Pada suatu hari, yang kebetulan pada saat malam jumat bulan
purnama, Raden Katong, Seloaji, Kyai Ageng Mirah dan Jayadipo duduk bersama di
oro-oro (tanah gersang dan luas) untuk mengadakan musyawarah. Kemudian Raden
Katong memulai pembicaraan, “Bapa Mirah, saya minta Bapa memikirkan pusat kota
yang akan kita bangun ini, dimana dan bagaimanakah sebaiknya sebaiknya tempat
untuk pendirian pusat kota itu diletakkan?” (Purwowijoyo,1985:39-40).
Kemudian Kyai Mirah menjawab, “Begini Raden, kalau untuk pusat
kota sebaiknya kita pilih yang berbentuk Bathok Mengkureb (tempurung
tengkurap). Itulah tanah dan tempat yang sebaik-baiknya untuk dihuni”
(Purwowijoyo,1985:40).
Kemudian Jayadipo yang lebih mengenal daerah itu menyambung,
“Raden, kalau berkenan dan sudi mendengar pendapat saya, untuk pusat kota Raden
saya silahkan memilih ditengah-tengah tanah yang luas itu. Marilah sekarang
saja kita semua kesana! Saya persilahkan Raden dan semua untuk melihat!
(Purwowijoyo,1985:40).
Empat orang tersebut terheran-heran, semua melihat dengan
sungguh-sungguh arah yang ditunjuk Jayadipo. Seloaji dan Kyai Ageng Mirah tidak
melihat sesuatu apapun yang ada disana, akan tetapi Raden Katong melihat ada
sesuatu di tengah-tengah padang rumput yang luas. Raden Katong melihat benda
berbeda berjumlah tiga buah. Raden Katong bertanya kepada Jayadipo, “Kakang
Jayadipo, saya melihat ada tombak, payung yang sedang terbuka dan satunya lagi
saya kurang begitu jelas. Benda apakah itu kakang? Apakah maksud kakang
menunjukkan benda ini kepada kami?” (Purwowijoyo,1985:40).
Raden diminta untuk menyembah tiga kali. Setelah menyembah
tiga kali barulah Seloaji dan Kyai Ageng Mirah dapat menyaksikan keberadaan
tiga benda tersebut. jayadipo mengatakan bahwa dia dan kakaknya bernama
Jayadrono adalah abdi ari ayahanda yaitu Prabu Brawijaya V. Adapun pusaka itu
ada disini karena kamilah yang membawanya. Dahulu ayahanda bersabda, jika kelak
ada orang yang dapat melihat pusaka ini, itulah tanda kesetiaan Sang Prabu
kepada orang itu maka berikanlah pusaka itu, selain itu Sang Prabu juga
bersabda bahwa dahulu Katong memang diharapkan untuk menjadi raja menggantikan
Sang Prabu. Itulah titah dari Ayahanda dan sekarang radenlah yang mewarisinya.
Payung ini bernama Payung Tunggul Wulung, adapun tombak ini bernama Tombak
Tunggul Naga dan satunya berupa sabuk yang bernama Sabuk Cinde Puspito.
Raden Katong menyembah tiga kali lalu mengambil payung
Tunggu Wulung, Seloaji mengambil tombak Tunggul Naga, sedangkan Kyai Ageng
Mirah mengambil sabuk (ikat pinggang) Cinde Puspita. Setelah ketiga barang itu
diambil, terdengar suara gemuruh tiga kali. Bersamaan dengan itu, tanah
berhamburan ke atas dan jatuh ke kanan kiri. Tanah yang berjatuhan tadi
akhirnya menjadi gundukan tanah sebanyak lima puluh buah. Adapun tempat suara gemuruh
terjadi, muncullah gua dengan lobang menganga. Kelak setelah empat puluh hari
gua tersebut tertutup kembali seperti semula. Oleh Jayadipo gua tadi diberi
nama Gua Sigala-gala. Adapun gundukan tanah tadi diberi nama Gunung
Lima dan Gunung Sepikul dari situlah asal muasal Ponorogo
(Purwowijoyo,1985:41).
Tiga orang disertai empat puluh santri yang sudah bisa
membaca Qur’an dan mengerti maknanya. Diperintah babat di hutan Wengker
membangun desa sampai menjadi kota. Semua kebutuhan dicukupi, berupa alat pembabat
hutan, peralatan pertanian dan perkakas rumah tangga. Hanya waktu itu keluarga,
anak dan istri tidak boleh ikut.
Sampai di sebelah barat Gunung Wilis, sebelah timur Gunung
Lawu disana mereka istirahat. Ketepatan ditempat yang banyak glagahnya
dan tanahnya berbau wangi, disitulah mulai dibabat. Babatan baru itu
tadi dinamakan “Glagahwangi”. Orang yang berjumlah 40 dibagi menjadi
empat kelompok yaitu utara 10, timur 10, selatan 10 dan barat 10 orang kemudian
Raden Katong, Seloaji dan Kyai Ageng Mirah ditengah sebagai pengawas dan
komando (Purwowijoyo, 1990: 23).
