Rumah
Adat Banjar di Kalteng dan Kaltim
Kemudian bentuk
bangunan rumah ba-anjung ini tidak saja menyebar di daerah Kalimantan Selatan,
tetapi juga menyebar sampai-sampai ke daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan
Timur. Sekalipun bentuk rumah-rumah yang ditemui di daerah Kalimantan Tengah
dan Kalimantan Timur memiliki ukuran yang sedikit berbeda dengan rumah
Ba-anjung di daerah Banjar, namun bentuk bangunan pokok merupakan ciri khas
bangunan rumah adat Banjar tetap kelihatan. Di Kalimantan Tengah bentuk rumah
ba-anjung ini dapat dijumpai di daerah Kotawaringin Barat, yaitu di Pangkalan
Bun, Kotawaringin Lama dan Kumai. Menyebarnya bentuk rumah adat Banjar ke
daerah Kotawaringin ialah melalui berdirinya Kerajaan Kotawaringin yang
merupakan pemecahan dari wilayah Kerajaan Banjar ketika diperintah oleh Sultan Musta’inbillah.
Sultan Musta’inbillah memerintah sejak tahun 1650 sampai 1672, kemudian ia
digantikan oleh Sultan Inayatullah. Kerajaan Kotawaringin yang merupakan
pemecahan wilayah Kerajaan Banjar tersebut diperintah oleh Pangeran Dipati Anta
Kesuma sebagai sultannya yang pertama. Menyebarnya bentuk rumah adat Banjar
sampai ke daerah Kalimantan Timur disebabkan oleh banyaknya penduduk daerah
Banjar yang merantau ke daerah ini, yang kemudian mendirikan tempat tinggalnya
dengan bentuk bangunan rumah ba-anjung sebagaimana bentuk rumah di tempat asal
mereka. Demikianlah pada akhirnya bangunan rumah adat Banjar atau rumah adat
ba-anjung ini menyebar kemana-mana, tidak saja di daerah Kalimantan Selatan,
tetapi juga di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Kondisi
Rumah Adat Banjar
Akan tetapi sekarang
dapat dikatakan bahwa rumah ba-anjung atau rumah Bubungan Tinggi yang merupakan
arsitektur klasik Banjar itu tidak banyak dibuat lagi. Sejak tahun 1930-an
orang-orang Banjar hampir tidak pernah lagi membangun rumah tempat tinggal
mereka dengan bentuk rumah ba-anjung. Masalah biaya pembangunan rumah dan
masalah areal tanah serta masalah mode nampaknya telah menjadi pertimbangan
yang membuat para penduduk tidak mau membangun lagi rumah-rumah mereka dengan
bentuk rumah ba-anjung. Banyak rumah ba-anjung yang dibangun pada tahun-tahun
sebelumnya sekarang dirombak dan diganti dengan bangunan-bangunan bercorak modern
sesuai selera zaman. Tidak jarang dijumpai di Kalimantan Selatan si pemilik
rumah ba-anjung justru tinggal di rumah baru yang (didirikan kemudian)
bentuknya sudah mengikuti mode sekarang. Apabila sekarang ini di daerah
Kalimantan Selatan ada rumah-rumah penduduk yang memiliki gaya rumah adat
ba-anjung, maka dapatlah dipastikan bangunan tersebut didirikan jauh sebelum
tahun 1930. Untuk daerah Kalimantan Selatan masih dapat dijumpai beberapa rumah
adat Banjar yang sudah sangat tua umurnya seperti di Desa Sungai Jingah,
Kampung Melayu Laut di Melayu, Banjarmasin Tengah, Banjarmasin, Desa Teluk
Selong Ulu, Maratapura, Banjar, Desa Dalam Pagar), Desa Tibung, Desa Gambah
(Kandangan), Desa Birayang (Barabai), dan di Negara. Masing-masing rumah adat
tersebut sudah dalam kondisi yang amat memprihatinkan, banyak bagian-bagian
rumah tersebut yang sudah rusak sama sekali. Pemerintah sudah mengusahakan
subsidi buat perawatan bangunan-bangunan tersebut. Namun tidak jarang anggota
keluarga pemilik rumah menolak subsidi tersebut karena alasan-alasan tertentu ,
seperti malu atau gengsi. Karena merasa dianggap tidak mampu merawat rumahnya
sendiri. Bagaimanapun keadaan rumah-rumah tersebut, dari sisa-sisa yang masih
bisa dijumpai dapat dibayangkan bagaimana artistiknya bangunan tersebut yang
penuh dengan berbagai ornamen menarik.
