Perang Bubat adalah perang yang
kemungkinan pernah terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk
dengan Mahapatih Gajah Mada. Persitiwa ini melibatkan Mahapatih Gajah Mada
dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat
pada abad ke-14 di sekitar tahun 1360 M. Sumber-sumber tertua yang bisa
dijadikan rujukan mengenai adanya perang ini terutama adalah Kidung Sunda dan
Kidung Sundayana yang berasal dari Bali. Peristiwa Perang Bubat diawali dari
niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi
dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut
karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara
diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging
Prabangkara.[rujukan?] Namun catatan sejarah Pajajaran yang ditulis Saleh
Danasasmita dan Naskah Perang Bubat yang ditulis Yoseph Iskandar menyebutkan
bahwa niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah
lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri
kerajaan Majapahit, dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya
yaitu Rakeyan Jayadarma, raja kerajaan Sunda.
Hal ini juga tercatat dalam Pustaka
Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden
Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran. Meskipun demikian,
catatan sejarah Pajajaran tersebut dianggap lemah kebenarannya, terutama karena
nama Dyah Lembu Tal adalah nama laki-laki. Hayam Wuruk memutuskan untuk
memperistri Dyah Pitaloka. Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk
mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamarnya.
Upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri
Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubuminya yaitu Hyang Bunisora
Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu,
tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki.
Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit
yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai
Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara. Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat
ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua
negara tersebut. Berangkatlah Linggabuana bersama rombongan Sunda ke Majapahit,
dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Melihat Raja Sunda datang
ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit
prajurit, maka timbul niat lain dari Mahapatih Gajah Mada yaitu untuk menguasai
Kerajaan Sunda, sebab untuk memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya tersebut,
maka dari seluruh kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan hanya kerajaan
Sunda lah yang belum dikuasai Majapahit.
Dengan makksud tersebut dibuatlah
alasan oleh Gajah Mada yang menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di
Pesanggrahan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada
Majapahit, sesuai dengan Sumpah Palapa yang pernah ia ucapkan pada masa sebelum
Hayam Wuruk naik tahta. Ia mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka
bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui
superioritas' Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri menurut
Kidung Sundayana disebutkan bimbang atas permasalah tersebut, karena Gajah Mada
adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu. Kemudian terjadi
insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan
ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang
terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan
mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah
Mada tetap dalam posisi semula. Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya,
Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan
mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit.
Demi mempertahankan kehormatan
sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan
yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar,
melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah
kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu.
Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri dan pejabat
kerajaan Sunda, serta putri Dyah Pitaloka. Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini
dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali - yang saat itu berada di
Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka -
untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati
yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa
semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di
Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya. Akibat peristiwa
Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan
Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai
wafatnya (1364). Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda
diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran, yang isinya diantaranya tidak
boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan
tidak boleh menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).
Kepustakaan
Yoseph Iskandar, "Perang
Bubat", Naskah bersambung Majalah Mangle, Bandung, 1987.
Sumber diolah dari
"http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Bubat"
No comments:
Post a Comment