Gunung Tambora yang terletak di Pulau Sumbawa Indonesia
mengalami letusan terakhir pada tanggal 10 April 1815. Memuntahkan Magma seluas
100 km³. Lepasan abu mencapai 400 km³ debu ke angkasa. dengan ketinggian abu 44
km dari permukaan tanah. Lontaran abu 1300km. Radius suara letusan sampai 2600
km. Endapan aliran piroklastik 7-20 m. Tsunami sepanjang pantai sejauh 1200km,
tinggi 1-4m, di Maluku Tsunami hingga 2 meter. Korban letusan langsung 117.000
korban jiwa. Kerajaan yang lenyap akibat letusan: Kerajaan Tambora, Kerajaan
Pekat dan Kerajaan Sanggar. Gunung Tambora (atau Tomboro) adalah sebuah
stratovolcano aktif yang terletak di pulau Sumbawa, Indonesia. Gunung ini
terletak di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Dompu (sebagian kaki sisi selatan
sampai barat laut, dan Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan hingga barat
laut, dan kaki hingga puncak sisi timur hingga utara), Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Sejarah Letusan Dengan menggunakan teknik penanggalan radiokarbon,
dinyatakan bahwa gunung Tambora telah meletus tiga kali sebelum letusan tahun
1815, tetapi besarnya letusan tidak diketahui.
Perkiraan ketiga letusannya pada tahun:
- Letusan pertama:
39910 sebelum masehi ± 200 tahun
- Letusan kedua: 3050
sebelum masehi
- Letusan ketiga: 740 ± 150 tahun.
Ketiga letusan tersebut memiliki karakteristik letusan yang
sama. Masing-masing letusan memiliki letusan di lubang utama, tetapi terdapat
pengecualian untuk letusan ketiga. Pada letusan ketiga, tidak terdapat aliran
piroklastik. Pada tahun 1812, gunung Tambora menjadi lebih aktif, dengan puncak
letusannya terjadi pada bulan April tahun 1815. Besar letusan ini masuk ke
dalam skala tujuh Volcanic Explosivity Index (VEI), dengan jumlah semburan
tefrit sebesar 1.6 × 1011 meter kubik. Karakteristik letusannya termasuk
letusan di lubang utama, aliran piroklastik, korban jiwa, kerusakan tanah dan
lahan, tsunami dan runtuhnya kaldera. Letusan ketiga ini mempengaruhi iklim
global dalam waktu yang lama. Aktivitas Tambora setelah letusan tersebut baru
berhenti pada tanggal 15 Juli 1815.
Pada saat letusan terjadi, beberapa orang Belanda yang
berada di Surabaya mencatat dalam buku hariannya mengaku mendengar letusan
tersebut, juga beberapa orang di benua Australia bagian Barat Laut. Mereka
mengira itu hanyalah suara gemuruh guntur karena tiba-tiba muncul awan mendung
yang membuat redupnya sinar matahari. Namun mereka tidak yakin karena yang
mereka yakini awan, ternyata adalah asap dan debu vulkanis. Dan yang turun ke
bumi bukanlah air melainkan debu dan kerikil kecil. Letusan Gunung Tambora
merupakan letusan gunung terdahsyat sepanjang masa yang pernah tercatat. Pada
saat gunung Tambora meletus, daerah radius kurang lebih 600km dari gunung
Tambora gelap gulita sepanjang hari hampir seminggu lamanya, letusan yg
terdengar melebihi jarak 2000km dan suhu Bumi menurun hingga beberapa derajat
yg mengakibatkan bumi menjadi dingin akibat sinar matahari terhalang debu
vulkanis selama beberapa bulan.
Sehingga berdampak juga ke daerah Eropa & Amerika Utara
mengalami musim dingin yg panjang. Sedangkan Australia dan daerah Afrika
Selatan turun salju di saat musim panas. Peristiwa ini dikenal dengan “The year
without summer” atau tahun tanpa musim panas. Aktivitas selanjutnya kemudian
terjadi pada bulan Agustus tahun 1819 dengan adanya letusan-letusan kecil
dengan api dan bunyi gemuruh disertai gempa susulan yang dianggap sebagai
bagian dari letusan tahun 1815.
