Bagian
III
Rasa
Abadi
Keinginan itu bersifat sebentar
mulur, sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar mungkret, rasanya sebentar
senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah. Pada hakekatnya
keinginan itu langgeng (abadi), artinya sejak dulu sudah ada, kini pun ada,
kelak pun selalu ada. Ketika orang masih dalam kandungan ibunya, keinginannya
sudah ada, walaupun tidak disadarinya. Seperti halnya bayi menangis
berkeinginan menyusu, Ketika masih sebagai darah pun sudah tumbuh keinginan
yang menumbuhkan badan, kepala, tubuh, tangan, kaki dan sebagainya. Ketika
belum ada dalam kandungan dan masih ada pada ayah dan ibunya pada waktu ayah dan
ibunya saling mengungkapkan rasa suka sama suka, hal itu merupakan gejala
keinginan manusia yang hendak lahir. Demikian keinginan itu tidak berawal,
ketika bumi dan langit belum ada, keinginan sudah ada.
Demikian pula keinginan tidak
berakhir, bila nanti orang sudah mati, badannya rusak, busuk, keinginan masih
ada saja. Bila nanti bumi dan langit tidak ada, keinginan masih tetap ada. Jadi
keinginan itu tanpa awal dan tanpa akhir. Oleh karenanya keinginan itu abadi,
Sebab keinginan itu barang asal. Barang asal itu tidak ada asalnya, tetapi
justru berupa asal, dari itu abadi. Keinginan ialah asal dari pada hidup, benih
hidup, yang menyebabkan hidup, oleh karenanya abadi. Seperti juga asal semua
barang jadi itu bersifat abadi. Wujud barang jadi (bahasa Jawa: dumadi) itu
seperti rokok, korek api, cangkir, piring, rumah, dunia, bintang, bulan,
matahari dan sebagainya. Asal barang jadi misalnya rokok, adalah abadi, tidak
berubah tidak berkurang atau bertambah. Bila rokok itu dibakar, rokok itu hanya
menjadi abu; sedang asal dari pada rokok masih tetap ada, tidak kurang, hanya
wujudnya kini abu. Bila abu itu nanti ditumbuk, hanyalah menjadi tumbukan abu,
sedang asal rokok masih tetap, tidak kurang tidak lebih, yang kini berwujud
tumbukan abu. Sekalipun tumbukan abu ini nanti dibuang ke luar dunia, asal
rokok itu masih tetap ada tidak kurang tidak lebih, hanya kini ada di luar
dunia. Demikian pula keinginan, bagaimanapun dihancurkannya melalui kesusahan,
penderitaan malu, tidak akan berubah bersama sifat-sifatnya. Sebab barang abadi
itu pasti bersifat abadi pula. Keinginan itu bersifat sebentar mulur sebentar
mungkret, sebentar mulur sebentar mungkret dan rasanya sebentar senang sebentar
susah, sebentar senang sebentar susah. Sedang rasa manusia pun sebentar senang
sebentar susah, sebentar senang sebentar susah. Jadi keinginan itu adalah
manusia, maka manusia itu abadi (lestari), sebentar senang sebentar susah. Bila
keabadian manusia ini dimengerti, orang akan bebas dari penderitaan neraka
penyesalan dan kekhawatiran.
Sesal
- Kuatir
Menyesal ialah takut akan pengalaman
yang telah dialami. Khawatir ialah takut akan pengalaman yang belum dialami.
Menyesal dan khawatir ini yang menyebabkan orang bersedih hati, prihatin,
hingga merasa celaka. Menyesal ini rasanya: "Andaikata dulu aku bertindak
demikian, bahagialah sudah aku ini, tidaklah celaka begini." Menyesal ini
ialah takut akan pengalaman masa lampau yang menyebabkannya jatuh celaka, susah
selamanya dalam keadaan miskin, hina, lemah. Bila orang mengerti bahwa manusia
itu abadi, dapatlah ia menasehati dirinya sebagai berikut: "Walaupun dulu
bagaimana saja, pasti rasanya sebentar senang sebentar susah." Kemudian
lenyap penyesalan semacam tadi. Tetapi jika tidak dimengerti, penyesalan itu
berlarut-larut hingga takut akan hal yang aneh-aneh, seperti takut terkutuk,
takut durhaka, rasanya: "Dulu andaikata aku tidak terkutuk oleh si Anu,
tidak durhaka, tentu aku sudah bahagia dan tidak celaka." Kalau mengerti
maka orang dapat menyadari, "Walaupun dulu terkutuk durhaka atau tidak
durhaka, rasanya tentu sebentar senang sebentar susah," dan lenyaplah
penyesalan semacam itu tadi.
