Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari
pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan
kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun
menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah
Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi
pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa
sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain.
Jumlah santri yang begitu besar dan
berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan
kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yang menjadi
orang besar dan berjasa kepada bangsa Indonesia. Di antara mereka ada
yang menjadi kyai, ulama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah,
negarawan, pengusaha, dll. Sekadar menyebut sebagai contoh adalah Paku
Buana II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura; Raden Ngabehi
Ronggowarsito (wafat 1803), seorang Pujangga Jawa yang masyhur; dan
tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto (wafat 17 Desember 1934).
Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang Paku Buana II nyantri di Pondok Tegalsari.
Pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni 1742, di Kerajaan Kartasura
terjadi pemberontakan Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi
Susuhuhan Kuning, seorang Sunan keturunan Tionghoa. Serbuan yang
dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat
sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya. Karena itu Paku Buana II
bersama pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton
menuju ke timur Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu dia sampai di desa
Tegalsari. Di tengah kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan
Sunan Kuning itulah kemudian Paku Buana II berserah diri kepada Kanjeng
Kyai Hasan Besari. Penguasa Kartasura ini selanjutnya menjadi santri
dari Kyai wara` itu; dia ditempa dan dibimbing untuk selalu bertafakkur
dan bermunajat kepada Allah, Penguasa dari segala penguasa di semesta
alam.
Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam
beribadah dan berdoa serta berkat keikhlasan bimbingan dan doa Kyai
Besari, Allah swt mengabulkan doa Paku Buana II. Api pemberontakan
akhirnya reda. Paku Buana II kembali menduduki tahtanya. Sebagai balas
budi, Sunan Paku Buana II mengambil Kyai Hasan Besari menjadi
menantunya. Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal dengan sebutan
Yang Mulia Kanjeng Kyai Hasan Bashari (Besari). Sejak itu pula desa
Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang
bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.
Setelah
Kyai Ageng Hasan Bashari wafat, beliau digantikan oleh putra ketujuh
beliau yang bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya
digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Bashari II yang kemudian digantikan
oleh Kyai Hasan Anom. Demikianlah Pesantren Tegalsari
hidup dan berkembang dari generasi ke generasi, dari pengasuh satu ke
pengasuh lain. Tetapi, pada pertengahan abad ke-19 atau pada generasi
keempat keluarga Kyai Bashari, Pesantren Tegalsari mulai surut.
Alkisah, pada masa kepemimpinan Kyai
Khalifah, terdapat seorang santri yang sangat menonjol dalam berbagai
bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin, putera Panghulu Jamaluddin dan cucu
Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia sangat dekat dengan
Kyainya dan Kyai pun sayang kepadanya. Maka setelah santri Sulaiman
Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia diambil menantu
oleh Kyai dan jadilah ia Kyai muda yang sering dipercaya menggantikan
Kyai untuk memimpin pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan sang Kyai
akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk
mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor.
Masjid ini merupakan masjid paling ramai
dikunjungi para peziarah dan para jamaah pada saat malam-malam tertentu
diantaranya malam jum’at, malam lailatul qodr, malam-malam pada bulan
Ramadhan, malam-malam ujian semester dan ujian nasional, malam nisfu
sya’ban dan malam-malam yang dianggap bermustajab untuk berdoa bagi umat
muslim. Dari depan masjid ini terlihat biasa saja, bahkan lebih
sederhana jauh daripada Masjid Agung Ponorogo. Namun apabila kita duduk
di dalam masjid dengan selalu mengucap kalam ilahi, maka hati kita akan
terasa sangat sejuk, inilah kelebihan Masjid Tegalsari.
No comments:
Post a Comment