Perang Aceh adalah perang Kesultanan
Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah
pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut.
Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van
Antwerpen. Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah
pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya
Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya
para perwira. Perang pertama (1873-1874), yang dipimpin oleh Panglima Polem dan
Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Kohler.
J.H. Kohler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, di mana Köhler sendiri
tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di
mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman,
yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuek
(Lambuk), Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya.
Beberapa ribu orang juga berdatangan
dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa beberapa wilayah lain. Perang kedua
(1874-1880), dibawah Jenderal Jan van Swieten berhasil menduduki Keraton
Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. 31
Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian
dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874,
digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawod yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid
Indragiri. Perang Aceh Pertama dan Perang Aceh Kedua ini adalah perang total
dan frontal, di mana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara
berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indra Puri dan tempat-tempat lain. Perang
ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi
sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.
Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh dibawah Teuku Umar bersama Panglima Polim
dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der
Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar
kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya. Perang keempat (1896-1910)
adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan,
penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.
Perang Aceh disebabkan karena:
Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari Perjanjian Siak 1858. Di mana Sultan
Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Kabupaten Asahan dan Serdang kepada
Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah
kekuasaan Aceh. Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah Perjanjian
London 1824. Isi perjanjian London adalah Belanda dan Britania Raya membuat
ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu
dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh. Aceh menuduh
Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat
perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung
Britania. Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps. Menyebabkan
perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan.
Ditandatanganinya Perjanjian London (1871) antara Inggris dan Belanda, yang
isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan
di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda
mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di
Guyana Barat kepada Britania. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan
hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, Kesultanan
Usmaniyah di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871.
Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di
Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh.
Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik
Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta
keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di
Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan. Untuk
mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr.
Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk
meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan
dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam buku itu disebutkan strategi
bagaimana untuk menaklukkan Aceh. Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada
Gubernur Militer Belanda Johannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan
Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya
dikesampingkan dahulu. Tetap menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama.
Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan
tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan
cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu
pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje
diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh
(1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasehatnya. Taktik
perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan maréchaussée
yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang telah mampu dan
menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan
mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh. Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda
adalah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya
Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van der Maaten
menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5
Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap
Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya
ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa
keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata dan menyerah
ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak
penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.
Taktik selanjutnya, pembersihan
dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan dibawah pimpinan Gotfried
Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di
Kuta Reh (14 Juni 1904) di mana 2.922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1.773
laki-laki dan 1.149 perempuan. Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri
Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut
Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Cianjur. Selama perang Aceh, Van
Heutz telah menciptakan surat pendek (Korte Verklaring, Traktat Pendek) tentang
penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah
tertangkap dan menyerah. Dimana isi dari surat pendek penyerahan diri itu
berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia
Belanda, Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar
negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan
Belanda. Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu
yang rumit dan panjang dengan para pemimpin setempat.
Sumber : wikipedia
No comments:
Post a Comment