Tidak aneh kalau setiap
dusun di Jawa terdapat makam tua yang sering dianggap kuburan nenek moyang
(cikal bakal) warga setempat. Kadang makam tersebut malah cuma sekadar tempat
menyimpan pusaka atau barang peninggalan cikal bakal dusun bersangkutan. Sampai
saat ini di Dusun Mangir terdapat berbagai peninggalan dari zaman kejayaan
Keraton Mangir. Peninggalan Ki Ageng Mangir tersebut sampai sekarang masih
terpelihara baik. Peninggalan yang masih tampak terpelihara di Dusun Mangir ini
antara lain berupa batu persegi dengan ukuran 1x1 meter yang dipercaya sebagai
dhampar/singgasana Ki Ageng Mangir, arca lembu (kendaraan Dewa Siwa), beberapa
fragmen arca, serta lingga dan yoni yang sudah tidak in situ lagi. Selain
peninggalan tersebut, ada beberapa peninggalan lain yang cukup tersebar di
Dusun Mangir, yakni berupa onggokan batu bata dalam ukuran lebih besar dari
rata-rata ukuran batu bata di zaman sekarang, onggokan batu bata yang hampir
tersebar di seluruh Dusun Mangir ini diperkirakan merupakan sisa-sisa bangunan
keraton Ki Ageng Mangir di masa lalu.
Dusun Mangir sekarang
terbagi atas tiga wilayah, yakni Dusun Mangir Lor, Mangir Tengah dan Mangir
Kidul. Lokasi ini terletak kira-kira 20-an kilometer dari Jogyakarta. Secara
administratif dusun ini masuk dalam wilayah Kalurahan Sendangsari, Kecamatan Pajangan,
Kabupaten Bantul, DIY. Dalam buku-buku sejarah tidak pernah disebutkan dengan
jelas siapakah tokoh Ki Ageng Mangir. Buku sejarah versi De Graaf yang sebagian
besar mendasarkan sumbernya pada Babad Tanah Jawi dan berita-berita Kumpeni-VOC
pun tidak pernah membicarakan tentang Mangir. Nama Mangir justru terkenal di
dalam cerita tutur dan buku Babat Mangir yang pernah diterjemahkan oleh Balai
Bahasa. Disebut dalam Babad Mangir bahwa paling tidak ada tiga tokoh yang
menggunakan nama Mangir. Trah Mangir ini dalam babad diceritakan berasal dari
Brawijaya terakhir (V) yang berputra Radyan Alembumisani.
Alembumisani ini
melarikan diri dari Majapahit ke arah barat bersama istrinya. Kemudian dia
mempunyai seorang putra yang diberi nama Radyan Wanabaya. Radyan Alembumisani
meninggal di daerah Gunungkidul. Radyan Wanabaya inilah yang kemudian tinggal
di Mangir sehingga ia terkenal dengan nama Ki Ageng Mangir Wanabaya (Mangir I).
Ki Ageng Mangir Wanabaya I menurunkan Ki Ageng Mangir Wanabaya II. Mangir I
juga mempunyai istri (selir), putri dari Demang Jalegong. Konon dari rahim Rara
Jalegong ini lahir seorang anak yang berupa ular/naga (demikian disebut-sebut
dalam babad dan cerita tutur). Anak yang kelak terkenal dengan nama Ki Bagus
Baruklinting ini mempunyai kesaktian yang luar biasa pada lidahnya sehingga
lidahnya dibuat menjadi sebilah mata tombak oleh ayahnya sendiri dan diberi
nama Kiai Baru.
Jadi, Ki Bagus
Baruklinting adalah saudara tiri dari Mangir II dan paman dari Mangir III.
Mangir III ini pula yang kelak hidupnya tidak pernah berpisah dengan tombak
Kiai Baruklinting. Demikian, Babad Mangir menceritakan. Nama baru sendiri dalam
dunia tosan aji (senjata logam) menjadi nama salah satu dhapur. Dalam cerita
rakyat dipercaya bahwa Ki Bagus Baruklinting adalah naga yang berubah wujud
menjadi tombak pusaka (Kiai Baruklinting). Akan tetapi apabila dinalar tentulah
hal ini menjadi muskil. Perkawinan Ki Ageng Mangir I dengan Rara Jalegong tentu
saja melahirkan seorang bayi manusia pula (bukan ular naga). Memang, cerita
dalam babad/cerita tutur sering berisi hal-hal yang tidak wantah (terus
terang), banyak dibumbui cerita-cerita yang berbau mitos, sandi, sanepa
‘perumpamaan/teka-teki’, dan legenda sehingga cukup sulit diterima nalar begitu
saja.
Misteri Ki Bagus Baruklinting
sampai sekarang ini masih kontroversial. Sebagian orang meyakini bahwa dia
adalah benar-benar naga. Akan tetapi sebagian orang percaya bahwa Ki Bagus
Baruklinting adalah benar-benar manusia biasa. Hanya saja karena ia lahir dari
rahim seorang wanita yang sebenarnya tidak dinikah, maka dalam cerita babad ia
digambarkan sebagai ular/naga dan seolah-olah tidak diakui sebagai anak oleh
Mangir I. Barangkali hal ini ditempuh penulis babad untuk tidak terlalu memberi
efek negatif bagi dinasti Ki Ageng Mangir maupun Rara Jalegong sendiri.
Kesaktian tombak Ki Baruklinting yang diceritakan demikian luar biasa ini
barangkali sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kisah hidup Ki Bagus
Baruklinting sendiri.
Dalam babad diceritakan
bahwa tombak Kiai Baruklinting senantiasa disanding oleh Ki Ageng Mangir.
Bahkan setiap Ki Ageng Mangir berdekatan dengan Pembayun tombak ini bersuara
(berkokok). Apa yang disuarakan tombak ini sebenarnya dapat dipandang sebagai
simbol bahwa Ki Baruklinting memperingatkan agar Ki Ageng Mangir selalu
berhati-hati terhadap Pembayun. Tidak aneh kalau kemudian pada gilirannya bahwa
tombak Kiai Baruklinting ini dibungkam/dilumpuhkan oleh Pembayun dengan
kembennya. Pelumpuhan itu dilakukan dengan membungkam bilah tombak tersebut
dengan kemben milik Pembayun.
Sumber : metro
balikpapan
No comments:
Post a Comment