Berlarut-larutnya penyesalan ini
sampai menimbulkan ketakutan pada hal yang makin aneh ialah takut hidupnya
tersesat. "Andaikata dulu tidak menjadi anak ibu dan ayah ini, pasti aku
bahagia, dan tidak celaka seperti ini." Tetapi bila mengerti babwa manusia
itu abadi, ia dapat menasehati dirinya sendiri: "Walaupun dulu menjadi
anak ibu-ayah ini atau tidak, tentu rasanya sebentar senang sebentar
susah", maka lenyaplah penyesalan tadi. Ketakutan hidup tersesat di atas
perinciannya sampai pada takut tersesat mempunyai suami/isteri dan anak si Anu,
rasanya: "Andaikata dulu aku tidak salah memperoleh suami/isteri dan anak
si kunyuk (si dogol) itu, pastilah aku bahagia dan tidaklah celaka."
Tetapi bila ia mengerti bahwa orang itu abadi, dapatlah ia menyadarkan dirinya:
"Walaupun dulu aku mempunyai suami/isteri dan anak seperti kunyuk-kunyuk
itu atau tidak, rasaku tentu sebentar senang, sebentar susah," maka
lenyaplah penyesalan tadi.
Demikian pula kekhawatiran yang
berupa takut akan pengalaman yang belum dialami, kalau-kalau jatuh celaka,
susah selamanya, dalam keadaan miskin, hina, lemah. Rasanya: "Bagaimanakah
nanti akhirnya bila aku tidak mencapai kebahagiaan yang kucita-citakan, tetapi
tetap celaka seperti sekarang ini?" Tetapi jika orang mengerti bahwa
manusia itu abadi, dapatlah ia menyadarkan dirinya: "Walaupun kelak akan
terjadi apa saja, misalkan bumi dan langit merapat, rasanya pasti sebentar
senang sebentar susah," maka lenyaplah kekhawatiran tadi. Jika tidak
dimengerti, kekhawatiran itu berlarut-larut sehingga takut akan hal yang
aneh-aneh seperti takut kuwalat, takut durhaka. Padahal apakah kuwalat dan
durhaka itu saja tidak dimengerti. Namun ditakuti juga, aneh bukan? Tetapi bila
mengerti bahwa manusia itu abadi, dapatlah ia menyadarkan dirinya: "Mana
ada orang kuwalat atau durhaka? Kalau toh ada, rasanya pasti hanya sebentar
senang sebentar susah.
Katanya orang kuwalat itu kepalanya
di bawah dan kakinya di atas. Kalau begitu malah bisa merasakannya. Sebab yang
sudah dialami berpuluh-puluh tahun hidup dengan kepala di atas dan kaki di
bawah ternyata tidak enak. Seperti pada waktu cekcok dengan suami/isterinya
atau tetangganya. Lihatlah orang-orang dengan kepala di atas, kaki di bawah
itu." Dan lenyaplah kekhawatiran di atas tadi. Berlarut-larutnya
kekhawatiran itu sehingga takut akan hal yang semakin aneh seperti mati
tersesat. Alangkah anehnya orang mati bisa tersesat. Tetapi bila mengerti bahwa
manusia itu abadi, dapatlah ia menasehati dirinya: "Bagaimana mungkin
orang mati itu tersesat. Kalau tersesat tentu ke arah hidup yang pernah dialami
ini. Lagi pula jika ada mati tersesat tentu ada pula hidup tersesat. Padahal
ketika hendak hidup tanpa bertanya kepada siapa pun, tanpa bekal apa-apa, ia
menjelma tepat dengan hidung di atas mulut, kuping di kedua sisi, kepala di
atas, kaki di bawah dan sebagainya, melalui jalan yang benar." Kemudian
lenyaplah kekhawatiran yang aneh tadi. Khawatir takut mati tersesat ini
perinciannya hingga takut setelah mati akan menjelma sebagai babi-hutan.