Letusan ini masuk dalam skala kedua pada skala VEI. Sekitar
tahun 1880 (± 30 tahun), Tambora kembali meletus, tetapi hanya di dalam
kaldera. Letusan ini membuat aliran lava kecil dan ekstrusi kubah lava, yang
kemudian membentuk kawah baru bernama Doro Api Toi di dalam kaldera. Gunung
Tambora masih berstatus aktif. Kubah lava kecil dan aliran lava masih terjadi
pada lantai kaldera pada abad ke-19 dan abad ke-20. Letusan terakhir terjadi
pada tahun 1967, yang disertai dengan gempa dan terukur pada skala 0 VEI, yang
berarti letusan terjadi tanpa disertai dengan ledakan. Total volume yang
dikeluarkan Gunung Tambora saat meletus hebat hampir 200 tahun silam mencapai
150 kilometer kubik atau 150 miliar meter kubik. Deposit jatuhan abu yang
terekam hingga sejauh 1.300 kilometer dari sumbernya. Peneliti dari Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Igan Supriatman Sutawidjaja, dalam
tulisannya, ”Characterization of Volcanic Deposits and Geoarchaeological
Studies from the 1815 Eruption of Tambora Volcano”, menyebutkan, distribusi
awan panas diperkirakan mencapai area 820 kilometer persegi. Jumlah total
gabungan awan panas (piroklastik) dan batuan totalnya 874 kilometer persegi.
Ketebalan awan panas rata-rata 7 meter, tetapi ada yang mencapai 20 meter.
Ahli botani Belanda, Junghuhn, dalam ”The Eruption of G
Tambora in 1815”, menulis, empat tahun setelah letusan, sejauh mata memandang
adalah batu apung. Pelayaran terhambat oleh batuan apung berukuran besar yang
memenuhi lautan. Segala yang hidup telah punah. Bumi begitu mengerikan dan
kosong. Junghuhn membuat deskripsi itu berdasarkan laporan Disterdijk yang
datang ke Tambora pada 16 agustus 1819 bersama The Dutch Residence of Bima.
Letusan Tambora memang dahsyat, bahkan terkuat yang pernah tercatat dalam
sejarah manusia modern. Selama enam minggu arkeolog menggali telah menemukan
sisa dua mangkok untuk orang dewasa berbahan perunggu, pot keramik, peralatan
dari besi dan artifak lainnya. Desain dan dekorasi dari artefak menunjukkan
bahwa budaya Tamboran (orang Tambora) terkait dengan budaya orang Vietnam dan
orang Kamboja. (Image: URI News Bureau) Magnitudo letusan Tambora, berdasarkan
Volcanic Explosivity Index (VEI), berada pada skala 7 dari 8, hanya kalah dari
letusan Gunung Toba (Sumatera Utara), sekitar 74.000 tahun lalu, yang berada
pada skala 8. Tambora juga tercatat sebagai gunung yang paling mematikan.
Jumlah korban tewas akibat gunung ini sedikitnya mencapai 71.000 jiwa tapi
sebagian ahli menyebut angka 91.000 jiwa. Sebanyak 10.000 orang tewas secara
langsung akibat letusan dan sisanya karena bencana kelaparan dan penyakit yang
mendera. Jumlah ini belum termasuk kematian yang terjadi di negara-negara lain,
termasuk Eropa dan Amerika Serikat, yang didera bencana kelaparan akibat abu
vulkanis Tambora yang menyebabkan tahun tanpa musim panas di dua benua itu.
Bahkan di Eropa, Napoleon Bonaparte kalah perang karena efek dari gunung
Tambora ini.
Berikut ringkasan laporan kesaksian saat letusan Gunung
Tambora terjadi, yang disarikan dari ”Transactions of the Batavian Society” Vol
VIII, 1816, dan dan ”The Asiatic Journal” Vol II, Desember 1816.
