Telaga Bidadari


Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan, gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan. Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya.
la hidup seorang diri dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu, ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya. Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut. Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi.
Tidak ada burung dan tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang merekah. “Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena. Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon, Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh. Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur. Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya. Matanya diusap-usap.
Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-semburan air. “Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip. Legenda Telaga BidadariDari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan. Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada. Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang.
Mereka asyik bermain sehingga tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai (lumbung tempat menyimpan padi). Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan. Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu, Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya. “Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara bersama hamba.” Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama Awang Sukma. Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya. Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama Kumalasari.
Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya. Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini. Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya. Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai. Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya. Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu. “Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu. Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas, kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada suaminya. “Aku harus kembali,” katanya dalam hati. Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu.
Setelah itu, ia menggendong putrinya yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang Sukma terjaga. Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat perpisahan tidak mungkin ditunda lagi. “Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul. Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu denganngan suling Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.” Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya.
Bagaimana pun kerinduan kepada istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala. Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap membawa petaka bagi dirinya. Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari, terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya, delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan. Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
 *Sumber : http://dongeng.org/tag/cerita-rakyat

Legenda Batu Hapu

Tidak berapa jauh dari kota Rantau, ibu kota Kabupaten Tapin Propinsi Kalimantan Selatan terdapat dua desa bernama Tambarangan dan Lawahan. Menurut cerita orang tua-tua, dahulu kala di perbatasan kedua desa itu hiduplah seorang janda miskin bersama putranya. Nama janda itu Nini Kudampai, sedangkan nama putranya Angui. Mereka tidak mempunyai keluarga dekat sehingga tidak ada yang membantu meringankan beban anak beranak itu. Walaupun demikian, Nini Kudampai tidak pernah mengeluh. Ia bekerja sekuat tenaga agar kehidupannya dengan anaknya terpenuhi. Saat itu, Angui masih kecil sehingga ia masih senang bermain, belum ada kesadaran untuk menolong ibunya bekerja. Angui tidak mempunyai teman sebaya sebagai teman bermain. Sebagai gantinya, ia ditemani tiga ekor hewan kesayangannya, yaitu ayam jantan putih, babi putih, dan seekor anjing yang juga putih bulunya. Ke mana pun ia pergi, ketiga ekor hewan kesayangan itu selalu menyertainya.
Mereka tampak sangat akrab. Pada suatu hari, ketika Angui sedang bermain di halaman rumah, melintaslah seorang saudagar Keling. Saudagar itu amat tertarik kepada Angui setelah menatap Angui yang sedang bermain. Ia berdiri tidak begitu jauh dari tempat Angui bermain. Angui terus diamatinya. Dari hasil pengamatan itu, ia mendapatkan sesuatu yang menonjol pada penampilan Angui. Air muka Angui selalu jernih dan cerah. Ubun-ubunnya kelihatan berlembah. Dahinya lebar dan lurus. Jari-jarinya panjang dan runcing ke ujung. Di ujung-ujung jari itu terdapat kuku laki yang bagus bentuknya. Satu hal yang memikat adalah adanya tahi lalat yang dimiliki Angui. Tahi lalat seperti itu dinamakan kumbang bernaung. Saudagar Keling mendapat firasat bahwa tanda-tanda fisik yang dimiliki Angui menunjukkan nasib balk atau keberuntungannya. Barang siapa memelihara anak itu akan bernasib mujur. “Aku harus mendapatkan anak itu,” katanya dalam hati. Tanpa menyia-nyiakan waktu, saudagar itu segera menemui Nini Kudampai, sang ibu.
Dengan keramahan dan kefasihan lidahnya berbicara selain janji-janji yang disampaikan, ia dapat menaklukkan hati Nini Kudampai. Nini Kudampai tidak keberatan jika Angui diasuh dan dipelihara saudagar itu. Angui pun amat tertarik untuk mengikuti saudagar itu pulang ke negerinya. “Anak lbu tidak akan hilang,” kata saudagar itu meyakinkan. “Percayalah Bu, suatu saat kelak ia pasti kembali menemui ibunya, bukan sebagai Angui yang sekarang ini, tetapi sebagai orang ternama.” Walaupun Nini Kudampai telah merelakan kepergian anaknya, ia tidak dapat menyembunyikan rasa harunya ketika akan berpisah. Kesedihan dan keharuan kian bertambah ketika Angui meminta agar ketiga hewan teman bermainnya selama ini dipelihara sebaik-baiknya oleh ibunya. “Bu, tolong Ibu jaga babi putih, anjing putih, dan ayam putihku. Jangan Ibu sia-siakan!” kata Angui sambil mencium tangan ibunya dengan linangan air mata. Saudagar Keling pulang ke negerinya dan tiba dengan selamat bersama Angui. Angui diasuh dan dipeliharanya, tak ubahnya memelihara anak kandung.
