Sebab dan akibat merupakan
kelanjutan peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain yang berurutan dalam
dimensi waktu. Peristiwa yang pertama disebut sebab, dan peristiwa berikutnya
disebut akibat. Jadi peristiwa pertama dianggap menimbulkan peristiwa
berikutnya. Misalnya cangkir jatuh lalu pecah. Jatuh dinamakan sebab, sedangkan
pecah dinamakan akibat. Jadi si jatuh dianggap menimbulkan si pecah. Sebab dan
akibat adalah sesuatu yang abstrak, artinya tidak dapat ditangkap oleh
pancaindera. Yang dapat ditangkap oleh pancaindera adalah si jatuh dan si
pencah. Jadi sebab dan akibat tidak terdapat dalam barang (benda), tetapi
terdapat dalam pengertian atau rasa. Oleh karena yang dapat mengerti dan merasa
adalah orang, maka sebab dan akibat terdapat dalam orang. Jadi sebab dan akibat
adalah rasa orang yang menghubungkan peristiwa yang satu dengan peristiwa yang
lain. Jadi sebab dan akibat adalah tindakan orang yang menyatukan peristiwa
yang satu dengan peristiwa yang lain. Jika demikian sebab dan akibat merupakan
satu hal tetapi wujudnya dua kejadian.
Agar lebih jelas diberikan contoh
sebagai berikut: Misalnya buah mangga jatuh di tanah kemudian tumbuh jadi pohon
mangga. Melihat kejadian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa di dalam buah
mangga tersebut sudah ada benih pohon mangga. Jika di dalam buah mangga tidak
ada benih pohon mangga, maka buah mangga tidak akan tumbuh menjadi pohon
mangga. Pohon mangga jika sudah dewasa menghasilkan buah mangga. Melihat
kejadian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa di dalam pohon mangga sudah
ada benih buah mangga. Jika di dalam tidak ada benih buah mangga, pohon mangga
tidak dapat berbuah mangga. Dalam peristiwa tersebut di atas terjadi peristiwa
silih berganti antara buah mangga, pohon mangga, buah mangga, pohon mangga dan
seterusnya. Apabila sebab dan akibat dikira dua hal akan timbul pertanyaan,
"Manakah yang lebih dulu buah mangga atau pohon mangga?" Jika orang
mengerti bahwa sebab dan akibat itu merupakan satu hal, maka dua kejadian
tersebut, yaitu buah mangga dan pohon mangga merupakan dua wujud yang
sebetulnya satu hal yaitu sebab dan akibat.
Jika sebab dan akibat dikira
merupakan dua hal, orang akan bingung, sebab orang akan menjadi senang kepada
akibatnya tetapi benci kepada sebabnya atau benci akibatnya tetapi senang akan
sebabnya. Misalnya bab kaya. Kaya yang dimaksud di sini bukan karena mendapat
undian uang banyak atau mendapat warisan banyak dari orang tua, tetapi dari
hasil usaha sendiri. Kaya adalah akibat yang disebabkan oleh karena rajin dan
hemat. Jika sebab dan akibat dikira merupakan dua hal, maka orang akan senang
menjadi kaya tetapi benci kepada rajin dan hemat, atau mengejar kaya tetapi
menghindari rajin dan hemat. Mengejar kaya tetapi menghindari rajin dan hemat
adalah cita-cita yang tidak mungkin tercapai, sama halnya dengan kucing yang
mengejar ekornya. Sama pula halnya dengan benci dan menghindari miskin, tetapi
senang dan mengejar malas dan boros. Malahan malas dan boros itu menjadi
cita-cita. Cita-cita malas itu dalam hatinya berkata, "Kalau aku kaya tidak
akan bekerja." Rasa demikian itu adalah rasa miskin. Meskipun kerja keras,
tetapi jika rasanya malas, orang hanya akan mengejar akibat, yaitu kaya dan
merasa tidak senang kerja keras. Demikian pula jika boros menjadi cita-cita.
Boros adalah kebalikan dari hemat. Hemat berarti memelihara barang-barang
kebutuhan hidupnya dengan baik sedang boros berarti memelihara barang-barang
kebutuhan hidupnya kurang baik. Rasa hemat disebabkan karena mengerti kebutuhan
hidup. Meskipun kaya, orang sering tidak mengerti akan kebutuhan hidupnya
sehingga salah menggunakan kekayaannya yaitu dipergunakan untuk mencari
kehormatan dan kekuasaan. Jika barang-barang digunakan untuk kehormatan dan
kekuasaan, orang tidak merasa cukup dan merasa miskin sebab orang akan
berebutan barang-barang untuk kehormatan dan kekuasaan. Jadi apabila
barang-barang digunakan untuk kebutuhan hidup, kebutuhan raga (jasmani), orang
akan merasa cukup dan apabila digunakan untuk kebutuhan jiwa, kehormatan dan
kekuasaan, tidak akan merasa cukup. Jadi rajin adalah rasa senang bekerja tanpa
mengharapkan akibatnya, sebab orang sudah jelas akan akibatnya seperti seorang
tukang kayu yang membuat meja dari kayu. Jika semua sarana dan pengetahuannya
sudah siap, tukang kayu tersebut segera bekerja tidak mengharapkan akibatnya,
sebab mengerti bahwa akibat dari perbuatannya, meja tersebut tentu akan jadi.
Jika mengerti bahwa sebab dan akibat
merupakan satu hal, orang akan bebas dari rasa mengejar akibat, seperti halnya
orang makan tidak mengejar kenyang, sebab sudah mengerti bahwa kenyang tentu
akan terjadi jika makan banyak. Jadi kebebasan tersebut terjadi karena
mengerti. Bebas dari rasa mengejar akibat, menyebabkan orang melihat rasa
sendiri yang mengejar akibat dalam berbagai macam hal. Padahal rasa mengejar
akibat tersebut menimbulkan perang batin. Oleh karena itu perang batin akan
lenyap jika rasa mengejar akibat ketahuan sebelumnya. Orang ingin damai dan
tidak bertengkar dengan orang lain. Jika tidak mengerti rasa bertengkar atau
rasa damai dan jika tidak mengerti bahwa sebab dan akibat merupakan satu hal,
orang akan mencari damai dengan cara kekerasan. Mencari damai dengan kekerasan
inilah yang menyebabkan orang memaksa anaknya agar senang damai dengan cara
dimarahi atau dipukul, atau orang yang ingin damai dengan orang lain dengan
cara mengejek orang lain, atau golongan yang satu ingin damai dengan golongan
yang lain dengan cara mengancam, atau bangsa yang ingin damai dengan bangsa
lain dengan cara mengebom. Padahal memarahi, memukul, mengejek, mengancam
ataupun mengebom adalah bertengkar, bukan damai. Demikianlah juga orang
bertengkar dengan pendapatnya sendiri atau yang dinamakan perang batin.
Sumber :
http://reocities.com/SouthBeach/Tidepool/1029/sda.htm
No comments:
Post a Comment