Sumanap (Sumenep), 10 April 1815 Sore hari tanggal 10,
ledakan menjadi sangat keras, salah satu ledakan bahkan mengguncang kota,
laksana tembakan meriam. Menjelang sore keesokan harinya, atmosfer begitu tebal
sehingga harus menggunakan lilin pada pukul 16.00. Pada pukul 19.00 tanggal 11,
arus air surut, disusul air deras dari teluk, menyebabkan air sungai naik
hingga 4 kaki dan kemudian surut kembali dalam waktu empat menit.
Baniowangie (Banyuwangi), 10 April 1815 Pada tanggal 10
April malam, ledakan semakin sering mengguncang bumi dan laut dengan kejamnya.
Menjelang pagi, ledakan itu berkurang dan terus berkurang secara perlahan
hingga akhirnya benar-benar berhenti pada tanggal 14.
Fort Marlboro (Bengkulu), 11 April 1815 Suaranya terdengar
oleh beberapa orang di permukiman ini pada pagi hari tanggal 11 April 1815.
Beberapa pemimpin melaporkan adanya serangan senjata api yang terus-menerus
sejak fajar merekah. Orang-orang dikirim untuk penyelidikan, tetapi tidak
menemukan apa pun. Suara yang sama juga terdengar di wilayah-wilayah Saloomah,
Manna, Paddang, Moco-moco, dan wilayah lain. Seorang asing yang tinggal di
Teluk Semanco menulis, sebelum tanggal 11 April 1815 terdengar tembakan meriam
sepanjang hari.
Besookie (Besuki, Jawa Timur), 11 April 1815 Kami terbungkus
kegelapan pada 11 April sejak pukul 16.00 sampai pukul 14.00 pada 12 April.
Tanah tertutup debu setebal 2 inci. Kejadian yang sama juga terjadi di
Probolinggo dan Panarukan, terus sampai di Bangeewangee (Banyuwangi) tertutup
debu setebal 10-12 inci. Lautan bahkan lebih parah akibat dari letusan
tersebut. Suara letusan terdengar sampai sejauh 600-700 mil. Grissie (Gresik,
Jawa Timur), 12 April 1815 Pukul 09.00, tidak ada cahaya pagi. Lapisan abu
tebal di teras menutupi pintu rumah di Kradenan. Pukul 11.00 terpaksa sarapan
dengan cahaya lilin, burung-burung mulai berkicau mendekati siang hari. Jam
11.30 mulai terlihat cahaya matahari menerobos awan abu tebal. Pukul 05.00
sudah semakin terang, tetapi masih tidak bisa membaca atau menulis tanpa cahaya
lilin. Dua ilmuwan sedang menyelidiki bekas-bekas peradaban yang telah lenyap
di dekat gunung Tambora. Tidak ada seorang yang ingat ataupun tercatat dalam
tradisi erupsi yang sedemikian besar. Ada yang melihat kejadian itu sebagai
transisi kembalinya pemerintahan yang lama. Lainnya melihat kejadian itu dari
sisi takhayul dan legenda bahwa sedang ada perayaan pernikahan Nyai Loro Kidul
(Ratu Kidul) yang tengah mengawini salah satu anaknya. Maka dia tengah
menembakkan artileri supernaturalnya sebagai penghormatan. Warga menyebut abu
yang jatuh berasal dari amunisi Nyai Loro Kidul.
Makasar, 12-15 April 1815 Tanggal 12-15 April udara masih
tipis dan berdebu, sinar matahari pun masih terhalang. Dengan sedikit dan
terkadang tidak ada angin sama sekali. Pagi hari tanggal 15 April, kami
berlayar dari Makassar dengan sedikit angin. Di atas laut terapung batu-batu
apung, dan air pun tertutup debu. Di sepanjang pantai, pasir terlihat bercampur
dengan batu-batu berwarna hitam, pohon-pohon tumbang. Perahu sangat sulit
menembus Teluk Bima karena laut benar-benar tertutup.
*Sumber : http://indocropcircles.wordpress.com/2011/09/18/misteri-dan-kronologi-meletusnya-gunung-tambora/
No comments:
Post a Comment