Alangkah anehnya! Tetapi bila mengerti bahwa manusia itu abadi, orang dapat menasehati
dirinya: "Bagaimanakah orang mati dapat menjelma menjadi babi-hutan.
Andaikatapun benar, maka orang justru dapat merasakan bagaimana hidup sebagai
babi-hutan. Pasti hanya berdengus-dengus mencari ubi. Dan pastilah tidak takut
dihentikan dari pekerjaan, melainkan takut di semak-semak hutan. Sedangkan yang
dialami berpuluh-puluh tahun hidup sebagai manusia pun tidak enak. Misalnya
ketika mencari pinjaman tidak berhasil, atau ditagih hutangnya tidak sanggup
membayarnya. Enakkah hidup sebagai orang?" Kemudian lenyaplah kekhawatiran
tadi. Menyesal dan khawatir ini mengandung anggapan atau pendapat bahwa orang
itu dapat memperoleh senang atau susah yang abadi. Maka dengan dikejar secara
mati-matian rasa senang itu dan ditolaknya secara mati-matian rasa susah itu,
menimbulkan ketahayulan pada dirinya yang mengakibatkan penderitaan. Tahayul
itu ialah menghubung-hubungkan sebab dan akibat yang tidak ada sangkut-pautnya.
Sebagai contoh, misalnya orang berdagang sedang sial, tidak berani dagang, maka
berkatalah: "Kesialan ini tentu lantaran aku tidak membakar kemenyan dan
tidak bersembahyang pada malam menjelang hari Jumat yang lalu, sehingga
daganganku tidak laku." Jelaslah membakar kemenyan dan bersembahyang itu
tidak ada sangkut paut dengan kesialan dagangan tidak laku. Namun orang yang
bertahayul itu menghubung-hubungkan juga.
Contoh lain yang lebih jelas,
misalnya seorang anak tengah bermain, tiba-tiba sakit kejang-kejang, maka orang
berkata: "Anak itu pasti dijegal oleh syaitan penunggu jalan perempatan
itu, oleh karena itu kejang-kejang badannya." Padahal jelas anak sakit
kejang tidak bersangkut-paut dengan syaitan penunggu jalan. Untuk menerangkan
syaitan itu apa, orang tidak tahu. Apakah syaitan itu berkaki dua atau
empatkah, bertelur atau menyusuikah, orang tidak tahu. Namun orang bertahayul
menganggapnya bisa menjegal. Contoh yang lebih jelas lagi, tatkala gunung
Merapi meletus, orang bertahayul menghubungkannya begini: "Peristiwa itu
adalah pernyataan Kanjeng Ratu Kidul (Ratu Laut Selatan) yang marah lantaran
gagal dalam mencari korban untuk pesta perkawinan putra/putrinya, sehingga
diletuskannya gunung Merapi, beledar-beledur-beledar-beledur." Jelaslah
Kanjeng Ratu Kidul tidak ada sangkut-paut dengan letusan gunung Merapi. Karena
siapakah dan apakah Kanjeng Ratu Kidul itu saja, orang tidak tahu. Namun orang
bertahayul memaksa menghubung-hubungkannya demikian. Ketahayulan itu
menyebabkan orang bertapa dan berpantang yang aneh-aneh, seperti merendam diri
selama satu jam dalam tempo empat puluh hari, dengan pendapat bahwa: "Jika
setiap malam merendam diri sambil mengucapkan mantera-mantera ini, daiam waktu
empat puluh hari pasti aku akan memperoleh karunia dan senangiah aku
selama-lamanya." Tetapi bila mengerti bahwa manusia itu abadi, teranglah pandangannya
dan tahulah bahwa hasil orang merendam diri selama itu, hanyalah menggigil
kedinginan semata-mata. Bahkan isterinya terlanjur kesepian kedinginan tidak
dapat tidur sebab menunggu-nunggunya.
