Berdirinya Kerajaan Aceh






Kerajaan Aceh Darussalam dibangun diatas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra dan Kerajaan Indra Pura. Dari penemuan batu-batu nisan di Kampung Pande yang salah satunya adalah batu nisan Sultan Firman Syah cucu dari Sultan Johan Syah diperoleh keterangan bahwa Banda Aceh adalah ibukota Kerajaan Aceh Darussalam yang dibangun pada hari Jum'at, tanggal 1 Ramadhan 601 H ( 22 April 1205 M) yang dibangun oleh Sultan Johan Syah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri. Tentang Kota Lamuri ada yang mengatakan ia adalah Lam Urik sekarang terletak di Aceh Besar. Menurut Dr. N.A. Baloch dan Dr. Lance Castle yang dimaksud dengan Lamuri adalah Lamreh di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya sekarang).

Sedangkan Istananya dibangun di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande sekarang ini dengan nama "Kandang Aceh". Dan pada masa pemerintahan cucu Sultan Alaidin Mahmud Syah, dibangun istana baru di seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama Kuta Dalam Darud Dunia (dalam kawasan Meligoe Aceh atau Pendopo Gubernur sekarang) dan beliau juga mendirikan Mesjid Djami Baiturrahman pada tahun 691 H. Banda Aceh Darussalam sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam dan kini merupakan ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah berusia 803 tahun (tahun 2008 M) dan merupakan salah satu kota Islam tertua di Asia Tenggara. Seiring dengan perkembangannya Kerajaan Aceh Darussalam dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami masa gemilang dan masa-masa suram yang menggentirkan. Adapun masa gemilang Kerajaan Aceh Darussalam yaitu pada masa pemerintahan "Sultan Alaidin Ali Mughayat Syah, Sultan Alaidin Abdul Qahhar (Al Qahhar), Sultan Alaidin Iskandar Muda Meukuta Alam dan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin". Sedangkan masa percobaan berat, pada masa Pemerintahan Ratu yaitu ketika golongan oposisi "Kaum Wujudiyah" menjadi kalap karena berusaha merebut kekuasaan menjadi gagal, maka mereka bertindak liar dengan membakar Kuta Dalam Darud Dunia, Mesjid Djami Baiturrahman dan bangunan-bangunan lainnya dalam wilayah kota. Kemudian Banda Aceh Darussalam menderita penghancuran pada waktu pecah "Perang Saudara" antara Sultan yang berkuasa dengan adik-adiknya, peristiwa ini dilukiskan oleh Teungku Dirukam dalam karya sastranya, Hikayat Pocut Muhammad.

Masa yang amat getir dalam sejarah Banda Aceh Darussalam pada saat terjadi Perang Di jalan Allah selama 70 tahun yang dilakukan oleh Sultan dan rakyat Aceh sebagai jawaban atas "ultimatum" Kerajaan Belanda yang bertanggal 26 Maret 1837. Dan yang lebih luka lagi setelah Banda Aceh Darussalam menjadi puing dan diatas puing kota Islam yang tertua di Nusantara ini. Belanda mendirikan Kutaraja sebagai langkah awal dari usaha penghapusan dan penghancuran kegemilangan Kerajaaan Aceh Darussalam dan ibukotanya Banda Aceh Darussalam. Sejak itu ibukota Banda Aceh Darussalam diganti namanya oleh Gubernur Van Swieten ketika penyerangan Agresi ke-2 Belanda pada Kerajaan Aceh Darussalam tanggal 24 Januari 1874 setelah berhasil menduduki Istana/Keraton yang telah menjadi puing-puing dengan sebuah proklamasinya yang berbunyi: Bahwa Kerajaan Belanda dan Banda Aceh dinamainya dengan Kutaraja, yang kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal di Batavia dengan beslit yang bertanggal 16 Maret 1874, semenjak saat itu resmilah Banda Aceh Darussalam dikebumikan dan diatas pusaranya ditegaskan Kutaraja sebagai lambang dari Kolonialisme. Pergantian nama ini banyak menimbulkan pertentangan di kalangan para tentara Kolonial Belanda yang pernah bertugas dan mereka beranggapan bahwa Van Swieten hanya mencari muka pada Kerajaan Belanda karena telah berhasil menaklukkan para pejuang Aceh dan mereka meragukannya.

