsang
memperlambat laju kudanya! Wilayah yang dibentangi aliran sungai dangkal ini
adalah tapal batas kekuasaan Jipang Panolan. Diseberang sana, terbentang
wilayah luas yang sudah direncanakan hendak diduduki pasukan Jipang. Kyai Gagak
Rimang meringkik nyalang manakala tali kekang kuda yang melilit lehernya
ditarik kencang! Serta merta, Kyai Gagak Rimang mengangkat kedua kaki depannya
sejenak, lantas kembali menjejak ke tanah dan berjalan pelan memutar. Mata Arya
Penangsang menyipit mengamati keadaan sekeliling. Aliran sungai yang tak
seberapa dalam nampak terus mengalir dengan tenangnya. Pepohonan lebat yang
tumbuh diseberang sana, tumbuh di area berbukit tepat dipinggir aliran sungai,
nampak lengang pula. Tak tampak sesuatu-pun yang mencurigakan. Bergegas Arya
Penangsang menarik tali kekang kuda, menuruni tanah berbukit yang menuju ke
bawah, menuju ke aliran sungai. Begitu sampai dibawah, tepat dipinggir sungai,
ternyata situasi benar-benar senyap! Tak ada siapapun disana. Hanya bunyi
burung-burung hutan yang sesekali memamerkan suara ditambah suara sungai yang
gemericik, menyambut kehadiran Arya Penangsang! Arya Penangsang mendengus.
Dengan mata memandang ke seberang, dia berteriak keras : “Keparat! Yen nyata
lanang metuwa! Aja singidan!” (Keparat! Kalau nyata laki-laki, keluarlah!
Jangan bersembunyi!) Suara Arya Penangsang menggema, memantul dari lereng ke
lereng lain! Mengoyak kesenyapan yang sedari tadi menyergap daerah itu! Tapi,
begitu suara gema menghilang. Keadaan kembali sepi. Tak ada jawaban! Arya
Penangsang gusar! Merasa dipermainkan! Ditariknya tali kekang Kyai Gagak
Rimang, nekad dia menyeberangi sungai! (Menurut kepercayaan Jawa, jika dua
orang lawan sedang bertempur, dan diantara mereka terhalang sebuah sungai, bagi
siapa saja yang berani menyeberangi, pasti akan kalah perangnya : Damar
Shashangka) Dan tepat ketika kaki-kaki Kyai Gagak Rimang tengah tertatih-tatih
menapaki dasar sungai yang cuma sebatas lutut dalamnya, mendadak, terdengar
bunyi riuh desingan! Mata Arya Penangsang awas! Dilihatnya berratus-ratus anak
panah meluncur deras mengarah kearahnya! Arya Penangsang mengumpat! Namun
sungguh luar biasa, bukannya dia kebingungan menghindar, malahan dia buka
dadanya lebar-lebar! Beberapa batang anak panah yang tepat mengarah ketubuhnya,
terpental kesamping, tak bisa melukai kulitnya sama sekali dan langsung luruh
masuk ke dalam aliran sungai! Bahkan beberapa ada juga yang patah menjadi dua!
Tak hanya itu, anak panah yang sempat menyasar ke tubuh Kyai Gagak Rimang-pun
mengalami hal yang serupa! Kyai Gagak Rimang hanya terlonjak-lonjak saja ketika
beberapa anak panah meluncur mengenai tubuhnya! Tak ada luka sedikit-pun
ditubuh kuda hitam mulus itu! Bidikan anak panah mereda seketika! Belum usai
kegusaran Arya Penangsang, disusul dari arah seberang, keluar seekor kuda
putih! Kuda itu dipacu menuruni lereng. Keluar dari balik pepohonan. Begitu
jelas siapa yang hadir, mata Arya Penangsang melotot marah! Jelas terlihat,
seorang anak kecil, tengah menunggang kuda dengan tombak terhunus ditangan
kanannya. Terdengar suara kecilnya nyaring tanpa ada kegentaran sedikitpun :
“Penangsang! Aku lawan tandingmu!” Dada Arya Penangsang bagai dibakar api!