Angui hidup bermanja-manja karena kehendaknya selalu dikabulkan orang tua asuhnya. Kemanjaan itu berakibat buruk kepadanya. Ia lupa diri dan menjadi anak nakal, pemalas, serta pemboros. Saudagar Keling sering tercenung seorang diri. “Firasatku ternyata salah,” katanya dalam hati, “rupanya keadaan lahir belum tentu mencerminkan sifat dan watak seseorang.” Saudagar Keling merasa tidak mampu lagi menjadi orang tua asuh Angui. Kehadiran Angui dalam keluarga itu hanya menyusahkannya saja. Tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh selain mengusir Angui. Saudagar Keling itu tidak mau memeliharanya lagi. Angui amat menyesali kelakuannya selama ini. Apa dayanya karena sesal kemudian tiada guna. Ia hidup luntang-lantung tiada arah. Kesempatan baik telah disia-siakannya. Syukurlah, lambat laun Angui mampu mengatasi keputusasaannya. “Aku harus menjadi manusia yang berhasil,” katanya penuh tekad. Ia menanggalkan sikap malasnya dan mau bekerja membanting tulang. Ia tidak merasa malu melakukan pekerjaan apa pun, asal pekerjaan itu halal. Beberapa tahun kemudian, berkat kerja keras dan kejujurannya dalam bekerja, is menjadi seorang saudagar kaya. Kekayaannya tidak kalah dibanding kekayaan saudagar Keling yang pernah menjadi orang tua asuhnya. Ketenarannya melebihi saudagar Keling itu.
Akhirnya, kekayaan Angui melebihi kekayaan siapa pun di negeri Keling itu. Namanya makin terkenal setelah is berhasil menyunting putri raja Keling menjadi istrinya. Sejak menjadi menantu raja, Angui mendapat nama baru, yakni Bambang Padmaraga. Meskipun sudah kaya, Angui alias Bambang Padmaraga sering terkenang kampung halamannya. Ia amat rindu kepada ibunya, Nini Kudampai. Ia juga teringat pada babi putih, anjing putih, dan ayam putih, ketiga teman bermain yang disayanginya. Selain itu, ia ingin memperkenalkan istrinya kepada ibunya dan menunjukkan keberhasilannya di perantauan. Ia ingin membahagiakan ibunya yang bertahun-tahun ditinggalkannya tanpa berita. Pada suatu hari, Angui mempersiapkan sebuah kapal yang lengkap dengan anak buahnya. Tidak lupa pula bekal untuk perjalanan jauh dan cendera mata, Inang pengasuh bagi istrinya turut serta dalam pelayaran ke negerinya. Ia dan istrinya menempati sebuah bilik khusus di dalam kapal yang ditata begitu apik seperti dalam sebuah istana.
Berita kembalinya Angui dan istrinya, putri raja Keling, dengan naik kapal segera tersiar ke seluruh penjuru. Nini Kudampai pun mendengar dengan penuh rasa syukur dan sukacita. Apalagi kapal putranya itu konon merapat dan bersandar tidak berapa jauh dari kediamannya. Legenda Gunung Batu HapuNini Kudampai segera berangkat ke pelabuhan dengan menggiring ketiga hewan piaraan teman bermain Angui, yaitu babi putih, anjing putih, dan ayam putih. Ia berharap agar Angui segera mengenalinya dengan melihat ketiga hewan itu. Nini Kudampai pun berseru melihat Angui berdiri berdampingan dengan istrinya di atas kapal, “Anakku!” Sebenarnya, Angui mengenali ibunya dan ketiga hewan piaraannya. Akan tetapi, ia malu mengakuinya di hadapan istrinya karena penampilan ibunya sangat kumal. Jauh berbeda dengan ia dan istrinya. Ia memalingkan muka dan memberi perintah kepada anak buahnya, “Usir perempuan jembel itu!” Hancur Iuluh hati Nini Kudampai diusir dan dipermalukan putra kandung yang dilahirkan dan dibesarkannya. Angui mendurhakainya sebagai ibu kandung. Ibu yang malang itu segera pulang ke rumah.