Awal Penetapan Kota Banda Aceh Setelah 89 tahun nama Banda Aceh Darussalam telah dikubur dan Kutaraja dihidupkan, maka pada tahun 1963 Banda Aceh dihidupkan kembali, hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43. Dan semenjak tanggal tersebut resmilah Banda Aceh menjadi nama ibukota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan bukan lagi Kutaraja hingga saat ini. Sejarah duka Banda Aceh ketika bencana gempa dan tsunami melanda Aceh pada hari Minggu tanggal 26 Desember 2004 jam 7.58.53 telah menghancurkan sepertiga wilayah Banda Aceh. Ratusan ribu jiwa penduduk menjadi korban bersama dengan harta bendanya menjadi mimpi buruk bagi warga Banda Aceh. Bencana gempa dan tsunami dengan kekuatan 8,9 SR tercatat sebagai peristiwa sejarah terbesar di dunia dalam masa dua abad terakhir ini. Kini Banda Aceh telah mulai pulih kembali, kedamaian telah menjelma setelah perjanjian damai di Helsinki antara pemerintah RI dan GAM seiring dengan proses rehabilitasi dan rekontruksi Banda Aceh yang sedang dilaksanakan.

Pemerintah Aceh kembali membangun Banda Aceh yang dilakukan oleh pemerintah pusat melalui Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh dan Nias (BRR) serta bantuan dari badan-badan dunia dan berbagai Negara Donor bersama lembaga asing maupun lokal. Pemerintah Aceh juga telah menetapkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang disepakati bersama DPRD Aceh yang dituangkan dalam Rencana Strategis Kota Banda Aceh tahun 2005-2009, selanjutnya dituangkan dalam program kegiatan tahunan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Banda Aceh. Dengan kedamaian yang telah diraih ini dan melalui proses rehabilitasi dan reknstruksi, Banda Aceh mulai bangkit kembali, cahaya terang membawa harapan untuk meraih cita-cita bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

Sumber: bandaacehkota.go.id

Sejarah Cirebon





Kisah asal-usul Cirebon dapat ditemukan dalam historiografi tradisional yang ditulis dalam bentuk manuskrip (naskah) yang ditulis pada abad ke-18 dan ke-19. Naskah-naskah tersebut dapat dijadikan pegangan sementara sehingga sumber primer ditemukan. Diantara naskah-naskah yang memuat sejarah awal Cirebon adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad Walangsungsang, dan lain-lain. Yang paling menarik adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para Bupati Priangan dengan VOC antara tahun 1706-1723. Dalam naskah itu pula disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah “sarumban”, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi “Carbon”, berubah menjadi kata “Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “Cirebon”.

Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai “Pusat Jagat”, negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya “Negeri Gede”. Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi “Garage” dan berproses lagi menjadi “Grage”. Menurut P.S. Sulendraningrat, penanggung jawab sejarah Cirebon, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabumi alias Cakrabuana. Kata “Cirebon” berdasarkan kiratabasa dalam Bahasa Sunda berasal dari “Ci” artinya “air” dan “rebon” yaitu “udang kecil” sebagai bahan pembuat terasi. Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa dari dahulu hingga sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik. Berbagai sumber menyebutkan tentang asal-usul Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Cirebon.

