Cerita Dewa Ruci diduga -menurut
Prof. Dr. RM. Ng Purbotjaroko dan Dr. Stutterheim- ditulis kira-kira pada masa
peralihan agama, atau pada awal tersebarnya Islam di Tanah Jawa. Cerita
aslinya, yang dianggap Babon-nya, dinisbahkan kepada Mpu Ciwamurti. Tetapi
naskah-naskah kemudian dihubungkan kepada Ajisaka, yang konon menjadi murid
Maulana Ngusman Ngali, seorang penyebar agama Islam. Pada tangan Sunan Bonang,
Serat Dewa Ruci yang asli itu diterjemahkan dari Bahasa Kawi ke dalam bahasa
Jawa Modern. Terjemahan ini tersimpan di perpustakaan pribadi
R.Ng.Ronggowarsito. Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar
belakang ilmu tasawuf, dengan merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali
dan Ibn Arabi. Walaupun Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko mengatakan bahwa nilai
sastra dewa Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf juga tidak
begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama "angkatan tua",
ia dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk "ilmu
kasampurnan".
Dalam Cerita Dewa Ruci, sebenarnya
tasawuf disampaikan dengan menggunakan "bahasa" orang Jawa. Secara
hermeneutik, jika kita membaca Cerita Dewa Ruci dengan Vorverstandnis
(preunderstanding) sastra modern, kita akan mengatakannya seperti Prof. Dr. Ng.
Purbotjaroko.Tetapi bila preunderstanding kita itu dilandasi pada literatur
sufi, kita akan melihatnya sangat sufistik.Sudah lazim dalam literatur sufi,
para sufi mengajar lewat ceritra. Cerita itu diambil dari khazanah budaya
bangsa yang dihadapi para sufi itu.
Lihatlah, bagaimana Sa'di, Rumi, dan
Hafez mengambil banyak cerita dari khazanah Persia untuk mengajarkan tasawuf.
R. Ng. Ronggowarsito, yang sempat mengakses Dewa Ruci itu di perpustakaannya,
sering merujuk kepadanya dan sangat terpengaruh olehnya pada karya-karya
sufistiknya.Sebagai misal, dalam Suluk Suksma Lelana, dikisahkan seorang santri
yang bernama Suksma Lelana.Ia melakukan perjalanan panjang untuk mencari ilmu
sangkan paran kepada seorang guru kebatinan yang bernama Syekh Iman Suci di
arga (bukit) Sinai.Ia mengalami berbagai cobaan. Ia berhadapan dengan putri
Raja Kajiman bernama Dewi Sufiyah, dengan dua orang pembantunya: Ardaruntik dan
Drembabhukti. Menurut Dr Simuh, ketiga makhluk ini melambangkan tiga macam
nafsu: Sufiyah, Amarah, dan Lawwamah. Para penafsir Dewa Ruci juga menyebut gua
di Candramuka dengan dua raksasa di sana sebagai tiga macam nafsu. Ada juga
yang menyebut Bhima dengan empat saudaranya (saderek gangsal manunggil bayu),
sebagai perjuangan diri kita melawan empat nafsu - Lawwamah, Amarah, Sufiyah,
dan Mutmainnah.
Kisah pencarian air kehidupan bukan
hanya ada di Jawa
Kisah ini bahkan bisa dilacak sampai
setua kebudayaan Mesopotamia, pada bangsa Sumeria.Di kota kuno Uruk bertahta
Raja yang sangat perkasa, Gilgamesh. Ia tidak pernah mengalami kekecewaan
kecuali ketika sahabatnya yang sangat dicintainya, Enkidu, meninggal
dunia."Seperti singa betina yang ditinggal mati anak-anak bayinya, sang
raja mondar-mandir di dekat ranjang kawannya, meremas-remas rambutnya sendiri,
minta anak buahnya membuat patung kawannya dan meraung-meraung dengan
keras," begitu tertulis dalam 12 bilah papan yang dikumpulkan dari fragmen
Akkadia, kira-kira 1750 SM. "Aduhai, biarlah aku tidak mati seperti
sahabatku Enkidu. Derita telah merasuki tubuhku. Mati aku takut. Aku akan terus
berjalan. Aku tidak akan mundur," kata Gilgamesh sambil meneruskan
perjalanannya mencari tanaman yang akan melepaskannya dari kematian dan
mengantarkannya kepada keabadian.
Hampir seperti Dewa Ruci, ia
menempuh perjalanan yang berat dan berbahaya. Ia berhadapan dengan singa-singa
yang buas, yang dapat ia hindari berkat bantuan Dewa Bulan. Ia pergi ke gunung di
tempat mentari tenggelam. Kepadanya diperlihatkan kematian. Ia berjumpa dengan
manusia kalajengking yang menjaga gua. Seorang di antaranya membukakan pintu
gua. Gilgamesh dilemparkan ke dalam kegelapan. Habis gelap terbitlah terang. Ia
sampai ke taman yang indah dan di tepi pantai ia berjumpa dengan putri yang
misterius, Siduri.
Sang putri melarangnya meneruskan
perjalanan:
O Gilgamesh, whither do you fare?
The life you seek, you will not find
When the gods created man,
They apportioned death to mankind;
And retained life to themselves
O Gilgamesh, fill your belly,
Make merry, day and night;
Make of each day a festival of joy,
Dance and play, day and night!
Let your raiment be kept clean,
Your head washed, body bathed,
Pay heed to the little one,
holding onto your hand,
Let your wife delighted your heart,
For in this is the portion of man
Tetapi Gilgamesh tidak ingin
berkutat pada "the portion of man".Ia ingin mencari jauh di luar itu.
Ia ingin abadi.Putri itu mengantarkannya kepada tukang perahu kematian, yang
pada gilirannya mengantarkannya ke lautan kosmis.Di situ ia berjumpa dengan
Untuk-napishtim, yang hidup abadi bersama isterinya.Ia diberitahu bahwa tanaman
keabadian itu terletak di dasar samudra kosmis.Ia harus memetiknya. Pohonnya
berduri yang sangat tajam.Tak pernah orang datang untuk memetik tanaman itu,
kembali ke pantai dalam keadaan selamat.Jika durinya mengenai tangan, tangan
akan segera terpotong; tetapi bila tangan itu berhasil mencabutnya, ia akan
hidup abadi.
Singkatnya cerita, Gilgamesh
berhasil memetiknya, membawanya ke pantai, dan -ketika ia beristirahat mandi
sejenak- ular mencuri tanaman itu. Gilgamesh tidak bisa berusia panjang, tetapi
ular bisa. Lalu, lebih kemudian dari kebudayaan Sumeria, adalah kisah
kepahlawanan Aleksander yang Agung dari Masedonia.Setelah berbagai
penaklukannya yang menakjubkan, ia juga ingin mencari air kehidupan, yang akan
memberikannya keabadian.Aleksander menempuh perjalanan panjang bersama tukang
masaknya yang bernama Andreas.Setelah berkelana bertahun-tahun, akhirnya
keduanya memutuskan untuk mengambil jalan terpisah.Pada suatu tempat, di tepi
sungai, Andreas berhenti untuk makan.Ia membuka bakul makanan, yang di dalamnya
sudah disimpan ikan yang sudah dimasak.Tiba-tiba sepercik air mengenai ikan
itu. Ikan melompat ke sungai.Andreas mengejar ikan itu dan akhirnya kecebur
dalam air keabadian.
No comments:
Post a Comment