Langen Mandra Wanara adalah salah
satu bentuk drama tari Jawa yang mempergunakan materi tari tradisi klasik gaya
Yogyakarta. Drama tari yang menggambarkan banyak wanara (kera) dan berfungsi
sebagai hiburan ini merupakan perkembangan dari drama tari yang telah ada,
yaitu Langendriya yang bersumber dari Serat Damarwulan. Keduanya, baik
Langendriya maupun Langen Mandra Wanara, disajikan dalam bentuk tari dengan
posisi jengkeng atau jongkokdisertai dengan dialog yang berupa tembang macapat.
Bedanya, yang sekaligus merupakan perkembangannya, adalah lakon yang dibawakan.
Jika lokan yang dibawakan dalam tari drama Langendriya bersumber dari ceritera
yang lain, maka Langen Mandra Wanara bersumber dari cerita Ramayana, seperti:
Subali Lena, Senggana Duta, Rahwana Gugur, dan lain sebagainya. Konon, drama
tari Langen Mandra Wanara ini telah ada, bahkan mengalami kejayaan pada masa
pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VI. Pada masa itu setiap malam di
istana selalu ada kegiatan "gladen" tari atau karawitan, kecuali pada
bulan Ramadhan karena bulan tersebut dianggap sebagai bulan suci, sehingga
untuk sementara ditiadakan (dihentikan).
Dan, sebagai penggantinya adalah
pembacaan serat babad dalam tembang macapat yang isinya mengisahkan tentang
tokoh-tokoh babad dengan segala jasa dan suri teladannya. Mengingat bahwa
setiap bulan Ramadhan yang membaca serat babad itu hanya seorang, maka KRT
Purwodiningrat mempunyai gagasan agar pembacaaan serat babad dilakukan oleh
beberapa orang. Jadi, setiap orang berperan sebagai tokoh dalam ceritera yang
ada di dalam babad. Gagasan itu mendapat sambutan yang baik karena dirasa
pembacaan lebih hidup dan setiap pembaca ceritera babad dapat menghayati serta
memberi karakterisasi terhadap tokoh yang dibacakannya. Kemudian, gagasan tersebut
digabung dengan gagasan Pangeran Mangkubumi, yaitu penggunaan kostum yang
sesuai dengan tokoh yang dibacanya.
Posisi duduk pelaku saling
berhadapan. Ketika salah seorang pelaku mendapat giliran membaca, maka orang
tersebut maju dengan jalan jongkok. Perkembangan selanjutnya adalah disertai
dengan tari-tarian. Sekitar pertengahan abad ke-20, drama tari yang disebut
sebagai Langen Mandra Wanara ini kurang diminati oleh para sutresna. Mereka
merasa bahwa menari sambil berjalan dalam posisi jongkok sangat sulit untuk
dikuasai. Namun, atas anjuran Prof Dr. Priyono, menteri Pendidikan dan
Kebudayaan waktu itu, Langen Mandra Wanara digiatkan dan ditata kembali oleh C.
Hardjasubrata. Langen Mandra Wanara rakitan baru ini tidak semuanya
mengetengahkan tari dalam posisi "jengkeng", tetapi ada bagian yang
dilakukan dengan berdiri. Selain itu, karya Patih Danurejo VII (Langen Mandra
Wanara) yang pada mulanya semua pelakunya laki-laki, bahkan peran wanita pun
dilakukan oleh laki-laki, kini peran wanitanya dilakukan oleh wanita. Untuk
dapat mementaskan Langen Mandra Wanara dibutuhkan sekitar 45 orang yang terdiri
dari 30 orang pemain, 13 orang penabuh gamelan, satu orang waranggana, dan satu
orang dalang.
Fungsi dalang adalah sebagai
pengatur laku dan membantu para aktor dalam penyampaian cerita dengan melakukan
suluk (monolog). Kostum dan make up yang dipakai selama pertunjukan mengikuti
patron wayang kulit. Pertunjukan Langen Mandra Wanara biasanya diadakan pada
saat ada upacara-upacara, seperti perkawinan dan hari-hari besar lainnya.
Pertunjukkan yang kurang lebih memakan waktu tujuh jam ini dilakukan pada malam
hari dan biasanya bertempat di pendopo dengan penerangan lampu petromaks atau
listrik. Pertunjukan Langen Mandro Wanara biasanya dilengkapi dengan alat musik
gamelan Jawa lengkap (pelog dan selendro).
video :
http://www.youtube.com/watch?v=XjsnLdd6xls
No comments:
Post a Comment