Di separuh pertama
bulan puasa, masjid di Jalan Sultan Patah itu selalu kebanjiran pengunjung.
''Selain salat, mereka juga ziarah,'' kata KH Muhammad Muzadin Munawar, Imam
Besar Masjid Agung Demak. Di kompleks masjid memang terdapat 60 pusara makam
pejuang muslim Demak. Antara lain Raden Patah, Pati Unus, dan Sultan Trenggono.
Mereka bertiga adalah Sultan Demak pertama sampai ketiga. Masjid Agung Demak
terletak di sebelah barat alun-alun. Umumnya, tata letak kota kuno di Jawa
selalu menempatkan alun-alun di sebelah utara dan selatan istana. Ruang publik
itu, pada masa lampau, berfungsi sebagai tempat berkumpul sesama rakyat untuk
menghadap rajanya. Pola ini sama dengan tata ruang pusat kota Trowulan di
Mojokerto, Jawa Timur. Pada pusat kota pemerintahan Majapahit itu, berlaku
pembagian zona yang menempatkan area peribadatan di sebelah barat laut, dekat
pusat pemerintahan. Meski belum jelas letaknya, pusat pemerintahan Demak bisa
jadi tak jauh dari masjid agung. ''Itu dirujuk dengan alun-alun di depan masjid
yang biasanya dekat dengan pusat pemerintahan,'' kata Inajati Adrisijanti M.
Romli, arkeolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Bangunan model
Majapahit, yang membawa corak kebudayaan Bali, banyak mempengaruhi arsitektur
Masjid Demak.
Gaya itu berpadu dengan
langgam rumah tradisional Jawa Tengah. Inajati memperkirakan, ahli rancang
bangun Masjid Demak berasal dari Majapahit. ''Tapi arsitek sesungguhnya belum
bisa dipastikan,'' kata wanita yang pernah jadi staf ahli pemugaran Masjid
Agung Demak ini. Banyak versi yang menyebut Wali Songo sebagai pendiri Masjid
Demak. Namun, cerita itu banyak yang meragukannya, karena sembilan wali tak
hidup dalam waktu yang sama. Menurut Babad Demak, daerah Glagahwangi sebagai
tempat Masjid Demak, pertama kali dibuka oleh Raden Patah. Putra Prabu Kertabumi
atau Brawijaya V ini mendirikan pesantren dan masjid di daerah rawa-rawa itu.
Pengalaman hidup Raden Patah di Palembang membuatnya bisa menyiasati tanah
lembek itu, dengan cara membangun masjid berkonstruksi rumah panggung. Terbukti
dengan ditemukannya umpak batu di dasar tiang pada 1987. Keterlibatannya dengan
Majapahit, hingga diangkat menjadi Adipati Demak, memberinya pengalaman
arsitektur Majapahit. Pemahaman ini dipakainya ketika membuka Glagahwangi.
Film Para Wali
Kedekatan arsitektur Masjid Demak dengan bangunan Majapahit bisa disimak pula
pada bentuk atapnya. Kubah, yang identik dengan ciri masjid sebagai bangunan
Islam, malah tak digunakan. Bentuknya justru mengadopsi bangunan peribadatan
agama Hindu. Ini merupakan upaya membumikan Masjid Demak, sebagai sarana
penyebaran agama Islam pada abad ke-15, di tengah masyarakat Hindu. Bentuk atap
yang dipakai adalah tajug tumpang tiga. Bagian paling bawah menaungi ruangan
berdenah segi empat. Atap bagian tengah mengecil dengan kemiringan lebih tegak
ketimbang atap di bawahnya. Sedangkan atap tertinggi berbentuk limasan, dengan
tambahan hiasan mahkota pada puncaknya. Komposisi ini mirip meru, bangunan
tersuci di pura Hindu. Meru memiliki bentuk atap tajug berlapis. Sebenarnya,
bentuk meru hanya tercermin pada atap masjid.