Wajahnya bagai dicoreng dengan arang! Betapa tidak! Seorang anak kecil dengan
lancangnya berani sendirian menghadapinya dan bahkan sesumbar menantangnya!!
Ditariknya tali kekang Kyai Gagak Rimang! Kuda meringkik, kesusahan berjalan
menapaki dasar sungai! Berusaha terus melaju ke arah seberang mendekati sosok
kecil yang dengan gagahnya menenteng tombak disana! Melihat Arya Penangsang
mendekat, anak kecil tersebut memutar arah kudanya. Kyai Gagak Rimang telah
berhasil melewati aliran sungai dan langsung berderap mengejar kuda putih
didepannya! Begitu jarak sudah sedemikian dekat, mendadak terjadi keanehan!
Tingkah Kyai Gagak Rimang seketika berubah! Kepalanya mengangguk-angguk dan
menjadi liar! Arya Penangsang terkejut menyadari perubahan yang terjadi! Kuda
tunggangannya tidak pernah bertingkah aneh seperti itu selama ini. Sejenak Arya
Penangsang kerepotan menarik tali kekang kudanya yang menjadi tak terkendali!
Ditengah usahanya membuat Kyai Gagak Rimang kembali patuh, mata Arya Penangsang
melihat sekilas bagian belakang kuda putih yang tengah ditunggangi lawannya!
Arya Penangsang marah! Dia menyadari sekarang mengapa Kyai Gagak Rimang
bertingkah laku aneh! Rupanya, ekor kuda putih didepannnya sengaja diikat
keatas, sehingga kemaluannya terlihat jelas! Dan Arya Penangsang semakin
menyadari, kuda yang ditunggangi lawannya adalah kuda betina! Arya Penangsang
mengumpat-ngumpat! Kyai Gagak Rimang selama ini memang sengaja tidak
diperkenalkan dengan kuda betina! Kyai Gagak Rimang adalah kuda tempur. Jika
mengenal kuda betina dan sempat bersenggama, maka kemampuan tempurnya akan menurun!
Dan kini, melihat kuda betina dengan kemaluan terbuka lebar seperti itu, Kyai
Gagak Rimang tidak bisa menguasai birahinya!
Ditengah kesibukan Arya penangsang
mengendalikan keliaran Kyai Gagak Rimang, mendadak anak kecil yang menunggang
kuda didepannya, memutar haluan kudanya. Berderap suaranya mendekat. Mata Arya
Penangsang awas! Namun keliaran Kyai Gagak Rimang semakin menjadi-jadi. Arya
Penangsang panik! Dan benar! Tombak ditangan kanan sang anak mengarah telak
kearah lambungnya!! Dan!! Arya Penangsang yang kerepotan diatas punggung kuda
yang tengah melonjak-lonjak, tidak mampu menghindari tikaman tersebut! Tombak
Kyai Plered yang tajam langsung menembus lambungnya seketika itu juga! Darah
menyemburat! Arya Penangsang menjerit kesakitan! Dan yang mengerikan, begitu
mata tombak ditarik, sebagian ususnya ikut terburai keluar!! Kuda putih berlalu
dengan derapan kemenangan! Arya Penangsang meringis kesakitan! Diraihnya
sebagian ususnya yang keluar dan langsung di kalungkan ke warangka keris Kyai
Brongot Setan Kober yang terselip dipinggang kirinya! Begitu ususnya tidak
menjuntai dan terikat diwarangka keris, Arya Penangsang segera memutar tali
kekang Kyai Gagak Rimang! Kuda hitam itu mendengus-dengus dan berderap semangat
mengejar kuda betina! Begitu jarak sudah sedemikian dekat, Arya penangsang
meraih tubuh kecil sang penunggang kuda putih dan membantingnya ketanah!! Jerit
kesakitan terdengar! Arya Penangsang segera turun dari punggung kuda! Sosok
kecil yang tengah terjatuh diatas tanah berusaha bangkit dan hendak melarikan
diri, namun terlambat! Leher kecilnya terpegang dan kembali terbanting ketanah!