Dalam sumber lokal yang tergolong historiografi, disebutkan kisah tentang Ki Gedeng Sedhang Kasih, sebagai kepala Nagari Surantaka, bawahan Kerajaan Galuh. Ki Gedeng Sedhang Kasih, adik Raja Galuh, Prabu Anggalarang, memiliki puteri bernama Nyai Ambet Kasih. Puterinya ini dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa, putra Prabu Anggalarang. Karena Raden Pamanah Rasa memenangkan sayembara lalu menikahi puteri Ki Gedeng Tapa yang bernama Nyai Subanglarang, dari Nagari Singapura, tetangga Nagari Surantaka. Dari perkawinan tersebut lahirlah tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang dan Raja Sangara. Setelah ibunya meninggal, Raden Walangsungsang serta Nyai Lara Santang meninggalkan Keraton, dan tinggal di rumah Pendeta Budha, Ki Gedeng Danuwarsih. Puteri Ki Gedeng Danuwarsih yang bernama Nyai Indang Geulis dinikahi Raden Walangsungsang, serta berguru Agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi. Raden Walangsungsang diberi nama baru, yaitu Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari tanah suci diganti nama menjadi Haji Abdullah Iman. Atas anjuran gurunya, Raden Walangsungsang membuka daerah baru yang diberi nama Tegal Alang-alang atau Kebon Pesisir.

Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini “Caruban”, artinya campuran. Bukan hanya etnis yang bercampur, tapi agama juga bercampur. Atas saran gurunya, Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama adiknya, Nyai Lara Santang. Di Tanah Suci inilah, adiknya dinikahi Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putera Nurul Alim. Nyai Lara Santang berganti nama menjadi Syarifah Mudaim. Dari perkawinan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati. Dilihat dari Genealogi, Syarif Hidayatullah yang nantinya menjadi salahseorang Wali Sanga, menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad. Sesudah adiknya kawin, Ki Samadullah atau Abdullah Iman pulang ke Jawa. Setibanya di tanah air, mendirikan Masjid Jalagrahan, dan membuat rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki Danusela meninggal Ki Samadullah diangkat menjadu Kuwu Caruban dan digelari Pangeran Cakrabuana. Pakuwuan ini ditingkatkan menjadi Nagari Caruban larang. Pangeran Cakrabuana mendapat gelar dari ayahandanya, Prabu Siliwangi, sebagai Sri Mangana, dan dianggap sebagai cara untuk melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana. Setelah berguru di berbagai negara, kemudian berguru tiba di Jawa. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya disarankan untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Syarif Hidayatullah pergi ke Caruban Larang dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Syarif Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa Sembung-Pasambangan, dekat Amparan Jati, dan mengajar Agama Islam, menggatikan Syekh Datuk Kahfi. Syekh Jati juga mengajar di dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya dengan Nyai Babadan Puteri Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya meninggal, Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati, puteri Pangeran Cakrabuana, disamping menikahi Nyai Lara Bagdad, puteri sahabat Syekh Datuk Kahfi. Syekh Jati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam di sana.

Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten, lahirlah Pangeran Saba Kingkin, kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin pendiri Kerajaan Banten. Sementara itu Pangeran Cakrabuana meminta Syekh Jati menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullah pun kembali ke Caruban. Di Cirebon ia dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sejak tahun 1479 itulah, Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat Kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon. Pada awal abad ke-16 Cirebon dikenal sebagai kota perdagangan terutama untuk komoditas beras dan hasil bumi yang diekspor ke Malaka. Seorang sejarawan Portugis, Joao de Barros dalam tulisannya yang berjudul Da Asia bercerita tentang hal tersebut. Sumber lainnya yang memberitakan Cirebon periode awal, adalah Medez Pinto yang pergi ke Banten untuk mengapalkan lada. Pada tahun 1596, rombongan pedagang Belanda dibawah pimpinan Cornellis de Houtman mendarat di Banten. Pada tahun yang sama orang Belanda pertama yang datang ke Cirebon melaporkan bahwa Cirebon pada waktu itu merupakan kota dagang yang relatif kuat yang sekelilingnya dibenteng dengan sebuah aliran sungai. Sejak awal berdirinya, batas-batas wilayah Kesultanan Cirebon termasuk bermasalah.

