Oleh : Muhammad Ainun Nadjib
Di Indonesia banyak orang dahsyat,
sejak dulu hingga sekarang. Bangsa Indonesia banyak melahirkan orang besar,
pada setiap era sejarahnya sampai hari ini. Meskipun demikian ada beda serius
antara orang besar, wong gedhe, dengan wong agung, atau manusia agung. Orang
besar dikenal luas oleh masyarakat clan menempati lembaran-lembaran terpenting
dalam buku sejarah. Karena tanda kebesarannya harus berkaitan dengan orang
banyak, terutama dalam bentuk pengaruh atau kekuasaan. Orang besar berkapasitas
horisontal. la merambah, menembus, merangkum, dan terkadang mencengkeram sampai
radius yang amat luas. Yang menyentuh orang darinya adalah kekuatan, kegagahan,
kepandaian, kecanggihan dan kemenangan. Sementara wong agung berkualitas
vertikal. Yang kental pada kepribadian kemanusiaannya adalah kearifan,
kebijaksanaan, ketulusan, kesantunan dan ke-mengalahan.
Dan memang itulah muatan-muatan
keagungan nilai seseorang. Mungkin karena itu manusia macam ini tidak begitu
dikenal. la dikenang oleh tidak banyak orang, dikagumi diam-diam di dalam
batin. Mahatma Ghandi adalah wong agung. la penganjur perdamaian, kemandirian
dan ketidakmubadziran. la dikagumi oleh dunia Timur maupun Barat, tapi
popularitasnya hanya dalam batin. Ajaran-ajaran dan uswatuh hasanah (suri
tauladan) perilaku hidupnya tidak akan dipraktekkan oleh kebanyakan orang,
karena Gandhiisme pada hakekatnya melawan watak industrialisme kapitalistik
yang menekankan dirinya pada konsumtivisme massal. Kalau orang sedunia patuh
dan mem-panutan-i Gandhi, maka sifat berputarnya uang serta tingkat omset
perekonomian di bumi akan terombak habis-habisan.
Perusahaanperusahaan multinasional
akan kehilangan relevansi pasarnya. Jalanan jalanan protokol di kota-kota besar
akan tidak demikian bentuknya. Pertokoan dan supermarket akan berisi
barang-barang yang lain sama sekali, bahkan mungkin tidak ada etalage-etalage
industri seperti yang sekarang menjadi "ka'bah" ummat manusia
sedunia. Bahkan, dengan Gandiisme, atau dengan `Allah-isme' versi Muhammad
(Nabi yang ogah jadi raja, yang kasurnya pelepah korma dikeringkan, yang sering
kelaparan dan mengganjal perutnya dengan batu, yang ketika wafat masih punya
hutang beberapa liter gandum) (bukan Muhammadenism sebagaimana kaum orientalis
menyebut, sebab Muhammad tidak memiliki ajaran apa-apa, ia hanya kurir Allah),
perilaku dan sistem politik negara-negara dunia akan berbeda sama sekali. Orde
internasional dan kebudayaan makhluk bumi akan memiliki wajah yang sama sekali
tidak seperti yang sekarang kita alami dengan gundah.`Suku cadang' orang besar
bersifat lebih `fisik'. Pada masyarakat tradisional ia mungkin kekuatan tubuh,
keahlian berkelahi, kesaktian, aji-aji, pusaka -- yang terakhir ini kita
ketahui punya akses terhadap kekuasaan politik. Pada masyarakat modern
factor-aktor itu mungkin tetap juga diperlukan; tapi yang lebih penting adalah
kecanggihan, kelihaian, kelicinan dan mungkin juga kelicikan untuk memproses
peralihan kekuasaan serta kemudian kecanggihan untuk mempertahankannya.
Strategi `kebesaran'nya bukan hanya berupa kesanggupan memanage setiap potensi
kekuatan dan kekuasaan. pendayagunaan asset-asset -- massa, militer,
perekonomian, dukun, segmen-segmen primer dalam hukum perubahan dst -- tapi
juga kepandaian dan kejelian sebagai sutradara sejarah. Orang besar modern
adalah tokoh yang bukan saja sakti secara pribadi.
la juga harus menguasai dan
mengatasi segala wawasan. la harus mengerti kebudayaan meskipun dalam
strateginya la tidak mengambil peran sebagai budayawan. la hams menguasal
cakrawala kenegarawanan meskipun la justru menahan dirinya untuk - demi
kebesaran kekuasaannya - tidak menjadi seorang negarawan. la harus paham betul
lika-liku keagamaan meskipun past] la tidak akan memakai surban status
ketokohan agama. la mengetahui apa saja yang diperlukan untuk proses penyutradaraannya.