Bagian
dan Konstruksi Rumah Tradisonal Banjar
Pondasi, Tiang dan Tongkat
Keadaan alam yang berawa-rawa di tepi sungai
sebagai tempat awal tumbuhnya rumah tradisional Banjar, menghendaki bangunan
dengan lantai yang tinggi. Pondasi, tiang dan tongkat dalam hal ini sangat
berperan. Pondasi sebagai konstruksi paling dasar, biasanya menggunakan kayu
Kapur Naga atau kayu Galam. Tiang dan tongkat menggunakan kayu ulin, dengan
jumlah mencapai 60 batang untuk tiang dan 120 batang untuk tongkat.
Kerangka
Kerangka rumah ini biasanya menggunakan ukuran
tradisional depa atau tapak kaki dengan ukuran ganjil yang dipercayai punya
nilai magis / sakral.
Bagian-bagian
rangka tersebut adalah :
susuk dibuat dari kayu Ulin.
Gelagar dibuat dari kayu Ulin, Belangiran,
Damar Putih. Lantai dari papan Ulin setebal 3 cm.
Watun
Barasuk dari balokan Ulin.
Turus
Tawing dari kayu Damar.
Rangka
pintu dan jendela dari papan dan balokan Ulin.
Balabad
dari balokan kayu Damar Putih.
Titian
Tikus dari balokan kayu Damar Putih.
Bujuran
Sampiran dan Gorden dari balokan Ulin atau Damar Putih.
Tiang Orong Orong dan Sangga Ributnya serta
Tulang Bubungan dari balokan kayu Ulin, kayu Lanan, dan Damar Putih.
Kasau
dari balokan Ulin atau Damar Putih. Riing dari bilah-bilah kayu Damar putih.
Lantai
Di samping lantai
biasa, terdapat pula lantai yang disebut dengan Lantai Jarang atau Lantai
Ranggang. Lantai Ranggang ini biasanya terdapat di Surambi Muka, Anjung Jurai
dan Ruang Padu, yang merupakan tempat pembasuhan atau pambanyuan. Sedangkan
yang di Anjung Jurai untuk tempat melahirkan dan memandikan jenazah. Biasanya
bahan yang digunakan untuk lantai adalah papan ulin selebar 20 cm, dan untuk
Lantai Ranggang dari papan Ulin selebar 10 cm.
Dinding
Dindingnya terdiri dari papan yang dipasang
dengan posisi berdiri, sehingga di samping tiang juga diperlukan Turus Tawing
dan Balabad untuk menempelkannya. Bahannya dari papan Ulin sebagai dinding
muka. Pada bagian samping dan belakang serta dinding Tawing Halat menggunakan
kayu Ulin atau Lanan. Pada bagian Anjung Kiwa, Anjung Kanan, Anjung Jurai dan
Ruang Padu, kadang-kadang dindingnya menggunakan Palupuh.
Atap
Atap bangunan biasanya menjadi ciri yang
paling menonjol dari suatu bangunan. Karena itu bangunan ini disebut Rumah
Bubungan Tinggi. Bahan atapnya terbuat dari sirap dengan bahan kayu Ulin atau
atap rumbia.
Ornamentasi (Ukiran)
Penampilan rumah
tradisional Bubungan Tinggi juga ditunjang oleh bentuk-bentuk ornamen berupa
ukiran. Penempatan ukiran tersebut biasanya terdapat pada bagian yang
konstruktif seperti tiang, tataban, pilis, dan tangga. Sebagaimana pada
kesenian yang berkembang dibawah pengaruh Islam, motif yang digambarkan adalah
motif floral (daun dan bunga). Motif-motif binatang seperti pada ujung pilis
yang menggambarkan burung enggang dan naga juga distilir dengan motif floral.
Di samping itu juga terdapat ukiran bentuk kaligrafi. Kaligrafi Arab merupakan
ragam hias yang muncul belakangan yang memperkaya ragam hias suku Banjar.