Hal ini disebabkan, pelabuhan Kerajaan Sunda, yaitu Sundakalapa berhasil ditaklukan. Ketika Banten muncul sebagai Kesultanan yang berdaulat ditangan putra Susuhunan Jati, yaitu Maulana Hasanuddin, masalahnya timbul, apakah Sunda Kalapa termasuk kekuasaan Cirebon atau Banten? Bagi Kesultanan Banten, batas wilayah ini dibuat mudah saja, dan tidak pernah menimbulkan konflik. Hanya saja pada tahun 1679 dan 1681, Cirebon pernah mengklaim daerah Sumedang, Indramayu, Galuh, dan Sukapura yang saat itu dipengaruhi Banten, sebagai wilayah pengaruhnya. Pada masa Panembahan Ratu, perhatian lebih diarahkan kepada penguatan kehidupan keagamaan. Kedudukannya sebagai ulama, merupakan salah satu alasan Sultan Mataram agak segan untuk memasukkan Cirebon sebagai daerah taklukan. Wilayah Kesultanan Cirebon saat itu meliputi Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kabupaten dan Kotamadya Cirebon sekarang. Ketika Panembahan Ratu wafat, tahun 1649 ia digantikan oleh cucunya Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II. Dari perkawinannya dengan puteri Sunan Tegalwangi, Panembahan Girilaya memiliki 3 anak, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Sejak tahun 1678, di bawah perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon terbagi tiga, yaitu pertama Kesultanan Kasepuhan, dirajai Pangeran Martawijaya, atau dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kedua Kesultanan Kanoman, yang dikepalai oleh Pangeran Kertawijaya dikenal dengan Sultan Anom I dan ketiga Panembahan yang dikepalai Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon I.

Kota Cirebon tumbuh perlahan-lahan. Pada tahun 1800 Residen Waterloo mencoba membuat pipa saluran air yang mengalir dari Linggajati, tetapi akhirnya terbengkalai. Pada tahun 1858, di Cirebon terdapat 5 buah toko eceran dua perusahaan dagang. Pada tahun 1865, tercatat ekspor gula sejumlah 200.000 pikulan (kuintal), dan pada tahun 1868 3 perusahaan Batavia yang bergerak di bidang perdagangan gula membuka cabangnya di Cirebon. Pada tahun 1877, di sana sudah berdiri pabrik es, dan pipa air minum yang menghubungkan sumur-sumur artesis dengan perumahan dibangun pada tahun 1877. Pada awal abad ke-20, Cirebon merupakan salahsatu dari lima kota pelabuhan terbesar di Hindia Belanda, dengan jumlah penduduk 23.500 orang. Produk utamanya adalah beras, ikan, tembakau dan gula.

Sumber : Nina H. Lubis (ed.), Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, http://sundaislam.wordpress.com/2008/04/03/sejarah-cirebon/

Sejarah Etnis Aceh





Pada waktu masih sebagai sebuah kerajaan, yang dimaksud dengan Aceh adalah wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Aceh Besar, yang di dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk, yaitu salah satu kabupaten atau daerah tingkat II di Nanggroe Aceh Darussalam. Semasa masih sebagai kerajaan, Aceh Rayeuk (Aceh Besar) merupakan inti Kerajaan Aceh (Aceh proper) dan telah menyebarkan sebagian penduduknya ke daerah- daerah lain di sekitarnya (daerah takluk) yang oleh Belanda dinamakan Onderhorigheden. Sebutan Aceh juga digunakan oleh orang-orang di daerah takluk di luar Aceh Rayeuk (Aceh Besar) dalam wilayah Kerajaan Aceh untuk menyebut nama ibukota kerajaan yang sekarang bernama Banda Aceh. Mereka yang mendiami pesisir Timur seperti Pidie, Aceh Utara hingga Aceh Timur, dan Pesisir Barat dan Selatan, jika mau ke ibukota kerajaan (Banda Aceh) mengatakan mau pergi ke Aceh. Sebutan ini masih ada yang menggunakannya sampai sekarang.

