Legenda Calon Arang telah sangat
dikenal masyarakat kita. Kisahnya - seperti kebanyakan cerita rakyat lainnya -
tersiar turun-temurun dari generasi ke generasi melalui tradisi tutur
(lisan).Sejatinya, Cerita Calon Arang adalah perkawinan antara sejarah dan
mitos (dongeng); fakta dan fiksi. Sebagian orang percaya, bahwa Calon Arang
adalah putri seorang raja Bali yang diasingkan, sementara banyak juga yang
beranggapan ia hanya tokoh rekaan saja. Adapun Raja Erlangga (Airlangga) dan
kerajaan Daha fakta adanya. Calon Arang membuat tulah di negeri Daha (pertama)
Adalah pemimpin di Daha. Tentram olehnya memerintah; damai negeri pada
pemerintahannya. Maharaja Erlangga gelarnya, sangat baik budi. Adalah seorang
janda, tinggal di Girah, Calon Arang namanya. Beranak perempuan satu bernama
Ratna Manggali, sangat cantik rupanya. Lama tidak ada orang yang melamarnya.
Semua orang di Girah, apalagi di Daha, tidak ada orang di daerah pinggiran,
tidak ada yang berani melamar anak si janda itu yang bernama Ratna Manggali di
Girah. Oleh karena terdengar oleh negeri, bahwa beliau (janda) di Girah itu
melakukan yang cemar. Menjauhlah orang-orang melamar Manggali. Maka berkata si
janda itu: "Aduh, ambillah anakku karena tidak ada orang yang melamar dia,
cantiklah rupanya, bagaimana (sampai) tidak ada yang menanyai dia. Marah juga
hatiku oleh (hal) itu. Aku akan membaca bukuku; jika aku sudah memegang buku
itu, aku akan menghadap Paduka Sri Bhagawati; aku akan meminta anugerah untuk
binasanya orang-orang senegeri." Setelah dia memegang sastra itu,
datanglah dia ke tempat pembakaran mayat, memintalah dia anugerah kepada
Bathari Bhagawati, diiringi oleh semua muridnya.
Demikianlah nama-nama siswa itu:
Weksirsa, Mahasawadana, Lende, Guyang, Larung, Gandi. Mereka itulah yang
mengiringi Janda Girah, bersama-sama menarilah di tempat pembakaran mayat.
Datanglah Paduka Bhatari Durga bersama semua tentaranya, ikut bersama-sama
menari. Memujalah yang bernama Calon Arang kepada Paduka Bhatari Bhagawati,
berkatalah Bhatari: "Aduh, engkau Calon Arang, apa maksudmu datang
kepadaku, sehingga engkau disertai oleh para muridmu semua untuk
menyembahku?" (kedua) Berkatalah janda itu menyembah: "Tuan, anakmu
ingin meminta binasanya orang seluruh negeri, demikianlah maksudku."
Menjawablah Bhatari: "Aku memberi, tetapi jangan sampai ke tengah ,
(supaya) raja besar tidak marah kepadaku." Patuhlah janda itu, berpamitan
menyembahlah dia kepada Bhatari Bhagawati. Calon Arang diiringi oleh semua
muridnya menari di Wawala selama tengah malam. Berbunyilah Kamanak-Kangsi ,
mereka bersama-sama menari. Setelah selesai menari, pulanglah ke Girah sambil
bersorak-sorailah sesampainya di rumah mereka. Tidak lama kemudian, tulah
menimpa orang-orang seluruh desa (daerah), sehingga banyak yang mati.
Berangsur-angsur dimusnahkan. Calon Arang tidak berkata inilah saya. Maka
tersebutlah Sang Pemimpin Daha, diperhadapkanlah dia di tempat duduk yang
tinggi, Sri Maharaja Erlanggha. Memberitahukanlah patih, jika rakyatnya banyak
yang mati, tulahnya panas-dingin (panas-tis). Menulahi satu hari dua hari
kematian. Terlihat menyembah, Janda Girah itu, yang bernama Calon Arang, menari
di Wawalu bersama semua muridnya. Banyak orang melihatnya.