(Museum Lambung Mangkurat - Banjarbaru, "Rumah Tradisional Bubungan Tinggi
dan Kelengkapannya", 1992/1993)
Pengaruh Sistem Religi dan Sistem
Pengetahuan
Meskipun
orang Banjar sudah memeluk Islam, namun dalam kegiatan sehari-hari yang
sehubungan dengan kebudayaan masih melekat unsur aninisme, Hindu-Buddha yang
berkembang sebagai dasar adat pada masa lalu. Akan tetapi hal itu tidak secara
keseluruhan. Religi yang dianggap asal adalah dari Kaharingan yang dikembangkan
oleh orang Dayak. Pengaruh Hindu, Buddha, Islam maupun Kristen tidak berarti
kepercayaan nenek moyang dengan segala upacara religinya hilang begitu saja.
Orang-orang Dayak yang telah memeluk Islam dianggap sebagai Suku Bangsa Banjar
dan tidak lagi menganggap dirinya sebagai suku Dayak. Suku Banjar hampir semua
sendi keagamaanya didasarkan pada sentimen keagamaan yang bersumber pada ajaran
Islam. Jadi setiap setiap rumah tangga memiliki peralatan yang berhubungan
dengan pelaksanaan keagamaan. Demikian pula pada rumah tradisional Banjar
banyak dilengkapi dengan ukiran yang berkaitan dengan persaudaraan, persatuan,
kesuburan, maupun khat-khat kaligrafi Arab yang bersumber dari ajaran Islam
seperti dua kalimat syahadat, nama-nama Khalifah, Shalawat, atau ayat-ayat tertentu
dalam Al-Qur'an. Namun ukiran-ukiran di rumah Banjar juga masih ada yang
berhubungan dengan kepercayaan Kaharingan, Aninisme, Dinanisme, maupun
Hindu-Buddha, misalnya swastika, enggang, naga dan sebagainya
Cara Menentukan Ukuran Rumah Adat
Banjar
Cara
Menentukan Ukuran Rumah Adat Banjar dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1.
Panjang dan lebar rumah ditentukan
ukuran depa suami dalam jumlah ganjil. (Depdikbud, Brotomoeljono, Rumah
Tradisional Kalimantan Selatan, 1986 : 87)
2.
Dihitung dengan mengambil gelagar
pilihan, kemudian dihitungkan dengan perhitungan gelagar, geligir, gelugur.
Bila hitungannya berakhir dengan geligir atau gelugur maka itu pertanda tidak
baik sehingga harus ditutup dengan gelagar. Hitungan gelagar akan menyebabkan rumah
dan penghuninya mendapatkan kedamaian dan keharmonisan. (Depdikbud,
Brotomoeljono, Rumah Tradisional Kalimantan Selatan, 1986 : 87)
3.
Cara lain menurut Alfani Daud, MA. (1997
: 462); Ukuran panjang dan lebar rumah dilambangkan delapan ukuran lambang
binatang yaitu naga, asap, singa, anjing, sapi, keledai, gajah, gagak. Panjang
ideal dilambangkan naga dan lebarnya dilambangkan gajah.Yang tidak baik ialah
lambang binatang asap, anjing, keledai, atau gagak. (Jumlah) panjang depa
seseorang yang membangun rumah dibagi delapan mewakili binatang berturut-turut
seperti tersebut terdahulu. (Tiap depa dikalikan 12). Bila panjang rumah 6
depa, berarti 6 x 12 ukuran atau 72 ukuran, maka jika ukurannya dilambangkan
oleh binatang naga, haruslah ditambah 1/12 depa lagi. Untuk memperoleh ukuran
lambang gajah, panjang itu harus ditambah 7/12 depa atau dikurangi 1/12 depa.
(Alfani Daud, MA, Islam dan Masyarakat Banjar, 1997 : 462) Filosofi Rumah Adat
Banjar
Pemisahan jenis dan
bentuk rumah Banjar sesuai dengan filsafat dan religi yang bersumber pada
kepercayaan Kaharingan pada suku Dayak bahwa alam semesta yang terbagi menjadi
2 bagian, yaitu alam atas dan alam bawah.Rumah Bubungan Tinggi merupakan
lambang mikrokosmos dalam makrokosmos yang besar.Penghuni seakan-akan tinggal
di bagian dunia tengah yang diapit oleh dunia atas dan dunia bawah. Di rumah
mereka hidup dalam keluarga besar, sedang kesatuan dari dunia atas dan dunia
bawah melambangkan Mahatala dan Jata (suami dan isteri).