Selain sebagai nama daerah, Aceh juga merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai penduduk asli yang mendiami Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam. Di Provinsi Nanggroe Aceh Drussalam sekarang terdapat 20 daerah tingkat II yang didiami oleh delapan kelompok etnis, yaitu etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Semua etnis ini adalah penduduk asli yang dalam istilah Belanda disebut inlander (penduduk pribumi). Hingga saat ini belum ada satu kepastian konkret mengenai asal muasal dan kapan istilah Aceh mulai digunakan karena data yang dapat memberi kesimpulan tentang asal muasal etnis Aceh tersebut tidak ditemukan. Infromasi atau sumber yang berasal dari orang Aceh sendiri tentang hal ini masih berupa kisah-kisah popular yang disampaikan secara turun-temurun (berupa tradisi lisan) yang sulit untuk dipertanggungjawabkan kebenarannya. Para pendatang luar (orang-orang asing) yang pernah mengunjungi Aceh sewaktu masih sebagai sebuah kerajaan menyebutkan dengan nama beragam.

Orang Portugis misalnya menyebut dengan nama Achen dan Achem, orang Inggris menyebut Achin, orang Perancis menamakan Achen dan Acheh, orang Arab menyebut Asyi, sementara orang Belanda menamakan Atchin dan Acheh. Orang Aceh sendiri menyebut dirinya dengan nama Ureung Aceh (orang Aceh). Memang terdapat beberapa sumber yang menginformasikan tentang asal muasal nama Aceh dan etnis Aceh, namun sumber-sumber tersebut bersifat mistis atau dongeng, meskipun ada juga yang dikutip oleh para penulis asing seperti penulis-penulis Belanda. K.F.H Van Langen dalam salah satu karyanya tentang Aceh berjudul De Inrichting Van het Atjehsche Staatbestuur Onder het Sultanaat (Susunan Pemerintah Aceh Semasa Kesultanan) yang dimuat dalam BKI 37 (1888) serta juga yang dikutip dari Laporan Gubernur Aceh dan Daerah Takluknya yang diterima sebagai Lampiran Surat Sekretaris Pemerintahan Umum tertanggal 30 Juni 1887 No. 956 dimuat dalam majalah TBG (1889) dengan judul Lets Omtrent de Oosprong Van Het Atjesche Volk en den Toestand Onder het Voormalig Sultanaat in Atjeh (Serba-serbi Tentang Asal-Usul Bangsa Aceh dan Keadaan Pada Masa Pemerintahan Kesultanaan di Aceh). Disebutkan bahwa menurut cerita-cerita rakyat, penduduk asli Aceh disebut ureueng manteue yang didominasi oleh orang-orang Batak dan juga etnis Gayo. Mereka termasuk dalam keluarga besar Melayu yang asal-usulnya juga belum diketahui secara pasti. Untuk menguatkan pendapat ini, dijelaskan bahwa di dalam adat Batak dan Gayo masih terdapat unsur-unsur dan kata-kata yang juga dijumpai dalam bahasa Aceh, meskipun dengan ucapan yang telah berubah di samping unsur-unsur formatif bahasa Batak dan Gayo.

Ada pula yang memperkirakan bahwa etnis Aceh sebagian besar berasal dari Campa, seperti yang diutarakan oleh C. Snouck HurgronjeJudul pranala dalam karyanya The Atjehers (orang-orang Aceh). Hal ini dapat dilihat dari segi bahasa. Bahasa Aceh menunjukkan banyak persamaan dengan bahasa yang digunakan oleh bangsa Mon Khmer, penduduk asli Kamboja, baik dari segi tata bahasa maupun dalam peristilahannya. Seorang ulama Aceh terkenal pada abad XIX , yaitu Teungku Kutakarang yang popular dengan sebutan Teungku Chik Kutarakarang (meninggal 1895) dalam karyanya Tadhkirat al Radikin menyebutkan bahwa orang Aceh terdiri atas tiga pencampuran darah yaitu Arab, Persi, dan Turki. Teungku Chik Kutakarang tidak menyebutkan adanya pencampuran dengan suku-suku bangsa lain seperti India dan lainnya.