Musyawarah berlanjut untuk memberikan nama kota yang akan
didirikan tersebut. setelah mufakat dan kemauan terikat mereka memutuskan kota
bernama Pramanaraga. Pramana artinya perana yaitu menyatunya sumber
cahaya dari matahri, bulan dan bumi yang berpengaruh menyinari kehidupan
manusia yang digelar di alam raya. Ketiga unsur tersebut dinamakan Trimurti,
bertempat dan menyatu dengan badan manusia menjadi mani. Mani laki-laki yang
bercampur perempuan mendapat sabda dari kehendak Yang Maha Kuasa menjelma
menjadi manusia. Jadi Pramana dan raga diumpamakan seperti madu dan manisnya,
atau bunga dan sarinya, umpama api dan nyalanya. Sedangkan pana berarti
mengerti akan segala situasi, mengerti dengan pemahaman yang sesungguhnya.
Setelah dapat tertata, lalu membuat kota dan berdasar putusan musyawarah nama Kadipaten Barunya PONOROGO. Dari kata Sankrit (sansekerta) Pramana Raga, disingkat menjadi Ponorogo. Pono artinya sudah mengerti semuanya, lahir dan batin sedangkan Rogo itu badan maknanya sudah mengerti pada raganya, bisa menempatkan diri artinya tepo seliro (Purwowijoyo,1990:23). Jadi Ponorogo berarti manusia yang telah mengetahui, mengerti kepada dirinya sendiri yaitu manusia yang sudah mengetahui unggah-ungguh (sopan santun) atau manusia yang sudah mengerti tentang tata krama (Purwowijoyo,1985:41).
Kemudian esok harinya, sewaktu fajar menyingsing, terdengar
suara riuh rendah bunyi-bunyian, kentongan, bende, lesung, dan alat bunyi yang
lain dipukul bersamaan sebagai pertanda lahirnya kota baru Pramanaraga. Pada
hari Minggu Pon, bulan Besar tahun 1486 M diresmikan sebagai berdirinya kota
Ponorogo, menjadi daerah Kabupaten. Adipatinya disebut Kanjeng Panembahan
Batara Katong, Patihnya Seloaji, dan Penghulu agamanya Kyai Ageng Mirah.
Kemudian berkeliling kota hingga pelosok desa. Disetiap tempat dipasang
pengumuman tentang pendirian kota baru itu. Mulailah Pramanaraga dikenal
masyarakat sebagai kota kadipaten yang baru. Sekarang kota Pramanraga terkenal
dengan sebutan Ponorogo.
Berdirinya kota ini diperingati atau ditulis pada batu
menggunakan Candra Sengkolo Memet. Candra Sengkolo Memet itu berupa
gambar atau bangunan berupa gambar 4 jumlahnya, yaitu urut dari arah ke kanan,
1. Gambar orang semedi (bertapa), 2. Gambar pohon beringin, 3. Gambar garuda
terbang, 4. Gambar Gajah. Pencipta memberi arti orang 1, beringin (kayu) 4,
burung terbang 0, gajah 8 jadi dapat dibaca 1408 dalam hitungan Saka
(Purwowijoyo,1990:24).
Kemudian jangka sepuluh tahun, membuat prasasti lagi di
batu. Tertulis aksara Jawa, angka aksara Jawa 1418 tahun Saka atau 1496 M itu
merupakan peringatan mulai patihnya Demang Suryongalam. Ponorogo sudah tidak
ada keributan lagi. Para Warokan dan Warok yang semula suka mengganggu kepada
para santri sudah tidak mengganggu lagi. Para pemimpin desa, tetua para warok
bersama-sama pergi ke Kadipaten untuk menyerahkan diri dan minta tuntunan hidup
bermasyarakat.
Para pamong praja, mulai demang, palang mantri, para bupati,
prajurit dipenuhi. Pejabat lainnya dicukupi lebih-lebih permasalahan pertanian.
Raden Katong sendiri selalu memberi contoh, mempunyai kebun merica di desa
Mrican dan desa Sahang Ngebel (sahang=merica). Juga beternak hewan seperti
sapi, kerbau dan kuda. Selama 10 tahun kota Ponorogo menjadi aman tentram,
tidak ada curi-mencuri, perampokan atau brandal (Purwowijoyo,1990:24).
Sebelum itu situasi kota tidak aman tenteram, lebih-lebih
usaha perkembangannya agama Islam selalu mendapat rintangan. Nama santri itu
dimana saja terlihat berbeda, sebab busananya serba putih, sarung putih, baju
takwa model cina juga putih. Padahal pakaian penduduk aslinya serba hitam. Jadi
kelihatan mencolok bedanya. Jika ada santri lewat jalan melewati rumah penduduk
asli, untung-untungnya hanya dijuluki, ujarnya : Santri Buki (santri
Busuk”. Celakanya lagi kadang-kadang diejek agar marah. Jika marah lalu
diajak gulat, bila sial ada juga yang meludahi (Purwowijoyo, 1990:24).
Berdasar kenyataan seperti itu Raden Katong dan Kyai Mirah
lalu mengatur atau menyiasati santri, bila keluar dari rumah akan mengajar
mengaji, tidak boleh sendirian, harus ada temannya paling tidak 3 – 5 orang
(Purwowijoyo,1990:24).
sumber:
PurwP Purwowijoyo.
1985. Babad Ponorogo Jilid I. Ponorogo : Depdikbud Kantor Kabupaten
Ponorogo.
Purwo Purwowijoyo.
1990. Babad Ponorogo Jilid VII : Ponorogo Zaman Belanda. Ponorogo :
Depdikbud Kantor Kabupaten Ponorogo.
No comments:
Post a Comment