Bangsa Portugis merebut Malaka pada
tahun 1511 M yang kemudian diikuti dengan penaklukan daerah Pasai (Aceh).
Pendudukan Portugis terhadap Pasai (Aceh) rupanya menimbulkan dendam membara di
dada seorang pemuda bernama Falatehan. Perasaan benci kepada penjajah berkobar
dan dia bertekad untuk terus memerangi kaum imperialis yang telah berlaku
sewenang-wenang terhadap wilayah dan agamanya. Falatehan kemudian menyingkir
dari tanah kelahirannya itu dan pergi ke Tanah Suci Makkah.
Di sana Falatehan menuntut ilmu dan
memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam. Tiga tahun lamanya beliau
menetap dan merantau ke tanah Arab dengan harapan sekembalinya ke tanah air,
orang-orang Portugis sudah pergi meninggalkan bumi Tanah Pasai. Akan tetapi
pada kenyataannya orang-orang Portugis itu masih berada di sana menguasai
sebagian besar wilayah Pasai. Falatehan pun bertambah sedih dan marah hatinya.
Melihat kondisi tersebut, untuk kedua kalinya Falatehan terpaksa meninggalkan
tanah kelahirannya dan menuju tanah Jawa. Kedatangan Falatehan mendapat
sambutan baik dari pihak Kerajaan Islam Demak yang pada masa itu diperintah
oleh Raden Trennggono (1521-1546 M). Ketika itu Kerajaan Demak tengah mengalami
masa keemasannya. Daerah kekuasannya bertambah luas dan memiliki armada laut
yang kuat. Pada zaman Pati Unus (1518-1521), Demak pernah menyerang Portugis di
Malaka, namun tidak berhasil.
Pada masa Trenggono pula, beberapa
daerah di Jawa Barat dapat di-Islam-kan dan langsung berada di bawah kekuasaan
kerajaan Demak. Salah satu orang yang berjasa dalam segala pencapaian tersebut
adalah Falatehan. Karenanya kedatangan Faletehan dianggap sebagai satu aset
paling penting dan besar artinya bagi upaya penyebaran serta pengembangan agama
Islam selanjutnya di Pulau Jawa. Terkesan dengan kiprah Falatehan, maka
berpikir keraslah Raden Trenggono untuk berusaha memikat hati pemuda ini agar
merasa senang dan tetap tinggal di Jawa. Falatehan pun dia nikahkan dengan adik
perempuannya. Setelah itu bertambah eratlah hubungan persahabatan keduanya,
penuh kekeluargaan. Saat itu sebagian besar penduduk Jawa Barat masih belum
mengenal Islam. Wilayah tersebut termasuk dalam kekuasaan pengaruh orang Hindu,
Banten, dan Kerajaan Pajajaran. Karenanya atas izin Raden Trenggono, akhirnya
dikirimlah suatu ekspedisi menuju Banten di bawah pimpinan Falatehan yang
bertujuan menyiarkan agama Islam di sana. Penguasa setempat, Pucuk Umum,
menyerahkan dengan sukarela penguasaan wilayah Banten yang kemudian menjadi
cikal bakal Kesultanan Banten. Kegigihan dan kerja keras anggota ekspedisi itu
berbuah hasil. Beberapa lama kemudian, sebagian besar wilayah Sunda Kelapa juga
dapat dikuasai Falatehan. Kontrol penuh diberlakukan pada dua wilayah tersebut.
Sehingga ketika bangsa Portugis berlabuh di Sunda Kelapa, mereka langsung
diusir oleh Falatehan. Tahun 1527, Fransisco De Sa berhasil dipukul mundul oleh
Falatehan, dengan menderita kerugian cukup besar. Ini memaksa orang-orang
Portugis kembali ke Malaka. Satu tahun kemudian, wilayah Cirebon jatuh ke
tangan Falatehan.
Dengan demikian Banten, Sunda
Kelapa, dan Cirebon berada di bawah kekuasanaan Falatehan secara penuh.
Falatehan yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati, merintis
jalur perhubungan di pantai utara Jawa Barat, dan sepanjang pesisir utara sejak
dari Banten-Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara, Kudus, Tuban, dan juga Gresik
berada di bawah kekuasaan Islam. Sejak itu Sunan Gunung Jati tidak lagi tinggal
di Demak, melainkan menetap di Cirebon hingga akhir hayatnya. Meski beliau
berhasil meng-Islam-kan beberapa daerah di Jawa Barat, namun kekuasaan
tertinggi tetap berada di tangan Demak. Sesudah Trenggono wafat, barulah Sunan
Gunung Jati memisahkan diri dari ikatan Kerajaan Demak. Sunan Gunung Jati,
Falatehan atau Fatahillah, menurut beberapa ahli sejarah, berasal dari Pasai,
sebelah utara Aceh. Namun ada juga yang mengatakan, beliau mempunyai darah
keturunan Persia. Beberapa yang lain menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah
putra dari Raja Makkah (Arab) yang menikah dengan putri kerajaan Pajajaran
(Sunda). Ada yang memperkirakan Sunan Gunung Jati lahir tahun 1448 M. Ibunya
adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran, Raden Manah Rarasa.
Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir
keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Di samping itu, Sunan Gunung jati
mempunyai banyak nama, di antaranya Muhammad Nurudin, Syekh Nurullah, Sayyid
Kamil, Bulqiyah, Syekh Madzkurullah, Syarif Hidayatullah, Makdum Jati. Sedang
menurut babad-babad (cerita), nama asli Sunan Gunung Jati sangatlah panjang,
yaitu Syekh Nuruddin Ibrahim Ibnu Israil, Syarif Hidayatullah, Said Kamil,
Maulana Syekh Makdum Rahmatullah. Mengenai nama Sunan Gunung Jati, menurut
dugaan Prof Hoesin Djajadiningrat, yang dimaksudkan dengan Falatehan,
kemungkinan berasal dari bahasa Arab Fatkhan, dari kata Fath. Hal ini mengingat
bahwa dalam tahun 1919 ada seorang naib dari kawedanan Singen Lor, di Semarang
yang bernama Haji Mohammad Fathkan.
Menurut penyelidikan Dr BJO
Schrieke, salah seorang orientalis Barat yang terkenal, mengatakan bahwa nama
Falatehan itu mungkin berasal dari perkataan Arab: Fatahillah. Banyak kisah
yang kadang tak masuk akal dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Di antaranya
bahwa beliau pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu
bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaiman.
(Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii). Syarif Hidayatullah mendalami ilmu
agama sejak usia 14 tahun. Pendidikan agama didapatnya dari para ulama Mesir.
Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro
Demak, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan
Pakungwati. Tercatat Sunan Gunung Jati merupakan satu-satunya wali songo yang
pernah memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya
sebagai putra raja untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman
Pasundan atau Priangan. Beliau menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas
dalam menyampaikan dakwahnya. Kendati demikian, ia juga mendekati rakyat dengan
cara membangun infrastruktur berupa jalan yang menghubungkan antarwilayah. Pada
usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk menekuni dakwah.
Kekuasaan dilimpahkan kepada Pangeran Pasarean. Berdasarkan catatan sejarah,
Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon) tahun
1589. Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer
sebelum kota Cirebon arah barat.
Diolah dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment