Oleh
: Muhammad Ainun Nadjib
Seandainya tulisan yang Anda baca
ini adalah `Washington Post' atau `New York Time', maka yang saya tuliskan bagi
para pembaca seharusnya berjudul "Dinasti It, Ceplok Bokor Emas Berlian
dan Klambi Taqwa". Ada ahli sejarah yang menggunakan metoda khusus dan
menyimpulkan bahwa Majapahit bukanlah kerajaan pasca Singosari-Kediri.
Kerajaan yang didirikan oleh Raden Wijaya di Trowulan itu hanyalah awal dari
kurun rangkaian sejarah kerajaan-kerajaan it, sesudah kurun ma, 1antas ja dan
kemudian pa. Kurun dinasti it itu belum selesai sampai hari ini, meskipun alur
regenerasinya dipenuhi pergantian demi pergantian hasil konflik antar
orang-orang berdarah biru. Terkadang orang yang hanya setengah biru. Atau bisa
juga orang yang membiru-birukan dirinya. Atau paling tidak membirukan anaknya.
Misalnya, minimal, untuk kepentingan perlidungan masa depan, karena ‘lingkaran
darah biru’ memiliki kadar mitologi yang sangat tinggi dan mendalam dalam
peradaban suatu masyarakat, sehingga sukar ditembus dan diserang.
Hal terakhir inilah yang memiliki
salah satu ornamen cerita yang berkaitan dengan ceplok bokor yang bukan terbuat
dari kembang-kembang natural, melainkan dari emas dan permata yang
mengimitasikan kembang alam tersebut. Juga berhubungan dengan dipersyaratkannya
pelanggaran atas adat klambi taqwa. Ini bukan klenik bukan tahayul, dan
siapapun yang belum tahu atau tidak pernah mengenal wacana untuk mengenali
fenomena semacam ini – hendaklah mengupayakan berbagai sumber informasi agar
tahu, agar tidak terlalu tergesa-gesa berkomentar atau menilai berdasarkan
kebingungan dan prejudais. Esei ini sebenarnya bisa berkembang menjadi cerita
ketoprak yang sangat menarik. Dan media massa bisa berbulan-bulan mengulitinya
untuk laporan utama dengan segala illustrasinya yang sangat kaya. Sangat banyak
rahasia besar yang semestinya diketahui oleh khalayak ramai, kalau memang
diperlukan kebenaran-kebenaran mengenai informasi di belakang berita-berita
yang dimuat oleh media massa. Tetapi kita hidup di suatu zaman di mana cahaya
kebenaran seringkali justru berada di dalam kegelapan. Bahasa gampangnya:
informasi yang sesungguhnya tidak mungkin diinformasikan.
Maka setiap orang, terutama yang
tidak berkuasa, harus selalu menyiapkan dua hal. Pertama, kalau Anda adalah
konsumen berita: siapkan kecerdasan ekstra untuk menghitung apa yang sebenarnya
terjadi di balik berita-berita yang sudah sangat dibatasi, baik dibatasi oleh
iklim kekuasaan, maupun dibatasi oleh para pembuatnya sendiri. Kedua, kalau kebetulan
Anda menjadi sumber berita dan Anda tergolong bukan orang berkuasa melainkan
pihak yang media massa tidak takut apapun terhadap Anda – maka siapkan
kesabaran dan keikhlasan ekstra untuk disalahpahami oleh seluruh penduduk
negeri, tanpa impian atau harapan akan ada hari di mana kesalahpahaman itu bisa
dibenahi. Berdasarkan itu semua maka yang bisa saya tuliskan kepada Anda
hanyalah ajakan untuk mengingat kembali bahwa dari cerita nyata yang belum
mungkin dikisahkan itu – terdapat hikmah-hikmah kecil keterjebakan manusia
untuk cenderung berlaku sebagai abdul munkar atau sohibul makar. Abdul munkar
maksudnya tentu budak kemunkaran. Baik kemunkaran besar seperti penindasan
terhadap rakyat, memanipulasi hukum, mencuri harta orang banyak, dlsb. Maupun
kemunkaran kecil seperti nyopet tidak karena dipaksa oleh situasi busung lapar,
memfitnah tetangga, menghukum teman dengan penilaian yang berdasar
ketidak-mengertian, menakut-nakuti dan menyiksa masyarakat waktu arak-arakan
kampanye padahal tujuan kampanye adalah merayu hati masyarakat. Sohibul makar
adalah kebiasaan bersahabat dengan kecenderungan perilaku yang memunggungi
sunnatullah. Baik sunnatullah yang berlaku pada mekanisme alam, maupun yang
dilembagakan oleh tatanan hukum manusia. Kalau misalnya di dalam lakon ketoprak
ceplok bokor itu terdapat tokoh sohibul makar, yang menarik adalah apa kelak
formula sejarah dari firman Allah bahwa kalau kita makar maka Ia adalah
sedahsyat-dahsyatnya Maha Pemakar.
No comments:
Post a Comment