Cirebon saat ini tengah
tertatih dalam usia yang makin renta. Dihitung dalam tahun masehi, konon
Cirebon telah melewati perjalanan sejarah selama 535 tahun. Dan telah lama
rakyat merindukan kehidupan yang penuh sejahtera di tengah kiprah manusia yang
penuh kemunafikan dan ramai dengan geliat kemaksiatan. Tampaknya penguasa
Cirebon saat ini tak pernah mau membangun nilai-nilai sejarah yang sesungguhnya
mampu menumbuhkan seraut wajah rakyat yang berjaya. Sejarah masa lampau tentang
Cirebon yang pernah mengukir masa keemasan sebagai negeri yang tenteram, damai,
dan dihuni masyarakatnya yang bergelimang kemakmuran, tampaknya kian
terpinggirkan. Padahal menurut para ahli seperti Prof. Dr. Siti Humamah, dosen
UGM, sejarah masa lampau Cirebon punya arti penting dan sarat dengan pelajaran
bagi penguasa maupun rakyatnya.
Cirebon dulu hanyalah
sebuah pedukuhan kecil bagian dari sebuah negeri besar Pakuan Pajajaran yang
memiliki pelabuhan laut yang terletak di kaki Gunung Sembung dan Amparan Jati,
sementara daerah lainnya masih berupa hutan belukar. Naskah kuno berjudul
Carita Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon yang ditulis tahun
1702 Masehi mengisahkan bahwa Dukuh Pasambangan pada tahun 1482, masih menjadi
daerah kekuasaan Pakuan Pajajaran dengan raja yang berkuasa Prabu Siliwangi.
Yang patut dicatat dan direnungi, penguasa pelabuhan Cirebon masa itu begitu
menghormati tokoh agama Islam yang mendirikan pesantren di sekitar pelabuhan
meski ia sendiri bukan pemeluk Islam. Maka tokoh agama dan seorang kiai asal
Mekah yang bernama Syekh Datuk Kahpi atau Syekh Idhofi juga disebut Syekh
Nuruljati, membalas penghormatan penguasa pedukuhan itu dengan membantu
pembangunan pedukuhan Cirebon, hingga berkembang pesat menjadi sebuah pedukuhan
dengan pelabuhan yang besar dan terkenal di kalangan pedagang nasional maupun
internasional.
Setiap harinya
pelabuhan ini dilabuhi banyak perahu dari berbagai negeri seperti dari Cina,
Arab, Parsi, India, Malaka, Tumasik, Pasei, Jawa Timur, Madura, dan Palembang.
Peran Kiai Syekh Datuk Kahpi dan para santrinya kala itu dalam membangun
kejayaan Cirebon tampak sangat menonjol. Islam di Cirebon kala itu berkembang
pesat hingga mengalahkan agama yang lama, ternyata dibangun bukan dengan
gerakan anarkis atau dengan perjuangan yang berdarah-darah. Kiai Syekh Datuk
Kahpi syiar Islam dengan mewujudkan sabda Rasulullah saw., yakni dengan menebar
citra bahwa Islam itu adalah agama yang menebar rahmatan lil âlamin. Rupanya
Kiai Syekh Datuk Kahpi paham benar tentang ajaran Islam sebagaimana yang di
firmankan Allah SWT dalam Alquran Surat Al- Qashash:77 yang terjemahnya
berbunyi, “dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. Maka nama besar Kiai
Syekh Datuk Kahpi ini menebar ke berbagai negeri.
Tak pelak, namanya
membuat dua anak Maha Raja Pakuan Pajajaran Prabu Siliwangi, bernama Raden
Walangsungsang dan Nyai Lara Santang, menjadi santri di Pondok Pesantren Syekh
Datuk Kahfi di Gunung Amparan Jati. Dalam mendidik, Kiai Syekh Datuk Kahpi
tidak mengajarkan terorisme terhadap para santrinya. Seperti yang tertulis
dalam naskah kuno berjudul Carita Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya
Carbon yang ditulis tahun 1702 Masehi. Kiai Syekh Datuk Kahpi selain mengajarkan
ilmu keagamaan juga mengajarkan ilmu kehidupan. Sebagai contoh, saat dua orang
santri, putra Prabu Siliwangi, selesai belajar ilmu agama selama tiga tahun,
Kiai Syekh Datuk Kahfi menerjunkan para santrinya itu – dipimpin santri bernama
Raden Walangsungsang – untuk babad alas/membuka hutan belukar untuk mendirikan
pedukuhan di kebon pesisir, Lemahwungkuk yang pada waktu itu disebut Tegal
Alang-alang.
Hasilnya
menggembirakan. Para santri menunjukkan hasil dalam babad alas. Atas
keberhasilan babad alas ini, Raden Walangsungsang – selaku pimpinan babad alas
dijuluki Ki Samadullah oleh Kiai Syekh Datuk Kahpi. Dan setelah babad alas
usai, Ki Samadullah pun mendirikan tajug baru dan membuat gubuk. Dalam hitungan
tahun pedukuhan ini makin lama bertambah ramai. Banyak orang berdatangan untuk
berdagang dan menangkap ikan. Komandan santri yang babad alas Cerbon ini
menikah. Pedukuhan ini berubah menjadi sebuah desa yang bernama Desa Caruban
Larang. Kuwu pertama adalah mertua Ki Samadullah yakni Ki Danusela yang bergelar
Ki Gedeng Alang-alang. Sementara Ki Samadullah diangkat menjadi pangraksa bumi.