Demikianlah kata patih itu, semua
datang dihadapannya, bersama-sama meninggikan dan mematuhi apa yang dikatakan
patih. Berkatalah Sang Prabhu: "Hai, pegawaiku, cederai dan bunuhlah Calon
Arang olehmu, jangan engkau sendiri, sengkau ditemani pegawai (lain)."
(ketiga) Berpamitanlah pegawai itu menyembah kaki Sang Prabhu: "Mohon ijin
hamba untuk membinasakan Janda Girah." Pergilah pegawai itu. Tanpa
berkendaraan, segera pergi ke Girah, pegawai itu menuju ke rumah Calon Arang
ketika orang sedang tidur; tidak ada orang yang dalam keadaan bangun. Segera
pegawai itu mengambil rambut janda itu, menghunus kerisnya ingin memotong si
janda; beratlah tangan pegawai itu, terkejut dan bangunlah Calon Arang,
keluarlah api dari mata, hidung, mulut dan telinganya, menyala-nyala
menghanguskan pegawai itu. Salah satu dari pegawai itu mati. Yang lainnya
menjauh cepat meninggalkan pegawai itu. Tanpa berkata-kata jalannya di jalan,
segera pergilah ke kerajaan, memberitahukanlah pegawai itu tentang sisa
kematian itu: "Tuan, tak berguna pegawai Paduka Sri Parameswara yang satu
mati oleh mata Janda Girah itu. Keluar api dari perut, menyala menghanguskan
pegawai Paduka Bhatara." Berkatalah Sang Prabhu: "Sedih aku jika
demikian pemberitahuannya." Seketika itu juga pulanglah Sang Prabhu dari
ruang penghadapan (Balairung). Sang Raja tidak berbicara. Berkatalah Janda di
Girah.
Bertambah besarlah kemarahannya oleh
kedatangan pegawai itu, oleh utusan hamba Sang Prabhu. Berkatalah Calon Arang
berseru kepada murid-muridnya mengajak datang ke tempat pembakaran mayat;
dipegangnyalah lagi sastra (buku) itu. Setelah memegang mantra tersebut,
diiringilah oleh para muridnya semua, datanglah di tepi kuburan tempat yang
rindang oleh kepuh dililit kegelapan, daunnya rindang mengurai sampai tanah di
bawahnya merata. Janda Girah itu duduk diterima oleh para muridnya semua.
Memberitahukanlah Lende berkata: "Hai, Sang Janda, apa sebabnya tuan
seperti akan memarahi Sang Pembawa Bumi? Jika demikian lebih baik mempunyai
maksud kelakuan baik, menyembah kepada Sang Maharesi sebagai penunjuk jalan ke
surga." Maka berkatalah Larung: "Apa kesedihanmu kepada duka Sang
Prabhu? Sebaliknya dipercepatlah perbuatan ke tengah." Bersama-sama
meninggikanlah mereka semua akan perkataan Larung, mengikutlah mereka kepada
Calon Arang, kemudian berkatalah dia: "Sangat benar olehmu, Larung.
Bunyikanlah Kamanak dan Kangsi
kalian, sekarang menarilah masing-masing, ijinkan aku melihat perbuatan itu
satu persatu. Sekarang mungkin sampai di perbuatan itu, kalian menarilah."
(keempat) Seketika itu juga menarilah Guyang, tariannya mendekap-dekap, berteriak-teriak,
terengah-engah dan berbusana; matanya melirik, menoleh kiri kanan. Menarilah
Larung; gerakannya seperti macan yang ingin menerkam, matanya kelihatan
memerah, benar-benar telanjang. Rambutnya berjalan cepat ke depan. Menarilah
Gandi; melompat-lompatlah olehnya menari; rambutnya berjalan cepat ke pinggir.