Begitu tubuh kecil itu telentang tak berdaya, kaki kekar Arya penangsang
langsung menginjak dadanya! Suara kesakitan nyaring terdengar! Arya Penangsang
beringas! Diraihnya gagang keris Kyai Brongot Setan Kober! “Tunggu!” Mendadak
terdengar bunyi nyaring! Mata Arya Penangsang mencari asal suara! Terlihat
empat orang berkuda keluar dari balik gerombol pepohonan mendekat kearahnya!
Dua diantara empat orang yang datang adalah Ki Juru Mertani dan Ki Ageng
Pemanahan! Belum selesai kemunculan empat orang tersebut, disusul suara riuh
rendah derap kuda dari seberang sungai terdengar! Mata Ki Juru Mertani awas!
Pasukan Jipang Panolan ternyata sudah tiba! Cepat dia memberikan isyarat!! Dua
orang yang ikut dengannya segera mengeluarkan bendera merah! Begitu melihat
bendera merah terkibar! Bunyi gemuruh pasukan Pajang membahana!! Serempak
keluar dari persembunyian masing-masing! Perang besar akan segera terjadi!!
Mata Arya Penangsang memerah! Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pemanahan menatapnya
lekat-lekat! Dan mata Ki Juru Mertani serta Ki Ageng Pemanahan juga melirik
usus Arya penangsang yang terburai dan tersampir diwarangka keris! Begitu keris
itu dicabut, maka tamatlah riwayat Arya Jipang! “ Penangsang!” teriak Ki Juru
Mertani, ” Anak kecil itu putra Adipati Pajang! Bunuh saja jika kamu berani!!”
Arya Penangsang kalap! Dia melihat anak kecil yang masih diinjak dengan kaki
kanannya! Anak kecil yang tak lain adalah Danang Sutawijaya! Dengan diiringi
geraman kemarahan yang tak tertahankan, dicabutnya Kyai Brongot Setan Kober
dengan kasar!! Arya Penangsang lupa, sebagian ususnya yang keluar tersampir
disana! Kemarahan membuat Arya Penangsang lupa! Begitu keris Kyai Brongot Setan
kober tercabut, Arya Penangsang seketika menjerit keras!! Ususnya ikut
tercerabut seketika itu juga!! Dengan tangan kanan yang terangkat keatas,
gerakan Arya Penangsang terhenti!! Tubuhnya tergetar hebat!! Hanya sesaat!
Sejurus kemudian, tubuhnya tumbang ke tanah dan sekarat seketika itu juga!!
Cepat Ki Ageng Pemanahan menarik tubuh Danang Sutawijaya yang ngeri ketakutan!
Dan langsung membawanya menjauhi
arena! Dilain tempat, peperangan telah terjadi! Pekik kemarahan berselang
sering dengan jerit kesakitan!! Tubuh-tubuh dari kedua prajurid bertumbangan
ketanah! Darah tertumpah! Membuat aliran sungai menjadi berubah warna menjadi
merah!! Senjata tajam berkelabatan tertimpa sinar matahari sore! Berdenting!
Mencicit mengincar nyawa lawan! Nampak Patih Matahun mengamuk dibarisan depan!
Ki Juru Mertani segera memerintahkan seorang kepala prajurid Pajang berteriak
mengabarkan kematian Arya Penangsang! Yang diutus segera menjalankan tugas!
Sebentar saja, teriakan serupa disambut teriakan yang lain dari kepala pasukan
Pajang! Berita kematian Arya penangsang membuat nyali pasukan Jipang menciut!!
Ditengah-tengah pertempuran dahsyat tersebut, dari sudut kesudut, terdengar
suara bersahut-sahutan dari pasukan Pajang : “Arya Penangsang wis
matiiiiiiiiiii!” (Arya penangsang sudah mati!!) Dampaknya luar biasa, sebentar
saja, pasukan Jipang terdesak hebat! Satu persatu, tubuh pasukan Jipang jatuh
ketanah dengan luka menganga mengeluarkan darah segar! Pasukan Pajang terus
merangsak maju! “Aja mundur!! Majuuuuuuuuuuu!” (Jangan mundur! Majuuuuuu!)