Orang besar modern bukan saja harus khatam soal segala jenis ilmu peperangan,
ia bahkan harus tahu persis hal-hal tentang maling clan pencurian. Pada suatu
saat ia bisa mengerahkan maling untuk melakukan suatu operasi pada momentum
clan dengan konteks serta sasaran tertentu, agar di hari esoknya la bisa tampil
sebagai pahlawan yang mengatasi maling yang ia sendiri yang mengerahkan. Atau
la memerintahkan `X' kepada seorang maling dan menyuruh `Y' kepada maling yang
lain, kemudian la tampil sebagai juru damai. Itu sekedar sebuah contoh: ada
beribu contoh taktik dan strategi kekuasaan clan kebesaran yang masing-masing
kita bisa menyebutnya.
Orang besar bisa memelihara
kebesarannya karena semua komponen sejarah yang telah tergenggam di tangannya
akan secara otomatis merupakan faktor pendukungnya, sengaja atau tak sengaja,
rela atau mendongkol. Perjalanan orang besar adalah perjalanan snow balling.
Sepanjang ia sanggup memelihara momentum, mengatur irama clan suhu, peka
terhadap takaran dosis dari suatu rakayasa, maka semua faktor yang ada dalam
kekuasaannya akan secara dialektis menjadi pengawet kekuasaannya. Orang besar
tidak harus menumpas orang-orang yang melawannya, karena penumpasan adalah
suatu jenis kekuasaan yang temporer clan terlalu pragmatis, namun tidak
investatif ke depan. Orang besar Jawa bisa mengantisipasi hal ini dengan
filsafat mangku. Dan in] adalah ajaran paling baku dalam filosofi clan budaya
kekuasaan Jawa: bukan nama raja-raja itu Mangkunegoro, Hamengkubuwono,
Mangkubumi. Dan strategi mangku ini dengan gampang diterapkan dengan
mendistribusikan modal dan kekuasaan, yang keseluruhannya akan pada akhirnya
bermuara kembali ke tangan si orang besar. Berabad-abad lamanya tokoh-tokoh
sejarah Jawa khususnya dan Indonesia umumnya belajar menghayati filosofi ini.
Ken Arok misalnya, sebagai contoh
orang besar dari masa silam sejarah kita, meskipun berhasil menerapkan
pasal-pasal terpenting dari peralihan dan pemeliharaan kekuasaan -- namun masih
tergolong brangasan, kurang mengenal kehalusan kekuasaan, clan tidak bisa
disebut strategi ulung jika acuannya adalah kelanggengan kekuasaan dalam jangka
waktu yang jauh ke depan. Ken Arok sukses merintis karirnya, pertama-tama
sebagai orang desa clan anak petani yang belajar menapak. la berguru kepada
tokoh sakti yang darinya bisa ditimba segala kesaktian yang diperlukannya untuk
melaksanakan cita-cita menjadi KS-1 alias the number one person ofSingosari. la
melirik pusat sumber kekuasaan -- bukan menguasai partai politik terbesar clan
media massa -- melainkan mendatangi empu pembuat keris yang paling sakti untuk
memesan sebilah keris. Pemilikan keris dengan kapasitas kesaktian tertentu,
Anda tahu, secara tradisional bukan sekedar lambang teraihnya kekuasaan, tapi
juga sepenuhnya dipercaya sebagai inti `wahyu' kekuasaan pada pemegangnya.
Kemenangan demi kemenangan, keunggulan demi keunggulan lantas Ken Arok
dapatkan, tapi juga blunder demi blunder, yang kelak dia tanggung resikonya -
misalnya - berupa kematian yang terlalu cepat. Bahkan kemudian disusul oleh
sejumlah kematian dengan sebab clan dalam konteks yang sama: dendam. Seandainya
Arok menempuh suatu strategi yang berbeda, yang lebih licin clan tak kentara
pada setiap jengkal proses perjuangan kekuasaannya, mungkin kematian itu tak
harus terjadi. Tapi la terlanjur memilih itu, atau barangkali Ken Arok memang
tidak memiliki kebesaran mental clan hati dingin untuk bisa melaksanakan
modus-modus penguasaan yang lebih canggih. la tidak cukup sabar menunggu
`sempurnanya sepuhan keris' • artinya tidak bersabar menunggu matangnya ritme
rekayasanya sendiri. la kemudian menggunakan `keris tak matang' itu untuk
menikam kekuasaan dan menyiapkan kambing hitam yang bernama Kebo Ijo.