Memerah matanya kelihatan seperti buah janitri. Menarilah Lende; tariannya
berjingkat-jingkat dengan kakinya. Tingkah lakunya menyala-nyala seperti api
hampir menyala. Berjalan cepat rambutnya. Menarilah Weksirsa; menunduk-nunduk
olehnya menari, menoleh-noleh; matanya terbuka tanpa berkedip. Rambutnya
berjalan cepat ke samping, benar-benar telanjang. Mahisawadana menari berkaki
satu; ia menyungsang menjulur-julur lidahnya; tangannya ingin memeras. Senanglah
Calon Arang setelah mereka bersama-sama menari. Membagi tugaslah dia sesampai
di istana . Mereka membagi tugas pergi ke lima daerah. Lende ke selatan, Larung
ke utara, Guyang ke timur, Gandi ke barat. Calon Arang ke tengah bersama dengan
Weksirsa dan Mahisawadana. Setelah mereka berbagi pergi ke lima daerah, Calon
Arang datang ke tengah-tengah tempat pembakaran mayat itu, menemui mayat yang
mati mendadak di hari ke-5 (kliwon). Dia memberdirikan, mengikat di kepuh,
menghidupkan mayat itu, meniup-niupnya; Weksirsa dan Mahisawadana memelekkan
mata (mayat itu). Menjadi hiduplah orang itu, sehingga berkatalah mayat itu:
"Siapa tuan yang menghidupkan aku? Betapa besarnya hutangku; tak tahu aku
membalasnya.
Aku menghamba kepada tuan. Tuan,
lepaskanlah aku dari pohon kepuh ini, aku ingin berbakti dan menghormat."
Berkatalah Weksirsa: "Engkau sangka (bahwa) engkau hidup? Biarlah aku
memarang lehermu dengan parang." Seketika itu juga diparanglah lehernya
dengan parang, melesat leher mayat yang dihidupkannya itu. Terbanglah
kepalanya; sampai dikeramaskan dengan darah oleh Calon Arang; menggumpallah
rambutnya oleh darah. Ususnya menjadi kalung dan dikalungkannya. Badannya
diolah dipanggang semua, menjadi korban para Bhuta (raksasa) yang berada di
tempat pembakaran mayat, setelah itu Paduka Bhatari Bhagawati menyetujui
(menerima) yang dikorbankan itu. (kelima) Keluarlah Bhatari dari kahyangannya,
kemudian berkatalah dia kepada Calon Arang: "Aduh, anakku Calon Arang, apa
maksudmu memberikan korban kepadaku, (memberikan) bakti hormat? Aku menerima
penghormatanmu." Berkatalah Janda Girah itu: "Tuan, Sang Pemimpin
Negeri membuat duka anakmu, aku memohon belas-kasih Bhatari, supaya Paduka
Bhatari senang untuk membinasakan orang-orang senegeri, sampai ke tengah sekalian."
Berkatalah Bhatari: "Baik, aku mengabulkan, Calon Arang, namun engkau
jangan lengah." Berpamitanlah janda Girah itu menghormat Bhatari. Segera
pergi menarilah dia di perempatan. Terjadilah tulah yang sangat hebat di
seluruh negeri itu; terjadi tulah satu malam dua malam, sakitnya panas-dingin,
orang-orang mati. Mayat-mayat yang ada di tanah lapang bertumpuk-tumpuk, yang
lainnya ada di jalan, ada juga yang tidak terpelihara di rumahnya.
Srigala-srigala meraung (membaung) memakan mayat. Burung-burung gagak berteriak-teriak
tak putus-putusnya memakan mayat, bersama-sama mencucuk (memakan) mayat.
Lalat-lalat beterbangan kian-kemari di rumah meraung-raung, rumah-rumah tak
berpenghuni. Yang lainnya orang-orangnya pergi ke tempat jauh, pergi mengungsi
ke daerah yang tidak terkena penyakit. Orang-orang yang sakit dipikul, yang
lainnya ada yang mengasuh (momong) anaknya dan membawa barang-barang.