Tiba di rumah, is memohon kepada Yang Mahakuasa agar Angui menerima kutukan. Belum pecah riak di bibir, begitu selesai Nini kudampai menyampaikan permohonan kepada Tuhan, topan pun mengganas. Petir dan halilintar menggelegar membelah bumi. Kilat sabung-menyabung dan langit mendadak gelap gulita. Hujan deras bagai dituang dari langit. Gelombang menggulung kapal bersama Angui dan istri serta anak buahnya. Kapal dan segenap isinya itu terdarnpar di antara Tambarangan dan Lawahan. Akhirnya, kapal dan isinya berubah menjadi batu. Itulah sekarang yang dikenal sebagai Gunung Batu Hapu, yang telah dibenahi pemerintah menjadi objek pariwisata. Setiap saat, terutama hari libur, tempat itu banyak dikunjungi orang.
*Sumber : http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/legenda-gunung-batu-hapu.html


Mandin Tangkaramin



Loksado adalah salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan. Di sana ada sebuah desa bernama Malinau. Kira-kira satu kilometer dari tempat itu ada sebuah air terjun bernama Mandin Tangkaramin. Konon, menurut Bahasa penduduk di sana, mandin berarti air terjun. Jadi, Mandin Tangkaramin berarti air terjun Tangkaramin. Akan tetapi, kata mandin sudah menyatu dengan Tangkaramin sehingga kedua kata itu tak terpisahkan. Air terjun itu. tidak terlalu tinggi, sekitar tiga belas meter. Hutan lebat mengelilinginya sehingga jika berada di hutan itu terasa selalu dalam dekapan gelap malam. Di dasar air terjun Mandin Tangkaramin terdapat bongkahan-bongkahan batu besar dan kecil. Di antaranya ada bongkah besar berwarna merah, semerah kulit manggis yang ranum, bernama Manggu Masak. Konon, air terjun itu punya kaitan dengan satu kejadian, yakni perkelahian satu lawan satu antara Bujang Alai dengan Bujang Kuratauan. Kedua pemuda itu memiliki kelebihan dan kekurangan.
Akibatnya, mereka hidup dalam persaingan yang membuahkan dendam terpendam. Bujang Alai adalah seorang pemuda tampan, angkuh, dan kaya. Ia selalu menyisipkan keris di pinggangnya setiap pergi ke mana saja. Jimat pun selilit pinggang. Karena merasa yakin akan kelebihannya, ia sering bertindak sesuka hati. Ia selalu mempertontonkan keberaniannya di mana saja, dengan harapan orang-orang tertarik kepadanya. Berbeda sekali keadaannya dengan Bujang Kuratauan. Ia berpenampilan sederhana dan tidak setampan Bujang Alai. Ia seorang pemuda yang rendah hati dan penyabar. Selain itu, cara berpikir dan gagasannya menunjukkan kejernihan otaknya. Ia bukan dari kalangan orang kaya. Akan tetapi, ia punya sisi lain yang dapat diandalkan. Ia tidak berusaha menonjolkannya, tetapi muncul sendiri karena diharapkan masyarakat. Musyawarah di desa terasa belum lengkap tanpa kehadirannya. Sebuah keputusan dalam rapat tidak akan diambil tanpa ia turut menganggukkan kepala. Jika Bujang Alai menyelipkan keris dan jimat selilit pinggang untuk menambah keangkuhannya, Bujang Kuratauan pun selalu membawa senjata setiap bepergian. Parang bungkul, senjata tradisional orang Banjar, selalu tersangkut di pinggangnya. Akan tetapi, senjata itu tidak akan keluar dari sarungnya jika bukan untuk menegakkan kehormatan, kebenaran, dan keadilan.
Pada suatu ketika, desa mereka gempar. Ada peristiwa yang dianggap melanggar adat dan mencemarkan nama keluarga, serta mencorengkan arang di muka anggota masyarakat. Seorang gadis hilang entah ke mana tanpa diketahui sebabnya. Bukan hanya orang tua gadis itu yang panik dan amat terpukul, Bujang Kuratauan pun terusik perasaannya. Walaupun gadis itu bukan keluarganya atau perempuan yang akan dijodohkan kepadanya, peristiwa itu dirasakan sebagai tantangan terhadap dirinya. Ia diminta menunjukkan kemampuannya untuk menemukan gadis itu. Oleh karena itu, Bujang Kuratauan bertekad menyelidiki perkara ini sampai tuntas. Jauh di hati kecilnya muncul kecurigaan bahwa Bujang Alai menculik gadis itu. “Sekali ini pasti ia akan kena batunya,” ujar Bujang Kuratauan dalam hati. Belum lagi usaha pengusutan mencapai titik terang, Bujang Alai tiba-tiba menepuk dada. Ia berkata dengan lantang, “Di rumah saya ada seorang gadis yang saya sembunyikan. Silakan jemput gadis itu, tetapi dengan syarat orang itu mampu menahan ujung kerisku Iebih dulu!” Jelaslah bahwa Bujang Alai menantang Bujang Kuratauan.