Dwitunggal Semesta
Pada peradaban agraris,
rumah dianggap keramat karena dianggap sebagai tempat bersemayam secara ghaib
oleh para dewata seperti pada rumah Balai suku Dayak Bukit yang berfungsi
sebagai rumah ritual. Pada masa Kerajaan Negara Dipa sosok nenek moyang
diwujudkan dalam bentuk patung pria dan wanita yang disembah dan ditempatkan
dalam istana. Pemujaan arwah nenek moyang yang berwujud pemujaan Maharaja
Suryanata dan Puteri Junjung Buih merupakan simbol perkawinan (persatuan) alam
atas dan alam bawah Kosmogoni Kaharingan-Hindu. Suryanata sebagai manifestasi
dewa Matahari (Surya) dari unsur kepercayaan Kaharingan-Hindu, matahari yang
menjadi orientasi karena terbit dari ufuk timur (orient) selalu dinantikan
kehadirannya sebagai sumber kehidupan, sedangkan Puteri Junjung Buih berupa
lambang air, sekaligus lambang kesuburan tanah berfungsi sebagai Dewi Sri di
Jawa. Pada masa tumbuhnya kerajaan Hindu, istana raja merupakan citra kekuasaan
bahkan dianggap ungkapan berkat dewata sebagai pengejawantahan lambang Kosmos
Makro ke dalam Kosmos Mikro. Puteri Junjung Buih sebagai perlambang "dunia
Bawah" sedangkan Pangeran Suryanata perlambang "dunia atas".
Pada arsitektur Rumah Bubungan Tinggi pengaruh unsur-unsur tersebut masih dapat
ditemukan. Bentuk ukiran naga yang tersamar/didestilir (bananagaan)
melambangkan "alam bawah" sedangkan ukiran burung enggang
melambangkan "alam atas".
Pohon Hayat
Wujud bentuk rumah
Banjar Bubungan Tinggi dengan atapnya yang menjulang ke atas merupakan citra
dasar dari sebuah "pohon hayat" yang merupakan lambang kosmis. Pohon
Hayat merupakan pencerminan dimensi-dimensi dari satu kesatuan semesta. Ukiran
tumbuh-tumbuhan yang subur pada Tawing Halat (Seketeng) merupakan perwujudan
filosofi "pohon kehidupan" yang oleh orang Dayak disebut Batang
Garing dalam kepercayaan Kaharingan yang pernah dahulu berkembang dalam
kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan pada periode sebelumnya.
Payung
Wujud bentuk rumah
Banjar Bubungan Tinggi dengan atapnya yang menjulang ke atas merupakan sebuah
citra dasar sebuah payung yang menunjukkan suatu orientasi kekuasaan ke atas.
Payung juga menjadi perlambang kebangsawanan yang biasa menggunakan "payung
kuning" sebagai perangkat kerajaan. Payung kuning sebagai tanda-tanda
kemartabatan kerajaan Banjar diberikan kepada para pejabat kerajaan di suatu
daerah.
Simetris
Wujud bentuk rumah
Banjar Bubungan Tinggi yang simetris, terlihat pada bentuk sayap bangunan atau
anjung yang terdiri atas Anjung Kanan dan Anjung Kiwa. Hal ini berkaitan dengan
filosofi simetris (seimbang) dalam pemerintahan Kerajaan Banjar, yang membagi
kementerian, menjadi Mantri Panganan (Kelompok Menteri Kanan) dan Mantri
Pangiwa (Kelompok Menteri Kiri), masing-masing terdiri atas 4 menteri, Mantri
Panganan bergelar 'Patih' dan Mantri Pangiwa bergelar 'Sang', tiap-tiang
menteri memiliki pasukan masing-masing. KOnsep simetris ini tercermin pada
rumah bubungan tinggi.