Dalam pada itu mertuanya pun
membenci karena melihat anaknya tidak dilayani sewajarnya melainkan
ditinggalkannya tiap malam hanya untuk merendam diri. Tindakannya berpantang
yang aneh-aneh itu seperti pantang makan dan pantang tidur. Padahal orang lapar
itu enaknya kalau makan dan orang mengantuk itu enaknya kalau tidur. Jadi orang
itu memantang hal-hal yang enak-enak, namun mengeluh bahwa tidak pernah
mengalami keenakan dalam hidupnya. Tetapi jika mengerti bahwa manusia itu
abadi, teranglah pandangannya, dan mengerti bahwa hasil berpantangan makan dan
tidur itu lapar dan kantuk belaka. Pantangan aneh-aneh itu kalau berlarut-larut
sehingga berpantang berdekatan dengan suami/isteri sendiri, enakkah rasa yang
berpantang dan yang dipantang itu? Pastilah tidak. Itu pun belum tentu ia dapat
bertahan dalam pantangannya. Nanti baru berjalan seminggu saja, bila tidak
diawasi, diam-diam, sudah menyerobot. Setelah itu saling menyesali: "Orang
sudah dipesan sedemikian rupa! Orang sedang prihatin bertapa supaya memperoleh
kurnia! Mengapa kamu pun masih mau saja dan kini semua usahaku batal, dan untuk
mulai lagi aku tidak sanggup." Tetapi jika orang mengerti bahwa manusia
itu abadi, teranglah pandangannya, dan mengerti bahwa hasil berpantang isteri
sendiri adalah tidak betah. Demikian sifat katahayulan yang mendorong orang
bertapa dan berpantang yang bukan-bukan, karena berpendapat bisa senang atau
susah selama-lamanya.
T
a b a h (Bhs.Jawa: Tatag)
Apabila kita mengerti bahwa menusia
itu abadi, keluarlah orang dari neraka menyesal-khawatir dan masuk surga
ketabahan. Ini berarti berani menghadapi segala hal. Berani menjadi orang kaya
atau miskin, menjadi raja atau kuli, menjadi wali (orang suci) atau bajingan.
Karena ia mengerti bahwa kesemuanya itu rasanya pasti sebentar senang, sebentar
susah. Teranglah pandangannya dan mengerti bahwa semua pengalaman itu tidak
ada; yang mengkhawatirkan atau yang sangat menarik hati. Pada pokoknya yang
ditakuti itu adalah kesusahan, padahal orang tentu mampu menderitanya. Sudah
terbukti beribu-ribu kesusahan yang dialami, ia mampu menderitanya. Kesusahan
yang paling hebat adalah merasa sangat malu atau menderita sakit sangat berat.
Sedangkan jika hanya sangat malu dan sangat sakit saja, pasti orang mampu
menderitanya. Walaupun ia selalu mengeluh: "Rasa malu kali ini benar-benar
melukai hatiku, aku tidak kuat menanggungnya. Itu lain dengan pengalaman-pengalaman
yang lampau!" Tetapi bila lepas dari neraka menyesal-khawatir dan masuk
surga ketabahan, orang dapat menuntut bukti pada diri sendiri yang sering
bohong. "Malu yang mana yang kau tidak kuat menanggungnya? Kenyataan yang
tengah dialami ini, benar menimbulkan rasa malu, benar-benar menyebabkan kau
meringis sehingga kau benar-benar tidak berani keluar rumah menemui orang.
Namun meskipun demikian kau tetap kuat menanggungnya juga." Demikian pula
di waktu sakit, orang mengeluh: "Sakitku kali ini benar-benar berat,
benar-benar aku tidak kuat menanggungnya. Lain dengan sakit yang lampau!"