Dahi Bujang Kuratauan berkerut, daun telinga memerah, gigi gemeretuk, dan kilat mata tajam melukiskan amarah. Tangan kanannya meraba hulu parang bungkulnya. Ia berkata dengan suara datar, “Aku tak akan menjemput gadis itu ke rumahmu, tetapi aku menuntut tanggung jawabmu sebagai lelaki!” “Lelaki maksudmu? Keris ini membuktikan kelelakianku! Tentukan tempat dan waktunya!” ujar Bujang Alai sambil meraba keris di pinggang. “Musuh tidak kucari, tetapi jika bersua pantang kuelakkan,” sahut Bujang Kuratauan. Ia, berusaha meredam kemarahannya yang memuncak dengan suara tertelan, “Jika kerismu mau menjual darah, parang bungkul tumpul ini mampu membelinya!” Sudah dapat diduga apa yang akan terjadi antara Bujang Kuratauan dan Bujang Alai. Perang tanding, itulah yang akan terjadi. Keris Nagarunting milik Bujang Alai ditarik dari sarungnya, diacungkannya ke atas, dan diliuk-liukkannya ke udara dengan sombong. Bujang Kuratauan tidak ingin kalah aksi melihat atraksi yang dipamerkan Bujang Alai. Parang bungkulnya yang tajam berkilat berkelebat membelah udara, dipermainkannya dengan kecepatan tinggi. Setelah mempertunjukkan kebolehan masing-masing, tanpa diduga Bujang Alai dengan tangkas melompat sambil berusaha menyarangkan keris Nagarunting ke dada Bujang Kuratauan. Akan tetapi, Bujang Kuratauan sudah slap sehingga serangan mendadak itu tidak mengejutkannya. Dengan gerakan enteng, ujung keris yang akan menembus jantung dapat dielakkannya.
Bahkan jika mau, pasti is sempat menebaskan parang bungkulnya ke leher Bujang Alai. Akan tetapi, Bujang Kuratauan bukan orang haus darah. Kesempatan emas itu tidak dimanfaatkannya. Sikap itu ternyata membuat hati Bujang Alai semakin membara. Ia merasa dilecehkan. “Gunakan senjatamu jika engkau merasa sebagai lelaki!” tantang Bujang Alai. Bujang Kuratauan tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, tetapi tangannya telah siap nlemegang hulu parang bungkul. Matanya nanap penuh selidik menyiasati gelagat yang akan dilakukan Bujang Alai. Nalurinya tidak salah. Bujang Alai menyerbu dengan membabi buta. Ia menyarangkan kerisnya bertubi-tubi ke tubuh Bujang Kuratauan sehingga Bujang Kuratauan susah mengelakkannya. Gemerincing keris beradu dengan parang bungkul menimbulkan kilatan api di angkasa. Mereka memiliki kehebatan dan kemampuan tempur yang tinggi. Akhirnya, Bujang Kuratauan tidak hanya menangkis dan mengelak, tetapi ia juga menyerang dan menebaskan parang bungkulnya. Tebasannya berkali-kali mengenai bagian-bagian rawan tubuh Bujang Alai, tetapi tidak segores pun melukai kulitnya. Demikian halnya Bujang Kuratauan, berkali-kali ujung keris Bujang Alai tidak dapat dielakkannya, tetapi sama sekali tidak mencederainya. “Kita lanjutkan di tempat lain!” ujar Bujang Alai. “Di mana pun aku setuju!” sahut Bujang Kuratauan. “Mandin Tangkaramin pilihanku!” ujar Bujang Alai. “Di sana pun aku setuju!” sahut Bujang Kuratauan. Perang tanding ditunda sementara. Mereka sepakat, Mandin Tangkaramin sebagai arena perkelahian berikutnya. Waktu luang menjelang saat pertarungan berikut itu mereka gunakan untuk mempersiapkan diri agar dapat mengalahkan lawan. Setelah merenung dan menilai kehebatan Bujang Alai, Bujang Kuratauan berkata dalam hati, “Ia kebal. Parang bungkul yang bagaimanapun tajamnya tak akan melukai kulitnya.” Jika Bujang Alai berusaha mempertajam keris Nagarunting, Bujang Kuratauan justru membuat tumpul parang bungkulnya. Mata parangnya bukan dipertajam, melainkan diasah sehingga tumpul seperti bagian belakangnya.