Pendapat yang lebih masuk akal dikemukakan oleh Julius Jacob, seorang sarjana Belanda dalam karyanya Het Familie en Kampongleven Op Groot Atjeh (1894) (Kehidupan Kampung dan Keluarga di Aceh Besar). Di sini Jakob mengatakan bahwa orang Aceh adalah suatu anthropologis mixtum, suatu percampuran darah yang berasal dari pelbagai suku bangsa pendatang. Ada yang berasal dari Semenanjung Melayu, Melayu-Minangkabau, Batak, Nias, India, Arab, Habsyi, Bugis, Jawa, dan sebagainya. Dapat disebutkan pula bahwa sultan-sultan terakhir yang memerintah di Kerajaan Aceh secara berturut-turut semenjak Sultan Alaidin Ahmadsyah (1727) sampai dengan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874) dan yang terakhir Sultan Muhammad Daudsyah (1874-1903) adalah berasal dari Bugis. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa berdasarkan asal-usulnya, etnis Aceh dibagi ke dalam empat kawom (kaum) atau sukee (suku). Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Alaaidin Al-Kahar (1530-1552).

Keempat kawom atau sukee tersebut, yaitu : Kawom atau sukee lhee reutoh (kaum atau suku tiga ratus). Mereka berasal dari orang-orang Mante-Batak sebagai penduduk asli. Kawom atau sukee imuem peut (kaum atau suku imam empat). Mereka berasal dari orang-orang Hindu atau India sebagai pendatang. Kawom atau sukee tol Batee (kaum atau suku yang mencukupi batu). Mereka bersal dari berbagai etnis, pendatang dari baerbagai tempat. Kawom atau sukee Ja Sandang (kaum atau suku penyandang). Mereka adalah para imigran Hindu yang telah memeluk agama Islam. Pada awalnya, akibat asal-usul yang berbeda, keempat kawom ini seringkali terlibat dalam konflik internal. Kawom-kawom ini sampai sekarang masih merupakan dasar masyarakat Aceh dan solidaritas sesame kawom cukup tinggi.

Mereka loyal kepada pimpinannya. Semua keputusan atau tindakan yang akan diambil selalu melibatkan pimpinan dan orang-orang yang dituakan dalam kawom-kawom tersebut. Sesungguhnya etnis Aceh sebagai suatu identitas politik dan budaya mulai terbentuk semenjak awal abad XVI. Hal ini ditandai dengan terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayatsyah (lebih kurang 1514). Pembentukan ini diawali dengan adanya dinamika internal dalam masyarakat Aceh, yaitu terjadinya penggabungan beberapa kerajaan kecil yang ada di Aceh Rayeuk yang dilanjutkan dengan penyatuan Kerajaan Pidie, Pasai, Perlak, dan Daya ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Selanjutnya, pertumbuhan dan pengembangan kerajaan ini ditentukan pula oleh faktor eksternal karena eksodusnya pada pedagang muslim dari Malaka ke ibukota Kerajaan Aceh, setelah ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511, dan juga berubahnya rute perdagangan para pedagang muslim dari jalur Selat Malaka ke Jalur Pantai Barat Sumatera. Keadaan ini menyebabkan ibukota Kerajaan Aceh (Banda Aceh) menjadi berkembang dan penduduknya menjadi lebih kosmopolitan.