Jika menilik sistem
konstruksinya yang terdiri dari empat saka guru, yang klop dengan bentuk atap
Masjid Demak adalah Bangunan Wantilan di Bali. Bangunan beratap tajug tumpang
dua yang disangga empat saka ini memiliki denah bujur sangkar. Tepinya
berundak-undak. Fungsinya sebagai tempat pentas tari. Namun sering pula dipakai
sebagai arena adu ayam, yang merupakan awal prosesi tabuh roh dalam agama
Hindu. Bentuk bangunan ini dipercaya terdapat pula di pusat Kerajaan Majapahit
di Trowulan. Boleh jadi, meluasnya pemakaian bangunan ini terjadi setelah Bali
ditaklukkan Majapahit. Masjid Agung Demak, yang menempati lahan seluas 11.220
meter persegi, kini seolah menjadi ciri kota Demak. Seluruh kompleks masjid,
termasuk Yayasan Masjid Demak, menempati lahan enam hektare. Kompleks itu
terdiri dari masjid, serambi, makam, tempat wudu, dan pawestren.
Selain itu, masih ada
pula gedung Majelis Ulama Indonesia, sekolah, museum, dan wisma tamu. Pawestren
adalah ruang untuk wanita menjalankan salat. Luasnya 15 x 17,30 meter. Dibangun
pada 1866 ketika KRMA Arya Purbaningrat menjadi Adipati Demak. Bangunan
berkonstruksi kayu jati ini terletak di sebelah selatan masjid. Atapnya
berbentuk limas, disangga delapan pilar bergaya Majapahit. Empat di antaranya
menopang belandar balok bersusun tiga. Sepanjang riwayatnya, Masjid Agung
Demak, menurut Muhammad Muzadin, sedikitnya 16 kali dipugar. Pertama kali oleh
Raja Mataram Paku Buwono I, pada 1710. Ia mengganti atap sirap yang rapuh.
Pembangunan menara azan baru dilakukan pada 2 Agustus 1932. Bangunan
berkonstruksi baja itu menelan biaya 10.000 gulden. Ada tiga pintu masuk ke
dalam masjid. Sebelah kiri berhadapan dengan tempat wudu wanita, pintu masuk ke
sebelah kanan bertaut tempat wudu pria. Sedangkan pintu di tengah langsung
mengantarkan ke serambi masjid.
Serambi seluas 29 x 17
meter dan berlantai teraso 30 x 30 sentimeter itu juga sering disebut ''Serambi
Majapahit''. Julukan itu melekat karena pilar di serambi itu mirip dengan
bangunan ''Siti Hinggil'' di Majapahit. Kemungkinan, delapan pilar itu diambil
dari bangunan di Senggaluh, setelah Demak menaklukkan Majapahit pada 1479,
sebagai bukti kemenangan. Senggaluh, yang kini masuk wilayah Kediri, merupakan
benteng terakhir pertahanan Majapahit sewaktu digempur Demak. Anggapan itu
belum dibuktikan kebenarannya. ''Jarak Majapahit dengan Demak sangat jauh,''
kata Inajati. Film Para Wali Misteri memang masih menyelubungi sebagian riwayat
Masjid Agung Demak. Berdirinya masjid ini pun berasal dari penafsiran yang
terdapat pada prasasti Lawang Bledheg. Prasasti sekaligus pintu utama di tengah
masjid itu mencantumkan penanda waktu atau candrasengkala berbunyi ''naga mulat
salira wani''. Artinya, tahun 1388 Saka atau 1466 Masehi.
Petunjuk ini
diperkirakan sebagai awal dibangunnya Masjid Demak. Lawang Bledheg atau ''pintu
petir'', yang menghubungkan serambi dengan ruang utama masjid, memiliki dua
daun pintu. Pada masing-masing kepingnya tertera ukiran naga. Konon, pintu ini
dibuat Kiai Ageng Selo, nenek moyang raja pertama Mataram, Panembahan Senopati,
yang dalam cerita rakyat disebut punya kemampuan menangkap petir. Kilat itu,
masih kata legenda tadi, diikat di Lawang Bledheg. Kini, yang dipasang di
masjid cuma tiruannya. Sedangkan pintu aslinya disimpan di Museum Masjid Demak.