Kepiawaian sosok santri Raden Walangsungsang alias Ki Samadullah ini mampu
menarik simpatik banyak orang. Sehingga dalam tiga tahun Desa Caruban Larang
banyak dikunjungi orang untuk berdagang bahkan berdiam menjadi penduduk
setempat.
Mereka yang berdiam di
Desa Caruban larang adalah orang-orang dari berbagai bangsa dan berbagai agama
serta berbagai profesi. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan yang dipegang oleh
seorang santri mampu mengayomi banyak orang dari berbagai bangsa, agama, dan
pekerjaan. Ki Samadullah juga dikenal banyak menolong bukan cuma dari golongan
sendiri tapi juga kepada orang dari golongan lain yang memang perlu dan
membutuhkan pertolongan. Atas saran dari gurunya Kiai Syekh Datuk Kahfi, Ki
Samadullah dan adiknya Nyi Mas Lara Santang menunaikan ibadah haji dan belajar
agama Islam di Makah kepada Syekh Abdul Yazid. Ki Samadullah – santri Syekh
Datuk Kahfi ini, sepulang dari Makah mengajar agama Islam pada penduduk di
Caruban. Makin lama makin banyak pengikut Ki Samadullah. Ki Samadullah yang
mendapat gelar Pangeran Cakrabuwana membangun keraton dengan berbagai
kemudahan. Semua kemudahan itu tidak terlepas dari sikap hidupnya yang selalu
menolong sesama. Ia telah mendapat pertolongan Allah SWT. Sebagaimana hadis
Nabi Muhammad saw., “Allah menolong seorang hamba selama hamba termaksud (suka)
menolong sesama”. Ki Samadullah ini merintis pembangunan kota yang sekarang
berkembang menjadi Cirebon diperkirakan jatuh pada tahun 1445 Masehi.
Ia adalah perintis
adanya Cirebon sebagai sebuah negara yang berdaulat. Keberhasilan Ki Samadullah
dalam membangun Cirebon diteruskan oleh seorang santri lainnya yang juga
keponakan Ki Samadullah bernama Syekh Syarif Hidayat (belakangan dikenal dengan
nama Sunan Gunung Djati), yakni cucu Prabu Siliwangi. Keilmuan yang dimiliki
santri Syarif Hidayat ini tak perlu diragukan. Sebab pada usia 20 tahun, ia
telah mesantren ke berbagai negeri pusat agama Islam. Sunan Gunung Djati alias Syarif
Hidayat pernah menjadi santrinya Syekh Tajuddin Al-Kubri Makah selama 2 tahun
dan menjadi santrinya Syekh Ata’ullahi Sadzili, pengikut Imam Safi’i, selama 2
tahun. Kemudian belajar tasawuf di Bagdad Irak. Tamat belajar dari Bagdad Sunan
Gunung Djati mondok di Pasei Aceh dan berguru pada Sayid Iskak selama 2 tahun.
Tahun 1470 Masehi Sunan Gunung Djati membuka pondok pesantren di Gunung Sembung
(sekarang Desa Astana Kecataman Cirebon Utara).
Tahun 1479 Masehi Sunan
Gunung Djati menjadi Tumenggung bergelar Susuhunan Jati dengan berkedudukan di
Keraton Pakungwati. Bersamaan dengan itu Sunan Gunung Djati dinobatkan sebagai
Penegak Panatagama Islam yakni wali di seluruh wilayah Sunda oleh para Wali
Sanga, menggantikan guru ngajinya Syekh Datuk Kahpi atau Syekh Nuruljati yang
telah wafat. Kepemimpinan Sunan Gunung Djati dengan syiar Islam yang mengajak
rakyat untuk beriman dan bertakwa kepada Allah SWT membuahkan hasil yang
menggembirakan. Cirebon dibangun dengan tapak sejarah kemaksiatan. Terbukti
penduduk Cirebon semasa kepemimpinan Sunan Gunung Djati sebagian besar berubah
agama menjadi penduduk beragama Islam yang memelihara keimanan dan ketakwaan
secara kafah. Bahkan saat Sunan Gunung Djati memproklamasikan Cirebon sebagai
negara berdaulat dan tidak lagi menjadi daerah jajahan Pakuan Pajajaran, tanpa
mengacungkan pedang dan mengumandangkan genderang perang saudara. Cirebon
menjadi negara Islam yang besar dan berjaya di Jawa Barat dengan penduduknya
yang makmur. Keberhasilan Sunan Gunung Djati dalam memimpin negeri Cirebon
hanya dan lantaran mengamalkan perintah Allah SWT dalam firman- Nya, “Jikalau
sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa,pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi” (Al-A’raf:96). “…Barang siapa yang
bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan
memberikan rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa
yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluanya)-nya”
(A-Talaq :2-3).
Inilah bukti sejarah
yang tak terbantahkan bahwa peran para santri, para kiai beserta komunitas
pesantrennya begitu penting dalam menentukan keberadaan Cirebon sebagai negeri
yang berjaya. Para santri dan kiai beserta komunitas pesantrennya di Cirebon
semestinya tak terabaikan begitu saja, apalagi terpinggirkan seperti saat ini.
Sumber: Pikiran Rakyat, Jumat, 3 Juni 2005.
No comments:
Post a Comment