Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan
hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai
hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula
(manusia)dan Gusti (Pencipta) (manunggaling kawula Gusti )/ pendekatan kepada
Yang Maha Kuasa secara total. Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap
orang yang percaya kepada Sang Pencipta, yang mempunyai moral yang baik, bersih
dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati
yang mantap.Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan
sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan
tindakannya.
Cipta, rasa, karsa dan karya harus
baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Kejawen merupakan
aset dari orang Jawa tradisional yang berusaha memahami dan mencari makna dan
hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi. Tindakan
tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan
simbolis dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam seni.
Tindakan simbolis dalam religi,
adalah contoh kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang
tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar
dapat di akui keberadaannya misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang
Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya. Tindakan simbolis
dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medoakan
orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari,
satu tahun, dua tahun,tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang
meninggal ( tahlilan ).
Dan tindakan simbolis dalam seni
dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit;
warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang.
Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang
mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai
berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan
menggunakan berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan
terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan
sebagai obyek exploitasi dan penelitian.
Kebiasaan orang Jawa yang percaya
bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat
sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang
melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke
empatnya dipercaya akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni
rumah tersebut. Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju,
keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah.
Dengan analisa tersebut dapat
diperkirakan bagaimana nantinya faham simbolisme akan bergeser dari budaya
jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi
kehidupan manusialah yang tergantung pada simbolisme. Dan sampai kapanpun
simbolisme akan terus berkembang mengikuti berputarnya cakra panggilingan.
Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya.
Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas
mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima
atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.Dalam bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga
Surakarta,Yosodipuro berjudul:"Serat Dewaruci Kidung" yang
disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus
tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna. Intisari cerita tersebut
yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri Amarta, ingin menjerumuskan pihak
Pandawa dinegeri Astina,(yang sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam
kesengsaraan, melalui perantaraan guru Durna.
Sena yang juga adalah murid guru
Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian
badan,Sena diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci
penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak
mungkin teritipu dan terbunuh oleh anjuran Gurunya, dan tetap berniat pergi
mengikuti perintah sang Guru,walaupun sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk
mencelakaannya. Diceritakan Pada saat di negeri Amarta, Prabu Suyudana/raja
Mandaraka/prabu Salya sedang rapat membahas bagaimana caranya Pandawa dapat
ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama
dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden
Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma,
Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.
Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air
suci itu, maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara
sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka,akan hidup
kekal adanya.
Selanjutnya dikatakan, bahwa letak
air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di
dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana,
lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum,
membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa
yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya,untuk sementara merekamerayakan
dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya. Setelah sampai di gua
gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya
diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah
dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua
raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk.
Terjadi perkelahian. Namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah,
ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur.
Kemudian Sena mengamuk dan
mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir
bagaimana mendapatkan air suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia berdiri
dibawah pohon beringin. Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi
Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya
Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut! atas
kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh Sang
Druna : bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari,
sebenarnya ada di tengah samudera.
Suyudana juga membantu bicara untuk
meyakinkan Sena. Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi
lagi....., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para
kerabatnya berada) Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui
tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di
Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.
Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah
Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan
jatuhnya bencana dari dewata yang agung. Ketika sedang asyik
berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa termasuk
Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan
akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan
bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera.
Nasehat dan tangisan, termasuk
tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur. Sena
berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang
akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang
bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu
agar masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh menggelegar, seakan
mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak benar. Bagi Sena, lebih
baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu
masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak
merasa takut, sakit dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena
sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari
Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.
Dengan suka cita ia lama memandang
laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas,
lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang
menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa
digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak. Alkisah ada naga sebesar
segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat
mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya
tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan
mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera
menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar
deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.
Sementara itu Pandawa bersedih hati dan
menangis memohon penuh iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna,
bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata
yang nanti akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang
Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap
dengan hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.
Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih
di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil
bermain-main di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :"Sena apa
kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang
dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering
yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan". Dikatakan pula
:"Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak
mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi.
Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang
benar, disini tidak mungkin ditemukan". "Kau pun keturunan Sang Hyang
Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para
raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi
Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra
tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai
penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim,
genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna
untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi
petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati
hidupnya", lanjut Dewa Ruci. Kemudian dikatakan :"Jangan pergi bila
belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan,
janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari
bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam
hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi
kertas kuning dikira emas mulia.
Demikian pula orang berguru, bila
belum paham, akan tempat yang harus disembah". Wrekudara masuk tubuh Dewa
Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan "Segeralah kemari Wrekudara,
masuklah ke dalam tubuhku", kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya
:"Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk,
kelingking pun tidak mungkin masuk".Dewa Ruci tersenyum dan berkata
lirih:"besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan
gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku".
Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk
ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi,
langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah
dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci,
memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati. Ada
empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih.
Lalu berkatalah Dewa Ruci: "Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak
tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin
dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih,
merupakan hakikat sifat itu sendiri.
Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa
itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu,
sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang
hati. Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi
dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala
keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada
kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti
nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam
kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan
kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu Wrekudara melihat, cahaya
memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah
gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang
dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang
menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak
tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya
berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu
dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal
di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita,
jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang
mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak
menikmati hidup, mengakui rahasia zat. Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma
yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang,
kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang
sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah
didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala
tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara
sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan
diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah. Tentang keinginan
untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan
kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan
pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu
dan sudah menjadi kawan akrab.
Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri
manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu,
menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan
manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang
memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia
merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan
sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran
misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat
tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi
jelas penglihatan sukma, rupa dan suara.
Hyang Luhur menjadi badan Sukma
Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri,
dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu
namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini
karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar. Jika sudah paham akan
segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan
untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati,
hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan
secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu. Wrekudara setelah mendengar
perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam
hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya.
Dan kemudian dikatakan oleh Dewa
Ruci :"Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang
didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian,
kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara
melaksanakan. Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung
dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya,
hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata, Wrekudara
lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang
berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh
penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan
terjerumus. Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah
dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan dengan
cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran,
belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa
dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.
Guru yang benar, mengangkat
murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai
sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh.
Inilah keutamaan bagi keduanya. Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti
wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan,
banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan
layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat
berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan
oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang
berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu
hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari
kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati
manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia.
Tekad yang sudah sempurna, dengan
penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya,
Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa,
dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi
kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak
kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah
perjalanannya. Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul
para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian
Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh
Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya
itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu
sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata
:"Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi
ini".
No comments:
Post a Comment