Terdengar teriakan Patih Matahun, disusul oleh kepala pasukan Jipang yang lain!
Namun percuma! Nyali pasukan Jipang sudah turun drastis! Bahkan, dibeberapa
sisi, pasukan Jipang sudah kocar-kacir! Jika diteruskan, seluruh pasukan Jipang
akan terbabat habis tak tersisa! Pasukan Pajang mengamuk bagai banteng
ketaton!! Namun, Patih Matahun tak berniat mundur! Ki Ageng Pamanahan segera
memacu kuda mendekati posisi Patih Matahun! Melihat kehadiran Ki Ageng
Pamanahan, Patih Matahun langsung menyerang! Pertempuran kedua priyayi dari
Pajang dan Jipang ini terjadi! Namun bagaimanapun juga, semangat Patih tua ini
juga sudah banyak luruh! Sebentar saja, dia sudah terlihat terdesak hebat! Dan
pada akhirnya, sebuah tusukan telak mengarah dadanya! Patih Matahun meringis
kesakitan dan tumbang ketanah!! Melihat Patih Matahun-pun telah tewas, beberapa
kepala pasukan Jipang panik! Pasukan Pajang terus membabat habis lawannya tanpa
ampun lagi! Mayat-mayat bergelimpangan semakin banyak! Aliran sungai telah berwarna
merah dan berbau anyir! Dan menjelang malam tiba, pasukan Jipang kocar-kacir!!
Pasukan Pajang terus bergerak menuju ibukota! Penduduk ibukota Jipang panik.
Pasukan Pajang merangsak masuk istana Jipang! Jerit ketakutan terdengar
disana-sini! Banguna istana segera menjadi sasaran perusakan pasukan Pajang
tanpa ampun! Beberapa sudut istana dibakar! Perlawanan dari sisa-sisa pasukan
Jipang tidak berarti sama sekali! Sebentar saja, menjelang dini hari, istana
Jipang Panolan telah dikuasai pasukan Pajang! Gamelan ditabuh menandakan
kemenangan pasukan Pajang! Keesokan harinya, kabar kemenangan itu diteruskan ke
Pajang. Beberapa prajurid diutus memberikan laporan kepada Adipati Adiwijaya!
Seluruh bangsawan Pajang menyambut kemenangan itu dengan suka cita! Tak menunda
waktu lama, diutuslah beberapa prajurid ke Jepara untuk mengabarkan hal serupa
kepada Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat bergembira dan bersedia menyudahi tapa
telanjangnya.
Dia lantas ikut rombongan pasukan
Pajang menuju ibukota Pajang. Kemenangan orang Sela tersiar kemana-mana.
Tewasnya Arya penangsang membuat gempar seluruh bangsawan Jawa! Tak terkecuali
Sunan Kudus! Kini, tidak ada lagi penguasa Jawa yang kuat selain Adipati
Adiwijaya di Pajang! Beberapa minggu kemudian, upacara besar dilaksanakan.
Disaksikan oleh para pembesar Demak Bintara, Ratu Kalinyamat menyerahkan tahta
Demak Bintara kepada adik iparnya, Adipati Adiwijaya! Keputusan ini banyak
disokong oleh berbagai pihak! Namun sesuai janji semula, Pajang harus berbentuk
Kesultanan, bukan Kerajaan. Oleh karenanya, Adipati Adiwijaya lantas dikukuhkan
sebagai seorang Sultan dengan gelar Kangjeng Sultan Adiwijaya. Kejadian ini
bertepatan dengan tahun 1546 Masehi! Putra Ki Ageng Pengging, kini telah resmi
memegang tampuk pemerintahan Jawa. Ramalan Sunan Kalijaga, terbukti sudah!
Kini, Ki Mas Karebet atau Jaka Tingkir, telah menjadi seorang Raja, penguasa
Tanah Jawa!!
Sumber diolah dari : Damar
Shashangka : http://annunaki.wordpress.com/2010/05/01/arya-penangsang-tamat/
No comments:
Post a Comment