Sejarah tradisi Sekaten yang
bergulir sejak zaman Majapahit hingga kini, menyisakan misteri besar seputar
Gamelan Sekaten yang dipercaya bertuah. Pasalnya, Kraton Solo dan Jogja yang
kini masih bertahan, masing-masing memiliki sepasang Gamelan Sekaten. Manakah
yang asli dari zaman Majapahit dan Demak Bintoro?
Ketika tampuk kekuasaan dari Demak
Bintoro berpindah ke Pajang Hadiningrat, Gamelan Sekaten sebagai pusaka
kerajaan juga ikut berpindah tangan. Peralihan zaman dari Demak ke Pajang ini
juga menghentikan pelaksanaan tradisi sekaten, karena situasi perang dan
kekacauan. Tidak ditemukan catatan mengenai sekaten di zaman Sultan Hadiwijaya,
yang naik tahta di Pajang pada tahun 1550 Masehi. Namun dimungkinkan adanya
gelar tradisi sekaten itu di Pajang, karena masa pemerintahan Pajang yang gemah
ripah loh jinawi, selama kurang lebih 40-an tahun. Di penghujung masa kejayaan
Pajang, tlatah Mataram Hadiningrat didirikan oleh Ki Ageng Pemanahan pada 1586
Masehi. Terletak di pinggiran Kali Opak yang disebut alas (hutan) Mentaok.
Tlatah ini adalah pemberian Sultan Hadiwijaya atas keberhasilan Pemanahan
membunuh Arya Penangsang. Pada tahun-tahun selanjutnya, pamor Pajang mulai
surut. Sebaliknya, Mataram Hadiningrat perlahan pamornya mencorong ke seantero
Nusantara.
Panembahan Senopati yang getol
melebarkan sayap hingga ke tlatah Jawa Timur, telah menyebabkan situasi di Jawa
Tengah kembali panas. Beberapa intrik dan peperangan kecil antara Mataram dan
Pajang banyak tertulis dalam babad dan kronik-kronik Mataram. Sebuah upaya
gempuran Pajang terhadap Mataram, disebutkan kandas di tengah perjalanan karena
letusan Gunung Merapi. Sultan Hadiwijaya wafat karena sakit, akibat terjatuh
dari Gajah tunggangannya pada peristiwa itu. Dengan wafatnya Sultan Hadiwijaya
yang menurut DR Purwadi MHum terjadi pada sekitar tahun 1587 M, muncul berbagai
intrik perebutan kekuasaan. Ontran-ontran itu mereda ketika Pangeran Benowo,
putra sulung Hadiwijaya meminta bantuan Panembahan Senopati untuk menggempur
Pajang yang ketika itu dikuasai oleh Harya Pangiri. Pajang akhirnya runtuh.
Namun, Benowo menyerahkan kendali kekuasaan kepada Panembahan Senopati. Dengan
demikian, berakhirlah riwayat Pajang, dan kejayaan Islam diteruskan oleh
Mataram Hadiningrat.
Gamelan Sekaten Dibagi Dua Berbagai
peristiwa sejarah kerajaan-kerajaan besar pewaris jagat Nusantara, tentu saja
berdampak pada sekian banyak tradisi yang ada. Sekaten sebagai tradisi warisan
leluhur, dari zaman ke zaman juga berubah. Di tengah perkembangan itu, terselip
banyak misteri. Salah satunya Gamelan Sekaten, yang berasal dari warisan
Brawjaya V dan Sunan Kalijaga. Di manakah keberadaannya, kini?
Gamelan Sekaten sebagai pusaka
kerajaan, ikut berpindah tangan mengikuti siapa yang berkuasa. Sejak Majapahit,
Demak, Pajang dan Mataram, sebanyak itulah Gamelan Sekaten berpindah tangan.
Namun, perjalanan sejarah belum berakhir. Pasalnya, Mataram Hadiningrat sendiri
kemudian juga pecah menjadi dua, pada tahun 1755 Masehi melalui perjanjian
Giyanti. Harta kekayaan termasuk Gamelan Sekaten itu kemudian dibagi dua.
Namun, tidak bisa dipastikan manakah dari kedua kerajaan pecahan Mataram
Hadiningrat itu yang mendapat Gong Kiai Sekar Delima warisan Brawijaya V dan
Gong Kiai Sekati warisan Sunan Kalijaga. Hasil penelitian sejarah sekaten yang
dilakukan Depdikbud tahun 1991-1992 hanya menyebut, karena Gamelan Sekaten
harus sepasang, masing-masing kerajaan pecahan Mataram Hadiningrat (Solo dan
Jogja) membuat Gong baru sebagai pasangannya. Di Kasultanan Yogyakarta,
sepasang Gamelan Sekaten itu oleh Sultan HB I diubah namanya menjadi Kiai
Guntur Madu dan Kiai Nogowilogo. Di Kasunanan Surakarta, Gamelan Sekaten diubah
namanya menjadi Gong Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari. Diduga kuat, dua
nama yang sama, Kiai Guntur Madu, merupakan tanda kedua Gong inilah yang asli
dari zaman Majapahit.
Sumber :
http://derapkaki.multiply.com/journal/item/37/Misteri_Gamelan_Sekaten
No comments:
Post a Comment