Sumber : nad.go.id

Serat darmagandhul





Serat Darmagandhul adalah suatu karya Sastra Jawa Baru berbentuk puisi tembang macapat yang menceritakan jatuhnya Majapahit karena serbuan tentara Demak yang dibantu oleh Walisongo. Darmagandhul ditulis oleh Ki Kalamwadi, dengan waktu penulisan hari Sabtu Legi, 23 Ruwah 1830 Jawa (atau sangkala Wuk Guneng Ngesthi Nata, sama dengan 16 Desember 1900). Sebagian ada yang berpendapat bahwa pengarang sesungguhnya adalah Ronggowarsito dengan nama samaran Kalamwadi, yang dalam bahasa Jawa dapat pula berarti kabar (kalam) yang dirahasiakan (wadi). Karya ini ditulis dalam bentuk dialog yang terjadi antara Ki Kalamwadi dan muridnya Darmagandhul. Namun teori itu mudah terbantah, karena Ronggowarsito telah meninggal 29 tahun sebelumnya.

Dialog diawali dari pertanyaan Darmagandhul kepada gurunya mengenai kapan terjadinya perubahan agama di Jawa. Disebutkan bahwa Ki Kalamwadi kemudian memberikan keterangan-keterangan berdasarkan penjelasan dari gurunya, yang bernama Raden Budi. Cerita dan ajaran yang diuraikan oleh Ki Kalamwadi memuat berbagai hal; antara lain jatuhnya kerajaan Majapahit, berbagai peranan Walisongo dan tokoh-tokoh lainnya pada awal masa peralihan Majapahit-Demak, topik-topik dalam ajaran agama Islam, serta terjadinya benturan berbagai budaya baru dengan kepercayaan lokal masyarakat Jawa saat itu. Hampir seluruh isi Serat Darmagandul merupakan bentuk turunan dari cerita babad yang telah ada sebelumnya. Kitab yang dimaksud adalah Babad Kadhiri yang ditulis pada tahun 1832 oleh Mas Ngabehi Purbawijaya dan Mas Ngabehi Mangunwijaya. GWJ. Drewes, seorang orientalis Belanda, mengungkapkan bahwa Babad Kadhiri menyediakan tema utama dan ide bagi penulisan Serat Darmagandul. Meskipun demikian, ia mengungkapkan bahwa pengarang Darmagandul telah memoles karyanya agar tidak spesifik sama dengan kitab induk yang menginspirasinya, dengan memasukkan kisah-kisah Kristiani, seperti kisah Daud dengan Uria dan Absalom, pohon pengetahuan, dsb, serta memuji penjajah Belanda sebagai penyembah Tuhan yang benar dan lurus pengetahuannya. Pembagian isi Menurut versi KRT Tandhanagara[1], Suluk Darmagandhul memiliki 17 pupuh dalam 133 halaman, dengan perincian sebagai berikut:
Pupuh I
Pupuh II
Pupuh III
Pupuh IV
Pupuh V
Pupuh VI
Pupuh VII
Pupuh VIII
Pupuh IX
Pupuh X
Pupuh XI
Pupuh XII
Pupuh XIII
Pupuh XIV
Pupuh XV
Pupuh XVI
Pupuh XVII
Dhandhanggula : 58 bait
Asmaradana : 88 bait
Dhandhanggula : 52 bait
Pangkur : 86 bait
Sinom : 43 bait
Dhandhanggula : 42 bait
Sinom : 63 bait
Pangkur : 176 bait
Asmaradana : 33 bait
Dhandhanggula : 58 bait
Mijil : 74 bait
Kinanthi : 33 bait
Megatruh : 37 bait
Pocung : 25 bait
Asmaradana : 21 bait
Girisa : 15 bait
Kinanthi : 41 bait

Referensi
1.      ^ Tandhanagara, K.R.T., Surakarta, 1959. Carita Adêge Nagara Islam Ing Dêmak Bêdhahe Nagara Majapahit. "Sadu Budi", Sala.
Sumber diolah dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Serat_Darmagandhul"