Dalam pertarungan di Mandin Tangkaramin, memang tidak seorang pun terluka sebab keduanya kebal. Akan tetapi, parang bungkul Bujang Kuratauan yang tumpul matanya itu membuat tubuh Bujang Alai memar atau remuk di dalam. Akhirnya, Bujang Alai pun meninggal. Tersiarlah berita tewasnya Bujang Alai di tangan Bujang Kuratauan. Kematian Bujang Alai itu membuat suasana menjadi panas. Keluarga Bujang Alai ingin menuntut balas sebab utang darah harus dibayar darah. Pihak Bujang Kuratauan tidak tinggal diam. Mereka tidak menginginkan jatuhnya korban. Siasat pun diatur sebaik-baiknya. Obor-obor dinyalakan sehingga perhatian musuh terpancing dalam gelap gulita itu. Pihak Bujang Alai mengejar obor-obor yang gemerlapan itu dengan kemarahan meluap. Pihak Bujang Kuratauan menghindarkan diri agar jangan terjadi bentrokan.
Setelah sampai di puncak air terjun Mandin Tangkaramin, obor-obor itu mereka lempar ke bawah. Melihat nyala obor-obor itu pihak Bujang Alai menduga musuh menyimpang jalan sambil berlari menyusuri lintasan. Mereka hanya berpatokan pada nyala obor yang dilemparkan. Kelompok Bujang Alai pun langsung memintas menuju obor. Jalan pintas yang mereka perkirakan memang tidak ada, kecuali jurang menganga sehingga mereka pun jatuh di atas bongkah batu. Darah mereka mengucur di batu-batu dan menjadikan batu-batu merah warnanya, semerah kulit manggis masak. Penduduk menyebutnya Batu Manggu Masak.



Masjid Agung Demak





Di separuh pertama bulan puasa, masjid di Jalan Sultan Patah itu selalu kebanjiran pengunjung. ''Selain salat, mereka juga ziarah,'' kata KH Muhammad Muzadin Munawar, Imam Besar Masjid Agung Demak. Di kompleks masjid memang terdapat 60 pusara makam pejuang muslim Demak. Antara lain Raden Patah, Pati Unus, dan Sultan Trenggono. Mereka bertiga adalah Sultan Demak pertama sampai ketiga. Masjid Agung Demak terletak di sebelah barat alun-alun. Umumnya, tata letak kota kuno di Jawa selalu menempatkan alun-alun di sebelah utara dan selatan istana. Ruang publik itu, pada masa lampau, berfungsi sebagai tempat berkumpul sesama rakyat untuk menghadap rajanya. Pola ini sama dengan tata ruang pusat kota Trowulan di Mojokerto, Jawa Timur. Pada pusat kota pemerintahan Majapahit itu, berlaku pembagian zona yang menempatkan area peribadatan di sebelah barat laut, dekat pusat pemerintahan. Meski belum jelas letaknya, pusat pemerintahan Demak bisa jadi tak jauh dari masjid agung. ''Itu dirujuk dengan alun-alun di depan masjid yang biasanya dekat dengan pusat pemerintahan,'' kata Inajati Adrisijanti M. Romli, arkeolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Bangunan model Majapahit, yang membawa corak kebudayaan Bali, banyak mempengaruhi arsitektur Masjid Demak.
Gaya itu berpadu dengan langgam rumah tradisional Jawa Tengah. Inajati memperkirakan, ahli rancang bangun Masjid Demak berasal dari Majapahit. ''Tapi arsitek sesungguhnya belum bisa dipastikan,'' kata wanita yang pernah jadi staf ahli pemugaran Masjid Agung Demak ini. Banyak versi yang menyebut Wali Songo sebagai pendiri Masjid Demak. Namun, cerita itu banyak yang meragukannya, karena sembilan wali tak hidup dalam waktu yang sama. Menurut Babad Demak, daerah Glagahwangi sebagai tempat Masjid Demak, pertama kali dibuka oleh Raden Patah. Putra Prabu Kertabumi atau Brawijaya V ini mendirikan pesantren dan masjid di daerah rawa-rawa itu. Pengalaman hidup Raden Patah di Palembang membuatnya bisa menyiasati tanah lembek itu, dengan cara membangun masjid berkonstruksi rumah panggung. Terbukti dengan ditemukannya umpak batu di dasar tiang pada 1987. Keterlibatannya dengan Majapahit, hingga diangkat menjadi Adipati Demak, memberinya pengalaman arsitektur Majapahit. Pemahaman ini dipakainya ketika membuka Glagahwangi.