Kepala-Badan-Kaki
Bentuk rumah Bubungan
Tinggi diibaratkan tubuh manusia terbagi menjadi 3 bagian secara vertikal yaitu
kepala, badan dan kaki. Sedangkan anjung diibaratkan sebagai tangan kanan dan
tangan kiri yaitu anjung kanan dan anjung kiwa (kiri).
Tata Nilai Ruang Pada rumah Banjar
Bubungan
Tinggi (istana) terdapat ruang Semi Publik yaitu Serambi atau surambi yang
berjenjang letaknya secara kronologis terdiri dari surambi muka, surambi
sambutan, dan terakhir surambi Pamedangan sebelum memasuki pintu utama (Lawang
Hadapan) pada dinding depan (Tawing Hadapan ) yang diukir dengan indah. Setelah
memasuki Pintu utama akan memasuki ruang Semi Private. Pengunjung kembali
menapaki lantai yang berjenjang terdiri dari Panampik Kacil di bawah, Panampik
Tangah di tengah dan Panampik Basar di atas pada depan Tawing Halat atau
"dinding tengah" yang menunjukkan adanya tata nilai ruang yang
hierarkis. Ruang Panampik Kecil tempat bagi anak-anak, ruang Panampik Tangah
sebagai tempat orang-orang biasa atau para pemuda dan yang paling utama adalah
ruang Panampik Basar yang diperuntukkan untuk tokoh-tokoh masyarakat, hanya
orang yang berpengetahuan luas dan terpandang saja yang berani duduk di area
tersebut. Hal ini menunjukkan adanya suatu tatakrama sekaligus mencerminkan
adanya pelapisan sosial masyarakat Banjar tempo dulu yang terdiri dari lapisan
atas adalah golongan berdarah biru disebut Tutus Raja (bangsawan) dan lapisan
bawah adalah golongan Jaba (rakyat) serta di antara keduanya adalah golongan
rakyat biasa yang telah mendapatkan jabatan-jabatan dalam Kerajaan beserta kaum
hartawan.
Tawing Halat/Seketeng
Ruang
dalam rumah Banjar Bubungan Tinggi terbagi menjadi ruang yang bersifat private
dan semi private. Di antara ruang Panampik Basar yang bersifat semi private
dengan ruang Palidangan yang bersifat private dipisahkan oleh Tawing Halat
artinya "dinding pemisah", kalau di daerah Jawa disebut Seketeng.
Jika ada selamatan maupun menyampir (nanggap) Wayang Kulit Banjar maka pada
Tawing Halat ini bagian tengahnya dapat dibuka sehingga seolah-olah suatu garis
pemisah transparan antara dua dunia (luar dan dalam) menjadi terbuka. Ketika dilaksanakan
"wayang sampir" maka Tawing Halat yang menjadi pembatas antara
"dalam" (Palidangan) dan luar (Paluaran/Panampik Basar) menjadi
terbuka. Raja dan keluarganya serta dalang berada pada area "dalam"
menyaksikan anak wayang dalam wujud aslinya sedangkan para penonton berada di
area "luar" menyaksikan wayang dalam bentuk bayang-bayang.
Denah Cacak Burung
Denah
Rumah Banjar Bubungan Tinggi berbentuk "tanda tambah" yang merupakan
perpotongan dari poros-poros bangunan yaitu dari arah muka ke belakang dan dari
arah kanan ke kiri yang membentuk pola denah Cacak Burung yang sakral. Di
tengah-tengahnya tepat berada di bawah konstruksi rangka Sangga Ribut di bawah
atap Bubungan Tinggi adalah Ruang Palidangan yang merupakan titik perpotongan
poros-poros tersebut. Secara kosmologis maka disinilah bagian paling utama dari
Rumah Banjar Bubungan Tinggi. Begitu pentingnya bagian ini cukup diwakili
dengan penampilan Tawing Halat (dinding tengah) yang penuh ukiran-ukiran (Pohon
Hayat) yang subur makmur. Tawing Halat menjadi fokus perhatian dan menjadi area
yang terhormat. Tawang Halat melindungi area "dalam" yang merupakan
titik pusat bangunan yaitu ruang Palidangan (Panampik Panangah).
Sumber
: http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Banjar
No comments:
Post a Comment