Akhirnya la merebut Ken Dedes, sang
`Ibu Pertiwi' yang masih segar clan menggiurkan untuk digenggamnya. Strategi
perekayasaan Kebo Ijo itu lazim menjadi tradisi dalam berbagai praktek
kekuasaan pada rezim-rezim sesudah itu. Bahkan la dimodifikasikan secara lebih
canggih clan memakai perangkat-perangkat yang jauh lebih variatif pada zaman
Indonesia modern. Sampai-sampai ada riwayat kontemporer di mana Kebo Abang
dipecundangi dengan cara mengkili-kill telinga Kebo Ijo sehingga yang terakhir
ini mengamuk clan menumpas rekannya sendiri meskipun warna kulitnya memang
berbeda. Eksplorasi Ken Dedes juga berlangsung hingga di zaman modern. Kita
mengalami zaman di mana potensi kecantikan, keindahan clan kekayaan `Ken Dedes'
dibiarkan terbengkalai. Kemudian kita alarm zaman berikutnya di mana keindahan
Ibu Pertiwi yang mencorong ini disinggasanakan di kursi `stabilitas nasional',
diolah dengan mendatangkan modal clan grup perias dari mancanegara,
dikomoditikan clan dijadikan lahan kapitalisasi dan industrialisasi yang
keuntungannya menggumpal di sekitar Ken Arok. Artinya, banyak dimensi bisa dipelajari
clan dianut dari sejarah Ken Arok. Termasuk bagaimana mempelajari
kesalahan-kesalahannya, umpamanya jangan sampai kita memproses kekuasaan dengan
cara yang frontal, brutal clan gemagah seperti itu. Karena pada suatu hart,
ketika giliran cakramanggilingan tiba, kita juga tidak ingin memperoleh tikaman
sebagaimana Ken Arok melakukannya. Dalam hal ini orang sangat mempercayai,
tampaknya sampai hari Jim, bahwa apa yang disebut hukum karma akan berlaku,
terutama pada soal-soal serius yang menyangkut kekuasaan.
Apalagi jika terkait juga dengan
darah, penderitaan, kekalahan clan hilangnva nyawa. Tidak usah diperdebatkan
secara khusus hal karma ini, karena seandainya yang sedang menjadi pelaku
kekuasaan itu beragama Islam misalnya, maka la juga akan cenderung percaya
kepada rumus "wa man ya mal mitsqala dzanotin khoian ywoh, wa man ya'nial
mitsqala dzarrotin syarron yaroh ": siapa saja yang melakukan kebaikan
atau keburukan sedebu sajapun, nanti la akan memperoleh hal yang sama.
Seandainya, dengan kesaktian batinnya, Ken Arok sanggup menyelenggarakan
semacam time tunnel -- mestinya la bisa belajar ke masa depan.
Sekurang-kurangnya untuk menghindarkan "kutukan tujuh turunan"
seperti yang dirintisnya. Atau barangkali ia telah melakukannya, tapi berhenti
pada Panembahan Senopati, sehingga kesimpulan yang diperolehnya tidak cukup
matang. Mungkin la melihat bagaimana Raden Wijaya merintis kekuasaan juga
dengan kelicikan, tapi toh la berjaya sampai wafat alamiahnya. Kerajaan
Majapahit kemudian bahkan menjadi monumen terbesar kesejarahan bangsa ini clan
disepakati sampai akhir zaman sebagai cikal bakal negara yang sekarang bernama
Indonesia Raya. Malahan Raden Patah yang sebenarnya cukup santun bersikap
kepada ayahnya -- Brawijaya terakhir yang bahkan bersedia potong rambut dan
melakukan kllitan -- selama peralihan kekuasaan ke Demak, malah tidak cukup
langgeng kekuasaan anak turunnya. Kemudian la juga menyaksikan ketidakmulusan
Sultan Trenggono dan cara peralihan agak kurang fair - menurut kerabat
Penangsang -- yang menaikkan Mas Karebet menjadi Raja Pajang, hams dibayar oleh
anak dusun penakluk kerbau clan raja buaya ini dengan akting peralihan
kekuasaan ke Mataram secara cukup mulus; meskipun dalam sejarah la disebut
dikalahkan oleh anak angkatnya yang kemudian mendirikan Kerajaan Mata'ram.
Lantas disaksikannya juga bagaimana
Panembahan Senopati yang sebenarnya agak nranyak itu lestari pula kekuasaannya.
Barangkali itu yang membuat Ken Arok tak ambil pusing dengan mitos macammacam,
sehingga disikatnya saja Gandring clan Tunggul Ametung. Kalau saja Arok cukup
arif clan berpikir strategis, tentu ia akan ber-time tunnel lebih jauh ke
depan: boleh saja ia tetap menghimpun Kebo ijo-Kebo Ijo untuk berbagai
kepentingan. Tapi la hams mempelajari psikologi Supersemar, mendalami rekayasa
yang menggunakan `kearifan retoris' yang samar clan buku-buku sejarah tidak
mampu mencatat kecuali segi baiknya. Tapi akan afdhal lagi kalau Ken Arok
berani mengambil keputusan untuk tidak usah menjadi orang besar, tapi lebih
memilih jadi wong agung. la bikin Supersemar tapi sungguh-sungguh demi
kepentingan rakyat, menghindarkan Kebo Ijo clan memusatkan kerjanya tidak pada
kemenangan clan kekuasaan, melainkan pada kebahagiaan rakyatnya clan keagungan
kepribadiannya. Atau mungkin sekali Ken Arok justru paham sepenuhnya bahwa di
zaman modern, yang namanya kearifan itu mirip kebodohan, kesantunan itu sok,
perjuangan murni kerakyatan itu naif, clan kenegarawanan atau apalagi keresian
itu mubadzir.
No comments:
Post a Comment