Film Para Wali Kedekatan arsitektur Masjid Demak dengan bangunan Majapahit bisa disimak pula pada bentuk atapnya. Kubah, yang identik dengan ciri masjid sebagai bangunan Islam, malah tak digunakan. Bentuknya justru mengadopsi bangunan peribadatan agama Hindu. Ini merupakan upaya membumikan Masjid Demak, sebagai sarana penyebaran agama Islam pada abad ke-15, di tengah masyarakat Hindu. Bentuk atap yang dipakai adalah tajug tumpang tiga. Bagian paling bawah menaungi ruangan berdenah segi empat. Atap bagian tengah mengecil dengan kemiringan lebih tegak ketimbang atap di bawahnya. Sedangkan atap tertinggi berbentuk limasan, dengan tambahan hiasan mahkota pada puncaknya. Komposisi ini mirip meru, bangunan tersuci di pura Hindu. Meru memiliki bentuk atap tajug berlapis. Sebenarnya, bentuk meru hanya tercermin pada atap masjid.
Jika menilik sistem konstruksinya yang terdiri dari empat saka guru, yang klop dengan bentuk atap Masjid Demak adalah Bangunan Wantilan di Bali. Bangunan beratap tajug tumpang dua yang disangga empat saka ini memiliki denah bujur sangkar. Tepinya berundak-undak. Fungsinya sebagai tempat pentas tari. Namun sering pula dipakai sebagai arena adu ayam, yang merupakan awal prosesi tabuh roh dalam agama Hindu. Bentuk bangunan ini dipercaya terdapat pula di pusat Kerajaan Majapahit di Trowulan. Boleh jadi, meluasnya pemakaian bangunan ini terjadi setelah Bali ditaklukkan Majapahit. Masjid Agung Demak, yang menempati lahan seluas 11.220 meter persegi, kini seolah menjadi ciri kota Demak. Seluruh kompleks masjid, termasuk Yayasan Masjid Demak, menempati lahan enam hektare. Kompleks itu terdiri dari masjid, serambi, makam, tempat wudu, dan pawestren.
Selain itu, masih ada pula gedung Majelis Ulama Indonesia, sekolah, museum, dan wisma tamu. Pawestren adalah ruang untuk wanita menjalankan salat. Luasnya 15 x 17,30 meter. Dibangun pada 1866 ketika KRMA Arya Purbaningrat menjadi Adipati Demak. Bangunan berkonstruksi kayu jati ini terletak di sebelah selatan masjid. Atapnya berbentuk limas, disangga delapan pilar bergaya Majapahit. Empat di antaranya menopang belandar balok bersusun tiga. Sepanjang riwayatnya, Masjid Agung Demak, menurut Muhammad Muzadin, sedikitnya 16 kali dipugar. Pertama kali oleh Raja Mataram Paku Buwono I, pada 1710. Ia mengganti atap sirap yang rapuh. Pembangunan menara azan baru dilakukan pada 2 Agustus 1932. Bangunan berkonstruksi baja itu menelan biaya 10.000 gulden. Ada tiga pintu masuk ke dalam masjid. Sebelah kiri berhadapan dengan tempat wudu wanita, pintu masuk ke sebelah kanan bertaut tempat wudu pria. Sedangkan pintu di tengah langsung mengantarkan ke serambi masjid.
Serambi seluas 29 x 17 meter dan berlantai teraso 30 x 30 sentimeter itu juga sering disebut ''Serambi Majapahit''. Julukan itu melekat karena pilar di serambi itu mirip dengan bangunan ''Siti Hinggil'' di Majapahit. Kemungkinan, delapan pilar itu diambil dari bangunan di Senggaluh, setelah Demak menaklukkan Majapahit pada 1479, sebagai bukti kemenangan. Senggaluh, yang kini masuk wilayah Kediri, merupakan benteng terakhir pertahanan Majapahit sewaktu digempur Demak. Anggapan itu belum dibuktikan kebenarannya. ''Jarak Majapahit dengan Demak sangat jauh,'' kata Inajati. Film Para Wali Misteri memang masih menyelubungi sebagian riwayat Masjid Agung Demak. Berdirinya masjid ini pun berasal dari penafsiran yang terdapat pada prasasti Lawang Bledheg. Prasasti sekaligus pintu utama di tengah masjid itu mencantumkan penanda waktu atau candrasengkala berbunyi ''naga mulat salira wani''. Artinya, tahun 1388 Saka atau 1466 Masehi.
