Menyaksikan sederetan daftar ragam
bentuk kebudayaan ketika pawai dan kirab budaya di Banyumas beberapa hari lalu,
pertanyaan saya yang muncul adalah betulkah kota ini menjadi ’’lahan basah’’
budaya dan sastra? Atau, apakah ini menunjukkan gejala bahwa memang ada
kebangkitan kaum budaya di Banyumas? Untuk pertanyaan kedua tentu tidak akan
saya bahas, karena berbagai hal saya merasa tidak mampu secara tuntas
menggambarkannya. Tapi secara kasat mata kita tentu mafhum bahwa budaya
Banyumasan yang secara periodik dicipta, dibangun dan lama kelamaan di hayati
sebagai hasrat hidup masyarakatnya.
Oleh karena budaya Banyumasan lahir
dari berbagai dialog antar pandangan hidup menjadikannya seperti anatomi budaya
yang terus berkembang secara organis. Artinya bentuk kebudayaan itu tidaklah
hadir secara given tapi lewat proses panjang yang tambal sulam. Menurut
Koencaraningrat (1984), Banyumas merupakan wilayah marginal. Maknanya mungkin
kurang lebih menganggap bahwa wilayah ini berada di luar poros budaya jawa
(Jogja dan Solo). Tapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa budaya banyumasan
sebenarnya memiliki akar yang sama yaitu budaya Jawa Tua.
Budaya yang di kembangkan dari
cultur Jawa tua itu kemudian berinteraksi dengan berbagai agama seperti Hindu,
Budha dan Islam. Inilah yang menjadikannya memiliki ciri khas tersendiri yang
berbeda dengan wilayah lain di Jawa Tengah. Kita bisa lihat kesemuanya dalam
berbagai seni pertunjukkan, music dan tari antara lain; Wayang kulit Gagrag
Banyumas, Begalan, Calung, Kenthongan, Salawatan Jawa, Bongkel, Lengger,
Sintren, Aksimuda, Anggukaplang atau daeng, Buncis dan Ebeg. Pikiran penulis
melayang ke akhir abad XV, ke wilayah vostenlanden (daerah kerajaan) yang
didirikan oleh R. Djoko Kahiman (1582) lengkap dengan segenap mitos dan
perangkap sejarahnya.
Berdasarkan data sudah ada 30 Bupati
yang memimpin Banyumas, tentu sederetan panjang nama itu tak mengherankan sebab
kota tua ini memang sudah sangat dini tumbuh. Dan garis fikir untuk mengambil
mata rantai hari jadi kabupaten merunut pada babad (folklore) R. Djoko Kahiman
yang usianya ratusan tahun itu dalam kacamata budaya tentu sangat potensial.
Ini artinya masyarakat memiliki ingatan kolektif panjang tentang asal – usul
dan pandangan masa lampau. Berbeda misalnya dengan kabupaten yang berusia
puluhan tahun. Mitos lama yang ada pun menjadi kabur atau mungkin hanya menjadi
bacaaan yang sifatnya arus kecil. Ambil perbandingan dengan Kabupaten Kebumen,
kini folklore tentang Joko Sangkrib seringkali hanya menjadi wacana pinggiran
bagi sedikit warganya.
Kesemuanya sebenarnya merupakan
“ladang emas” bagi kaum budayawannya termasuk sastrawan. Artinya kekayaan
budaya yang melimpah ruah dalam seni pertunjukkan ataupun ingatan kolektif dan
imajinatif itu memiliki kesanggupan untuk diolah dan dieksplorasi menjadi karya
sastra kelas dunia. Penulis ingat bahwa bahkan Nietzche dalam menuangkan
gagasan filsafatnya tentang Will to Power berangkat dari sebuah mitologi dari
bangsa Persia. Tokoh yang diangkat pun tak tanggung tanggung seorang arif bijak
yang bernama Zaratustra. Jadilah novel itu betul – betul luar biasa karena
masih dikaji walaupun diterbitkan seraus tahun lebih. Hal ini bsa jadi karena
kemampuan pengarangnya mengangkat ingatan masa lampau dan mengawinkannya dengan
gagasan filosofis yang genial.
Namun tentu kesemua gambaran tadi
hanya menyediakan bahan mentah saja. Pada akhirnya semua toh kembali pada
hasrat, kemampuan dan kemauan untuk menciptakan jenis karya yang betul – betul
menampilkan eross dan semangat hidup masyarakat Banyumas. Hanya saja dengan
menguatnya semangat lokalitas dalam bersastra menurut saya hasilnya akan sangat
estetik. Dalam bahasa antropologi, Banyumas memiliki nilai magik yang mampu
menumbuhkan romantika antropologia. Keunikan bahasa, budaya dan pandangan hidup
itulah yang membuat hal yang berwarna Banyumas akan menarik bagi orang luar.
Hanya saja memang kajian tentang
Banyumas dalam eksplorasi budaya belum segempita di Yogya, Bali, ataupun Solo.
Untuk itulah estetika budaya Banyumasan menurut hemat saya perlu dikaji lebih
giat oleh kaum sastrawannya agar mampu duduk sama – sama populer dalam konteks
khazanah budaya. Dalam pandangan saya tulisan – tulisan Ahmad Tohari bisa jadi
semacam rintisan untuk membingkai kultur Banyumas di tataran internasional. Sehingga
vitalitas, harmoni dan cablaka nya orang Banyumas bukan hanya sebagai
kesahajaan dan keterbukaan masyarakatnya dalam ruang dekorasi komunikasi belaka
tapi ke depan hadir dalam menginspirasi untuk memperkaya kebijakan kehidupan
yang dituangkan dalam bentuk – bentuk yang lebih estetik. Semoga.
Sumber : Sabit Banani, Bergiat di
Nyalaterang Institute, dimuat di Kolom Esai Radar Banyumas : 13 – 04 -2010
No comments:
Post a Comment