Tetapi bila lepas dari sesal-khawatir serta masuk surga ketabahan, orang dapat
menuntut bukti pada diri-sendiri yang biasa membohong: "Sakit yang manakah
yang kau tidak kuat menderitanya? Kenyataan yang sedang dialami ini benar-benar
sakit berat sehingga kau benar-benar merintih, namun meskipun demikian tetap
kuat menanggungnya. Padahal betapapun hebatnya orang menderita sakit ia hanya
berakhir dengan mati. Sedangkan kalau cuma mati saja ia mesti kuat
menjalaninya, dan itu telah dialami oleh beribu-ribu orang yang mati. Kalau aku
mati, pasti perjalananku sama dengan orang-osang yang telah mati itu."
Oleh karena itu bila orang kuat menanggung semua pengalaman dan dapat mencukupi
apa yang diperlukannya maka tumbuhlah rasa kaya.
Tiap kali merasa malu, asal saja meringis
sudah cukup. Artinya orang tidak kehabisan rasa meringis bila mendapat malu dan
tidak kekurangan rintihan bila menderita sakit. Dan menjelang saat kematian,
asal saja berdiam diri sudah cukup. Pada pokoknya yang diinginkan adalah rasa
senang dan rasa senang ini pasti tercapai. Di mana saja, kapan saja, bagaimana
saja, arang mesti mengalami senang. Misalnya orang menderita susah karena
terbakar habis rumahnya. Bila ia menemukan sebuah celananya saja yang tidak
turut terbakar, ia tetap bisa merasa senang. "Wah, untunglah celanaku
tidak terbakar." Misalnya orang menderita susah karena terlindas mobil
kakinya hingga putus. Pada waktu sadar dari pingsannya ia pun masih dapat
merasa senang. "Wah, untunglah kepalaku tidak terlindas sekalian."
Bila kepalanya pun kelindas hingga mati, masih ia bisa senang, "Wah,
untunglah isteriku tidak ikut terlindas." Apabila orang mengerti bahwa
semua peristiwa-peristiwa itu tidak ada yang mengkhawatirkan dan tidak ada pula
yang sangat menarik hati, maka teranglah pandangannya, serta bebaslah ia dari
barang-barang di atas bumi dan di kolong langit ini. Karena ia mengerti bahwa
barang-barang di atas bumi di kolong langit itu tidak dapat menyebabkan orang
bahagia atau celaka. Juga tidak dapat menyebabkan orang senang atau susah.
Karena pada hakekatnya, yang menyebabkan senang itu ialah keinginannya
tercapai, dan yang menyebabkan susah itu ialah keinginannya tidak tercapai.
Tetapi bukanlah barang-barang yang diinginkannya. Misalnya bila hujan dianggap
menyenangkan, maka tiap kali turun hujan orang mesti senang. Tetapi
kenyataannya tidak demikian. Bagi orang yang sedang menyelenggarakan
pertunjukan ketoprak (sandiwara jawa), bila hujan turun maka ia merasa susah.
Kebalikannya, bila hujan dianggap menyusahkan, tiap kali hujan turun orang
mesti merasa susah. Kenyataannya pun tidak demikian. Bagi petani yang sedang
menanam padi, bila hujan turun maka ia merasa senang. Contoh lain yang lebih
gamblang dan terang. Bila orang bersuami/isteri yang mempunyai anak dianggap
senang, maka setiap orang yang bersuami/isteri dan beranak tentu tetap senang
saja. Padahal yang sesungguhnya tidak demikian.
Bila sedang bercekcok dengan
suami/isterinya, dan anak-anaknya rewel, orang pasti merasa susah.
Kebalikannya, jika bersuami/isteri dan beranak itu dianggap susah, maka setiap
orang yang bersuami/isteri dan beranak tentu tetap susah saja. Padahal
sesungguhnya tidak demikian. Bila sedang bercumbu-mesra dengan suami/isteri dan
menimang-nimang anaknya, pasti orang merasa senang. Jadi jelaslah bahwa
barang-barang itu tidak menyebabkan orang senang atau susah. Oleh karena itu,
di atas bumi dan di kolong langit ini tidak ada barang-barang yang pantas
dicari, ditolaknya atau dihindari secara mati-matian.
No comments:
Post a Comment