Petunjuk ini diperkirakan sebagai awal dibangunnya Masjid Demak. Lawang Bledheg atau ''pintu petir'', yang menghubungkan serambi dengan ruang utama masjid, memiliki dua daun pintu. Pada masing-masing kepingnya tertera ukiran naga. Konon, pintu ini dibuat Kiai Ageng Selo, nenek moyang raja pertama Mataram, Panembahan Senopati, yang dalam cerita rakyat disebut punya kemampuan menangkap petir. Kilat itu, masih kata legenda tadi, diikat di Lawang Bledheg. Kini, yang dipasang di masjid cuma tiruannya. Sedangkan pintu aslinya disimpan di Museum Masjid Demak. Penanda waktu lain terdapat di dinding mihrab bagian dalam. Di ruang berwarna kuning keemasan, tempat imam memimpin salat, itu terpampang tablo bergambar bulus. Kepalanya satu, kakinya empat, badannya bulat, dan ekornya satu. Ini dianggap menunjukkan tahun 1401 Saka atau 1479 Masehi. Tanda ini diperkirakan menunjukkan mulai diperluasnya Masjid Demak, bertepatan dengan keberhasilan Demak menaklukkan Majapahit yang sudah mengungsi ke Senggaluh. Perluasan besar-besaran untuk menjadi masjid agung diperkirakan berlangsung pada 1504-1507.
Pada masa itu, agama Islam makin meluas. Perubahan dari tata cara sembahyang agama Hindu di ruang terbuka ke dalam masjid mencuatkan pemikiran untuk membuat interior masjid yang luas. Apalagi, penduduk Demak kala itu mencapai 10.000 keluarga. Kesan luas itu sampai sekarang masih terasa pada ruang utama masjid. Sedikitnya, 500 jamaah bisa ditampung di ruang yang luasnya 25 x 26 meter itu. Lantainya menggunakan konstruksi bata, ditutupi marmer 70 x 70 sentimeter. Tinggi lantainya 35 sentimeter dari permukaan pelataran paling luar. Atau 3 sentimeter lebih tinggi dari lantai serambi. Di sebelah kanan ruangan ini terdapat ruang khalwat. Ruang perenungan berukuran 2 x 2,5 meter ini dulunya dipakai para penguasa melakukan salat dan munajat untuk memohon petunjuk Tuhan. Hampir sekujur ruangan ini dipenuhi ukiran model Majapahit. Pada salah satu sudutnya terdapat relief aksara Arab yang artinya memuliakan keesaan Allah. Yang menarik dari Masjid Demak adalah sistem strukturnya. Di ruang utama terdapat empat saka guru, setinggi 19,54 meter, yang konon merupakan karya empat wali. Sunan Kalijaga membuat pilar timur laut. Sunan Bonang untuk tiang barat laut. Saka guru tenggara dibuat Sunan Ampel, dan Sunan Gunung Jati membuat yang barat daya.
Saka guru yang dibuat Sunan Kalijaga, menurut Tembang Babad Demak, sering disebut saka tatal, karena berasal dari tatal atau ''serpihan'' kayu. Potongan kayu agak besar itu digabungkan menjadi satu dengan perekat jabung, menyan, atau damar. Lalu dipasak dan diikat erat. Setelah kokoh --konon sampai butuh waktu dua tahun-- ikatannya dilepas, dan dihaluskan menjadi saka guru. Empat saka guru setebal 1,45 meter itu menahan beban bagian atap tertinggi dan menjadi penyangga atap di bawahnya. Tiang sekeliling saka guru menahan beban atap tajug, dan menjadi tautan atap paling bawah. Tiang paling luar menyalurkan beban atap terendah, sehingga dinding masjid hanya menanggung beban sendiri. Ekspresi tektonika dengan membagi beban seperti ini menunjukkan kemampuan memakai struktur rumah Jawa untuk membentuk bangunan yang besar. Perpaduan berbagai corak dalam arsitektur Masjid Agung Demak, boleh jadi, menyiratkan bahwa tepa selira antarpemeluk agama sudah berlangsung sejak dulu.