Penanda waktu lain terdapat di dinding mihrab bagian dalam. Di ruang berwarna
kuning keemasan, tempat imam memimpin salat, itu terpampang tablo bergambar
bulus. Kepalanya satu, kakinya empat, badannya bulat, dan ekornya satu. Ini
dianggap menunjukkan tahun 1401 Saka atau 1479 Masehi. Tanda ini diperkirakan
menunjukkan mulai diperluasnya Masjid Demak, bertepatan dengan keberhasilan
Demak menaklukkan Majapahit yang sudah mengungsi ke Senggaluh. Perluasan
besar-besaran untuk menjadi masjid agung diperkirakan berlangsung pada
1504-1507.
Pada masa itu, agama
Islam makin meluas. Perubahan dari tata cara sembahyang agama Hindu di ruang
terbuka ke dalam masjid mencuatkan pemikiran untuk membuat interior masjid yang
luas. Apalagi, penduduk Demak kala itu mencapai 10.000 keluarga. Kesan luas itu
sampai sekarang masih terasa pada ruang utama masjid. Sedikitnya, 500 jamaah
bisa ditampung di ruang yang luasnya 25 x 26 meter itu. Lantainya menggunakan
konstruksi bata, ditutupi marmer 70 x 70 sentimeter. Tinggi lantainya 35
sentimeter dari permukaan pelataran paling luar. Atau 3 sentimeter lebih tinggi
dari lantai serambi. Di sebelah kanan ruangan ini terdapat ruang khalwat. Ruang
perenungan berukuran 2 x 2,5 meter ini dulunya dipakai para penguasa melakukan
salat dan munajat untuk memohon petunjuk Tuhan. Hampir sekujur ruangan ini
dipenuhi ukiran model Majapahit. Pada salah satu sudutnya terdapat relief
aksara Arab yang artinya memuliakan keesaan Allah. Yang menarik dari Masjid
Demak adalah sistem strukturnya. Di ruang utama terdapat empat saka guru,
setinggi 19,54 meter, yang konon merupakan karya empat wali. Sunan Kalijaga
membuat pilar timur laut. Sunan Bonang untuk tiang barat laut. Saka guru
tenggara dibuat Sunan Ampel, dan Sunan Gunung Jati membuat yang barat daya.
Saka guru yang dibuat
Sunan Kalijaga, menurut Tembang Babad Demak, sering disebut saka tatal, karena
berasal dari tatal atau ''serpihan'' kayu. Potongan kayu agak besar itu
digabungkan menjadi satu dengan perekat jabung, menyan, atau damar. Lalu
dipasak dan diikat erat. Setelah kokoh --konon sampai butuh waktu dua tahun--
ikatannya dilepas, dan dihaluskan menjadi saka guru. Empat saka guru setebal
1,45 meter itu menahan beban bagian atap tertinggi dan menjadi penyangga atap
di bawahnya. Tiang sekeliling saka guru menahan beban atap tajug, dan menjadi
tautan atap paling bawah. Tiang paling luar menyalurkan beban atap terendah,
sehingga dinding masjid hanya menanggung beban sendiri. Ekspresi tektonika
dengan membagi beban seperti ini menunjukkan kemampuan memakai struktur rumah
Jawa untuk membentuk bangunan yang besar. Perpaduan berbagai corak dalam
arsitektur Masjid Agung Demak, boleh jadi, menyiratkan bahwa tepa selira
antarpemeluk agama sudah berlangsung sejak dulu.
Sumber : Sigit Indra,
dan Sujoko [Majalah Gatra]
No comments:
Post a Comment