Para Bhuta yang melihat berseru:
"Jangan kalian pergi, desa (daerah) kalian sudah aman, tulah dan penyakit
telah selesai, pulanglah kalian ke sini, hiduplah kalian di sini." Setelah
itu banyak kematian orang-orang di jalan yang diambilinya. Para Bhuta itu
berada di rumah tak berpenghuni bersenang-senang, tertawa-tawa, bersenda-gurau,
memenuhi jalan dan jalan besar. Mahisawadana memasuki rumah berjalan ke
dinding, membuat tulah bagi orang serumah. Weksirsa memasuki tempat petiduran
orang, berjalan bolak-balik, membuka rintangan/pintu, meminta korban darah
mentah dan daging mentah: "Itu kesukaan saya, jangan lama-lama",
katanya. Tidak ada orang yang mati itu melawan tulah dan tingkah laku para
Bhuta itu. Calon Arang terbinasakan oleh Tuan/Empu Bharadah (kesatu)
Berjalanlah seorang pendeta ke tengah-tengah tempat pembakaran mayat,
bertemulah dia dengan Weksirsa dan Mahisawadana, murid-murid Calon Arang.
Setelah melihat Sang Pendeta itu, datang menciumlah murid-murid itu, dan
menyembahnya, yaitu Weksirsa dan Mahisawadana. Berkatalah Sri Bharadah:
"Hai orang-orang yang menyembahku, siapakah nama kalian; aku tidak tahu,
beritahu aku." Berkatalah Weksirsa dan Mahisawadana: "Tuan, kami
Weksirsa dan Mahisawadana menyembah telapak kaki tuan. Murid-murid Sang Janda
Girah. Kami meminta anugerah kepada Sang pendeta, lepaskanlah kami dari
siksaan." Berkatalah sang guru pendeta itu: "Tidak bisa kalian lepas
dari siksaan dahulu jika Calon Arang belum dilepaskan dari siksaan dahulu.
Berangkatlah kalian ke Calon Arang, berkatalah kalian, bahwa aku ingin
berbicara." Berpamitan menyembahlah Weksirsa dan berlutut, juga
Mahisawadana. Nampak dari kejauhan Calon Arang sedang di kahyangan di tempat
pembakaran mayat, baru saja pulang Paduka Bhatari Bhagawati dari percakapannya
bersama dengan Janda Girah. Baru saja selesai Bhatari berkata: "Hai, Calon
Arang, jangan lengah, akan surup/redup/terbenam (kalah) engkau."
Demikianlah kata Bhatari. Setelah itu datang Weksirsa dan Mahisawadana
berbicara dahulu kepada Calon Arang; katanya jika Sang Pendeta Bharadah datang.
Kata Calon Arang: "Hai, katanya Yang Mulia Bharadah datang; aku akan
menemui/menjemput dia." Pergilah Calon Arang, datanglah menerima Sang
Mahasakti, menjemput Sang Pendeta, kata Calon Arang: "Tuanku, bahagialah
Sang Pendeta yang kumuliakan, Sang Pendeta Bharadah, aku meminta anugerah
kata-kata yang baik (rahayu)." Kata Sang Pendeta: "Lihatlah, aku memberi
pengarahan pada tuntunan yang baik; janganlah engkau membuat sakit, yang mulia.