Sumber : Sigit Indra, dan Sujoko [Majalah Gatra]

Ki Ageng Pengging



Nama aslinya adalah Raden Kebo Kenanga. Kakaknya bernama Raden Kebo Kanigara. Keduanya adalah putra pasangan Andayaningrat dan Ratu Pembayun. Nama asli Andayaningrat adalah Jaka Sengara. Ia diangkat menjadi bupati Pengging karena berjasa menemukan Ratu Pembayun putri Brawijaya raja Majapahit (versi babad), yang diculik Menak Daliputih raja Blambangan putra Menak Jingga. Jaka Sengara berhasil menemukan sang putri dan membunuh penculiknya. Jaka Sengara kemudian menjadi bupati Pengging, bergelar Andayaningrat atau Ki Ageng Pengging I (versi lain menyebutnya Jayaningrat). Kedua putranya menempuh jalan hidup yang berbeda. Kebo Kanigara yang setia pada agama lama meninggal saat bertapa di puncak Gunung Merapi.
Sedangkan Kebo Kenanga masuk Islam di bawah bimbingan Syekh Siti Jenar. Serat Kanda mengisahkan, Andayaningrat membela Majapahit saat berperang melawan Demak. Ia tewas di tangan Sunan Ngudung panglima pasukan Demak yang juga anggota Walisanga. Kebo Kenanga tidak ikut berperang karena takut menghadapi gurunya. Padahal, Syekh Siti Jenar sendiri tidak mendukung serangan Demak. Kebo Kenanga kemudian menjadi penguasa Pengging menggantikan ayahnya. Namun, ia tidak menjalani hidup mewah sebagaimana para bupati umumnya, melainkan hidup sebagai petani membaur dengan rakyatnya. Menurut Serat Siti Jenar, Kebo Kenanga bertemu Syekh Siti Jenar sesudah menjadi penguasa Pengging. Dikisahkan keduanya berdiskusi tentang persamaan agama Hindu, Buddha, dan Islam. Akhirnya, dicapai kesepakatan kalau ketiga agama tersebut pada hakikatnya sama, yaitu sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa, hanya tata cara peribadatannya saja yang berbeda. Ki Ageng Kebo Kenanga Pengging menikah dengan kakak perempuan Ki Ageng Butuh (murid Syekh Siti Jenar pula). Dari perkawinan itu lahir seorang putra bernama Mas Karebet.
Saat Karebet dilahirkan, Ki Pengging sedang menggelar pertunjukan wayang yang didalangi kakak seperguruannya, yaitu Ki Ageng Tingkir. Sepulang mendalang, Ki Tingkir meninggal dunia. Kelak, sepeninggal Ki Ageng Pengging dan istrinya, Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir), sehingga setelah dewasa, Karebet pun dijuluki sebagai Jaka Tingkir dan mendirikan Kesultanan Pajang. Pendirian kasultanan Pajang adalah sebagai usaha Jaka Tingkir, yang telah berhasil memperistri putri Sultan Trenggana, untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Demak menuju pedalaman Jawa. Hal inilah yang memunculkan teori berpindahnya corak kerajaan maritim ke agraris. Secara politis juga untuk menjauhkan diri dari kemungkinan sengketa dengan keturunan Sekar Seda Lepen yang bernama Arya Penangsang. Menurut Babad Tanah Jawi, Ki Ageng Pengging dicurigai Raden Patah hendak memberontak karena tidak mau menghadap ke Demak. Patih Wanapala (versi Serat Siti Jenar menyebut Patih Wanasalam) dikirim ke Pengging untuk menyampaikan teguran. Waktu setahun berlalu dan Ki Pengging tetap menolak menghadap.
Apalagi ia gencar mendakwahkan ajaran Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat oleh pemerintah Demak. Maka, Sunan Kudus pun dikirim untuk menghukum mati Ki Ageng Pengging. Setelah melalui perjalanan panjang, rombongan Sunan Kudus akhirnya tiba di Pengging. Ki Pengging merelakan kematiannya daripada harus menghadap Raden Patah. Akhirnya, ia pun meninggal dunia setelah titik kelemahannya, yaitu ujung siku, ditusuk keris Sunan Kudus. Menurut Serat Siti Jenar, Ki Ageng Pengging Kebo Kenongo meninggal karena kemauannya sendiri. Sebelumnya, ia dikisahkan berhasil menyadarkan Sunan Kudus tentang ajaran Syekh Siti Jenar yang sebenarnya. Akhirnya, Ki Ageng Pengging meninggal dunia dengan caranya sendiri, bukan karena ditusuk Sunan Kudus. Pada intinya, kematian Ki Ageng Pengging disebabkan karena penolakannya terhadap pemerintahan Demak. Ia adalah murid terbaik Syekh Siti Jenar, yaitu seorang wali yang mengajarkan kesederajatan manusia dan menolak basa-basi duniawi.
Kepustakaan
Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
 *Sumber diolah dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Ageng_Pengging"