Aku diceritai cerita sedih tentang
engkau melakukan hal yang jelek membuat manusia banyak yang mati, membuat bumi
langka/sepi, membuat dukanya bumi dan membunuh semua rakyat. Betapa banyak
engkau membawa mala-petaka (membuat dosa) bagi bumi. Banyaklah orang-orang yang
terkena tulah. Keterlaluan engkau membawa mala-petaka, membunuh orang-orang
senegara. Tidak dapat engkau terlepas dari siksaan jika engkau sangat
bermusuhan. Oleh karena itu, jika belum tahu jalan keluar untuk membebaskan
diri, masakan engkau dapat lepas dari siksaan." Berkatalah Calon Arang:
"Permusuhan sangat besar dosaku pada rakyat; oleh karena itu lepaskanlah
aku dari siksaan, hai Sang Pendeta, kasihanilah aku." Berkatalah Sang
Pendeta: "Tidak dapat aku melepaskan engkau." (kedua) Berkatalah
Calon Arang, marah, menjadi besar dukanya Janda Girah itu: "Lihatlah, aku
akan membuat gangguan besar kepadamu, jika engkau tidak tahu melepaskan aku.
Engkau enggan melepaskan aku dari siksaan, lihatlah, aku sama sekali
menghilangkan dosa. Aku akan meneluh engkau, hai Resi Bharadah." Kemudian
menarilah Calon Arang berbalik mengurai rambutnya, matanya melirik, tangannya
menunjuk Sang Pendeta: "Matilah engkau nanti olehku, Pendeta Bharadah.
Jika engkau tetap tidak tahu, hai Yang Mulia, pohon beringin besar ini, aku
teluh, lihatlah, Empu Bharadah." Seketika itu juga hancurlah sangat pohon
beringin karena mata Calon Arang. Berkatalah Sang Pendeta: "Lihatlah, hai
Wanita Yang Mulia, datangkanlah teluhmu lagi yang besar, masakan aku akan
heran." Kemudian semakin besarlah olehnya meneluh, keluarlah api dari
mata, hidung, telinga, mulut, menyala-nyala membakar Sang Pendeta. Sang Pendeta
tidak terbakar, damailah olehnya memperhatikan hidupnya rakyat. Berkatalah Sang
Maha Sakti: "Tidak mati oleh teluhmu, hai Wanita Yang Mulia; aku tidak
pergi dari hidup (mati). Semoga engkau mati oleh karena sikapmu itu."
Datanglah kematian Calon Arang. Menjawablah Sang Pendeta Bharadah: "Aduh,
aku belum memberi pengarahan tentang kelepasan kepada Wanita Yang Mulia.
Lihatlah sungguh hai Wanita Yang Mulia, engkau hidup lagi." Datanglah
kehidupan Calon Arang: marah memaki-maki Calon Arang, katanya: "Aku sudah
mati, mengapa tuan menghidupkan aku lagi?" Menjawablah Sang Pendeta
"Hai, Yang Mulia, aku membuat hidup lagi kamu, (karena) aku belum memberi
pengarahan kepada engkau tentang kelepasanmu dan menunjukkan surgamu, serta
menghilangkan rintanganmu." Berkatalah Calon Arang: "Aduh, berbahagia
jika demikian kata Sang Pendeta, lepaskanlah aku dari siksaan; aku menyembah
pada telapak-kakimu, Sang Pendeta, jika engkau melepaskan aku dari
siksaan." Meminta dirilah Calon Arang kepada Sang Pendeta, diperkenankan
dia mati yang sempurna (kelepasan) dan ditunjukkan surganya. Setelah Sang
Pendeta Bharadah memberi pengarahan, Calon Arang menyembah kepada Sang Pendeta.
Kata Sang Pendeta: "Lihatlah, lepaslah engkau, hai Wanita Yang
Mulia." Kematian Calon Arang menjadi lepas dari penderitaan, dibakar, roh
Janda Girah oleh Sang Kekasih. Maka Weksirsa dan Mahisawadana bersama-sama
turut selamat, berjalan menjadi Wiku oleh Sang Pendeta, oleh karena tidak dapat
ikut kelepasan bersama dengan Janda Girah. Bersama-sama dijadikan Wiku oleh
Sang Pendeta.
Sumber : http://bumi-tuntungan.blogspot.com/2010/08/kisah-legenda-calon-arang.html
No comments:
Post a Comment